Sejarah/Pajang

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sejarah[sunting]

Ideologi[sunting]

Adiwijaya (Joko Tingkir / Panji Mas / Mas Krebet) telah naik menggantikan kedudukan Demak. Ia memindahkan pusat pemerintahannya ke tempat ia berkuasa semula, yaitu Pajang, dekat Solo. Artinya, pindahlah pusat kekuasaan Islam di Jawa dari negeri pinggir lautan ke pedalaman. Adat istiadat yang lama, kepercayaan Hindu - Buddha yang telah sangat mendalam, tidaklah dapat digantikan begitu saja oleh kepercayaan Tauhid sebagai pokok ajaran Islam. Jika pada zaman Kartanegara, Raja Singasari, telah menggabungkan ajaran agama Shiwa dengan agama Buddha, untuk memudahkan beliau dalam memerintah rakyat, zaman Pajang juga demikian. Diusahakan pulalah mencari persesuaian antara Islam tauhid dengan Shiwa Buddha yang dari Singasari dirawat oleh Majapahit.

Untuk mencapai maksud ini, memang telah ada pula persediaannya dalam lingkungan Islam sendiri, yaitu ajaran tasawuf Wihddatul Wujud. Ditambah lagi dengan pengaruh Syi'ah Isma'iliyah (kaum batiniyah). Bahaya inilah yang ditakuti oleh Sunan Kudus sehingga ia berusaha membunuh Ki Kebo Kenongo (Ki Ageng Pangking), ayah Adiwijaya, pelopor pertama ajaran ini.

Kaum Syi'ah banyak mempunyai kepercayaan bahwa ini terjadi dari nur Muhammad. Dan nur Muhammad adalah penjelmaan dari Allah. Nur Muhammad menjelma ke dalam makhluknya, mulai dari Adam sampai pada nabi yang lain, dan akhirnya sampai kepada Muhammad. Nanti, kelak menjelma lagi dalam diri imam Syi'ah, mulai dari Ali Ibnu Abi Thalib, Hasan Ibnu Ali, Husin Ibnu Ali, Ali Zainal Abidin, dan seterusnya. Akhirnya terus sampai pada imam ke-12. Dan terus lagi pada akhir zaman sebagai Imam Mahdi, raja adil. Nur Muhammad ini tidaklah putus-putus datangnya sampai dibangkitkan Imam Mahdi. Itulah ia para Quthub, yaitu paku dunia ini. Raja-raja Jawa pada hakikatnya adalah Quthub. Pada dirinya terjelma nur Muhammad, dan ia pun adalah wali dan juga sunan, seperti para wali - sunan yang sembilan.

Inilah dasar filsafat negara setelah pemindahan kekuasaan dari Demak ke Pajang. Ini pulah dasar yang diperkukuh oleh Mataram kemudian, terutama pada zaman Sultan Agung. Ini semua sesuai dengan dasar kepercayaan yang telah ada terlebih dahulu karena pengaruh agama Buddha, yang membuat Raja Airlangga dipandang sebagai titisan Dewa Wisnu, dan raja-raja Majapahit seperti titias Shiwa dan Buddha. Setelah Islam, raja-raja Pajang dan Mataram dipandang sebagai titisan nur Muhammad. Amangkurat artinya yang memangku dunia ini, atau Paku Buwono, yang menjadi Quthub dari alam seluruhnya.

Perluasan Wilayah[sunting]

Adiwijaya berusaha menanamkan pengaruhnya ke daerah-daerah (monco negoro) yang dahulunya ada di bawah kekuasaan Demak.

Sedayu, Gresik, Surabaya dan Paguruan semuanya di bawah kekuasaan Pangeran Langgar (menantu almarhum Sultan Trenggono, bupati daerah tersebut). Pangeran Langgar dihasut oleh Pajang agar melawan dan melepaskan diri. Lalu Pangeran Langgar diangkat sebagai Bupati Surabaya, sedangkan Panji Wiryo Kromo diangkat menjadi adipati keempat daerah itu. Kemudian, Taban, Pali, Demak, Pemalang, Parbojo (Madiun), Blitar, Banyumas, Krapyak (Kedu Selatan) dan Mataram (Yogya) mengakui dibawah pertuanan Pajang.

Kebupatian Mataram[sunting]

Diantara sekian banyak bupati tersebut, Bupati Mataram (Ki Gede Pamanahan) mendapat kedudukan istimewa. Ia juga merangkap jabatan sebagai kepala prajurit pengawal pribadi Adiwijaya. Jabatan itu diberikan kepadanya karena jasanya memberikan bantuan ketia menyingkirkan Aria Penangsang, pewaris tahta sah Kerajaan Demak. Pusat kebupatian Mataram berada di Kota Gede, dekat Yogya sekarang.

Perhubungan Ki Gede Pamanahan secara pribadi amat rapat dengan Adiwijaya sehingga putra Ki Gede yang bernama Raden Bagus (Sutowijaya / Pangeran Ngabehi Lor Ing Pasar) diangkat oleh Panembahan Adiwijaya menjadi anak angkat karena sangat disayangnya. Di antara Sutowijaya, terjadi pula persahabatan yang amat akrab dengan putra panembahan yang berhak menggantikan baginda jika baginda meninggal, yaitu Putra Mahkota Pangeran Banowo. Karena Sutowijaya diangkat anak oleh panembahan dan bersahabat karib pula dengan Putra Mahkota Banowo, dengan sendirinya hidupnya lebih banyak di Istana Pajang. Sehingga seakan-akan dirasakan bahwa antara Pajang dan Mataram adalah satu keluarga juga.

Pada tahun 1575, wafatlah Ki Gede Pamanahan. Segala jabatan ayahnya diberikan kepada Raden Bagus. Panembahan mengangkat Raden Bagus menjadi bupati untuk Mataram dan menjadi kepala prajurit pengawal pribadi baginda. Akhirnya dinaikkan menjadi panglima perang, dan diberi gelar Senopati.

Perang Mataram - Pajang[sunting]

Akan tetapi, rupanya, Senopati lebih besar dan mempunyai cita-cita tinggi, sesuatu yang tidak disangka oleh Panembahan Adiwijaya. Jabatan yang diberikan kepadanya telah dipergunakannya dengan sebaik-baiknya. Selain menguasai tentara di Pajang, Senopati juga menguasai tentara pengawal pribadi Panembahan di Mataram. Senopati bercita-cita hendak menaklukan seluruh Tanah Jawa.

Panembahan Adiwijaya menangkap ipar Senopati untuk dibuang ke Semarang, namun Senopati datang dengan tentara yang kuat untuk membebaskan iparnya dari tahanan. Murkalah panembahan, lalu dikirim tentara untuk menaklukannya. Akan tetapi, tentara Mataram rupanya lebih kuat. Tentara Pajang terdesak terus menerus. Akhirnya, Panembahan tampil ke medan perang, hendak menundukkan putra angkatnya sendiri. Sayang, dalam perang itulah Panembahan meninggal pada 1582.

Kesultanan Mataram[sunting]

Keturunan-keturunan Sultan Terenggono di Demak masih merasa bahwa merekalah yang berhak menjadi sultan dan wajiblah kemegahan Demak sebagai pusat Islam dikembalikan ke Demak. Oleh karena itu, setelah Panembahan Adiwijaya meninggal, mereka mengangkat Aria Pangiri menjadi Sultan Demak.

Senopati, kepada umum, ia menyatakan bahwa ia tidak ingin menjadi sultan, tetapi ia hendak mengembalikan hak kepada yang empunya, yaitu Pangeran Banowo. Sementara itu, dengan terburu-buru, Aria Pangiri mengambil sepertiga sawah orang Pajang lalu diserahkannya kepada orang Demak. Datanglah orang Pajang mengadu kepada Senopati.

Sawah-sawah orang Pajang dapat kembali. Aria Pangiri tidak mempunyai cukup kekuatan untuk menangkis serangan Senopati. Pengikutnya tidak banyak, ketika ia ditawan, tidak ada lagi yang membelanya. Syukurlah, istri Senopati membelanya sehingga Aria Pangiri tidak jadi dibunuh. Ia diizinkan pulang kembali ke Pajang, menjadi bupati, bukan menjadi sultan. Namun, ia mencoba memberontak sekali lagi. Ia gagal, lalu melarikan diri ke Banten.

Setelah saingan utamanya, Aria Pangiri, tersingkir, Pangeran Banowo menjadi sadar bahwa untuk keselamatan dirinya dan negerinya, lebih baik ia mengaku tunduk saja kepada Senopati. Dengan sukarela akhirnya Kesultanan Pajang dan segala alat kebesaran pusaka Majapahit dalam istana Pajang diserahkan kepada Senopati. Kekuasaan pindah ke Mataram.

Referensi[sunting]

  • Prof. Dr. Hamka (2016) "Sejarah Umat Islam : Pra-kenabian hingga Islam di Nusantara" Jakarta : Gema Insani.