Said Sulaiman Manusia Sakti Berkubur Ganda

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Said Sulaiman Manusia Sakti Berkubur Ganda
oleh M. Hasbi Salim

Pendahuluan[sunting]

Di Kabupaten Hulu Sungai Utara (Amuntai) Kalimantan Selatan, tepatnya di Desa Pakacangan, Kecamatan Amuntai Utara terdapat kuburan atau makam yang dianggap keramat oleh masyarakat, yaitu kuburan Said Sulaiman. Di atas kuburan tersebut didirikan sebuah banguan dengan ukuran 6 x 10 meter persegi, beratap sirap, menyerupai sebuah bangunan mushalla kecil yang biasa disebut kubah.

Said Sulaiman atau yang biasa juga dipanggil Datu Sulaiman ini dikenal dengan julukan “Manusia sakti berkubur ganda atau satu jasad dua makam" karena beliau memiliki berbagai kesaktian dan dua kubur, satu di Pakacangan dan satunya lagi di Desa Padang Basar yang jaraknya kurang lebih 4 kilometer. Kubur-kubur beliau itu sering diziarahi orang hingga saat ini.

Asal Berjumpa[sunting]

Dahulu kala, hidup seorang pedagang kaya raya yang bernama Datu Paragam. Datu Paragam setiap hari berdagang sambil menyusuri sungai. Yang menjadi pelanggannya adalah masyarakat yang berdiam di tepian sungai, seperti Sungai Balangan, Sungai Kelua, Sungai Sarita, Sungai Martapura, dan beberapa anak sungai lainnya.

Datu Paragam, biasanya mengambil atau membeli barang dagangan di Martapura, Kabupaten Banjar, lebih kurang 190 kilometer dari Amuntai. Ia membawa barang dagangan itu dengan kapal dagang menelusuri sungai sampai ke Amuntai. Barang-barang dagangan yang dijual adalah segenap keperluan rumah tangga seharihari, seperti garam, gula, teh, kopi, telur, dan peralatan-peralatan rumah tangga (barang-barang pecah-belah berupa piring, senduk, wancuh, dan lain-lain).

Pada suatu hari, ketika hendak pulang dari berbelanja barang dagangan di pelabuhan kapal Martapura, Datu Paragam melihat seorang anak laki-laki kecil, umurnya kurang lebih empat tahun. Anak itu tanpa busana atau telanjang. Ia menangis meronta-ronta ingin ikut kapal Datu Paragam. Namun, kapal sudah mulai merenggang.

Anak tersebut melompat dan berdiri tegak tepat pada tumpukan telur, sementara telur-telur tersebut tidak pecah sedikit pun. Orang-orang sangat kaget melihat kejadian tersebut.

Datu Paragam mencoba mendekati anak itu dan bertanya, "Wahai anak! Siapa namamu?” ucapnya lembut.

“Said Sulaiman," jawab anak itu lantang.

“Siapa nama ayah dan ibumu?"

“Ayah bernama Muhammad Thahir dan ibu St. Aminah," jawab anak itu. "Tetapi mereka sudah meninggal semua," lanjutnya sedih.

“Dari mana asalmu?" tanya Datuk.

“Saya dari Sumatera.”

"Wah! Jauh juga," Datuk kaget.

Anak itu mengangguk sedih.

“Maukah kautinggal bersamaku?" ajak Datu Paragam.

“Mau," ucap anak itu dengan gembira.

“Baiklah. Ayo! Sini. Anggaplah aku dan istriku sebagai orang tuamu," ucap Datuk sambil meraih anak itu.

Anak itu pun tersenyum dan mendekap Datuk dengan gembira. Selanjutnya, ia dimandikan, diberi pakaian baru, dan diberi berbagai makanan enak oleh Datu Paragam. Beberapa saat setelah itu, anak itu tertidur nyenyak sekali dan baru terjaga setelah kapal dagang tersebut tiba di Amuntai.

Datu Paragam dan beberapa penumpang lainnya merasa heran karena perjalanan pulang dari Martapura ke Amuntai yang melewati sungai yang berkelok-kelok dengan menyongsong arus air yang cukup deras itu ternyata dapat ditempuh dalam jangka waktu yang tidak begitu lama. “Barang kali ini berkat aku menolong anak yang terlantar," bisik hati Datu Paragam.

Berbagai Kesaktian[sunting]

Said Sulaiman, yang terkadang dipanggil Said itu tumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas, dan pandai bergaul. Ia sering menampakkan perangai yang aneh-aneh. Hal ini membuat orang-orang kagum dan terheran-heran karenanya. Peristiwa-peristiwa ganjil itu sering disaksikan langsung oleh Datu Paragam dan istrinya serta teman-teman sepergaulannya.

Meringankan Tubuh[sunting]

Pada suatu hari, Said Sulaiman bermain sembunyi-sembunyian (Bapatakan) dengan teman-temannya. Pada saat kalah, Said harus mencari teman-temannya yang bersembunyi, dan sebaliknya jika yang lain kalah, Said bersembunyi. Proses itu berlangsung berulang-ulang hampir satu jam lamanya. Berikutnya, Said menang sehingga mendapat kesempatan untuk bersembunyi, sementara salah satu temannya sebagai pencari. Said dan teman-temannya yang lain bersembunyi berpencar.

Teman-teman Said telah dapat ditemukan dengan mudah oleh si pencari, tetapi Said tidak dapat ditemukan, walaupun sudah berjam-jam. Teman-temannya heran di mana ia bersembunyi.

“Said! Di mana kau?" teriak anak-anak itu serentak.

“Aku di depan kalian."

“Di mana?"

“Di atas pohon pisang," ucap Said lantang.

Teman-teman Said Sualiman san gat kaget ketika melihat anak itu bertengger di atas pelapah pisang dengan kesaktiannya meringankan tubuh.

Mengecilkan Badan[sunting]

Pada hari berikutnya permainan sembunyi-sembunyian kembali dilanjutkan. Dan, menghilangnya Said pun kembali terulang. Berjam-jam teman-teman Said mencari ke sana-kemari tidak terkecuali pohon-pohon pisang yang ada di sekitar tempat itu menjadi sasaran. Menurut perkiraan mereka, Said yang sakti itu akan bertengger di pelepah pisang yang lain, hanya tempatnya yang berbeda. Lantaran begitu lama mencari, mereka akhirnya angkat tangan.

“Said! Kami menyerah. Di mana kau?" seru anak-anak beramai-ramai.

“Aku di depan kalian," ucap Said lantang.

“Di mana?"

“Carilah di pohon jagung.”

Teman-teman Said kembali keheranan sebab mereka menemui Said yang bertengger di daun jagung dengan kesaktiannya mengecilkan tubuh, saking kecilnya tubuhnya hanya sebesar ibu jari tangan.

Menjemur Padi[sunting]

Usia anak-anak merupakan masa-masa bermain. Namun, Said Sulaiman masih menyisakan waktunya untuk membantu orang yang mengasuhnya dalam mengerjakan sesuatu, misalnya, menuai padi, mencari ikan, dan berbelanja.

Pada suatu siang belong, Datu Paragam dan istri pergi menuai padi dan Said dititipi tugas untuk menjaga padi yang sedang dijemur di tanah lapang. Tiba-tiba hari hujan lebat sekali, tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, seperti awan tebal, mendung, angin, dan guntur, sedangkan Said tertidur nyenyak.

“Bagaimana kau ini enak-enak tidur sementara padi dibiarkan diguyur hujan," ucap Datu Paragam berang ketika tiba di rumah dan melihat jemuran sedang disiram oleh hujan yang lebat.

“Maaf, Datu! Saya tidak mengira hari akan hujan sehingga saya tinggal tidur," ucap Said penuh penyesalan.

Said bergegas mengambil seluruh padi yang sedang diguyur hujan, dan memasukkannya ke dalam lumbung padi tanpa menghiraukam badannya yang basah-kuyub diguyur hujan.

“Biar! Tidak usah diambil! Hujankan saja sekalian!" istri Datuk marah.

Tanpa sepatah kata pun Said menyelesaikan pekerjaannya dengan sabar. Setelah selesai, ia kembali tidur.

Dengan wajah cemberut istri Datu Paragam mendekati tumpukan padi, kemudian memegangi padi-padi yang telah diguyur hujan.

“Datu! Coba pegang ini!" seru istri Datu Paragam kepada suaminya dengan penuh keheranan.

“Ada apa?" tanya Datu paragam.

“Padi kita ternyata kering!" serunya.

“Yang benar saja," sanggah suaminya.

Datu Paragam kaget luar biasa ketika membuktikan bahwa padi-padi tersebut benar-benar kering.

"Ini pasti berkat kesaktian anak itu," ucap Datuk.

“Ya. Aku tidak pantas memarahinya seperti tadi," sahut istrinya dengan penuh penyesalan karena sempat memarahi anak itu. Ia melangkah menuju Said yang sedang tidur nyenyak.

“Biarkan saja ia menikmati tidurnya. Kalau dia sudah bangun, kita minta maaf dan jangan lagi bersikap kasar kepadanya. Anak ini pastilah bukan anak manusia biasa," ucap Datuk menenangkan istrinya yang tampak gelisah karena merasa bersalah.

Memagar lkan[sunting]

Pada suatu sore, istri Datu Paragam hendak memasak makanan untuk makan malam. Namun, ia tidak mempunyai ikan untuk lauk-pauk makan malam itu. Kemudian, ia meminta suaminya untuk mengail ikan ke sungai.

“Saya ikut!" seru Said sambil membawa beberapa bilah tongkat dari batang bamban.

“Ayo! Mari," ajak Datu Paragam sambil melangkah.

Berjam-jam Datu Paragam mengail, tetapi tidak ada satu pun ikan yang menggigit ujung kailnya. Datu mulai gelisah.

Said Sulaiman turun ke tepi sungai membawa empat bilah bamban, kemudian menancapkannya empat sisi di air yang kedalamannya kurang lebih sejengkal.

“Hai, Said! Jangan bermain di situ. lkan-kan akan lari," Datu melarang Said. Namun, Said tetap saja berada di sungai, malah kian ke tengah.

“Ayo! Ambillah ikan-ikan yang ada di wilayah ini," ucap Said.

“Jangan bercanda dengan Datu," ucap Datu agak kesal karena sudah lama tidak mendapat ikan barang seeker.

“Saya tidak main-main. Ambillah!" ucap Said lagi.

Setelah mendengar permintaan anak itu beberapa kali, dan melihat raut wajah yang tulus dan jujur, Datu mencoba berdiri dari duduknya, kemudian melangkah mendekati Said Sulaiman.

Datu sangat terkejut ketika melihat ikan-ikan yang begitu banyak di tempat yang ditunjuk oleh Said. Lalu, ia mengambil ikan itu satu per satu. "Terima kasih, Nak. Ibumu tentu senang sekali karena kita bisa mendapatkan ikan yang diinginkan.”

"Tidak perlu berterima kasih kepada saya. Berterima kasihlah pada Allah, Tuhan Yang Maha Pemurah," ucap Said.

"Terima kasih! Tuhan," ucap Datu sambil mengangkat tangan, kemudian mengusapkannya ke wajahnya. Selanjutnya, ia kembali sibuk memasukkan ikan-ikan itu ke keranjangnya yang sudah hampir penuh.

“Cukup, Datu! Sisakan untuk orang-orang di belakang kita," pinta Said sambil tersenyum.

“Ya.”

Datu berhenti mengambil ikan yang ada di air yang dangkal itu dan segera pulang membawa ikan-ikan hasil tangkapan yang cukup banyak.

Menghadang Tentara Belanda[sunting]

Pada suatu hari terdengar kabar bahwa pasukan Belanda akan menggempur Desa Padang Basar dan sekitarnya. Masyarakat hendak melarikan diri, tetapi tidak sempat lagi karena pasukan kian dekat. Untuk melawan juga tidak berani karena jumlah pasukan itu sangat besar dan memiliki persenjataan yang lengkap.

Said Sulaiman melompat ke tengah kerumunan manusia yang sedang panik itu. "Sekarang, ikuti perintahku!" ucap Said lantang.

“Apa yang perlu kita lakukan?" desak orang-orang.

“Ambillah tali dan bentangkan!”

Orang-orang bergegas mencari tali dari pelepah pisang yang kering, kemudian membentangkannya menyilang jalan, dengan cara mengikatnya dari pohon yang satu ke pohon yang lain, yang masing-masing berseberangan. Setelah melakukan hal itu, orang-orang bersembunyi di semak-semak sambil menyaksikan gerak-gerik pasukan Belanda.

Tidak lama kemudian, pasukan Belanda tiba. Namun, pasukan itu kemudian berbalik arah karena menurut penglihatan mereka jalan buntu.

Said Sulaiman semakin dewasa dan tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan serta mempunyai sopan santun yang tinggi sehingga sangat disenangi orang, dari tua sampai muda.

Ia juga sangat suka menuntut ilmu pengetahuan, terutama ilmu agama Islam sehingga ia selalu mendatangi rumah Tuan Guru untuk memperdalam ilmu agama. Tidaklah mengherankan, hampir tidak ada Tuan Guru di daerah Amuntai yang tidak pernah dijadikannya sebagai gurunya ketika itu.

Meninggal Dunia[sunting]

Ketika berusia 40 tahun, Said Sulaiman diserang penyakit. Datu Paragam berusaha menyembuhkannya dengan berbagai cara termasuk dengan menggunakan ramuan-ramuan tradisional. Namun, ternyata Said Sulaiman bukannya menjadi sembuh, malah penyakitnya semakin parah, dan akhirnya meninggal dunia.

Orang sangat menyayangkan hal itu karena Said Sulaiman meninggal dalam keadaan masih sendiri, tidak sempat kawin dan meninggalkan anak atau keturunan yang mewarisi ketampanan, kesaktian, keramah-tamahan, dan segenap sifat-sifat terpuji yang dimilikinya. Akan tetapi, Said Sulaiman sempat menularkan sifat-sifat terpuji itu kepada kawan-kawan sejawatnya.

Kabar meninggalnya Said Sulaiman dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru desa. Orang-orang segera berdatangan untuk berbelasungkawa. Masalah penguburan sempat membingunkan masyarakat sebab sebagian menginginkannya di Padang Basar, tetapi yang lain meminta di Pakacangan sebab di sini terdapat sejumlah sahabat karib beliau.

Kubur Ganda[sunting]

Pada saat perundingan untuk tempat pemakanan Said Sulaiman itu, salah seorang sahabat karibnya mengangkat tangan. Lalu, ia berbicara dengan lantang bahwa tadi malam ia telah bermimpi berbincang-bincang dengan Said Sulaiman tentang di mana sebaiknya menguburkan jasadnya itu. Dalam mimpi itu Said Sulaiman mengatakan bahwa pada pagi hari ia ingin dikuburkan di depan rumah Datu Paragam yang terletak di Desa Padang Basar. Dan, pada sore harinya jika ada sungai batang tibarau yang berjalan di air menentang arus, kuburkanlah batang tibarau tersebut di desa mana ia berhenti sebab itu juga jasadku.

Dengan adanya mimpi tersebut ditetapkanlah dua tempat pemakaman, yaitu Desa Padang Basar pagi harinya dan Desa Pakacangan pada sore harinya.

Dari dua kubur atau makam ini, makam yang ada di Desa Pakacangan-lah yang paling banyak dikunjungi orang hingga saat ini karena letaknya tidak jauh dari pusat kota kabupaten (Amuntai).

Penutup[sunting]

Cerita tentang Said Sulaiman sebagai manusia sakti berkubur ganda atau satu jasad dua makam ini berkembang dari mulut ke mulut di tengah-tengah masyarakat hingga saat ini, hanya saja dengan versi yang bermacam-macam.

Amuntai, 20 September 2005

Kamus Kecil[sunting]

  • Bamban, tanaman sejenis bambu hanya saja batangnya agak lunak.
  • Bapaoatakan, petak umpet, permainan sembunyi-sembunyian.
  • Datu, orang yang dituakan atau yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakat.
  • Kubah, bangunan yang atasnya mirip kubang masjid.
  • Makam, kubur yang dibangun, bangunan kecil di atasnya.
  • Paragam, nama burung yang tubuhnya mirip dengan burung merpati, hanya saja ia memiliki bunyi yang merdu.
  • Pelepah, bagian dari daun pisang yang langsung ke batang.
  • Tibarau, sejenis tumbuhan bambu yang mirip tebu.