Lompat ke isi

Sang Juara

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Batin Lita merasa tersentuh melihat keadaan rumah Hamdan dan Rina sahabatnya di kelas yang berada di daerah kumuh yang hanya terbuat dari tiang bambu, sebagian dari plastik dan karton. Sebetulnya Lita sangat takut untuk meneruskan perjalanan menuju rumah Rina dan Hamdan, karena melewati rumah-rumah kumuh lainnya yang kusam dan tidak terawat. Ada gundukan barang rongsokan di depan rumah membuat Lita semakin tidak nyaman. Hanya karena rasa marah yang tak terperi pada mamanya, membuat Lita tak peduli lagi dengan keadaan yang di lihatnya.

Tapi Hamdan dan Rina tidak canggung menerima Lita di rumah yang bawahnya masih tanah, belum disentuh keramik, sehingga Lita tidak perlu buka sepatu. Rumah itu begitu kecil, tapi cukup rapi. Hanya ada meja makan butut dan 4 kursi plastik.

“Lita, kamu yang memaksa untuk ke rumah aku, inilah keadaan yang sebenarnya,” kata Rina dengan nada yang datar.

“Lebih baik pulang, nanti orang tua kamu cemas memikirkan anaknya,” pinta Hamdan pada Lita yang terlihat sedikit shock melihat keadaan rumah Hamdan dan Rina. Lita hanya menangis, tidak tahu harus berbuat apa. Padahal hanya karena keinginannya tidak dituruti, Lita kabur dari rumah ingin bermalam di rumah Hamdan dan Rina yang menjadi sahabat karibnya di sekolah awalnya. Tapi setelah mengetahui rumah Rina dan Hamdan, Lita mengurungkan niatnya. Lita berniat pulang hari itu juga, setelah tenang perasaannya.

“Kamu belum makan kan, kita makan bareng ya,” pinta Rina yang telah menyediakan nasi, garam dan kerupuk di atas meja bututnya. Melihat yang di hidangkan di atas meja, Lita tak ada selera makan sama sekali. Lita kabur dari rumah pun, itu karena makanan kesukaannya burger tidak disiapkan oleh mamanya.

“Aku tidak lapar kok, kalian makan saja ya,” alasan Lita pada Rina dan Hamdan.

“Maaf Lita, makanannya Cuma ini saja yang tersedia, kami tidak punya yang lainnya,” jawab Rina parau melihat sahabatnya tidak mau makan. Lita jadi kikuk, sebetulnya ia tidak enak menolak pemberian Rina. Tapi karena tidak terbiasa makan seperti itu, Lita terpaksa menolak. Makanan itu pun tidak banyak, yang seharusnya untuk berdua, di jadikan tiga oleh Rina agar Lita bisa makan.

Karena Lita tetap menolak, akhirnya Rina dan Hamdan makan berdua. Lita hanya melihat sahabatnya makan dengan lahap. Tak ada rasa kesal sedikit pun walau makanan yang dihidangkan sederhana seperti itu. Air mata Lita tiba-tiba menetes tanpa di undang melihat dua sahabatnya begitu ikhlas menerima keadaan yang sangat memprihatinkan seperti ini. Lita juga menangis karena dia merasa kurang bersyukur selama ini dengan kondisi yang sudah diberikan oleh Tuhan berupa orang tua yang bergelimang harta. Melihat wajah dua sahabat yang begitu penuh semringah walau makan dengan lauk yang tidak pantas dikatakan lauk, Lita jadi ingin menikmati makanan itu. Ingin tahu, seperti apa rasanya makan hanya dengan nasi, garam dan kerupuk. “Boleh aku makan jatahku itu?” pinta Lita malu-malu. Hamdan dan Rina terbelalak senang.

“Ayo makan, kan sudah disiapkan makanannya,” jawab Rina dan Hamdan serentak. Lita pun menerima jatah itu, awalnya ia makan dengan rasa malas, tapi melihat Rina dan Hamdan makan dengan lahap, akhirnya Lita pun bisa menikmati makan itu. Ternyata makanan yang dipiring habis tak tersisa. Baru kali ini Lita makan demikian lahap dan nikmat. Padahal lauknya tidak ada, hanya nasi, garam dan kerupuk. Tapi karena ada rasa syukur dalam batinnya, sehingga apa yang dimakan begitu nikmat.

“Lita, kamu pulang ya, kasihan orang tua, pasti cemas di rumah menunggu,” saran Hamdan lagi. Lita mengangguk setuju, ia ingin Rina dan Hamdan ikut ke rumah menemui orang tuanya agar tidak cemas dan tahu ke mana ia pergi.

Dari luar, terlihat mama Lita sedang mondar-mandir di teras depan, sesekali melihat pintu pagar, sedang menanti Lita pulang ke rumah. Kecemasan di wajahnya begitu terlihat setelah ia melirik jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 16.00. Biasanya Lita pulang pukul 14.00. Karena Lita tadi pagi kesal, ia menolak diantar mamanya berangkat sekolah. Lita bersikeras untuk jalan kaki saja, karena jarak rumah dan sekolah tidak jauh. Hanya karena sudah terbiasa diantar, jadi mama tidak tega membiarkan anaknya jalan kaki. Mendengar bunyi bell di pintu pagar, Bu Anton, mama Lita, langsung berlari menuju ke luar pintu pagar berharap itu Lita yang datang. Setelah tahu Lita yang datang, langsung Bu Anton memeluk erat anak kesayangan yang hanya satu-satunya itu.

“Mama dari tadi khawatir dengan kamu nak, kenapa bisa lama sekali baru pulang? tadi mama jemput kamu di sekolah, katanya kamu sudah pulang, tapi ketika mama sampai rumah, ternyata kamu tidak ada. Mama jadi panik nak. Jangan seperti itu lagi ya sayang,” sambil menyeka air mata yang sejak tadi mengucur dari pipi, Bu Anton langsung memberi nasehat anaknya. Lita berusaha juga menghapus air mata mamanya yang sudah banjir di pipi dengan tangan mungilnya, sambil berjanji, “Lita kabur untuk yang pertama dan terakhir, Lita tidak mau lagi bikin mama cemas dan ingin jadi anak yang baik, ma,” sambil memeluk erat pada dada mamanya seakan tidak ingin lepas.

“Ma, Hamdan dan Rina yang telah menyadarkan Lita arti bersyukur dan ikhlas,” kata Lita dengan haru, air matanya pun langsung keluar satu persatu di pipinya yang mungil. “Jika Lita tidak ke rumah mereka, mungkin Lita tidak akan pernah merasa bersyukur, Lita akan jadi seorang anak yang egois, selalu mengeluh, tidak pernah bersyukur dan juga mungkin jadi anak yang selalu menuntut dan mungkin akan jadi anak yang durhaka,” sambil menangis terbata-bata, Lita mencurahkan semua perubahan yang terjadi pada dirinya.

“Lita merasa beruntung punya sahabat seperti Rina dan Hamdan ma, dia orang baik hati dan selalu bersyukur dengan apa yang mereka miliki, mereka juga tidak pernah menuntut pada orang tuanya, walau kondisi mereka memprihatinkan,” sambung Lita kemudian. Mendengar itu semua, mama Lita terharu dan kemudian memeluk Hamdan dan Rina sebagai rasa terima kasih yang tak terhingga karena telah mengubah sikap anaknya yang tadinya begitu egois dan manja. Kini sikapnya berubah total hanya karena melihat sikap tulus dan ikhlas dari sahabatnya dalam menerima nasib yang tidak menguntungkan.

Bu Anton jadi penasaran dengan curahan Lita yang mengatakan sahabatnya Rina dan Hamdan berasal dari keluarga yang kurang beruntung, sementara penampilan mereka tidak menunjukkan bahwa mereka berasal dari keluarga yang miskin. Baju yang mereka kenakan bukan barang murah, walau terlihat agak belel. Wajah mereka pun cantik dan ganteng juga bersih, sehingga tidak ada yang menyangka mereka anak orang miskin. Karena itu juga, Lita bisa menjadi sahabat mereka. Mungkin jika di awal Lita tahu Rina dan Hamdan orang miskin belum tentu Lita mau main dengan mereka.

Akhirnya Rina dan Hamdan dipersilakan untuk masuk ke dalam rumah, sebelum mama Lita membawa mereka pulang ke rumahnya, karena telah mengantarkan Lita pulang dengan selamat.

Rina dan Hamdan pun menikmati makan sore di rumah Lita, makan bersama Bu Anton di meja makan yang mewah sangat kontras dengan meja makan yang berada di rumahnya. Hidangan yang disediakan pun sangat mewah dan beraneka macam. Sedang tadi Lita hanya di beri kerupuk dan garam sebagai lauk nasi. Rumah orang tua Lita pun sangat mewah, dengan pilar bak istana dan kolam renang di dalamnya. Rina dan Hamdan sebelumnya tidak tahu rumah Lita, begitu juga Lita tidak tahu rumah mereka.

Di dalam hati Hamdan dan Rina sebetulnya takut kehilangan sahabat yang selalu baik hati dan royal pada teman-temannya setelah tahu keberadaan kondisi rumah mereka sebenarnya.

Rina dan Hamdan di sekolah memang tidak pernah memperlihatkan bahwa mereka anak yang miskin, karena di samping mereka berwajah rupawan, pakaian mereka pun bagus dan bermerek karena ibunya yang buruh cuci suka di beri baju bekas oleh majikannya yang anaknya sepantar mereka juga. Karena itu, Rina dan Hamdan selalu menggunakan baju bekas bermerek lungsuran dari anak majikannya.

Selesai makan, Rina dan Hamdan di beri oleh-oleh banyak oleh Bu Anton sebagai rasa terima kasihnya karena telah mengantarkan Lita pulang, juga telah mengubah karakter Lita yang biasanya manja dan egois, menjadi pribadi yang peduli, ikhlas dan tidak egois lagi. Bu Anton begitu prihatin, setelah melihat langsung kondisi rumah Rina dan Hamdan. Rasanya tidak tega untuk masuk ke dalam rumah itu. Tapi karena sudah dipersilakan oleh orang tua Rina dan Hamdan, akhirnya Bu Anton masuk ke dalam.

Ternyata rumah itu penuh kehangatan, ibu Rina yang begitu sederhana, berpenampilan polos dengan gamis hitam panjang tapi garis kecantikannya masih terlihat. Begitu juga Pak Jajang orang tua Rina dan Hamdan begitu teduh, dengan jenggot tipis, dengan senyum yang selalu tersungging di pipi membuat tamu jadi kerasan berada di rumahnya.

“Maaf Bu, rumahnya seperti ini,” dengan sedikit sungkan, Pak Jajang mempersilakan Bu Anton untuk masuk.

“Justru kedatangan saya kesini saya ingin berterima kasih pada anak-anak Bapak yang sudah mengubah karakter anak saya Lita, hanya karena makanan yang dia suka lupa dihidangkan di meja makan, Lita kabur dari rumah dan sempat mampir ke rumah bapak dan ternyata justru rumah inilah yang membuat anak saya jadi berubah total sikapnya, jadi lebih baik lagi. Saya sangat bersyukur Lita sempat main ke rumah ini Pak, jadi bapak jangan berkecil hati lagi,” pungkas Bu Anton memberi sanjungan pada Pak Jajang.

“Rina, Hamdan, walau saya tahu rumah kalian, kita masih tetap bersahabat ya, jangan karena orang tuaku kaya, kalian jadi sungkan jadi sahabat saya, aku senang bersahabat dengan kalian, karena kalian selalu jadi motivasi aku untuk terus giat belajar, kalian orang-orang cerdas, Kalian sang juara di sekolah,” pinta Lita dengan menyanjung Hamdan dan Rina.

“Justru kini yang juara adalah kamu Lita, karena sudah bisa membahagiakan mama kamu dan juga sudah bisa mengubah sikap kamu yang egois, mau menang sendiri dan tidak menghargai pemberian orang tua,” sanjung Hamdan pada Lita.

“Kalian bertiga kini telah menjadi anak sang juara,” Bu Anton menambahkan. Sampai tak terasa, ternyata waktu telah malam dengar terdengar azan magrib dari masjid di dekat situ, Bu Anton pamit untuk pulang ke rumah.

Ternyata persahabatan mereka semakin kokoh tidak terkendala dengan status ekonomi yang ada pada mereka. Persahabatan yang didasari sebuah kasih sayang.