Sakit bikin Happy

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sakit menorehkan luka hiasi bangku kuliahku, yang hingga kini masih tergiang dengan jelas dalam gelap.Terkena semilir angin terasa panas sekujur badan,kulit melepuh hingga merembet dengan cepat ke wajah. Berselimut tebal di atas pembaringan tempat kos, segera ingin segera pulang. Sendiri jauh sanak keluarga menggapai impian masa depan di perkotaan yang menyilaukan. Menyisakan air mata di dera sakit kala dewasa menghinggapi diri, tak kuasa apa yang akan di lakukan untuk mengobati sekedar dahaga. Melelapkan untuk memejamkan mata hingga pagi menjelang, begitu sang surya menampakan diri sesegera mungkin berkemas menyisakan lunglai menuju perjalanan panjang.

Berjaket biru kombinasi merah bercelana hitam kelam melekat keluar pintu kost menyusuri gang berjalan kaki. Berbekal sapu tangan hijau menutup wajah hingga tak nampak hidung dan mulut. Sepanjang gang menyapa masyarakat dengan mengangguk tanpa berucap menghormati saat berpapasan. Tepat di gang menunggu anggkuatan umum lyn G berwarna hijau lewat menghampiri. Terasa lama sudah hampir sepuluh menit berdiri tak satupun angkutan yang lewat. Di bawah pohon talok atau ceres aku berdiri sembari melihat buahnya yang bergelantungan di atas tampak memerah. Daun-daun menghijau di pankal batang menambah sejuk di bawah pohon.

Dari kejauhan tampak lyn G yang akan lewat, ku julurkan tangan untuk menghentikan angkutan. Begitu mendekat sangat penuh penumpang dan melaju dengan kencang sambil membunyikan klakson dan sang sopir melambakan tangan tanda penuh. Sambil menunggu angkutan lewat kusandarkan tubuh ini di pohon untuk menyangga sambil berdiri, ku tarik napas dalam-dalam sembari berucap, “semoga cepat datang kendaran yang ku tunggu untuk mengantarku ke terminal” harapku dalam hati sambil mengusap peluh di dahi.

Debu bertebaran terbawa angin pagi berbarengan hilir mudik kendaraan yang lalu lalang menyusuri jalan denan kakson sentiasa di bunyikan menambah suasana panas semakin tak terhiraukan. Telinga terasa berdenging kian kencang terasa memekakan gendang telinga kiri dan kanan. Pergelangan tangan terasa ngilu terjepit jam tangan dengan karet yang terlalu kencang melingkar hingga membekas di kulit yang nampak kemerahan. Dengan hati-hati ku buka kancing yang mengkait sabuk jam, perlahan namun pasti akhirnya terbuka mengangga dan telepas dari pergergelangan tangan. Terasa lega rasanya tanpa ada yang mengikat lengan ini, sembari menikmati kelelonggaran tak kuasa menenggok jam, terkejut sekali kala melihat jarum jam pendek telah menuju ke angka delapan dan jarum pendek telah menuju ke angka sepuluh.

“Sudah sangat lama berarti menunggu angkutan disini“ gumanku sembari mengambil botol minuman di tas rangsel di samping pungunggungku. Seteguk terasa kurang hingga tiga teguk telah membasahi tenggorokanku ini. Dari kejauhan terdengan klakson berbunyi keras sambil ada suara melengking seperti terucap “boyo boyo boyo” begitu kedengarnya. Seketika ku usap bola mata ini dengan jemari tangan kanan seakan tidak percaya angkutan yang ku tunggu telah berhenti di depanku, pak sopirpun berucap “ Joyoboyo cak ayo naik mumpung ada tempat duduk“.

Seketika aku melangkah dengan sekuat tenaga mengakat rangsel hitam terisi penuh dengan bekal dan perlengkapan belajar. Ketika kulihat hanya tersisa satu kursi di pojok kanan dekat jendela yang terbuka. Dengan hati-hati mulai menyusuri lantai angkutan ini dengan hati-hati sambil berucap “permisi numpang lewat” kepada para penumpang. Lega rasanya bisa duduk dengan nyaman di dekat jendela namun terasa pening kepala ini hingga terpejam untuk menggalau rasa pening dan penat oleh sesaknya para penumpang. Selang empat puluh menit berlalu terdengar “terakhir boyo terakhir boyo” celetuk pak sopir dengan melengking keras. Begitu angkutan berhenti ku julurkan uang sepuluh ribuan untuk ongkos perjalanan ini, ketika memberikan kembalian pak sobil nyeletuk “cak mau kemana kok kelihat lemas begini” bilang pak sopir. Langsung ku jawab dengan lirih “mau Bungur cak” Pak sopir berucap “hati-hati ya cak bawaannya dan istirahat dulu sambil menunggu kendaran yang ke arah bungu”. Kuanggukan kepala dan ku ucapkan terimakah

Yang di nanti telah tiba sebuah angkutan massal dengan cat putih dengan kombinasi biru telah merapat di terminal kedatangan siap menjemput para penumpang yang telah menunggu dari tadi. Terdengar suara “Bungur ..bungur ..bungur” begitu suara pak kernet memperjelas kepada para penumpang. Satu persatu di persilahkan naik dari pintu depan dan belakang dengan ramah, “silahkan yang Bungur...yang bungur kusi masih kosong, mari-mari segera naik sebentar lagi kendaraan akan berangkat” begitu kata pak kernet. Tiba giliranku naik kulihat ada nenek yang renta berdiri di belakangku dengan dua bawaan tas yang cukup besar. Tak tega melihatnya “mari nek silahkan masuk duluan, sini tasnya tak bawakan” bilangku sambil menenteng tas besar milik sang nenek. Mulai menyusuri lantai angktan sembari mencari tempat yang kosong. Ketika tiba di baris ketiga sebelah kanan terlihat tiga kursi kosong, “sini saja nek bersama saya berdampingan” nenekpun mengangguk tanda setuju untuk duduk di kursi ini.

Sekiar satu jam perjalanan sekitar pukul 09:30 WIB sudah sampai tujuan terminal Bungur, “selamat jalan ya nek semoga sampai tujuan dengan nyama” sambil bersalaman dan dengannya. Dengan menenteng tas kulanjutkan perjalan menuju tempat tungu penumpang. Saat itu ada alunan musik keroncong dengan pemain komplit sedang menghibur kami para calon penumpang di ruang tunggu. Haus sekali tenggorokan terasa kering sembari mendengarkan lagu Sarinah ku tengguh air minum di kantong tas rangsel ini.

Badan terasa panas seakan ingin merebahkan badan tapi gak sopan di tempat tunggu penumpang ini, akhirnya ku langkahkan kaki menuju tempat pemberangkatan penumpang di sisi utara untuk menuju angkutan jurusan Barat. Begitu masuk area pemberangkatan suasana hiruk pikuk kian parah. Badan ini kian tidak bersahabat biliran keringat membasahi tubuh ini, semakin gatal rasanya. “Madiun ..Solo... Jogya....“ begitu keras memekakan telinga dari suara para armada kendaran Angkutan Kota Dalam Provinsi dan Angkutan Kota Antar Provinsi kian berbaur dengan ramainya para penumpang. Begitu ada angkutan kosong yang telah datang cdengan segera ku langkahkan kaki menuju tangga naik, masih lenggang tidak satupun terisi penumpang. Dengan sigap ku pilih barisan tempat duduk nomor tiga sebelah kanan yang berkursi tiga. Maksud hati untuk segera beristirahat dengan nyaman sembari menunggu penuhnya penumpang.

Yang kutunggu berlalu dengan cepat tiga jam sampai di tempat tujuan, segera menuju dekat pak kernet, “turun depan yang ada warung nasi pecel pak” kataku yang di balas dengan pak sopir, “warung kiri jalan itu ya mas” tak jawab juga biar makin pahan arah turunku “iya pak yang ada rawonnya juga” . Benar-benar tepat pak sopir menurunkan pas depan rumah “terimakasih pak Sopir pak Kernet hati-hati sampai tujuan” bilangku. Begitu sampai depan rumah menungu sepinya kendaraan untuk menyeberang, lama sekali hampir sepuluh menit belum bisa menyeberang jalan. Nah saat ada kendaraan yang mau menepi itulah laju kendaraan mula perlahan, tak disia-siakan untuk berlari menyebrang dengan cepat mumpung ada jeda kendaraan kanan dan kiri. Syukur dalam hati berucap sudah sampai rumah dengan selamat.

Begitu samapai rumah itulah sebuah rasa tidak nyaman pada tubuh ini mulai nampak dengan jelas. Sekujur tubuh mulai muncul bintik-bintik mengelepuh, mulai dari punggung tangan dan wajah. Masyarakat sini biasa menyebut cacar air, benar-benar membuat risih terasa gerah dan gatal. Tak tahan rasanya yang panas tubuh ini seakan seperti kena air panas yang mendidih di sertai rasa gatal yang bertubi di sekujur tubuh. Malu keluar kamar jadinya dengan kondisi ini, akhirnya hanya berbaring di dalam kamar. Sore harinya diberikan obat penawar rasa sakit namun belum mereda rasa sakit ini. Ditunggu hingga ke esokan harinya ternyata makin parah dansaat itu tidak ada uan utuk berobat, karena tabungannu di tabung di bank. Pagi hari sekitar pukul 8:00 WIB berangkat ke bank untuk mengambil uang untuk berobat. Dengan menggunakan jaket dan tutup masker akhirnya bisa menuju bank dengan perasaan kalut karena dengan kondisi seperti ini akan menjadi pusat perhatian di bank.

Benar sekali mulai dari depan sudah menjadi perhatian karena masker tidak ku lepas. “Bisa di lepas mas masker penutup wajahnya” tanya Pak satpam padaku. “Saya sakit pak takut yang lain terinfeksi makanya saya pakai masker ini” bilangku dengan lirih. Lalu saya menuju tempat antrian di meja teller untuk mengantri penarikan uang. Perasaan was-was juga kembali terjaga saat di panggil namaku menuju teller. Tidak percaya diri mulai menghinggapiku. Namun rasa ragu telah terhalau dengan segera begitu aku menerima hasil penarikan uang.

Tak kuat rasanya berdiri terlalu lama di tempat ber-AC dengan kondisi tubuh yang kurang sehat begini, akhirnyakusandarkan diri di kursi depan kantor cdekat parkir untuk menghela nafas sembari makan cemilan sebagai bekal dari rumah. Ada sosok renta mendatangiku sambil bertanya, “nunggu siapa mas di sini kok tidak masuk ke dalam kantor,” bilangnya. “Saya sudah masuk pak barusan keluar dari kantor sekarang mau pulang, tapi istirahat dulu karena saya sakit” bilangku padanya. “Sakit apa mas kok terlihat lemas sekali” tanya petugas kebersihan tersebut. “Ini pak saya sakit cacar air” sembari kutunjukan tanganku yang mulai melepuh kecil-kecil.

Sambil mendekat bapak itu bilang “itu mudah sekali mas dan jangan kawatir saya juga pernah begitu saya kasih obat dan sembuh, tapi ya harus sabar sampai mengering” katanya. “Iya pak terimakasih atas sarannya. sebentar lagi saya akan berobat doakan segera sembuh pak” ucapku pada sang bapak. Sambil berpamitan ku ambil kendaraan di tempat parkir di samping kantor belakang ruang Satpam.

Sembari mengambil motor aku beregumam dalam hati “dimanakah ya dokter specialis sakit ini” tentu ada dan pasti ada pikirku dalam hati. Begitu sampai di perempatan lampu merah tersadar ingatanku pada sosok dokter kulit dekat perempatan rumah prakteknya. Tanpa ragu lagu langsung kuarahkan kendaraan ini menuju tempat prakteknya. Alangkah terkejutnya disana sudah tutup dan buka lagi nanti sore sekitar jam 5:00 WIB akhirnya disana cuma mengambil nomor antrian untuk nanti sore, “sabar dan sabar” gumanku dalam hati ini sambil menhirup nafas panjang dan dalam.

Pulang kembali dengan dengan bekal uang penarikan dari bank yang masih utuh belum di pergunakan. Sesampai di rumah harum aroma bau masakan terasa di hitung ini, tak kuasa untuk melihatnya. Benar sayur keladi telah di masak kuning kesukaanku dengan aroma kunyit yang khas menggugah selera makan. Namun tubuh ini kian tidak bersahabat dengan menu masakan kesukaanku, rasanya pingin segera berbaring tidur di kamar kembali. Air minum kembali ku teguk untuk mengisi perut yang sedari pagi belum terisi nasi sesuap pun, hanya camilan ringan saat beristirahat di bank tadi.

Terbangun tidur terasa enak badan ini, namun begitu membuka mata terasa berat ingin berbaring kembali. Kulihat jam dinding sudah menunjukan waktu pukul 16:20WIB, seketika berbenah persiapan berangkat menuju tempat praktek dokter. Tanpa ragu denan itikat ingin sembuh kulangkahkan kaki mengusuri jalan menuju praktek dokter dengan harapan ingin segera sembuh hingga bisa beraktifitas normal seperti sedia kala. Sebenarnya tidak parah namun sekujur ini melepuh kecil terkena cacar air.

Tepat pukul 17:02 WIB sampai dengan selamat di ruang tunggu praktek dokter, sembari mengumpulan nomor urut di meja perawat. Selang sepuluh menit di panggil nomor urut 1 atas nama namaku “Nomor urut satu monggo menuju meja perawat” seketika langsung beranjak dari kursi tunggu untuk dihantarkan perawat ke dokter. Sesampai di ruang kerja dokter aku semakin malu dengan kondisi seperti ini. “Bisa di buka masker dan jaketnya mas” bilang dokter dengan ramah padaku. “Bisa dokter ini saya lepas masker dan jaketnya” bilangku dengan lirih sembari duduk di depan meja kerja dokter.

Dengan tenang dokter berkata “Tidak parah mas sakitnya, ini sudah melewati masa inkubasi dan sudah masuk dalam masa penyembuhan tinggal menunggu kering yang melepuh kecil-kecil ini, tapi jangan di garuk cukup di kasih bedak ya” bilang dokter padaku. “ini saya buatkan resep untuk di tebus di Apotek ya mas” bilang dokter sembari menulis resep pada secarik kertas resep. “Mas di buatkan resep obat yang diminum sama yang obat luar ya, diminum tiga kali sehari dan di oleskan untuk salepnya selepas mandi ya mas” bilang dokter sambil menyerahkan secarik resep untukku.

Lima hari berlalu berangsur sembuh dari sakit cacar air, tinggal mengeringkan dan ada sedikit bekas yang karena ulahku sendiri karena mengaruknya dan akhirnya pecah gelembung cacarnya. Ini yang membuat lama untuk sembuh pikirku dalam hati. Senantiasa sadar bahwa inilah cara terbaik untuk menuruti nasehat dokter bila ingin segera sembuh dari sakit. Hari berganti hari sembuhlah sakit ini dengan baik, terasa lega telah terbebas dari sakit, namun ini awal langkahku mulai berfikir panjang antara karir dan kuliah. Selama sakit aku mengajukan cuti kuliah dan tiba sehat ganti perasaan malas untuk melanjutkan kuliah kembali.

Beragam cara kulakukan untuk memulihkan kembali semangat untuk kuliah kembali sehabis cuti, namun dorongan besar telah meluruskanku untuk mencoba bekerja dahulu mencari pandangan baru di luar untuk menghilangkan kesuntukan selama ini. Ada rekan sekampung yang berkeinginan untuk mendaftar lowongan tersebut. Menimang dan menimang akhirnya aku di ajak untuk menemaninya memasukan lamaran pekerjaan. Ragu dan belum percaya diri akhirnya aku hanya menemani mengantarkan saja, namun pagi selepas bangun tidur terbesit dalam benak ini berucap “aku juga harus daftar masak Cuma mengantarkan saja” gumanku dalam hati kecil ini. habis mandi pagi ku cari kertas dan perlengkapan untuk menulis surat lamaran yang diantar nanti besama di kota. Sekitar pukul 09:00WIB temanku datang dengan pakaian rapi hem putih celana hitam, “keren sekali kawan bajumu masuk celana hitam” bilangku sambil dia tertawa terbahak-bahak mengiyakan. Padahal aku belum persiapan baju dan celana, akhirnya menggunakan baju rapi saja tanpa warna putih. “hari ini kan cuma mengantar surat lamaran saja kan kawan” bilangku. “Semoga kita bareng di terima ya, tapi masih banyak proses lanjutan untuk bisa di terima, ada tes tertulis, psikotes dan wawancara kawan” sambil bersalaman erat tanda kita sepakat untuk mendaftar bersama.

Yang dinanti dan ditunggu telah tiba saatnya pengumuman selang satu minggu setelah memasukan lamaran kerja, kita semua diterima untuk tahap pertama, semoga tahap kedua juga beriringan lagi. Saat pengumuman kedua rupanya aku lebih beruntung dari kawanku. Hanya diambil 4 orang untuk di seleksi lagi di kantor pusat dengan disertai pembekalan selama tiga hari berada di Kantor Pusat. Inilah awal mula mulai menerjuni dunia kerja. Dari hasil pembekalan telah ditetapkan tempat kerja yang istilahnya penempatan, aku ditempatkan di Jakarta Utara di daerah Cilincing.

Sangat tidak betah berada di perkotaan sebagai pendatang sepertiku yang berasal dari kampung pedesaaan. Hiruk pikuk kendaraan besar yang senantiasa melintas di kawasan itu, ditambah cuaca yang sangat tidak bersahabat. Panas dan terik matahari sangat terasa sekali hingga berniat untuk mengajukan pindah ditempat yang lain. Dengan berjalannya waktu akhirnya di perkenankan untuk pindah dan ditempatkan di Mataram Nusa Tenggara Barat, senang sekali bikin happy rasanya bisa merantau disana dengan bekal niat yang kuat. Nuansa Jawa telah merasukdi sana hingga bikin betah dan kerasan tinggal disana, masyarakat sangat ramah seperti kondisi di daerah sendiri. Merasa bersyukur bisa merantau disana dengan kesempatan untuk menikmati panorama yang elok disana. Suatu kesmpatan yang tidak akan terulang untuk menikmati panorama indah dengan mengendari motor WIN sebagaitunggangan yang senantiasa kita pergunakan untuk plesiran hingga menyusuri pemandangan baik lautan dan pegunungan semuanya alami bersih dan indah di pandang tiada duanya.

Selama dua tahun bermukim disana terasa sulit untuk melupakannya hingga kini masih teringiang, syukur ada teman dari sana saat hari raya kemarin berkunjung kemari untuk pelepas rindu. Banyak juga yang bertelpun serta chat di media sosial untuk saling mengabarkan kondisi disana dengan cerita yang bikin rindu nuansa sana. Selepas dua tahun rasa ingin melanjutkan kuliah mulai menguat dengan dorongan keluarga dan saudara akhirnya kembali melanjutkan kuliah yang sudah habis masa cutinya.

Kembali mulai menapaki dunia perkuliahan selepas berpeluh berjuang dalam dunia kerja yang sangat nyaman. Berbekal pengalaman dan merantau, pulang kuliah dimanfaatkan dengan bergerilya mencari pengalaman kerja untuk bekal kecakapan hidup kelak, syukur saat kuliah juga mendapatkan beasiswa untuk dan kini dengan jerih payah dimasa lalu bisa menjadi pengawal profesi yang kini menjadi sandaran hidup. Semoga capaian harapan dan kekininan, kita semua bisa terayomi dengan kemandirian dengan senantiasa tekun dan telaten. (endry) #semangat