Lompat ke isi

Sejarah Filipina/Bab 9

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Bab IX
Perang Belanda dan Moro. 1600–1663

Hilangnya Kekuatan Angkatan Laut Spanyol dan Portugal

[sunting]

Perebutan Portugal oleh Philip II pada 1580 adalah bencana yang berdampak pada Portugal dan Spanyol. Bagi Portugal, peristiwa tersebut melucuti dan menghilangkan kekuatan kolonial. Spanyol tak sebanding dengan tugas pertahnan kekuasaan Portugis, dan keiriannya terhadap kemakmuran mereka nampak menyebabkan campur tangan kepentingan mereka dan memperkenankan penurunan mereka. Pada suatu hari, Portugal kehilangan kekuasaan angkatan laut yang mula-mula mendapatkan jalan menuju Hindia. Beberapa ratus kapal Portugis, ribuan meriam dan sejumlah besar uang didapatkan oleh Spanyol pada aneksasi Portugal, Kebanyakan kapal yang bernasib buruk datang ke Selat Inggris dengan Armada Besar.

Kala kabar mengerikan penghancuran persenjataan kuat tersebut, yang diharapkan oleh Spanyol untuk menaklukan dan melucuti Inggris, datang ke Escorial, istana besar tempat selama bertahun-tahun raja yang telah hengkang, Philip II, agar orang asing, yang tak pernah memutuskan menang atau kalah, singkatnya dilaporkan berujar, “Aku berterima kasih pada Tuhan bahwa aku memiliki kekuasaan untuk menggantikan kehilangan tersebut.” Ia sepenuhnya keliru. Kekalahan tak pernah dapat membuat kebaikan. Angkatan Laut Spanyol dan Portugal tak pernah sepenuhnya terbangun kembali. Pada tahun tersebut (1588), ketangguhan di laut beralih ke Inggris dan Belanda.

Belanda Menjadi Negara Merdeka

[sunting]

Siapa itu Belanda, atau Hollanders? Bagaimana mereka datang untuk merangsek dari Spanyol dan Portugal menajdi kekaisaran kolonial, yang mereka himpun saat ini tanpa kehilangan makmuran atau bukti penurunan? Di utara Eropa, menghadap Laut Utara, adalah dataran rendah kaya yang dilalui oleh sungai-sungai dan terbasuh jauh ke pelosoknya oleh air pasang, yang dikenal sebagai Holland, Negara-negara dataran rendah, atau Belanda. Masyarakatnya pernah dikenal akrena industri dan kerja keras mereka. Dalam manufaktur dan perdagangan pada Akhir Abad Pertengahan, mereka jauh berdiri memimpin di Eropa utara. Kota-kota mereka ulet, sangat makmur dan sangat bersih.

Mereka menjelaskan fakta suksusi yang dialami wilayah tersebut kala menjadi wilaayh raja Spanyol, Kaisar Charles Kelima. Negara-negara dataran rendah seringkali sangat dihargai oleh Charles, dan di samping pergesekan kekuasaannya, ia memegang dampak dan kesetiaan mereka sampai kematiannya. Wilayah tersebut berada di kota Antwerp tempat ia resmi menyerahkan kekuasaannya pada putranya, Philip II, dan, sebagaimana dituturkan oleh sejarawan kontemporer, upacara pemberlakuan dan tunggal tersebut disaksikan dengan setiap tanda kesetiaan oleh majelis.

Pemberontakan

[sunting]

Namun, penekanan dan penindasan masa kekuasaan Philip menggerakkan masyarakat untuk memberontak. Belanda menganut agama Protestan, dan kala, selain penekanan, intimidasi pergesekan prajurit Spanyol, dan pelanggaran janji kedaulatan, Philip memberlakukan agar lembaga mengerikan dan tanpa ampun, Inkuisisi Spanyol, Negara-negara Dataran Rendah menghadapi tiran dalam semangat pemberontakan.

Perang, yang dimulai pada 1556, berlangsung selama bertahun-tahun. Terdapat kekejaman, dan penjarahan kota yang disertai oleh penjagalan. Pada 1575, tujuh wilayah Belanda menyatakan kemerdekaan mereka, dan membentuk republik Belanda. Disamping upaya Spanyol untuk menaklukan kembali wilayah tersebut berlanjut sampai akhir abad, kemerdekaan tersebut diraih beberapa tahun sebelumnya.

Perdagangan antara Portugal dan Belanda Dilarang

[sunting]

Sebagian besar perdagangan Negara-negara dataran rendah terjadi dengan Lisbon. Portugis tak mendistribusikan produk-produk yang mereka bawa dari Hindia ke Eropa. Para pedagang asing berjualan di Lisbon dan membangun gudang-gudang di wilayah lain, dan tingkat paling besar jasa tersebut dilakukan oleh Belanda. Namun kala aneksasi Portugal, Philip melarang seluruh perdaagngan dan komerisal antar dua negara tersebut. Dengan tindakan tersebut, Belanda, yang mengambil perdagangan mereka di Lisbon, menghadapi alternatif keruntuhan komersial atau meraih produk-produk Timur untuk diri mereka sendiri. Mereka memilih pilihan terakhir dengan segala resikonya. Ini kemudian dimungkinkan lewat penghancuran Armada.

Penjelajahan Belanda ke Hindia

[sunting]

Pada 1595, penjelajahan perdana mereka, yang dipimpin oleh Cornelius Houtman, berlayar di galleon Portugis, mengitari Tanjung Harapan dan memasuki domain Hindia. Titik tujuannya adalah Jawa, tempat aliansi dibentuk dengan para pangeran pribumi dan mengamankan kargo lada. Dua hal yang ditunjukkan lewat pemulangan aman armada tersebut,—kekayaan besar dan laba perdagangan Hindia, dan ketidakmampuan Spanyol dan Portugal untuk menghimpun monopoli mereka.

Pada 1598, para pedagang Amsterdam mengalahkan armada gabungan Spanyol dan Portugis di Timur, dan pemukiman dagang dihimpun di Jawa dan Johore. Pada 1605, mereka menghimpun pabrik-pabrik mereka di Amboina dan Tidor.

Dampak Keberhasilan Belanda

[sunting]

Monopoli eksklusif atas perairan Samudra Pasifik dan Hindia, yang dikuasai Portugal dan Spanyol selama seabad, telah terkoyak. Dengan keterlibatan Takhta Roma, mereka berniat untuk membagi Dunia Baru dan Dunia Timur di antara mereka. Upaya tersebut kini berlalu. Mereka mengklaim hak untuk dikecualikan dari sebagian besar samudra yang mereka temukan dengan kapal-kapal dari setiap bangsa lainnya yang mereka miliki.

Doktrin dalam Sejarah Hukum Internasional dikenal sebagai mare clausum, atau “laut tertutup.” Ledakan kematian pada dominasi tersebut diberikan oleh masuknya Belanda ke Hindia, dan ini bukanlah bertepatan dengan kala mereka temukan doktrin laut tertutup itu sendiri yang dilayari secara ilmiah, beberapa tahun kemudian, oleh yuris Belanda besar, Grotius, pendiri sistem hukum internasional dalam karyanya, De Libero Mare.

Metode Dagang Belanda

[sunting]

Belanda tak membuat upaya di Hindia untuk mendirikan koloni besar untuk dominasi politik dan pemindahan agama. Perdagangan adalah tujuan tunggal mereka. Kebijakan mereka adalah untuk membentuk aliansi dengan penguasa pribumi, berjanji membantu mereka melawan kekuasaan Portugis atau Spanyol dengan balasan hak khusus perdagangan. Dengan ini, mereka menjadi lebih sukses.

Pada 1602, mereka meminta ijin untuk mendirikan pabrik di Bantam, pulau Jawa. Tempat tersebut kemudian menjadi titik dagang menonjol. “Tionghoa, Arab, Persia, Moor, Turki, Malabar, Peguan, dan pedagang dari seluruh bangsa bergerak disana.” Tujuan utama perdagangan tersebut adalah lada.

Karakter perjanjian yang dibuat oleh Belanda dengan raja Bantam dituturkan oleh Raffles. “Belanda mencoba membantunya melawan invasi asing, terutama Spanyol dan Portugis; dan raja tersebut, di pihaknya, sepakat untuk membuat benteng bagus dan kuat kepada Belanda, perdagangan bebas dan keamanan untuk “orang-orang dan harta benda mereka tanpa pembayaran tugas atau pajak apapun, dan tak memperkenankan bangsa Eropa lain untuk berdagang atau bermukim di wilayahnya.”

Penjelajahan Spanyol melawan Belanda di Maluku

[sunting]

Namun, Spanyol tak membiarkan lahan tersebut dikuasai musuh baru tanpa perjuangan, dan konflik mengisi sejarah abad kedelapan belas. Kala Belanda mengusir Portugis dari Amboina dan Tidor pada Februari 1605, sebagian besar Portugis datang ke Filipina dan masuk pasukan Spanyol. Sang gubernur, Don Pedro Bravo de Acuña, mengisinya dengan keuntungan pada kehilangan wilayah penting tersebut, dengan kegiatan besar mengorganisir penjelajahan untuk penaklukan mereka.

Pada tahun sebelumnya, delapan ratus pasukan didatangkan dari Spanyol, dua ratus dari mereka adalah pribumi Meksiko. Kemudian, Acuña dapat menghimpun armada kuat yang mengerahkan tujuh puluh lima buah artileri dan mengangkut seribu empat ratus Sapnyol dan seribu enam ratus Indian. Armada tersebut berlayar pada Januari 1606. Tidor direbut tanpa perlawanan dan pabrik Belanda dirampas, dengan sejumlah besar uang, barang dan senjata. Spanyol kemudian menyerang Ternate; benteng dan plaza dibombardir, dan kemudian kota tersebut diterpa oleh badai.

Kemudian, pada akhirnya penyertaan pertualangan tersebut yang terjadi selama nyaris eabad telah menginspirasi ambisi Spanyol, yang mengerahkan armada Magellan, yang mengangkut penjelajahan Loyasa dan Villalobos, karena Spanyol di Filipina telah menyiapkan penjelajahan demi penjelajahan, dan karena Gubernur Dasmariñas telah mengorbankan nyawanya. Pada akhirnya, Maluku direbut oleh pasukan Spanyol.

Penaklukan Armada Belanda di Mariveles

[sunting]

Namun, sejauh dari penglihatan musuh mereka, tindakan tersebut membawa Belanda menuju Filipina. Pada 1609, Juan de Silva menjadi gubernur Kepulauan tersebut. Pada tahun yang sama, laksamana Belanda, Wittert, datang dengan sebuah skuadron. Setelah serangan gagal di Iloilo, armada Belanda berlabuh di lepas Mariveles, untuk merebut kapal-kapal yang datang untuk berdagang di Manila.

Di tempat tersebut, pada 25 April 1610, armada Spanyol, yang bersiap sedia di Cavite, menyerang Belanda, menewaskan laksaman dan merebut seluruh kapal kecuali satu, dua ratus lima puluh tahanan, dan sejumlah besar perak dan pernak-pernik. Para tahanan tersebut nampak diperlakukan lebih baik ketimbang tahanan dari armada Van Noort, yang digantung di Cavite. Korban luka dikatakan dirawat, dan para frater dari seluruh ordo keagamaan diundang dengan satu sama lain untuk memindahkan agama “para pembajak Protestan” dari kesesatan mereka.

Sebuah Penjelajahan melawan Belanda di Jawa

[sunting]

Spanyol membuat jejak perang Eropanya dengan Belanda pada 1609, namun penghentian pertikaian tersebut tak pernah diakui di Timur. Kolonis Belanda dan Sapnyol terus berperang dan bertikai satu sama lain sampai akhir abad tersebut. Didorong oleh kemenangannya atas Wittert, Silva bernegosiasi dengan sekutu Portugis di Goa, India, untuk mengusir Belanda dari Jawa. Skuadron kuat berlayar dari Cavite pada 1616 untuk keperluan tersebut. Ini adalah armada terbesar yang sampai hari ini pernah dikerahkan di Filipina. Namun, penjelajahan tersebut gagal untuk bersatu dengan sekutu Portugis mereka. Pada April, Silva meninggal di Malaka akibat demam malignant.

Armada Belanda

[sunting]

Pertempuran dekat Corregidor

[sunting]

Armada kembali ke Cavite untuk mendapati kota tersebut, sesambil melucuti prajurit dan artileri, yang telah berada dalam demam kekhawatiran dan penangkapan atas pihak kapal-kapal Belanda. Mereka adalah orang-orang dari Laksamana Spilbergen, yang datang lewat jalan Selat Magellan dan Pasifik. Ia meninggalkan kami catatan Selat San Bernadino, yang direproduksi disini. Spilbergen membombardir Ilolio dan kemudian berlayar ke Maluku.

Setahun kemudian, ia kembali, menemui armada Sapnyol dari tujuh galleon dan dua gallera dekat Manila dan mengalami kekalahan besar. Pertempuran demulai dengan penyalaan meriam pada Jumat, 13 April, dan terus terjadi sepanjang hari. Pada keesokan harinya, kapal-kapal datang mendekati wilayah, Spanyol menghampiri kapal-kapal Belanda, dan pertempuran terjadi dengan pedang.

Belanda melampaui keadaan. Mungkin jumlah mereka lebih sedikit. Relacion menyatakan bahwa mereka memiliki empat belas galleon, namun catatan lainnya menyebut angka sepuluh, tiga kapal dihancurkan atau direbut oleh Spanyol. Salah satunya, kapal indah, “Surya Belanda,” dibakar. Perlawanan tersebut dikenal sebagai pertempuran Playa Honda. Pertikaian lain terjadi di perairan yang sama dari Corregidor, pada akhir 1624, kala armada Belanda bergerak tanpa kehilangan serius di pihak manapun.

Belanda Menaklukan Kapal-kapal Jung Tiongkok, dan Galleon

[sunting]

Namun meskipun selama bertahun-tahun campur tangan, armada Belanda terus datang, baik lewat Tanjung Harapan maupun lewat Selat Magellan. Pasukan yang datang menyeberangi pasiifik nyaris merangseki Selat San Bernadino, mengamankan tujuan-tujuan segar yang diinginkan untuk mereka usai pelayaran panjang mereka.

Penghargaan yang mereka buat dari kapal-kapal Tionghoa, melewati Corregidor menuju Manila, memberikan kami gagasan bagaimana Spanyol di Filipina bergerak ke Tiongkok untuk pasokan pangan mereka. Kapal-kapal jung, atau “champan,” secara berkelanjutan melintasi Corregidor, membawa serta ayam, babi, beras, gula, dan barang lainnya.

Galleon Meksiko seringkali dihancurkan atau direbut oleh armada Belanda. pada suatu waktu, rute Selat San Bernadino telah ditinggalkan, galleon-galleon mencapai Manila lewat jalan Tanjung Engano, atau terkadang mendarat di Cagayan, dan lebih dari sekali bergerak ke pesisir sisi Pasifik dari pulau tersebut, di Binangonan de Lampon.

Belanda di Formosa

[sunting]

Belanda juga membuat upaya berulang untuk merangseki pemukiman dan perdagangan Portugal di Tiongkok. Pada awal 1557, Portugis mendirikan pemukiman di pulau Makau, salah satu dari sejumlah islet yang melingkupi wilayah sungai Kanton. Ini adalah pemukiman Eropa tertua di Tiongkok dan terus menerus dikuasai oleh Portugis sampai saat ini, kala tempat tersebut nyaris menjadi persinggahan terakhir yang sempat dipegang kekaisaran Portugis di Timur. Tempat tersebut sebagian besar dirangseki oleh Belanda karena pengaruhnya dalam perdagangan dengan Kanton dan Fukien.

Pada 1622, armada dari Jawa bergerak mengepung Makau, dan, dipukul mundur, berlayar ke Kepulauan Pescadores, tempat mereka membangun benteng dan pos, yang mengancam perdagangan Portugis dengan Jepang dan perdagangan Manila dengan Amoy. Dua tahun kemudian, kala pemadatan pemerintah Tiongkok, Belanda melepaskan pemukiman mereka ke Formosa, tempat mereka memecah stasiun-stasiun misi Spanyol dan memegang pulau tersebut selama tiga puluh lima tahun berturut-turut. Kemudian, sepanjang seabad, kekuatan Eropa bertikai dan menyerbu satu sama lain, namun tak ada satupun dari mereka yang kuat untuk mengusir pihak lainnya dari Timur.

Koloni-koloni Portugis

[sunting]

Pada 1640, kerajaan Portugal membebaskan dirinya dari kekuasaan Spanyol. Dengan ledakan yang sama, Spanyol kehilangan wilayah kolonial besar yang datang padanya dengan perhatian Portugis. “Seluruh tempat,” ujar Zuñiga, “yang dimiliki oleh Portugis di Hindia, memisahkan diri mereka sendiri dari takhta Kastilia dan diakui sebagai raja, Don Juan dari Portugal.” “Pada tahun yang sama,” tambahnya, “Belanda merebut Malaka.”

Moro

[sunting]

Peningkatan Pembajakan Moro

[sunting]

Pada sepanjang tahun tersebut, penyerbuan Moro dari Maguindanao dan Jolo tak pernah berhenti. Pembajakan mereka nyaris berlanjut. Tidak ada keamanan; gereja-gereja dijarah, para imam dibunuh, masyarakat terjauhkan dari ransum atau perbudakan. Mendadak, pembajakan hanya dapat dipertemukan dengan penghancurannya pada sumbernya. Benteng pertahanan dan armada perlidnungan tak berdampak, kala dibandingkan dengan kebutuhan penundukan Moro di genggamannya sendiri. Pada 1628 dan 1630, penjelajahan punitif dikirim melawan Jolo, Basilan, dan Mindanao, yang mengerahkan Moro dari benteng mereka, membakar kota mereka, dan memotong sejumlah pohon kelapa mereka. Namun, penjalajahan semacam itu hanya dijadikan bara pembalasan yang lebih berkobar dari Moro. Pada 1635, pemerintah memutuskan dakwaan kebijakan dan pendirian presidio di Zamboanga.

Pendirian Pos Spanyol di Zamboanga

[sunting]

Ini mengirimkan kami pada fase baru dalam perang Moro. Sang gubernur, Juan Cerezo de Salamanca, memutuskan untuk menaklukan dan menduduki Mindanao dan Jolo. Dalam mengambil langkah tersebut, Salamanca, seperti Corcuera, yang menggantikannya, bertindak di bawah pengaruh Yesuit. Misi mereka di Bohol dan Mindanao utara membuat mereka menjadi ambisius untuk mengadakan pelayanan terhadap masyarakat mereka di seluruh lahan yang ditaklukan dan diduduki, selatan Bisayas.

Yesuit menjadi misionaris di Ternate dan Siao. Di Maluku dan Sulawesi, Sapnyol dan Portugis telah mendirikan kekuatan mereka. Yesuit menyertai penjelajahan Rodriguez de Figueroa pada 1595. Dari saat itu, mereka tak pernah berhenti mengajukan petisi kepada pemerintah untuk pendudukan militer kepulauan tersebut dan sebagai balasannya, mereka mengirim misionaris ke kawasan tersebut. Yesuit menjadi administrator yang handal dan brilian. Bagi sosok ambisi mereka, Mindanao, dengan produksi atraktif dari tanahnya yang kaya, dan sejumlah masyarakat, menjadi lahan paling subur untuk pendirian persemakmuran teokratik semacam itu sebagaimana yang dibuat dan diurus oleh Yesuit di Amerika.

Di sisi lain, pendudukan Zamboanga sangat ditentang oelh ordo keagamaan lainnya. Namun Yesuit, yang dikenal karena kenaikan mereka dalam urusan negara, dapat mendampaki pendirian Zamboanga, meskipun mereka tak dapat mencegah pembubarannya serempat abad kemudian.

Pendirian Benteng

[sunting]

Presidio dibentuk pada 1635, sebuah sepasukan di bawah naungan Don Juan de Chaves. Pasukannya terdiri dari tiga ratus orang Spanyol dan seribu orang Bisaya. Ujung semenanjung tersebut menyapu penduduk Moro dan kota-kota mereka dihancurkan oleh api. Pada Juni, fondasi benteng batu diletakkan di bawah pengarahan Padri Yesuit Vera, yang menyebutnya sebagai pengalaman dalam teknik dan arsitektur militer.

Untuk mensuplai situs baru dengan air, sebuah galian dibangun dari sungai Tumaga, dengan jarak enam atau tujuh mil, yang membawa aliran ke tembok benteng. Kemajuan atau kegagalan benteng tersebut sangat sulit ditentukan. Penanamannya adalah ukuran partisan, dan seringkali menjadi subyek pujian partisan dan cemooh partisan. Terkadang, ini dipandang untuk emeriksa Moro dan terkadang hanya dipandang menyetir mereka ke kemurkaan dan agresi.

Pada tahun yang sama, kala pendirian Zamboanga, Hortado de Corcuera menjadi gubernur Filipina. Ia berada di bawah banyak pengaruh Yesuit dan mengkonfirmasi kebijakan penaklukan mereka.

Kekalahan Pembajak Moro Tagal

[sunting]

Beberapa bulan kemudian, armada pembajak direkrut dari Mindanao, Jolo, dan Kalimantan, dan dikepalai oleh seorang pemimpin bernama Tagal, seorang saudara dari Correlat, sultan Maguindanao, yang menjadi presidio baru dan mengarah ke utara sepanjang Laut Mindoro. Selama lebih dari tujuh bulan, mereka menjelajahi Bisayas. Kepulauan Camarines secara khusus merasakan serbuan mereka. Di Cuyo, mereka menangkap seorang corregidor dan tiga frater. Pada akhirnya, dengan 650 tawanan dan jarahan melimpah, termasuk ornamen dan peralatan gereja, Tagal bergerak ke selatan untuk pulang.

Presidio Zamboanga bersiap untuk mencampurinya dan pertempuran terjadi di lepas Punta de Flechas, tiga puluh league dari timur laut Zamboanga. Menurut para penulis Spanyol, kala itu suatu kubu dinaungi oleh kepemimpinan Moro. Sesosok dewa menghuni perairan tersebut, yang Moro dapati muncul pada keberangkatan dan kedatangan penjelajahan mereka, dengan melemparkan mereka ke busur dan panah laut. Kemenangan menjadi sesuatu menonjol untuk persenjataan Spanyol. Tagal dan lebih dari 300 orang Moro gugur, dan 120 tawanan Kristen dibebaskan.

Penjelajahan Corcuera melawan Moro di Lamítan

[sunting]

Sementara itu, Corcuera menyiapkan penjelajahan, yang diambil dalam karakter perang suci. Yesuit dan prajurit menyertai rombongannya dan bersatu dalam pengarahannya. Santo Yesuit, Fransiskus Xaverius, diangkat menjadi pelindung penjalajahan tersebut, dan misa diadakan setiap hari di kapal-kapal tersebut. Corcuera sendiri menyertai penjalajahan tersebut. Di Zamboanga, tempat mereka datang pada 22 Februari 1637, ia menyatukan pasukan 760 orang Spanyol dan sejumlah besar Bisaya dan Pampangas.

Dari Zamboanga, pasukan tersebut mula-mula bergerak ke Lamítan, basis kekuatan Correlat, dan pusat kekuasaan Maguindanao. Tempat tersebut nampaknya berada di pesisir, selatan wilayah Danau Lanao. Armada tersebut menghadapi cuaca dan angin di lepas Punta de Flechas, yang mereka kaitkan dengan pengaruh iblis Moro.

Untuk mengarungi wilayah berpengaruh tak suci tersebut, Padre Marcello, petinggi Yesuit, menyinggahinya sendiri selama dua hari. Padre Combés meninggalkan catatan dari upacara tersebut. Iblis tersebut dilepaskan oleh eksorsisme. Misa dirayakan. Berbagai artikel, yang mewakili ketidaksetiaan Moro, termasuk panah, dihancurkan dan dibakar. Relik-relik suci dilemparkan ke perairan, dan tempat tersebut akhirnya disucikan dengan dibaptis atas nama Santo Sebastian.

Pada 14 Maret, penjelajahan tersebut mencapai Lamítan, yang dibentengi dan dipertahankan oleh dua ribu prajurit Moro. Namun, pasukan Spanyol berjumlah lebih banyak, dan kota tersebut terrenggut oleh badai. Disini, delapan meriam perunggu, dua puluh tujuh “versos” (sejenis howitzer kecil), dan lebih dari seratus musket dan arquebuse serta sejumlah besar senjata Moro direbut. Lebih dari seratus kapal dihancurkan, termasuk armada perahu pedagang Melayu dari Jawa. Enam belas desa dibakar, dan tujuh puluh dua orang Moro digantung. Correlat, walau terkejar dan terluka, tidak ditangkap.

Penaklukan Jolo

[sunting]

Corcuera kembali ke Zamboanga dan mengadakan penjelajahan untuk penaklukan Jolo. Walaupun dipertahankan oleh empat ribu prajurit Moro dan oleh sekutu dari Basílan dan Sulawesi, Corcuera merebut Jolo usai beberapa bulan pengepungan/ Sultan menyelamatkan dirinya lewat pelarian, namun sultana dijadikan tahanan. Corcuera merekonstruksi benteng tersebut, mendirikan garisun dua ratus orang Spanyol dan Pampangas berjumlah setara, meninggalkan beberapa padri Yesuit, dan, dengan menominasikan Mayor Almonte menjadi kepala seluruh pasukan di selatan, kembali pada Mei 1638, ke Manila, dengan seluruh kemenangan penakluk.

Almonte meneruskan pengerjaan penundukan. Pada 1639, ia menundukkan dato Moro Buhayen, di lembah Rio Grande, tempat presidio kecil dibentuk. Dan pada tahun yang sama, Yesuit mengerahkannya untuk menginvasi wilayah Malanao, kini dikenal sebagai Laguna de Lanao. Penjelajahan tersebut dibuat dari utara melalui Iligan, dan pada suatu waktu terbawa seperti perang dan wilayah sulit di bawah otoritas gubernur dan administrasi spiritual Yesuit.

Perebutan Pemukiman Spanyol di Formosa

[sunting]

Kesuksesan militer penuh kegubernuran Corcuera terusik oleh perebutan Makau dan penaklukan pemukiman Spanyol di pulau Formosa oleh Belanda. Dalam upaya untuk mendapatkan Makau, Corcuera mengirim encomendero Pasig, Don Juan Claudio. Namun, masyarakat Makau bangkit dengan membunuh gubernur, Sebastian Lobo, dan menyatakan keterpihakan pada Portugal. Kemudian, lewat dekrit gubernur Portugis Goa, seluruh penduduk dan misionaris Spanyol diusir. Setahun kemudian, perebutan Formosa oleh Belanda telah dideskripsikan.

Kepulauan dan Ordo Relijius

[sunting]

Pada dasawarsa tersebut, konflik nyaris tersulut antara uskup agung Manila dan ordo-ordo reguler. Di Filipina, para reguler merupakan kurator paroki, dan uskup agung ingin agar seluruh persoalan kurasinya, menyentuh kepengurusan sakramen dan tugas paroki lainnya, harus tunduk pada pengarahan para uskup. Pertanyaan “kunjungan diosesan” tersebut berlangsung nyaris selama dua ratus tahun.

Gubernur dan Uskup Agung

[sunting]

Bahkan hal yang lebih serius pada koloni tersebut adalah konflik yang timbul antara gubernur-jenderal dan uskup agung. Seluruh titik ketegangan antara Gereja dan Negara, yang memicu Abad Pertengahan, pecah di Filipina. Pelantikan pejabat relijius; distribusi pendapatan; perlakuan penduduk asli; klaim gereja untuk menawarkan suakan pada orang-orang yang lari dari penegakan hukum; klaim yurisdiksinya, pengadilan gerejawinya, kelas besar dakwaan sipil—sengketa dan lainnya, terkadang nyaris menyulut bergesekan antara keapla otoritas sipil dan gerejawi.

“Residencia”

[sunting]

Kami melihat bahwa kekuatan gubernur pada kenyataannya sangat besar. Secara teori, Audiencia memiliki batas pada otoritasnya. Namun, pada kenyataannya, gubernur biasanya menjadi presiden dari badan tersebut, dan oidores seringkali menjadi abettornya dan terkadang lawannya. Pada akhir masa pemerintahan setiap gubernur, sebuah lembaga khas Spanyol dibentuk yang disebut “Residencia.” Ini adalah badan yang dibentuk oleh gubernur yang baru terpilih, untuk menguji tindakan pendahulunya. Keluhan dari setiap deskripsi diterima, dan seringkali, dalam sejarah Filipina, orang yang memerintah kepulauan tersebut nyaris menjadi penguasa independen yang mendapati dirinya, pada akhir jabatannya, runtuh, dan terrantai.

Pada waktu pembentukan Residencia, kekuasaan gerejawi, usai kegubernuran diwarnai dengan sengketa, memegang kekuasaan mereka untuk balas dendam. Tanpa ditanya, sebagian besar gubernur, di samping kekuatan sebenarnya, menghadapi, sebagaimana yang ia lakukan, Residencia pada ujung kekuasaannya, menjalin perdamaian dengan para musuhnya dan memenuhi tuntutan mereka.

Corcuera mengalami ketegangan berkelanjutan dengan uskup agung dan dengan ordo keagamaan selain Yesuit. Pada 1644, kala penerusnya, Fajardo, memulihkannya, Fransiskan, Agustinian dan Rekolek memberlakukan penahanannya dan penyitaan harta bendanya. Selama lima tahun, penakluk Moro dijadikan tahanan di benteng Santiago dan Cavite, kala ia dijaga oleh Dewan Hindia, dan dilantik menjadi gubernur Kanari oleh raja.

Pelemahan Kekuasaan Gubernur

[sunting]

Kekuasaan kelas pribadi dan keagamaan yang mengintimidasi dan melemahkan kepala tanggung jawab pemerintah Filipina menjadi penyalahgunaan yang berlanjut sampai akhir kekuasaan Spanyol. Bersama dengan masa yang relatif pendek dari jabatan gubernur, keinginan alaminya untuk menghindari ketegangan, seluruh keperluan seringnya dalam mengumpulkan kekayaan ketimbang mengutamakan martabat jabatannya dan memajukan kepentingan Kepulauan, terpadu dasawarsa demi dasawarsa untuk membuat otoritas spiritual yang lebih kuat. Pada akhirnya, ordo-ordo keagamaan, dengan badan besar para anggota mereka, memegang masyarakat Filipina, pengaruh tinggi mereka di pengadilan dan akhirnya kekayaan besar mereka, mengatur Kepulauan tersebut.

Karya Pendidikan Ordo Keagamaan

[sunting]

Dalam kritik manapun dari kejahatan yang terhubung dengan pemerintahan Filipina mereka, seseorang tak harus gagal untuk mengakui banyak pencapaian dari para frater misionaris yang meraih keuntungan. Bagi Dominikan dan Yesuit, ini dikarenakan pendirian lembaga pembelajaran. Yesuit pada 1601 telah mendirikan Kolese San José. Dominikan, sebagaimana di Eropa, juara pemahaman ortodoks, memiliki lembaga mereka sendiri, Kolese Santo Tomas, yang dibuka pada 1619, dan merupakan pesaing yesuit untuk hak memberikan pembelajaran tinggi.

Pada 1645, paus memberikan hak kepada Dominikan untuk memberikan tingkat yang lebih tinggi, dan kolese mereka menjadi “Universitas Kerajaan dan Kepausan Santo Tomas Aquinas.” Nama tersebut menapaskan jiwa Abad Pertengahan kala ordo Dominikan menjamah Filipina sampai masa modern. Dominikan juga mendirikan Kolese San Juan de Letran, sebagai sekolah persiapan menuju Universitas.

Kami tak harus mengamati karya pendidikan ordo keagamaan tanpa penyebutan pabrik percetakan awal dan publikasi mereka. Para frater misionaris merupakan pencetak terkenal. Di Filipina, dan juga di Amerika, beberapa karya terkenal dihasilkan oleh kerajinan tangan mereka.

Pendirian Rumah Sakit oleh Fransiskan

[sunting]

Fransiskan di Filipina melayani keperluan mutlak dari yayasan mereka, yakni pelayanan untuk orang sakit dan tak terlindungi. Penjelasan dari ordo mereka, yang ditulis pada 1649, memberikan daftar panjang dari yayasan pemanfaatan mereka. Disamping rumah sakit Manila, mereka memiliki tempat pelayanan di Cavite untuk marinir penduduk asli dan pembangun kapal, rumah sakit di Los Baños, lainnya di kota Nueva Caceras. Persaudaraan awam dihimpun untuk banyak konven sebagai perawat.

Pada 1633, sebuah kejadian berujung pada pendirian rumah sakit kusta San Lazaro. Kaisar Jepang, yang mungkin dalam perasaan ironis, dikirim ke Manila menggunakan kapal Jepang terserang dengan penyakit tak menguntungkan. Orang-orang tersebut secara berbelas kasihan diterima oleh Fransiskan, dan dirawat di sebuah rumah, yang kemudian dijadiakn rumah sakit San Lazaro untuk penderita kusta.

Kehidupan dan Perjuangan Filipina

[sunting]

Sedikit sumber memperlihatkan hal yang menunjukkan kepada kami kehidupan dan perjuangan rakyat Filipina pada dasawarsa-dasawarsa tersebut. Kristen, yang diperkenalkan oleh para frater misionaris, meraih kesuksesan yang luar biasa, dan terjadi titik balik dalam kekafiran. Para pemimpin agama lama dan pendeta berkumpul dari waktu ke waktu, dan menyulut penduduk asli untuk memberontak melawan guru spiritual baru mereka. Pembayaran upeti dan tenaga kerja diwajibkan untuk pembangunan gereja-gereja seringkali menggerakkan masyarakat ke pegunungan.

Pemberontakan Keagamaan di Bohol dan Leyte

[sunting]

Pada 1621, sebuah pemberontakan serius terjadi di Bohol. Yesuit yang mengurus pulau tersebut sedang pergi ke Cebu, menghadiri upacara kanonisasi Santo Fransiskus Xaverius. Pemicunya timbul pada dewa kafir lama, Diwata, yang membantu pengusiran Sapnyol. Pulau tersebut bangkit memberontak, kecuali dua kota Loboc dan Baclayan. Empat kota dibakar, gereja dijarah, dan gambar-gambar suci ditombak. Pemberontakan tersebut menyebar ke Leyte, tempat pemberontakan tersebut dikepalai oleh dato lama, Bancao dari Limasaua, yang menjalin pertemanan dengan Legaspi. Pemberontakan tersebut diredam oleh walikota alcalde Cebu dan para pemimpin Filipina digantung. Di Leyte, Bancao ditombak dalam pertempuran, dan salah satu pendeta kafir dihukum mati, dinaungi oleh Inkuisisi untuk bida'ah—dihukum mati dengan cara dibakar.

Pemberontakan Pampangas

[sunting]

Perancangan berat penduduk asli untuk merobohkan pohon-pohon dan membangun kapal untuk penjelajahan angkatan laut Spanyol dan perdagangan Acapulco trade juga menyebabkan pemberontakan. Pada 1660, seribu orang Pampangas menebang hutan-hutan di provinsi itu sendiri. Jengkel dengan pengerahan tenaga kerja dan kekuatan penaung mereka, para penduduk asli bangkit memberontak. Pembangkangan tersebut menyebar sampai Pangasinan, Zambales, dan Ilocos, dan mewajibkan upaya menonjol pasukan Spanyol di darat dan air untuk meredam pemberontakan tersebut.

Pemberontakan Tionghoa

[sunting]

Di samping pembantaian mengerikan tersebut, yang telah dikunjungi Tionghoa pada permulaan abad, mereka nyaris secara langsung memutuskan kembali ntak hanya sebagai pedagang, namun sebagai kolonis. Pembatasan awal pada kehidupan mereka harus dipulihkan, karena pada 1639 terdapat lebih dari tiga puluh ribu orang Tionghoa yang tinggal di Kepulauan tersebut, kebanyakan dari mereka menanam lahan di Calamba dan tempat lainnya di Laguna de Bay.

Pada tahun tersebut, pemberontakan pecah, dimana Tionghoa di Manila terlibat. Mereka merebut gereja San Pedro Mecati, di Pasig, dan membentengi diri mereka sendiri. Dari sana, mereka dihadang oleh pasukan terpadu Filipina dan Spanyol. Tionghoa kemudian terpencar menjadi kelompok-kelompok kecil, yang menyebar ke belahan negara tersebut, menjarah dan membunuh, namun terpergok dan dipotong menjadi berkeping-keping oleh Filipina. Selama lima bulan, kerusuhan dan pembantaian terjadi, sampai tujuh ribu Tionghoa dihancurkan. Akibat kehilangan petani dan tenaga kerja, Manila jatuh pada tekanan besar.

Activity of the Moro Pirates

[sunting]

The task of the Spaniards in controlling the Moro datos continued to be immensely difficult. During the years following the successes of Corcuera and Almonte, the Moros were continually plotting. Aid was furnished from Borneo and the Celebes, and they were further incited by the Dutch. In spite of the vigilance of Zamboanga, small piratical excursions continually harassed the Bisayas and the Camarines.[208]

Continued Conflicts with the Dutch

[sunting]

The Dutch, too, from time to time showed themselves in Manila. In 1646 a squadron attacked Zamboanga, and then came north to Luzon. The Spanish naval strength was quite unprepared; but two galleons, lately arrived from Acapulco, were fitted with heavy guns, Dominican friars took their places among the gunners, and, under the protection of the Virgin of the Rosary, successfully encountered the enemy.

A year later a fleet of twelve vessels entered Manila Bay, and nearly succeeded in taking Cavite. Failing in this, they landed in Bataan province, and for some time held the coast of Manila Bay in the vicinity of Abucay. The narrative of Franciscan missions in 1649, above cited, gives town after town in southern Luzon, where church and convent had been burned by the Moros or the Dutch.

The Abandonment of Zamboanga and the Moluccas

[sunting]

The threat of the Dutch made the maintenance of the presidio of Zamboanga very burdensome. In 1656 the administration of the Moluccas was united with that of Mindanao, and the governor of the former, Don Francisco de Esteybar, was transferred from Ternate to Zamboanga and made lieutenant-governor and captain-general of all the provinces of the south.

Six years later, the Moluccas, so long coveted by the Spaniards, and so slowly won by them, together with Zamboanga, were wholly abandoned, and to the Spice Islands the Spaniards were never to return. This sudden retirement from their southern possessions was not, however, occasioned by the incessant restlessness of the Moros nor by the plottings of the Dutch. It was due to a threat of danger from the north.

Koxinga the Chinese Adventurer

[sunting]

In 1644, China was conquered by the Manchus. Pekin capitulated at [209]once and the Ming dynasty was overthrown, but it was only by many years of fighting that the Manchus overcame the Chinese of the central and southern provinces. These were years of turbulence, revolt, and piracy.

More than one Chinese adventurer rose to a romantic position during this disturbed time. One of these adventurers, named It Coan, had been a poor fisherman of Chio. He had lived in Macao, where he had been converted to Christianity, and had been a cargador, or cargo-bearer, in Manila. He afterwards went to Japan, and engaged in trade. From these humble and laborious beginnings, like many another of his persistent countrymen, he gained great wealth, which on the conquest of the Manchus he devoted to piracy.

His son was the notorious Kue-Sing, or Koxinga, who for years resisted the armies of the Manchus, and maintained an independent power over the coasts of Fukien and Chekiang. About 1660 the forces of the Manchus became too formidable for him to longer resist them upon the mainland, and Koxinga determined upon the capture of Formosa and the transference of his kingdom to that island.

For thirty-eight years this island had been dominated by the Dutch, whose fortresses commanded the channel of the Pescadores. The colony was regarded as an important one by the Dutch colonial government at Batavia. The city of Tai-wan, on the west coast, was a considerable center of trade. It was strongly protected by the fortress of Zealand, and had a garrison of twenty-two hundred Dutch soldiers. After months of fighting, Koxinga, with an overpowering force of Chinese, compelled the surrender of the Hollanders and the beautiful island passed into his power.[210]

A Threatened Invasion of the Philippines

[sunting]

Exalted by his success against European arms, Koxinga resolved upon the conquest of the Philippines. He summoned to his service the Italian Dominican missionary, Ricci, who had been living in the province of Fukien, and in the spring of 1662 dispatched him as an ambassador to the governor of the Philippines to demand the submission of the archipelago.

Manila was thrown into a terrible panic by this demand, and indeed no such danger had threatened the Spanish in the Philippines since the invasion of Limahong. The Chinese conqueror had an innumerable army, and his armament, stores, and navy had been greatly augmented by the surrender of the Dutch. The Spaniards, however, were united on resistance. The governor, Don Sabiano Manrique de Lara, returned a defiant answer to Koxinga, and the most radical measures were adopted to place the colony in a state of defense.

All Chinese were ordered immediately to leave the Islands. Fearful of massacre, these wretched people again broke out in rebellion, and assaulted the city. Many were slain, and other bands wandered off into the mountains, where they perished at the hands of the natives. Others, escaping by frail boats, joined the Chinese colonists on Formosa. Churches and convents in the suburbs of Manila, which might afford shelter to the assailant, were razed to the ground. More than all this, the Moluccas were forsaken, never again to be recovered by Spaniards; and the presidios of Zamboanga and Cuyo, which served as a kind of bridle on the Moros of Jolo and Mindanao, were abandoned. All Spanish troops were concentrated in Manila, fortifications were rebuilt, and the population waited anxiously for the attack. But the blow never fell. [211]Before Ricci arrived at Tai-wan, Koxinga was dead, and the peril of Chinese invasion had passed.

Effects of These Events

[sunting]

But the Philippines had suffered irretrievable loss. Spanish prestige was gone. Manila was no longer, as she had been at the commencement of the century, the capital of the East. Spanish sovereignty was again confined to Luzon and the Bisayas. The Chinese trade, on which rested the economic prosperity of Manila, had once again been ruined. For a hundred years the history of the Philippines is a dull monotony, quite unrelieved by any heroic activity or the presence of noble character.