Santoso Orang Utan yang Belajar Hidup Mandiri

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Profil Penulis
Musa Hasyim
TTL: Pemalang, 07 November 1994
Pekerjaan: Guru PPKn
Prestasi: 1. Juara II lomba menulis cerpen tentang integritas oleh BPK RI

2. Juara II lomba menulis cerpen dalam rangka Hari Anti Korupsi oleh Integrity Talk

3. Juara I lomba fiksi mini oleh Writerpreneur dll
Domisili: Sleman, Yogyakarta
Premis
Santoso, orang utan Borneo jenis Pongo Pygmaeus berusia tujuh tahun belum siap dengan kelulusannya dari Sekolah Hutan 2 di mana nantinya ia harus tinggal di pulau prapelepasliaran sebagaimana orang utan lainnya yang sudah lebih dulu tamat sekolah. Fandi, sahabatnya yang pemberani memiliki kejutan spesial supaya Santoso berubah pikiran dan tidak takut kembali pulang ke habitat aslinya di alam liar.
Lakon
Santoso
Fandi
Rendi dkk
Pengasuh orang utan
Ranger hutan atau pahlawan hutan Kalimantan
Babi hutan
Tikus besar
Tempat
1. Pusat Rehabilitasi Orang Utan Nyaru Menteng Palangka Raya Kalimantan Tengah
2. Sekolah Hutan
3. Pulau Badak Besar Desa Pilang Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah
Cerpen Anak

Tidak Mau Bermain[sunting]

Orang utan mamalia yang suka bergelantungan di pohon, sumber: ilustrasi pribadi

Di waktu siang yang panas di sekitar hutan dekat Pusat Rehabilitasi Orang Utan Nyaru Menteng Palangka Raya Kalimantan Tengah, Santoso tidak seperti biasanya. Dia tidak mau turun dari pohon ulin padahal pengasuhnya mengiming-imingi buah kelapa hijau segar kesukaan Santoso. Pengasuh menaruh buah kelapa itu di atas genangan air.

Teman-teman Santoso asyik bermain air sambil berusaha mengupas kelapa, biasanya Santoso adalah orang utan pertama yang menceburkan diri di genangan air disusul oleh teman-teman lainnya. Santoso sudah berdiam diri di pohon cukup lama. Fandi, sahabat terdekatnya sesama orang utan Borneo jenis Pongo Pygmaeus mencoba mengajaknya bergabung sambil memamerkan buah kelapa miliknya di kakinya.

“San, ayo! Itu buah kelapamu nanti direbut oleh Beni,” seru Fandi dari pohon ulin sebelahnya.

“Aku sudah tidak suka buah kelapa lagi. Aku hanya ingin lebih lama di sini.”

“Apa kamu sedang sedih, San?”

Santoso tidak mau menjawab. Fandi langsung mengerti jika sahabatnya ini sedang ada masalah tapi tidak mau bercerita. Sebagai sahabat yang sudah empat tahun tinggal bersama di pusat rehabilitasi orang utan, Fandi tidak mau sahabatnya sedih terus-menerus. Fandi pun menanyakan hal ini kepada teman-teman lainnya begitu turun dari pohon.

“Apa kamu tahu kenapa Santoso terlihat murung dan tidak mau bermain?” tanya Fandi kepada Rendi.

“Aku tidak tahu, tapi menurutku semuanya berkaitan dengan kelulusannya dari Sekolah Hutan 2. Itu artinya Santoso akan dipindahkan ke tempat lain seperti yang dialami oleh Gandi, Samuel, dan Hendri.”

Setiap pagi mereka memang bersekolah. Bedanya dengan sekolah para manusia adalah orang utan tidak diberi tugas membaca dan menulis oleh gurunya. Mereka hanya dibiasakan hidup di hutan dan melakukan semua kegiatan seorang diri tanpa bantuan dari pengasuh. Tentu saja, pengasuh akan memberikan beberapa contoh supaya ditiru oleh orang utan yang pintar dan pengasuh akan selalu mengawasinya.

Menurut penelitian, gen orang utan 97 persen mirip manusia—maka tidak heran jika orang utan mudah sekali belajar dan mengingat apa yang dilakukan oleh pengasuh, seperti cara mengambil air dengan bekas batok kelapa, cara menyeberangi genangan air, membuat payung dari dedaunan untuk melindungi diri dari hujan, dan masih banyak lagi pelajaran hidup mandiri lainnya.

Para orang utan mendapat pelajaran tersebut di sekolah. Mereka tinggal di pusat rehabilitasi kira-kira selama empat sampai lima tahun lamanya, selanjutnya mereka akan latihan tinggal di pulau prapelepasliaran selama enam sampai sepuluh tahun lamanya jika lulus. Jika dinilai berhasil dan orang utan mampu beradaptasi di pulau prapelepasliaran, selanjutnya orang utan akan benar-benar dilepasliarkan ke tempat yang jauh lebih liar, habitat asli leluhur mereka.

Kebanyakan murid sekolah hutan adalah orang utan yatim piatu setelah orang tua mereka meninggal dunia akibat kerusakan hutan dan perburuan ilegal. Mereka sudah ditinggal orang tuanya sejak bayi dan harus dirawat dengan sebaik mungkin oleh para pahlawan hutan seperti kakak pengasuh, perawat, dokter, dan peneliti. Apalagi mereka adalah hewan rentan yang sangat langka dan dilindungi.

Fandi terkejut, “Kamu benar! Santoso sudah lima tahun di pusat rehabilitasi ini, beda setahun denganku. Itu artinya sebentar lagi dia akan tinggal di pulau prapelepasliaran untuk belajar hidup mandiri.” Fandi menyesal karena dia lupa hari terpenting bagi sahabatnya itu. Kali ini Fandi yang lebih sedih dari Santoso namun ia berusaha untuk tegar.

Fandi punya rencana baru. Ia akan membuat pesta kecil-kecilan sebelum hari perpisahan itu terjadi.

“Kira-kira kita akan membuat acara pesta seperti apa ya?”

“Aha! Bagaimana kalau kita melakukan ini,” jawab Rendi sambil berbisik-bisik ke telinga Fandi yang tertutup rambut cokelat panjangnya.

Kejutan Sebelum Hari Perpisahan[sunting]

Kejutan dari teman-teman Santoso berupa gunungan daun kering berisi pisang dan bunga simpur muda, sumber: ilustrasi pribadi

Fandi membawa beberapa helai daun kering dan menumpuknya di bawah pohon simpur. Selain di pohon ulin, Santoso sering bermain di pohon simpur baik ketika sedang bersedih maupun ketika sedang senang.

Rendi menaruh pisang lezat sangat banyak di bawah tumpukan daun kering. Teman-teman lainnya memetik bunga dari pohon simpur muda dan menaruhnya di bagian paling pucuk tumpukan. Bunga berwarna kuning itu membuat kejutan mirip gunungan yang menawan.

Melihat banyak sajian pisang dengan hiasan menarik, Rendi ingin memakannya. “Jangan dimakan! Kita sudah punya di kandang. Kita tidak boleh lupa, semua ini dikhususkan untuk Santoso agar kembali ceria,” seru Fendi.

Akhirnya mereka berjanji tidak akan mengambil pisang yang dihadiahkan untuk Santoso. Mereka bersembunyi di balik semak-semak begitu mendengar suara ranting kering terinjak.

“Itu pasti Santoso,” ucap Fandi dengan suara kecil. Ia takut Santoso akan mendengarnya dan batal semua rencana kejutannya hari ini.

Beberapa detik kemudian, yang datang bukanlah sosok orang utan bernama Santoso melainkan babi hutan dan tikus besar. Kedua hewan tersebut melihat ada pisang yang sangat banyak dan mereka ingin mengambilnya. Fandi langsung mencegat mereka sementara teman-temannya takut dengan mereka. Teman-temannya memilih untuk bersembunyi dan menonton apa yang akan dilakukan oleh Fandi seorang diri.

“Hey! Pisang itu punya kami, kami yang mencarinya.”

“Kalau ini punya kamu dan teman-temanmu, kenapa ditaruh sembarangan di sini. Semua yang ada di hutan adalah milik bersama. Jadi ini juga milikku,” bantah babi hutan, tikus besar mengangguk tanda setuju. Mereka satu komplotan.

“Tidak bisa. Ini akan menjadi milikmu jika buahnya belum dipetik. Kenapa kalian tidak mencarinya sendiri, masih banyak kok di hutan,” ucap Fandi dengan berani, “Aku baru ingat. Pisang ini tidak enak karena sudah ada bekas gigitan kami.” Fandi jelas berbohong demi menyelamatkan buah miliknya.

Babi hutan dan tikus besar langsung menjatuhkan buah yang akan dibawa lantas mereka pergi. Mereka tidak mau memakan buah bekas gigitan hewan lain. Fandi menang. Setelah babi hutan dan tikus besar pergi, teman-temannya yang sedari tadi bersembunyi menunjukkan batang hidung peseknya.

“Kamu berani sekali, Fandi. Aku takut dengan babi hutan,” ujar Rendi yang baru keluar dari tempat persembunyiannya seperti sedang main petak umpet.

“Suatu saat nanti juga kita akan terbiasa dengan babi hutan dan tikus besar. Apalagi kalau kita sudah lulus dari sekolah hutan. Apa kamu lupa pelajaran di sekolah hutan kemarin?” Teman-temannya diam sejenak untuk mengingat-ingat.

“Kalau begitu, aku juga kayaknya bakal seperti Santoso deh. Aku pun belum siap hidup sendiri di hutan, bertemu babi hutan dan tikus besar. Lebih enak tinggal di pusat rehabilitasi. Selain tempatnya aman, semua kebutuhan kita disediakan oleh kakak pengasuh yang baik hati, kita tidak perlu repot-repot mencari di hutan.”

“Tinggal di hutan menyenangkan juga kok. Ada lebih banyak jenis makanan di sana. Ada banyak pilihan, kita tinggal memetiknya. Tidak sedikit hewan-hewan baik di sana, ada rusa, ayam, kucing, kelinci, dan hewan-hewan baik lainnya.” Teman-teman Fandi hanya mengangguk meski mereka masih menyimpan rasa takut di relung hati terdalamnya.

Belum selesai ngomong, Fandi menyadari ada sesuatu yang datang. Fandi terlambat. Santoso datang secara tiba-tiba. Semua kejutan yang disiapkan jadi sia-sia karena orang utan berusia tujuh tahun itu sudah menyadari rencana Fandi dan kawan-kawannya itu sebelum diberi tahu. Bukan kejutan namanya kalau orang yang akan diberi kejutan sudah tahu duluan.

“Terima kasih kalian sudah menyiapkan semua ini. Aku sudah lebih baik sekarang.” Fandi tersenyum bahagia. Ternyata tidak ada yang sia-sia dari usahanya membuat kejutan kecil-kecilan untuk sahabatnya itu karena wajah Santoso menunjukkan bahwa dia terlihat lebih ceria daripada kemarin.

Hari Perpisahan[sunting]

Orang utan yang dibawa naik kelotok untuk ditempatkan di pulau prapelepasliaran, sumber: ilustrasi pribadi

Di hari kelulusan Santoso, Fandi tertidur sangat pulas di kandang. Santoso berkali-kali membangunkan sahabatnya itu namun percuma saja, apalagi kandang mereka terpisah. Santoso hanya bisa berteriak-teriak kencang dari kandangnya. Suara geledek saja mungkin tidak mampu membangunkan Fandi, hanya suara dari perut yang mampu membangunkan tidur lelapnya.

Petugas medis dan beberapa petugas lainnya sudah datang. Mereka menyiapkan kandang khusus terpisah. Perjalanan itu akan memakan waktu yang cukup lama.

Sebelum diberangkatkan dengan mobil bak terbuka, Santoso dicek kesehatannya terlebih dahulu oleh dokter hewan. Berat badannya ditimbang, suhu tubuhnya dicek, dan kondisi fisiknya dilihat. Santoso dinyatakan lulus tes kesehatan.

Pengasuh menggandeng tangan panjang Santoso supaya masuk ke kandang baru yang hampir seukuran dengan badannya. Dedaunan dijadikan alas kandang. Santoso ingin memberontak demi mengucapkan salam perpisahan kepada Fandi tapi ia tidak mau merepotkan para petugas. Jika Santoso bisa menulis seperti manusia, ia tidak perlu menyesal.

Santoso sebenarnya tidak suka masuk kandang baru itu apalagi sambil naik mobil. Ia bahkan berusaha membuka kunci kandang tapi aksinya keburu diketahui oleh petugas. Ia pasrah.

Mobil membawa Santoso ke Desa Pilang di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Perjalanan dilanjutkan dengan naik kelotok menyusuri Sungai Kahayan.

Santoso akan ditempatkan di Pulau Badak Besar, pulau yang dikhususkan untuk orang utan belajar hidup mandiri di alam liar sebelum akhirnya benar-benar dilepasliarkan di hutan liar sungguhan. Jika Santoso mampu beradaptasi di pulau tersebut, kemungkinan Santoso akan dilepasliarkan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR), namun jika tidak, Santoso akan tinggal di pulau itu sampai akhir hayatnya.

Petugas sudah siap membuka kandang Santoso begitu tiba di Pulau Badak Besar. Selama perjalanan, Santoso bermimpi bermain dengan banyak kawanan hewan hutan baik hati. Hewan-hewan yang hadir dalam mimpinya memberi Santoso dukungan bahwa tinggal di alam liar tidak buruk karena Santoso tidak akan sendirian. Kata mereka, menjadi dewasa sangat menyenangkan karena mereka bisa hidup mandiri dan tidak merepotkan orang lain.

Apa yang pengasuh ajarkan di sekolah hutan akan sangat bermanfaat bagi Santoso. Kini ia tidak bisa bermanja-manja lagi, sudah saatnya Santoso melakukan apa-apa seorang diri.

Begitu kandang dibuka, Santoso masih tertidur. Ia dibiarkan begitu saja oleh petugas. Beberapa saat kemudian, Santoso bangun juga. Ia disambut oleh kawanan orang utan lulusan sekolah hutan lainnya. Santoso awalnya malu namun ada salah satu orang utan datang mendekat, ia mengulurkan tangan panjangnya.

“Ayo main denganku. Kenalkan aku Martin. Kamu siapa?”

“Aku Santoso. Salam kenal,” Santoso masih malu-malu. Santoso tidaklah sendirian, ia dilepaskan bersama tiga orang utan lainnya yang sudah empat sampai lima tahun bersekolah di sekolah hutan dan tinggal di pusat rehabilitasi yang sama namun Santoso tidak akrab dengan mereka.

Para petugas memberikan banyak buah-buahan. Mereka mendekat, mengambil bermacam-macam buah lezat. Mereka sejatinya adalah hewan liar karena mereka berasal dari alam liar, mereka juga perlu kembali pulang ke tempat asal mereka, bukan ke kandang untuk dijadikan hewan peliharaan, sirkus, atau dijualbelikan.

Santoso sudah lupa detail kejadian saat ia pertama kali ditemukan oleh ranger hutan di usianya yang bahkan belum genap dua tahun. Ia terpisah dari orang tuanya ketika para penjahat membakar beberapa pohon rindang untuk digantikan dengan pohon sawit. Sementara Santoso hampir dibawa ke luar negeri untuk dijual. Kini ia kembali ke hutan yang sudah pulih. Kini ia sudah dianggap besar, bukan bayi lagi dan sudah saatnya ia melakukan semua kegiatan seorang diri tanpa bantuan pengasuh.

Kini Santoso adalah penjaga hutan. Ia tidak ingin ada Santoso-Santoso lain yang senasib dengannya. Ia siap bertanggung jawab untuk hutan yang lebih layak huni. Suatu saat kelak, jika sudah dewasa, Santoso siap tinggal di alam yang lebih liar. Santoso tak sabar menunggu Fandi sahabatnya datang sehingga mereka bisa bermain dan saling menjaga hutan bersama.


TAMAT