Lompat ke isi

Saka dan Piring-Piringnya

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pengantar

[sunting]

Halo, Saya Latif Nur Janah. Saya menulis fiksi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Kali ini, saya bercerita tentang Saka dan piring-piringnya. Selamat membaca, ya teman-teman.

Premis

[sunting]

Piring dan gelas milik Saka gaduh. Mereka merasa, Saka selalu memilih Piring Hijau untuk makan. Piring Kaca Cokelat merasa tak senang dengan hal itu. Namun, mendengar cerita Piring Hijau setelah dibawa ke Sekolah, membuat mereka tahu bahwa Saka dan Ibu menyayangi mereka semua.

Lakon

[sunting]
  1. Saka
  2. Ibu
  3. Ayah
  4. Piring Hijau
  5. Piring Kaca Cokelat
  6. Gelas Ungu
  7. Gelas Kaca Bening
  8. Sendok Besar

Lokasi

[sunting]
  1. Sekolah
  2. Rumah
Piring Kaca/ Keramik

Cerita Pendek

[sunting]

Oleh: Latif Nur Janah

Hari ini, ada pengumuman penting. Ibu Guru bilang, Senin lusa dan seterusnya, para murid harus membawa wadah makanan ke sekolah. Wadah itu sebagai ganti kemasan plastik jika anak-anak jajan. Demi mengurangi sampah plastik, sekolah akan menerapkan aturan baru itu.

Saka menyambutnya dengan gembira. Ia ingat, ibunya pernah bilang bahwa sampah plastik akan sulit diurai sehingga membahayakan lingkungan. Tak hanya Saka, Ibu pun sangat senang mendengar berita itu. Ditambah, peralatan makan Saka banyak sekali. Akan lebih berguna jika dibawa ke sekolah.

Di rumah, ada banyak perabot yang belum tertata. Karena baru pindah dari rumah yang lama, Saka dan Ibu belum sempat menata perabotan ke tempatnya. Sedangkan Ayah masih sibuk membenahi kamar Saka. Ayah dan Ibu pun tak lupa membeli perabotan baru agar lebih lengkap.

Hari ini, Saka libur sekolah. Ia dan Ibu berencana menata perabotan di rumah. Ada sepatu, mainan, peralatan makan, dan sebagainya. Saka ingat ucapan Ibu Guru. Meskipun anak laki-laki, ia tetap harus rajin membantu orang tua. Oleh karena itu, hari ini ia berjanji akan membantu Ibu sampai selesai.

Setelah sarapan dan mandi, Saka menyusul Ibu ke teras belakang. Teras belakang berbatasan langsung dengan halaman yang cukup luas. Meskipun halaman itu masih kosong, Ayah sudah menyiapkan pot untuk menanam tanaman dan bunga.

Ketika Saka datang, Ibu tengah membuka beberapa kardus besar. Ada tiga kardus besar yang berisi mainan Saka. Mainan-mainan itu ia kemas sesaat sebelum pindah.

“Wah, banyak sekali ternyata, ya, Bu,” seru Saka melihat mainannya yang begitu banyak.

“Iya. Kamu sudah selesai sarapannya?” tanya Ibu.

“Sudah, Bu. Ini mau bantu Ibu,”

“Oke. Sekarang kamu bawa kardus yang itu ke kamarmu. Itu mainan yang biasanya kamu taruh di kamar,” Ibu menunjuk satu kardus kecil.

“Baik, Bu,”

Sampai di kamar, Saka langsung membuka kardus itu. Ia tata satu persatu mainannya. Ada robot, mobil-mobilan, bola basket ukuran kecil, dan banyak lagi. Selesai menata mainan, Saka lekas menyusul Ibu. Namun, Ibu sudah tak ada di teras belakang.

Rupanya, Ibu berada di dapur. Di sana, Ibu tengah menata perabotan dapur dan peralatan makan. Banyak sekali perabotan milik Ibu. Ibu menatanya dalam kardus-kardus besar. Sebagian dibawa dari rumah dan sebagian lagi dibeli Ibu sebelum pindah.

Ibu menata piring dan gelas ke rak. Saka mulai membersihkan rak bagian bawah. Ia melihat piring berwarna hijau di tangan Ibu.

“Bu, boleh taruh piring itu ke rak bawah?” kata Saka meminta izin.

“Kenapa? Bukannya ini sudah lama tidak kamu pakai?”

“Besok mau aku bawa ke sekolah, Bu,”

“Oh, iya, ya.... Ibu lupa kamu harus bawa wadah makanan,”

Setelah itu, Ibu membuka satu kardus yang ada di sana. Kardus itu berisi aneka gelas dan cangkir. Setelah mengeluarkan dan mengelapnya satu persatu, Ibu lekas menaruhnya ke rak.

“Biar aku bantu, Bu,”

“Ini, tolong taruh di bagian sana,”

Saka bergegas menaruh cangkir-cangkir ke sisi rak. Cangkir-cangkir itu sering digunakan Ayah untuk minum kopi atau teh. Sambil minum teh atau kopi, Ayah juga sering membaca koran di pagi atau sore hari.

Saka mengambil satu gelas plastik berwarna ungu dari kardus. Gelas itu ia taruh di dekat piring hijau agar besok tidak lupa dibawa ke sekolah.

Siapa sangka, setelah Saka dan Ibu meninggalkan dapur, suasana di rak menjadi gaduh. Kegaduhan itu terdengar dari deretan gelas dan piring kaca.

“Aku sebal, sejak dulu, Saka selalu memilih Piring Hijau untuk makan,” kata piring kaca berwarna cokelat.

“Saka juga selalu memilih Gelas Ungu. Ia tidak pernah memakaiku untuk minum,” dengan murung, Gelas Kaca Bening menambahi.

Piring Hijau dan Gelas Ungu mendongak mendengar ucapan teman-temannya itu. Mereka bingung karena selama ini mereka juga tak meminta Saka menggunakan mereka. Saka memilihnya sendiri.

“Kami juga tidak tahu kenapa Saka memilih kami,” ucap Gelas Ungu jujur.

“Padahal jelas, warnaku lebih menarik dan lebih mengkilap,” sambung Gelas Kaca Bening.

“Sssst...,” suara Sendok Besar tiba-tiba menghentikan mereka.

Ternyata, Ibu kembali ke dapur. Suasana kembali hening. Ibu menyeduh teh untuk Ayah. Ia mengambil Gelas Kaca Bening dari rak lalu mengisinya dengan satu kantong teh celup dan air panas. Merasakan guyuran air panas di bandannya, Gelas Kaca Bening merasa sangat senang. Apalagi aroma teh yang sangat harum menjadikan badannya ikut wangi. Ibu lekas membawa satu gelas teh itu ke halaman belakang di mana Ayah sedang istirahat.

Suara-suara dari rak kembali terdengar. Melihat Gelas Kaca Bening dibawa keluar Ibu, Piring Kaca Cokelat merasa sendirian. Ia merasa tak akan ada yang mendukungnya. Maka itulah, ia lalu bertanya pada sendok.

“Sendok-sendok, coba katakan padaku, mana yang lebih menarik antara aku dan Piring Hijau,” kata Piring Kaca Cokelat kepada sendok yang berdiri berdesakan di wadah plastik.

Sesaat, tak ada yang menjawab. Sendok-sendok yang berdesakan itu tak ada yang bersuara. Bagi mereka, tak ada perabotan yang lebih baik atau jelek. Semua ada gunanya. Hanya Sendok Besar yang kemudian menjawab.

“Kita semua baik dan menarik,” jawab Sendok Besar dengan bijak, “buktinya, Ibu memiliki kita. Tak mungkin Ibu membeli kita jika tak ada gunanya,”

“Tetapi, aku sudah lebih dari seminggu ini tidak digunakan Ibu,” kata-kata Piring Kaca Cokelat terdengar sedih.

Mendengar itu, semua yang ada di rak merasa murung. Benar, sudah seminggu ini Ibu jarang memasak. Ibu, Ayah, dan Saka sedang sibuk di rumah.

“Lihatlah debu yang menempel di badanku,” sambungnya.

Mereka mendongak. Piring Hijau pun melihat debu yang belum terlap dengan baik di badan Piring Kaca Cokelat. Piring Hijau lalu tersenyum.

“Piring Kaca, coba lihatlah ke bawah. Badanku bagian bawah pun ada minyak yang masih licin,” kata Piring Hijau.

“Oh, ya?”

“Lihatlah! Mungkin Ibu terlalu capai beres-beres sehingga kita tidak begitu diperhatikan,”

“Tetapi, Saka tetap memilihmu,”

“Begini saja, setelah pulang sekolah besok, aku berjanji padamu akan kuceritakan tentang pengalamanku di sekolah,”

Mendengar itu, Piring Kaca Cokelat merasa tertarik.

“Baiklah.” ucapnya dengan gembira.

*

Keesokan paginya, Piring Hijau dan Gelas Ungu sudah dikemas Saka ke dalam tas. Tak lupa, ia membawa sebuah sendok. Sementara itu, di teras, Ayah sedang membaca koran ditemani Piring Kaca Cokelat dan Gelas Kaca Bening. Piring Kaca Cokelat berisi pisang goreng dan Gelas Kaca Bening terisi kopi panas yang masih mengepul.

Halaman kini sudah penuh dengan tanaman dan bunga. Pemandangan terlihat hijau dan terasa menyegarkan. Pemandangan itu sangat dinikmati Piring Kaca Cokelat dan Gelas Kaca Bening. Setiap hari, mereka melihat halaman yang asri sambil menemani Ayah membaca koran. Mereka juga dapat mendengar suara burung berkicau yang terbang dan hinggap di pohon-pohon.

Pada siang hari ketika Saka sudah pulang, Ibu lekas mengambil Piring Hijau dan Gelas Ungu dari tas. Mereka lalu ditaruh di dalam wastafel. Di sanalah, mereka bertemu dengan Piring Kaca Cokelat dan Gelas Kaca Bening bersama perabotan yang lain. Sementara itu, di rak, Sendok Besar mengamati Ibu yang tengah mencuci mereka. Sendok Besar yakin, Ibu sangat perhatian pada mereka. Hanya saja, mereka belum bisa memahami semua itu.

Setelah tertata rapi di rak, mereka tampak bersih dan mengkilap.

“Ayo, Piring Hijau, ceritakan pengalamanmu di sekolah,” kata Piring Kaca Cokelat tak sabar.

Lekas, Piring Hijau bercerita. Di sekolah, Piring Hijau digunakan Saka untuk membeli jajanan. Minyak-minyak dari jajanan itu menempel di badannya sepanjang hari. Itu membuatnya tak nyaman. Ditambah udara pengap di dalam tas. Semua itu membuat Piring Hijau risih.

Mendengar itu, Piring Kaca Cokelat merasa sedih. Semua itu tak seperti yang ia kira. Ia hanya berpikir Saka lebih menyukai Piring Hijau tanpa berpikir akibat yang ia dapat kalau dibawa ke sekolah.

“Lalu, apa yang kamu lakukan sepanjang hari ini?” tanya Piring Hijau mengakhiri ceritanya.

“Kami menemani Ayah di teras,” jawab Piring Kaca Cokelat cepat.

“Kami melihat pemandangan yang hijau dan segar juga burung-burung,” sambung Gelas Kaca Bening.

“Pasti sangat menyenangkan, ya,”

“Begitulah,” ucap Piring Kaca Cokelat dan Gelas Kaca Bening bersamaan.

Suasana pagi di dapur selalu asri. Ibu tengah menyiapkan sarapan untuk Saka. Tak lupa, ia menyiapkan Piring Hijau dan Gelas Ungu.

“Bu. Aku ingin bawa piring yang kaca itu,” tunjuk Saka pada Piring Kaca Cokelat.

“Tidak boleh, Saka,”

“Kenapa, Bu?”

Ibu menjelaskan pada Saka. Selain berat untuk anak kecil, lebih aman jika membawa pring plastik. Plastik tidak akan pecah jika jatuh. Semua yang ada di rak pun mendengar perkataan Ibu. Piring Kaca Cokelat kini mengerti kenapa Ibu tak mengizinkan Saka membawanya. Piring Hijau pun merasa senang bisa menemani Saka setiap hari tanpa takut pecah.

Di hari berikutnya, Ibu mengambil hampir semua perabot di rak. Perabot itu lantas diisi dengan berbagai makanan dan minuman. Piring Kaca Cokelat diisi Ibu dengan sayur dalam porsi banyak. Di atasnya, ditumpangi Sendok Besar. Gelas Kaca Bening diisi dengan teh. Sekarang ini, ia tak sendiri. Ada banyak gelas kaca bening lain yang berjajar di sampingnya. Sementara itu, Gelas Ungu dan gelas plastik lainnya dipenuhi dengan es buah. Tak lupa, Ibu mengisi penuh Piring Hijau dengan aneka buah.

Mereka semua penasaran.

Dibantu Saka dan Ayah, Ibu membawa piring-piring dan gelas itu ke teras belakang. Mereka menaruh semuanya ke atas gelaran karpet. Di sana, semua perabot itu melihat halaman yang hijau dan mendengar kicau burung seperti cerita Gelas Kaca Bening.

Setelah itu, banyak orang yang datang. Mereka adalah tetangga baru Saka. Mereka sangat senang diundang makan siang di rumah Saka. Begitu pun dengan semua perabot milik Ibu. Mereka akhirnya percaya perkataan Sendok Besar bahwa Ibu sangat menyayangi mereka semua dengan kegunaan masing-masing.