Segelas Kental Manis di Toilet Kamarku

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Kategori[sunting]

Cerita Pendek Anak

Penulis[sunting]

Nafisah. Sehari-hari bekerja sebagai Dosen Bahasa Indonesia di Universitas Islam Negeri Walisongo. Sebelum hijrah ke Semarang, menimba ilmu pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada. Sejak 2012 mulai menulis cerita-cerita pendek dan menggeluti dunia penyuntingan. Bisa berkorespondensi melalui surel nafisah@walisongo.ac.id.

Tema[sunting]

Literasi yang meliputi numerasi dan finansial

Premis[sunting]

Arina, seorang anak perempuan yang setiap pagi meminum kental manis buatan ibunya. Suatu pagi di akhir pekan, sang ibu tidak ada di rumah. Hasrat Arina yang menggebu-gebu untuk segera meminum segelas kental manis membuatnya melanggar larangan ibunya.

Lakon[sunting]

  1. Arina
  2. Ibu Arina

Cerita Pendek[sunting]

Di ruang tengah tidak ada Ibu. Kucari lagi ke dapur, ke teras rumah, sampai ke kebun di samping rumah tempat Ibu biasa menanam bumbu-bumbu dapur juga tidak ada. Oh, barangkali Ibu ada panggilan mendadak dari kepala sekolahnya sehingga harus berangkat pagi-pagi sekali di akhir pekan ini. Aku kembali ke tempat tidurku dan mengambil buku-buku cerita yang sudah belasan kali kubaca ulang sebab tak ada buku baru untukku.

Aku sudah menamatkan buku-buku ini masing-masing dua kali pagi ini. Tetapi Ibu tak kunjung pulang. Perutku lapar. Sejak tadi sudah berbunyi tak karuan. Aku menuju dapur untuk melihat tudung saji. Barangkali tadi pagi Ibu sempat membuatkan nasi goreng kesukaanku.

Ah, ternyata tudung sajinya masih kosong.

***

Aku kemudian berjalan ke ruang tengah, mengecek isi kulkas. Siapa tahu ada makanan instan yang bisa kumakan. Atau paling tidak cemilan untuk mengganjal perut.

Lagi-lagi mengecewakan. Rak paling atas kulkasku penuh dengan daging-daging kurban yang disimpan Ibu sejak Idul Adha kemarin. Rak kedua terisi bawang-bawangan yang sudah dikupas Ibu dan disimpan dalam wadah-wadah plastik bening. Ada bawang merah kupas, bawang putih kupas, juga beberapa jenis cabai. Keluarga kami memang pencinta pedas. Aku tidak pernah melihat Ibu makan tanpa ada cabai sebagai pelengkapnya. Pantas saja, cabai-cabai ibu beragam bentuknya. Di wadah paling bawah ada cabai merah keriting yang tinggal separuh, di atasnya ada cabai hijau besar yang masih penuh. Cabai hijau besar ini biasanya dipakai Ibu untuk membuat itiak lado mudo kesukaanku. Di urutan ketiga ibu menyimpan cabai setan. Cabai ini yang selalu melengkapi sajian di meja makan kami saat Ibu memasak ayam geprek. Aku kemudian jongkok di depan kulkas untuk melihat isi rak ketiga dan keempat. Di rak ketiga, aku temukan kecap-kecapan, saos-saosan, dan bumbu-bumbu masak lainnya. Lalu di rak keempat ibu menyimpan ikan-ikan kering. Aku lalu menyudahi kegiatanku melihat-lihat isi kulkas karena tidak menemukan apapun yang bisa kumakan. Tapi saat hendak menutup kulkas, mataku langsung berbinar karena di pintu kulkas ternyata ada kental manis kesukaanku. Kental manis itu langsung kuambil dan kubawa ke dapur dengan riang.

***

Aku kemudian mengambil gelas yang biasa digunakan Ibu untuk membuatkanku kental manis. Ibu sering sekali membujukku agar berhenti minum kental manis dan menggantinya dengan susu segar atau UHT. Sudah tidak bisa kuhitung berapa jenama susu segar dan UHT yang pernah ditawarkan Ibu kepadaku. Tapi satu pun tidak ada yang aku suka. Menurutku rasanya terlalu hambar, tetapi jika ditambahkan gula rasanya akan aneh. Ibu akhirnya mengalah dan tidak pernah lagi menawariku susu segar dan UHT. Ibu membiarkanku meminum kental manis setiap pagi. Sebagai gantinya, ibu selalu mengingatkanku untuk mengurangi makan makanan manis.

Gelas kuletakkan di samping wastafel. Aku kemudian mengisi gelas itu dengan kental manis. Awalnya kaleng kental manis kupegang sendiri. Akan tetapi, ternyata gelasku penuhnya lama sekali. Maka kuisi gelas itu dengan menyandarkan kaleng kental manis ke rak di samping wastafelku agar tidak jatuh. Pun, tanganku juga tidak terlalu pegal menunggu gelasku penuh. Aku menunggu di depan gelas sudah tiga puluh menit. Gelas yang terisi baru tujuh per delapannya saja. Masih kutunggui sebab aku suka sekali minum dengan isi gelas yang hampir penuh hingga menyentuh permukaannya. Tidak sedetik pun aku lalai menunggui gelasku. Sebab aku tidak ingin melewatkan kesempatan pertama membuat kental manis sendiri.

Kental manis hampir menyentuh permukaan. Langsung kuletakkan lagi kalengnya ke kulkas di tempat semula. Tidak lupa kuatur bagian yang menghadap ke depan persis sama dengan posisi sebelum kuambil, yakni sisi yang menunjukkan jenama dari kental manis itu. Setelah rapi seperti semula, aku menuju kamar untuk meminum kental manisku.

***

Aku meletakkan kental manis di meja belajarku. Kemudian menarik kursi dan siap melahapnya. Aku tersedak. Kental manisku memenuhi mulut hingga membuatku ingin muntah.

Ini berbeda sekali dengan kental manis buatan ibu! Kental manis buatan Ibu dapat dengan mudah kuminum seperti meminum air putih. Mengapa kental manis buatanku ini membuatku ingin muntah tak karuan?

Aku kemudian buru-buru ke toilet untuk kumur-kumur. Langit-langit mulutku terasa ngilu. Aku kumur berkali-kali. Setelah agak enakan, aku kemudian mengambil segelas kental manis tadi dan membuangnya di toilet kamarku.

Belum sampai semua kental manis terbuang, kamarku diketuk Ibu. Sepertinya Ibu sudah pulang. Sungguh, waktu yang tidak tepat!

“Kakak, ibu bawakan snack ini. Tadi di kantor ada lemburan dan sisa snack-nya banyak sekali!”

Ibu langsung melongo ke toilet yang pintunya terbuka sebab tidak menemukanku di kasur atau di meja belajar. Ibu terkejut mendapati di tanganku ada gelas berisi sisa-sisa kental manis.

“Loh kakak kenapa dibuang kental manisnya?”

“Kakak bikin kental manis sendiri?”

“Ibu kan sudah bilang jangan bikin kental manis sendiri. Kamu tidak tahu takarannya. Biarkan ibu saja yang membuatkan kental manis untukmu.”

Ibu mencercaku dengan berbagai pertanyaan. Aku diam saja. Mematung.

Setelah selesai dengan pertanyaan-pertanyaannya, aku kemudian dibawa Ibu ke ruang tengah. Aku duduk menunggu Ibu mengambil kaleng kental manis di kulkas.

“Kakak lihat ini kalengnya hampir kosong?”

“Kakak tahu tidak, kental manis ini baru Ibu beli dua hari yang lalu. Biasanya 1 kaleng kental manis dengan berat 370 gram ini cukup untuk membuatkan kakak minuman selama dua minggu. Ini belum genap satu minggu bahkan kalengnya sudah hampir kosong.”

Aku terdiam. Aku tahu sekali bagaimana ibu berjuang membesarkan kami anak-anaknya. Ibu bekerja pagi hingga siang sebagai guru. Sorenya, ibu berjualan gorengan kecil-kecilan di teras rumah kami.

“Maafkan aku, Ibu. Aku tidak tahu jika ternyata membuat kental manis harus dicampur dengan air. Aku pikir segelas kental manis itu benar-benar cukup menuang dari kalengnya saja. Maaf, Ibu.”

“Ibu juga salah tidak pernah mengajarimu cara membuat kental manis yang benar. Tapi ibu pikir, belum waktunya kamu menyiapkan makanan dan minumanmu sendiri. Ibu ingin setiap pagi kamu hanya fokus menyiapkan diri untuk berangkat sekolah. Urusan makan dan minumanmu biarlah Ibu saja.”

“Tapi ternyata ibu keliru. Harusnya kamu perlu tahu hal-hal kecil seperti ini.”

Aku mengangguk setuju. Aku kemudian memeluk Ibu untuk meminta maaf lagi.

Ibu balik memelukku lalu mencium keningku.

***

“Tapi, kamu sudah melanggar aturan yang ibu berikan. Ibu sudah ingatkan untuk tidak membuat kental manis sendiri. Kamu tetap melakukannya saat Ibu tidak ada di rumah.”

“Tapi aku sangat ingin minum kental manis, Bu.”

“Ibu tahu, Sayang. Tapi terkadang kita harus belajar menahan keinginan-keinginan kita. Tidak semua keinginan harus kita dapatkan di waktu itu juga. Perlu dipertimbangkan baik dan buruknya terlebih dahulu.”

“Iya, Ibu. Aku minta maaf.”

Entah sudah berapa kali keluar ucapan maafku kepada Ibu.

“Karena kesalahan yang kamu perbuat, akhirnya sekaleng kental manis kita habis, jadi Ibu akan memotong setengah dari uang jajanmu selama dua minggu. Jumlah harinya sesuai dengan waktu seharusnya sekaleng kental manis ini habis.”

“Berarti selama dua minggu ke depan jajanku cuma Rp3.500, Bu?”

“Ya, betul! Jajan Rp3.500 dan tidak ada kental manis selama dua minggu ke depan!” kata Ibu sambil meledekku.

Aku merengut kepada Ibu. Tapi Ibu tetap dengan keputusannya.

“Ya sudah, ibu masak dulu. Sudah lapar, kan?”

Aku mengangguk pelan dan menatap sendu sekaleng kental manis yang hampir kosong di depanku.

Keterangan[sunting]

Karya ini diikutsertakan dalam Proyek Yuwana kategori Cerita Pendek Anak.