Lompat ke isi

Sama-sama Berjuang

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Sampul untuk cerpen Sama-Sama Berjuang

Pengantar

[sunting]

Penulis

[sunting]

Blend smile adalah nama penanya. Ia sudah kecanduan membaca dan menulis cerita sejak ia masih berada di bangku SD. Di samping literatur, ia juga suka menggambar baik digital ataupun tradisional. Saat ini, ia sedang berusaha untuk menamatkan pendidikan kesetaraan SMA-nya. Ia dapat dihubungi lewat email: blend-smile@protonmail.com

Premis

[sunting]

Gilang, seorang bocah laki-laki yang mempunyai penyakit fisik dari kecil bermimpi untuk menjadi seperti kakeknya, seorang tentara yang dulu ikut melawan penjajahan. Tapi penyakit fisiknya menghalanginya dari impian itu, hingga pada suatu sore, ia bertemu dengan seorang gadis kecil.

Cerpen

[sunting]

Gilang mencoba untuk mengangkat tubuhnya. Tangannya menapak lantai di bawahnya. Ia sedang mencoba untuk melakukan push-up, tapi sekeras apapun ia mecoba, ia tidak bisa mengangkat tubuhnya. Ia pun menyerah dan membiarkan tubuhnya jatuh telungkup di lantai kamarnya.

Gilang, anak laki-laki yang masih berumur sebelas tahun, mempunyai kelainan fisik dari lahir sehingga dokter tidak membolehkannya untuk berolahraga. Walau begitu, ia tetap memaksa tubuhnya untuk tetap berolahraga meski ia sebenarnya merasa kesakitan. Itu karena pesan kakeknya kepadanya sebelum ia meninggal.

“Gilang, nanti kalau kakek mati, kakek mau minta satu hal. Kamu harus bisa melanjutkan perjuangan kakek. Kamu harus berjuang untuk negara ini, berguna bagi nusa dan bangsa.”

Perkataan kakeknya itu selalu diingat betul oleh Gilang. Ia harus bisa menjadi seperti kakeknya, seorang tentara yang dulu ikut memperjuangkan Indonesia melawan penjajahan. Karena itu, meskipun ia punya penyakit fisik, ia tetap berlatih setiap sore di kamarnya setelah ia pulang sekolah. Ia ingin menjadi tentara yang mempertahankan negara ini seperti kakeknya. Walau begitu, setiap kali ia berlatih, ia selalu gagal. Ia hanya bisa melakukan satu kali push-up setiap sore. Dan sore ini, ia bahkan tidak bisa melakukan push-up satu kali pun.

“Payah...” katanya berbicara sendiri.

Di saat-saat seperti ini, biasanya ia pergi ke kuburan kakeknya untuk berziarah. Ia pun keluar dari kamarnya. Setelah meminta izin kepada ibunya, Gilang keluar dari rumah. Suasana di luar sangat tenang, langit berwarna abu-abu ditutupi oleh awan. Angin sepoi-sepoi mengenai mukanya saat ia berjalan.

Tak lama kemudian, ia berhenti.

Kuburan kakeknya sudah berada di hadapannya. Suasana di pemakaman itu sangat sepi dan tenang. Pohon kersen rimbang meneduhi tempatnya berdiri. Gilang tak mengatakan apa-apa, air mata bercuruan di pipinya. Dengan lemah, ia tersimpuh di samping kuburan itu.

“Ma-Maaf,” katanya terisak.

“Aku telah mengecewakan kakek. Aku tidak bisa menjadi tentara seperti kakek.”

Kuburan itu tentu saja hanya diam.

“Maaf aku tidak bisa melanjutkan perjuangan kakek.”

Ia menunduk menangis.

“Jangan sedih. Kamu tidak harus menjadi tentara untuk melanjutkan perjuangannya, kok,” kata sebuah suara yang tak ia kenal di belakangnya.

Spontan, Gilang menoleh ke belakang. Ia melihat seorang gadis berdiri tersenyum ramah kepadanya.

“Kamu bisa membela negara ini dengan cara lain. Hm, kalau tidak salah begitulah kata Bu Guru.”

Gilang hanya melihatnya terkesiap, tidak tahu harus berkata apa.

“Hai, namaku Sani.”

Ia mengulurkan tangannya kepada Gilang, membantunya berdiri.

“Namamu siapa?” tanyanya.

“Gilang.”

“Senang berkenalan denganmu. Maaf mengganggumu, tapi aku sering melihatmu berada di sini dan aku juga sering mendengarmu berbicara sendiri. Kamu bilang kamu punya penyakit fisik, kan?”

Gilang mengangguk.

Gadis itu kembali berkata “Menurutku, kamu tidak perlu memaksakan dirimu untuk menjadi tentara. Kamu juga bisa melanjutkan perjuangan kakekmu dengan cara lain. Seperti ilmu pengetahuan misalnya.”

“Apa maksudmu?”

“Kamu bisa belajar dengan giat dan lalu memperjuangkan negara ini dengan ilmu yang kamu pelajari.”

Mata Gilang membesar.

“Kamu… Kamu benar!”

Sani tersenyum.

Ide itu tidak pernah terlintas di pikiran Gilang sebelumnya. Ia menjadi sangat senang.

“Terima kasih banyak.” kata Gilang sambil menjabat tangan Sani. “Hal itu tidak pernah terpikirkan olehku.”

Sani mengangguk “sama-sama.”

Gilang lalu berlari kembali ke rumahnya dengan semangat, merasa termotivasi oleh kata-kata Sani tadi. Ia akan memperjuangkan negaranya dengan otaknya. Benar. Ia tidak harus menjadi tentara untuk melanjutkan perjuangan kakeknya.

Sementara itu, Sani melihat kepergian Gilang dengan tersenyum.

“Semoga beruntung,” gumamnya.

Ia lalu kembali ke rumahnya yang berada di dekat sana. Kondisi rumah itu sangat memprihatinkan. Dindingnya terbuat dari kayu reyot tua yang sudah lapuk. Rumah itu ditutupi oleh atap dari seng yang sudah karatan. Yah, bagaimana lagi. Hanya itu yang orang tua Sani mampu beli.

“Bu, tadi Sani ketemu seseorang,” ujarnya sambil masuk ke rumah memanggil ibunya.

Ibu Sani yang saat itu sedang menunggu Sani untuk makan malam menoleh kepadanya.

“Oh ya? Siapa?”

Sani duduk bersimpuh di depan ibunya dan mulai bercerita. Di depan mereka, ada sedikit makanan yang telah disiapkan oleh ibu Sani. Mereka pun saling bercerita sambil menyantap makan malam di atas sehelai tikar bambu.

Begitulah kehidupan Sani yang sederhana. Setiap pagi, ia pergi sekolah. Sore hari lalu ia habiskan untuk memungut botol-botol sampah di jalanan untuk dijual. Ayahnya sudah meninggal sebelum Sani lahir. Ibu Sani pun harus membanting tulang untuk menafkahi Sani.

Hari-hari berlalu menjadi bulan. Bulan-bulan menjadi tahun. Sejak hari itu, Sani tak pernah lagi bertemu dengan Gilang.

Tak terasa, Sani sudah lulus SMA. Sekarang, ia bukan lagi seorang anak kecil. Ia membantu ibunya setiap hari dengan giat. Walau begitu, ada satu hal yang bergejolak di hati Sani; ia ingin kuliah. Tapi rasanya hal itu mustahil baginya. Mencari uang untuk makan sehari-hari saja susah, apalagi kuliah.

Pada suatu sore yang teduh dan tenang, Sani pergi ke bawah pohon di pinggir sungai di dekat rumahnya untuk merenungkan hal ini. Jalan di pinggir sungai saat itu sangat sepi. Tidak ada kendaraan atau orang yang berlalu-lalang. Sani bersandar ke batang pohon di belakangnya. Akhir-akhir ini, ia banyak melamun. Melamunkan kondisi ibunya yang sudah tua renta, keinginannya untuk berkuliah, kondisi keuangannya yang berkecukupan, dan hal-hal lain semacam itu.

“Andaikan daun di pohon ini adalah uang, maka aku akan bisa menggunakannya untuk kuliah dan menghidupi ibu,“ gumamnya.

Tapi tentu saja, daun tetaplah daun. Sani tidak bisa menemukan jalan keluar dari masalahnya. Hingga akhirnya seseorang berkata dari belakangnya.

“Aku bisa membantumu.”

Sani kenal betul dengan suara itu. Walaupun sudah lama sekali ia tidak mendengarnya, ia masih ingat dengan suara itu. Suara itu sudah banyak berubah. Sani menoleh ke belakang. Ia tidak mempercayai apa yang sedang ia lihat. Gilang sedang berdiri di belakangnya.

Ia sekarang sudah jauh lebih tinggi, mukanya sudah banyak berubah, tapi Sani masih dapat mengenalnya. Sani cepat-cepat berdiri.

“Kamu Gilang, kan? Wah, lama tak jumpa.”

Gilang mengangguk.

“Maaf aku menghilang begitu saja. Terlalu sibuk belajar," katanya sambil senyum menggaruk kepala. Ia lalu melanjutkan "Aku mendengarmu berbicara sendiri tadi. Aku bisa membantumu, Sani.”

“Tapi…”

“Kamu telah menyelamatkan impianku dulu. Karenamu, sekarang aku dapat lanjut hingga kuliah. Kini giliranku untuk membantumu.”

Mata Sani membesar. Ia merasa malu dan segan.

“Tidak usah, aku tidak ingin mengganggu kuliahmu.”

Gilang menggeleng.

“Aku sekarang berjualan baju sambil kuliah dan aku dapat menghasilkan uang yang cukup untuk membantumu. Itu semua tidak akan mengganggu kuliahku,” Gilang bersikeras.

Mata Sani berkaca-kaca. Ia menjabat tangan Gilang.

“Terima kasih banyak,” katanya menahan tangis harunya.

Gilang tersenyum.

“Sama-sama.”