Sejarah Sumatra (Marsden)/Bab 3
DESA.
BANGUNAN.
ALAT MAKAN DOMESTIK.
MAKANAN.
Desa-desa
[sunting]Aku kini harus mengupayakan deskripsi desa-desa dan bangunan-bangunan Sumatra, dan mengamati kebiasaan ekonomi domestik mereka, dan seni rupa sederhana saat mengolah makanan mereka dan kebutuhan lainnya. Tak ada yang meminati bahan-bahan spekulasi filsafat. Dalam hal pemakaian seni rupa dari orang-orang tersebut terhubungkan dengan tuntutan primer alam, mereka membawa kesukaan keasilan yang lebih besar, karena tuntutan-tuntutan tersebut harus diuruskan dari masa permulaan keberadaan orang-orang itu sendiri. Atau jika keaslian penuh dianggap sebagai gagasan visioner, diwarnai dengan penghirauan dan ketidakjelasan peristiwa-peristiwa pedalaman, seni semacam itu harus diperbolehkan untuk setidaknya memiliki klaim keantikan terjelas. Seni akomodasi, dan secara khusus kemewahan, umumnya merupakan dampak peniruan, dan disarankan oleh penunjangan suku-suku lainnya yang membuat kemajuan yang lebih besar terhadap peradaban. Hal tersebut memberikan unsur-unsur karakteristik dan penekanan yang kurang dalam menggambarkan gambaran umat manusia, dan, meskipun mereka dapat menambahkan keindahan, terpisah dari keasilan karya. Kami seharusnya tak melirik tanda-tanda umum ketidakvokalan, yang mendarah daging, dalam rangka untuk menyimpulkannya, telah disilangkan oleh perpaduan asing. Seluruh seni kebutuhan primer selaras dengan dua kekhasan: orang-orang yang melindungi kami dari kerentanan cuaca dan musibah di luar perkiraan lainnya; dan orang-orang yang bertugas dalam mengamankan alat-alat penting. Keduanya bersifat esensial bagi kelanjutan hidup, dan orang-orang secara sukarela dan langsung menunjang kami dengan seruan alam, bahkan dalam keadaan liar dan keberadaan tak tertanam yang paling memungkinkan. Dalam iklim yang mirip Sumatra, hal ini tak mendorong penyebaran lebih jauh. Mesin manusia digerakkan dengan upaya kecil yang sangat selaras dengan alatnya. Mata air bersih yang diperlukan disana kemudian kehilangan kekuatannya, dan kemudian roda-roda reka cipta yang bergantung padanya gagal untuk menunjukkan lebih dari sedikit revolusi sederhana. Di daerah-daerah yang kurang bersahabat, motif asli ini pada industri dan pengantaran orang-orang dalam jumlah besar diterapkan kepada kesenian dalam kesempatan-kesempatan hidup; dan keseluruhan dalam ruang waktu yang sama memiliki kesempurnaan yang lebih besar ketimbang para penduduk wilayah tropis, yang menemukan keinginan langsung mereka disuplai dengan fasilitas, dan merujuk kesenangan tindakan negatif untuk kegembiraan dari setiap kemudahan yang harus dibeli dengan pengerahan kekuatan dan tenaga kerja. Penganggapan ini mungkin ditujukan untuk merekonsiliasikan kekhasan besar secara universal yang diijinkan pada suku-suku Asiatik, dengan perjuangan terbatas terhadap seni rupa dan ilmu pengetahuan di kalangan mereka, yang mereka wujudkan oleh orang-orang yang berbanding dengan mereka selain waktu paling terkini.
Namun, orang-orang Sumatra dalam pembangunan pemukiman mereka menjalani lebih banyak tingkat di luar langkah pembangunan yang yang dideskripsikan oleh para penulis mengenai para penduduk beberapa daerah India lainnya yang bergantung pada pengadopsian dalam rangka melatari diri mereka sendiri dari pengaruh langsung unsur-unsur sekitarnya. Rumah-rumah mereka tak hanya permanen namun rentan, dan dibangun di pinggiran satu sama lain yang mereka nikmati laju-laju bantuan dan perlindungan saling menguntungkan yang dihasilkan dari keadaan masyarakat.*
(*Catatan kaki. Di beberapa pulau kecil dekat Sumatra (termasuk kepulauan Nicobar), yang para penduduk pada umumnya berada dalam tingkat perdaban yang sangat rendah, rumah dibangun melingkar. Vid Asiatic Researches volume 4 laman 129.)
DESA-DESA
[sunting]Dusun-dusun atau desa-desa (untuk sejumlah kecil penduduk yang berkumpul satu sama lain yang tak dapat disebutkan sebagai kota) biasanya berada di tepi sungai atau danau untuk mendi dan membawakan barang-barang. Kesulitan aksen biasanya dibuat untuk alasan keamanan. Akses ke mereka dilakukan lewat jalan kaki, sempit dan liar, dimana terdapat hunian lebih dari dua; satu untuk desa dan lainnya untuk air; yang untuk air di banyak tempat ditempatkan untuk memotong perjalanan di tebing atau batu. Dusun-dusun, yang dikelilingi dengan pohon-pohon buah, beberapa memiliki batang yang tinggi, seperti durian, kelapa dan kacang besar, dan daerah tetangga untuk ruang yang kecil yang dalam beberapa tingkat bebas dari pohon untuk penanaman padi dan lada, desa-desa tersebut nampak dari kejauhan seperti gumpalan-gumpalan, tanpa penampilan kota atau tempat hunian apapun. Barisan rumah umumnya berbentuk persegi, dengan perlintasan atau baris di bagian dalam antar bangunan, dimana di desa-desa paling menonjol dihuni penduduk kelas bawah, dan dimana juga rumah-rumah padi atau penggilingan didirikan. Di tengan persegi didirikan balei atau balai kota, sebuah ruang berukuran sekitar lima puluh sampai seratus kaki dan lebar dua puluh atau tiga puluh kaki, tanpa pembagian, dan terbuka di setiap sisi, kecuali pada saat acara tertentu, tempat tersebut digantung dengan tikar atau rajutan; namun terlindung dalam arah lateral dengan atap yang menjorok ke dalam.
TEMPAT 19. SEBUAH RUMAH DESA DI SUMATRA.
W. Bell delt. J.G. Stadler sculpt.
Diterbitkan oleh W. Marsden, 1810.
TEMPAT 19a. SEBUAH RUMAH PENANAMAN DI SUMATRA.
W. Bell delt. J.G. Stadler sculpt.)
BANGUNAN
[sunting]Pada bangunan mereka, entah berbahan batu, bata maupun tanah liat, kebanyakan daerah membangunnya menggunakan kayu, dan kehangatan iklim membuat udara bebas masuk alih-alih sebaliknya: namun di Sumatra, kekuatan gempa-gempa sendiri mempengaruhi penduduk asli dari mengadopsi gaya bangunan substansial. Lapisan rumah terbuat dari kayu, bagian bawahnya ditempatkan dengan tiang-tiang setinggi sekitar enam atau delapan kaki, yang memiliki sejenis penguat namun tanpa dasar, dan lebih besar bagian atas ketimbang bagian bawah. Orang-orang nampaknya tak memiliki gagasan arsitektur sebagaimana ilmu pengetahuan, meskipun kebanyakan ketidakaslian seringkali nampak dalam kebiasaan mengerjakan bahan-bahannya, dan mereka memiliki, setidaknya orang-orang Melayu, hal-hal teknis yang berkaitan dengan seluruh hal yang dikerjakan oleh tukang kayu rumah mereka. Dasar pembagian mereka sangat kaku, seringkali meninggalkan bagian-bagian lapisan yang terbesar dengan dukungan yang sangat bercelah, dan menopang kekuatan atas tekanan tak memadai. Untuk tangga, mereka menggunakan bambu (spesies rotan terkenal) berdiameter empat atau liam inchi, berdekatan satu sama lain, dan menempatkannya pada ujung kayu. Sepanjang tingkatan bambu, yang memiliki lebar satu inchi dan panjang satu ruangan, yang diikatkan dengan rajutan rotan; dan biasanya memiliki jenis yang berbeda. Jenis tangganya memiliki sifat elastis bagi orang-orang asing ketika mereka mula-mula menaikinya. Sisi-sisi rumah umumnya ditutup dengan palupo, yang merupakan bambu terbuka dan datar yang ditonjolkan atau dipisah dengan bagian melingkar pada bagian luar, merekatkan bagian terpisah di dalamnya, dan nmembentangkannya untuk dikeringkan di bawah matahari, ditekan dengan berat. Ini terkadang dipaku pada bagian depan kayu atau bambu, namun di bagian-bagian daerah tersebut, ini lebih umum dirajut, atau dipasangkan, dalam sambungan enam inchi, dan potongan, atau lembar, wajib dibentuk satu ukuran. Di beberapa tempat, mereka pakai untuk keperluan yang sama, skulitkayu, atau coolicoy, sebagaimana yang diucapkan oleh orang-orang Eropa, yang memakainya pada badan kapal sebagai tempat penyimpanan lada atau kargo lainnya. Ini adalah kulit pohon yang diolah dari beberapa pohon tertentu, yang bunut dan ibu adalah jenis yang paling umum dipakai. Ketika mereka siap untuk mengambilnya, bagian luarnya mula-mula dikerok atau dipotong; bagian dalamnya, yang dijadikan bahan, kemudian ditandai dengan prang, pateel, atau alat lainnya, yang ukurannya diwajibkan, biasanya tiga kubit per satu; setelah dipukul beberapa kali dengan batang keras untuk menghaluskannya dari tangkai, dan dibentangkan di bawah matahari untuk dikeringkan, agar tidak bengkok. Jenis ketipisan atau ketebalan dari spesies kulitkayu yang sama memiliki perbedaan saat diambil berdekatan atau berkejauhan dari akat. Bahan tersebut dipakai dalam pembangunan yang nyaris memiliki tekstur dan kekerasan kayu. Kulit pohon yang dibuat menjadi busana terbuat dari sebuah pohon yang disebut alawi, sebuah spesies dari pohon sukun.
Cara paling umum menutupi rumah adalah dengan atap, yang berbahan daun spesies kelapa yang disebut nipah. Bahan tersebut, yang sebelumnya dibentangkan, dibentuk menjadi lembar-lembaran yang memiliki panjang sekitar lima kaki dan sepanjang daun yang dipakai, yang digandakan pada satu ujung pada selip atau bilah bambu; bahan tersebut kemudian dibuang dari atap sehingga satu lembar harus terbentang di atas lembar lainnya, dan diikat dengan bambu yang dipakai untuk para perakit. Terdapat berbagai jenis penutup lain dan lebih tahan lama yang dipakai. Kulitkayu, yang sebelumnya dideskripsikan, terkadang dipakai untuk keperluan ini: galumpei--ini merupakan jenis bambu belah sempit, memiliki panjang enam kaki, ditempatkan dalam lapisan biasa, masing-masing memiliki ukuran dua kaki dari ujungnya, yang dibentuk menjadi penutup: iju--ini adalah produksi sanyur yang sangat nyaris mirip rambut kuda karena sulit untuk membedakannya. Bahan tersebut menunjang lapisan dari spesies kelapa yang disebut anau, yang menghasilkan arak kelapa atau toddy terbaik, dan dipakai oleh penduduk asli untuk berbagai keperluan. Bahan tersebut diikat sebagaimana mereka memperlakukan jerami, dan tidak tak sesering galumpei; dalam kasus atap yang tak pernah diperbaharui, iju menjadi bahan sayur yang paling rentan terhadap pembusukan, dan karena alasan ini, ini merupakan praktek umum untuk menutup bagiannya yang melingkar di ujung kayu atau pos yang selaras di tanah. Aku melihat rumah sekitar dua puluh mil dari Sungai Manna, yang masuk Dupati Bandar Agung, atapnya berdiri selama liam puluh tahun. Rumah-rumah yang lebih besar memiliki tiga ujung atap; satu di bagian tengah, di bawah pintu yang ditempatkan, yang lebih rendah ketimbang dua ujung lainnya. Di rumah-rumah yang lebih kecil, terdapat dua ujung, yang selalu memiliki tinggi yang tak setara, dan bagian utamanya lebih kecil, yang menutupi semacam aula atau ruang masak.
Terdapat jenis rumah lainnya, kebanyakan didirikan untuk keperluan sementara, atapnya datar dan ditutupi dengan bahan yang sangat tak umum, sederhana dan terampil. Bambu besar dipotong sepanjang sesuai dengan ukuran rumah, dan, dibelah menjadi dua dan sama-sama dipukul, lapisan pertama dari mereka dibuang dalam rangka penutupan, dengan bagian dalam atau lubang di bagian samping; setelah itu pada lapisan kedua, dengan sisi luar atau cembung, ditempatkan bahan lainnya dalam cara agar setiap cembung jatuh dalam dua potongan cekung yang berdekatan, menutupi tepian mereka; yang dijadikan sebagai tampungan untuk mengalirkan air yang jatuh pada lapisan luar atau cembung.*
(*Catatan. Aku menemukan bahwa penduduk asli Kepulauan Filipina menutupi bangunan mereka dengan cara yang sama.)
Gaya khas rumah-rumah tersebut adalah potongan kayu atau bambu yang dipotong, yang tak dapat dilakukan oleh orang Eropa, khususnya cara memasangkannya secara cepat. Bahan tersebut adalah kayu berbahan ringan menakjubkan yang para penulis Portugis lama menyebutkannya dipakai oleh orang-orang Achin dalam peperangan mereka dengan bangsa tersebut. Ini mungkin pencegahan bahaya dari hewan-hewan liar yang menyebabkarn mereka mengadopsi dan meneruskan pengasahan kasar tersebut, dalam langkah yang lebih biasa dan luas. Bangunan-bangunan terpisah di daerah tersebut, di dekat penanaman mereka, yang disebut talang, mereka meningkatkannya sampai ketinggian sepuluh atau dua belas kaki dari tanah, dan menciptakan praktek menempatkan tangga pada malam hari untuk menjaga diri mereka sendiri dari serangan harimau. Aku meranggapan, namun tak yakin sendiri atas kebenaran cerita tersebut, bahwa seekor gajah, yang berniat melintasi di bawah salah satu rumah tersebut, yang berdiri pada empat atau enam pos, mengalami macet, namun, memutuskan untuk mundur, membawanya, dengan keluarga yang ada di dalamnya, pada punggungnya sampai kejauhan.
Pada bangunan-bangunan dusun, terutama ketika kebanyakan keluarga terhormat bermukim, pengerjaan kayu di bagian depan diukir dengan gaya bas-relief, dalam ragam ornamen kasar dan gambar-gambar aneh, yang nampak seperti hieroglif Mesir, namun tanpa pengartian mistis atau sejarah.
PERABOTAN
[sunting]Perabotan rumah-rumah mereka, sesuai dengan kebiasaan hidup mereka, sangat sederhana, dan hanya terdiri dari beberapa hal. Kasur mereka adalah tikar, biasanya bertekstur sempurna, dan dibuat untuk keperluan tersebut, dengan sejumlah bantal, yang dikerjakan pada bagian ujung dan diisi dengan bahan lembut yang mirip lembaran. Sebuah jenis kanopi atau kelambu, dibentuk dari berbagai potongan kain berwarna, digantung di atas. Alih-alih meja, mereka memiliki apa yang mirip dengan potongan kayu, dengan kaki yang disebut dulang, yang dapat dikelilingi tiga atau empat orang; dan di atasnya dilapisi talam atau alat kuningan yang menenteng cangkir berisi kari, dan sepiring dedaunan atau bungkus berkain yang diisi dengan beras. Cara duduk mereka bukan dengan menyilangkan kaki, sebagaimana yang dilakukan penduduk Turki dan penjahit kami, namun di atas paha atau kaki kiri, didukung oleh tangan kiri pada kaki yang dimiringkan ke sisi kanan; membuat tangan tersebut selalu bebas, dari jenis-jenis santapan lezat; yang kiri dipakai untuk hal-hal kurang bersih. Pisau, sendok maupun alat lainnya disediakan mereka; mereka mengambil nasi dan hal lainnya antara jempol dan jari-jari lainnya; dan melemparkannya ke mulut lewat pergerakan jempol, sering mencelupkan tangan mereka ke air ketika mereka bersantap.
ALAT MASAK
[sunting]Mereka memiliki perangkat Tionghoa kecil, yang diimpor dari timur, yang memberikan barang kemewahan. Dalam memasak, mereka memakai jenis wadah besi yang dikenal di India dengan nama quallie atau tauch, yang memiliki bentuk mirip dengan panci yang dipakai di beberapa pabrik kami, yang berbadan lebar dan bagian bawah yang sempir. Barang tersebut nampaknya dibawa dari wilayah timur. Priu dan balanga, sebuah jenis dari pipkin tanah, lebih umum dipakai, dibuat dalam jumlah kecil di bagian berbeda dari pulau tersebut, terutama di Lampong, yang memberikan mereka jenis pemanas; namun sejumlah besar dari barang tersebut diimpor dari Bantam. Wadah Sumatra asli untuk menanak nasi, dan masih banyak dipakai untuk keperluan tersebut, adalah bambu, yang bahan pembuatannya umum di alam yang menyuplai orang-orang malas. Pada waktu nasi ditanak, alat masak tersebut nyaris dihancurkan oleh api, namun tahan api selama ada kelembapan di dalamnya.
API
[sunting]Api diinginkan di kalangan orang-orang tersebut namun jarang, dan hanya ketika mereka memasak makanan mereka, tak terlalu banyak perhatian yang dilakukan di bangunan mereka untuk menyediakan penghangat untuknya. Rumah mereka tak memiliki cerobong, dan tempat api mereka tak lebih dari kumpulan bata atau batu, yang dibuang pada suatu waktu dan seringkali di tempat sebelah pintu. Bahan bakar yang dibuat hanya dari kayu, batubara yang dihasilkan di pulau tersebut tak pernah dipakai oleh para penduduk untuk keperluan tersebut. Batu api dan baha untuk menyalakan api umum di daerah tersebut, namun praktek tersebut hanya dilakukan oleh sedikit orang, karena jenis batu tersebut tak berasal dari tanah tersebut. Barang tersebut umumnya merupakan bagian dari kiriman perjalanan mereka, dan khususnya dengan orang-orang yang disebut risau (orang-orang yang beralih menjadi bajak laut), yang mereka sendiri seringkali menempatkan hunian mereka di hutan atau tempat sepi. Namun, mereka juga seringkali membuat api dari gesekan dua tongkat.
CARA MENYALAKANNYA
[sunting]Mereka memilih kayu kering berporos, dan dipotong halus dalam arah horizontal. Mereka kemudian memakai potongan yang lebih kecil, bahan yang lebih keras, dengan ujung tumpul, dalam posisi tegak lurus, dan menggosoknya dengan cepat, antara dua tangan, seperti halnya menggiling coklat, menekannya ke bawah pada saat yang sama. Lubang kemudian terbentuk oleh gerakan tersebut dari batang yang lebih kecil; namun tak mengenai batang yang lebih besar yang menyulut api. Aku juga melihat dampak yang sama yang dihasilkan lebih sederhana lewat gosokan potongan bambu dengan ujung lancip pada potongan lainnya.*
(*Catatan kaki. Cara menyalakan api ini tak hanya dilakukan di Sumatra: kami membaca praktek yang sama di Afrika dan bahkan di Kamtschatka. Ini mengejutkan, namun dikonfirmasikan otoritas terkait, yang banyak bangsa di bumi melakukannya pada masa tertentu, yang menghiraukan pemakaian api. t is surprising, but confirmed by abundant authority, that many nations of the earth have at certain periods, been ignorant of the use of fire. Pada anggapan awal kami, keberadaan manusia nampaknya tak mungkin terjadi seperti itu. Setiap seni rupa, setiap kebaikan, setiap kebutuhan hidup, kini berada dalam perilaku paling intim yang menghubungkannya: dan Tionghoa, Mesir, Foenisia dan Yunani mengetahui tradisi terkait penemuan pertamanya di negara mereka masing-masing. Namun pada kenyataannya jika mereka dapat memajukan seorang manusia, atau masyarakat, yang tak dapat membuat dan menggunakan unsur tersebut, aku tak melihat kesulitan dalam menunjang kemungkinan dukungan kehidupan mereka tanpanya; aku artikan dalam iklim tropis; dan berabad-abad berlalu sebelum seharusnya mereka datang dengan penemuan penting tersebut. Adalah benar bahwa petir dan dampaknya, gunung berapi, pembakaran bahan-bahan kering dengan cara penggosokan, atau kelembaban, melalui fermentasi, dapat memberikan mereka gagasan hal menghancurkan dan merusaknya; namun sejauh ini, untuk menyesuaikan dan menerapkannya, mereka akan, sebaliknya, takut dan menghindarinya, bahkan dalam penampilannya yang kurang terbentuk. Hal ini membuat mereka menyembahnya sebagai dewa mereka, namun tak memujanya sebagai bagian dalam mereka. Terdapat beberapa alasan yang menyatakan bahwa manusia yang mula-mula kurang menentangnya dan mengalihkannya untuk keperluan hidup menghasilkannya dari menubrukkan dua batu api; namun nyala api kemudian dihasilkan, entah tak disengaja atau disengaja, teramati beberapa kali tanpa memandang pemakaian bermanfaatnya. Di negara-negara yang orang-orang belum menemeukannya untuk diri mereka sendiri, paling mungkin, asal usulnya dalam menggosok batang-batang kering bersamaan, dan dalam pengerjaannya, bahan dan alatnya dipertemukan, api, dengan bahan dan pemakaiannya, menjadi lebih sering nampak. Sebagaimana ketiadaan gagasan sebelumnya yang memberikan prinsip laten ini, dan kemudian tidak ada pencarian yang dilakukan, tidak ada dorongan yang dilakukan, untuk menyalakannya, aku tak melihat ketidakmungkinan pemeloporan sepanjang dilakukan dari umat manusia sebagaimana bahan batu muatan atau kualitas bubuk mesiu.)
Air dialirkan dari mata air dalam bambu, yang dipotong untuk keperluan tersebut, dengan panjang lima atau enam kaki dan dibawa di pundak, atau dalam jumlah tunggal yang dikumpulkan dalam keranjang. Tumbuhan tersebut menghasilkan buah yang disebut labu disini, yang mirip dengan calabash dari Hindia Barat, sebuah lubang dibuat di sisi leher dan lainnya di bagian atas untuk lubang angin. Saat diminum, mereka umumnya menyaipakn wadah dari kejauhan di atas mulut mereka dan menadahkan aliran tersebut ketika turun; cairan yang turun ke lambung tanpa menelannya. Keranjang (bronong, bakul) dianggap sebagai bagian penting dari perabotan rumah seseorang, dan jumlahnya yang nampak digantung merupakan tanda barang dari pemiliknya; karena itu, panen beras atau ladanya dikumpulkan dan dibawa ke rumah; tidak ada gerobak yang dipakai di bagian perdalaman pulau tersebut yang kini aku aku deskripsikan. Barang tersebut terbuat dari selipan bambu yang dihubungkan dengan cara rotan terpisah; dan biasanya dibawa wanita, di punggung, didukung oleh tali atau ikat di kepala.
MAKANAN
[sunting]Meskipun orang-orang Sumatra hidup dengan menyantap sejumlah besar sayuran, mereka tak dibatasi oleh wacana dari pantangan lainnya, dan pada acara-acara tertentu, daging kerbau, kambing dan unggas disajikan. Hidangan mereka nyaris selalu disajikan dengan gaya hiasan yang mereka beri nama karu (dari kata Hindostanik), dan yang kini dikenal secara luas di Eropa. Hidangan tersebut disebut gulei dalam bahasa Melayu, dan berbahan jenis-jenis bahan pangan, namun umumnya adalah daging atau unggas, dengan berbagai jenis bahan tambahan dan sayuran, direbus dengan bahan tertentu, yang oleh kami sebut bubuk kari, ketika dicampur dan diaduk bersama. Bahan-bahan tersebut meliputi cabai rawit atau lada, kunyit, sarei atau serai, kapulaga, bawang putih, dan olahan kelapa yang dicampur dengan susu yang mirip dengan kacang tanah, yang hanya terbuat dari cairan. Ini berbeda dari kari Madras dan Bengal, yang memiliki ragam rempah-rempah yang lebih banyak, dan meliputi kelapa. Olahan tersebut tak sedikit mengingatkan pada lada umum, bahan utama yang menjadi komoditas utama dan pokok yang diproduksi di wilayah tersebut, tak pernah dicampur pada makanan oleh penduduk asli. Mereka menganggapnya pemanas darah, dan menyebut dampak berlawanan dengan cabai rawit; yang dapat aku katakan, pengalamanku sendiri menjadi benar. Sejumlah besar ragam kari biasanya disajikan bersamaan, dalam wadah kecil, yang masing-masing diberi rasa dengan cara berbeda; dan ini diletakkan pada seluruh meja mewah. Ketika sejumlah besar atau beragam daging disajikan, bahan utama dari makanan mereka adalah nasi, yang disantap dalam jumlah besar pada setiap hidangan, dan sangat sering tanpa tambahan lainnya selain garam dan lada. Olahan tersebut diolah dengan cara direbus seperti halnya yang dilakukan di India; kesempurnaannya, disamping kebersihan dan keputihannya, ketika dihias dan dilembutkan dengan hati, pada saat yang sama secara keseluruhan dan terpisah, sehingga tidak ada biji yang dicampur bersamaan. Cara efektif ini dilakuakn dengan menempatkannya dalam wadah berbahan tanah atau lainnyayang direbus dengan air yang layak untuk menutupinya, dididihkan dengan api pelan, air dikeluarkan pada tingkat datar atau sendok agar biji mengering, dan menghilangkannya ketika pembakaran. Pada acara-acara mereka, para tamu dihidangkan dengan nasi yang juga disajikan dalam beragam gaya, dengan menggorengkannya menjadi kue atau merebusnya dan dicampur dengan biji kelapa dan minyak murni, dalam potongan bambu kecil. Olahan tersebut disebut lemmang. Sebelum disajikan, mereka memotong bagian luar bambu dan bagian dalam yang lembut disantap oleh orang yang menyantapnya.
DAGING
[sunting]Mereka mengolah daging tak lama usai menyembelihnya, dalam keadaan masih panas, yang sesuai dengan praktek orang-orang kuno yang tercatat di Homer dan tempat lain, dan dalam keadaan ini, mereka dikatakan menyantapnya ketika berjaga seharian: tak lagi bergantung pada iklim, ketika disajikan dalam cara yang disebut dinding. Ini adalah daging kerbau yang dipotong menjadi bistik tipis kecil dan dihangatkan matahari pada cuaca yang mendukung, umumnya pada atap rumah mereka, sampai menjadi sangat kering dan keras agar tak membusuk tanpa penambahan garam. Ikan disajikan dengan cara yang sama, dan kargo-kargo dari keduanya dikirim dari wilayah pantai dalam jumlah besar di tempat-tempat yang menawarkannya. Ini nampak merupakan penghangatan yang aneh, yang dalam hal tertentu mempromosikan pembusukan, yang seharusnya dilakukan untuk mencegahnya; namun harus dikatakan bahwa kelembapan juga menimbulkan dampak tersebut, dan hal ini diserap dalam keadaan tipis oleh sinar matahari sebelum memunculkan belatung.
Blachang, sebuah sajian, sebagaimana diistilahkan, dari jenis sebaliknya, diperkiraan merupakan kekhasan di kalangan orang-orang Melayu, dan diekspor oleh mereka ke barat India. Orang-orang Sumatra sendiri menyajikannya. Ini adalah spesies caviar, dan dianggap sangat aneh dan menjijikkan bagi orang-orang yang tak akrab dengannya, terutama jenis hitam, yang merupakan jenis paling umum. Jenis terbaik, atau blachang merah, telur udang, atau udang itu sendiri, yang mereka ambil di sekitaran mulut sungai. Setelah direbus, bahan tersebut dikeringkan di bawah matahari, kemudian dituangkan dalam wadah dengan garam, dilembekkan dengan sedikit air dan dibentuk menjadi kue, yang semuanya merupakan cara pengolahannya. Jenis hitam, yang dipakai oleh kelas rendah, dihasilkan dari ikan kecil, disajikan dengan cara yang sama. Di beberapa wilayah pantai timur pulau tersebut, mereka menggarami telur ikan besar dari jenis hitam, dan menyajikannya dalam keadaan kering dan memiliki rasa yang enak. Sajian tersebut disebut trobo.
Ketika penduduk asli menyembelih kerbau, yang selalu dilakukan pada pertemuan publik mereka, mereka tak melakukan penyembelihan bersamaan sebagaimana yang mereka lakukan pada kerbau, namun sejumlah kecil daging, atau bistik yang mereka sebut bantei. Penyembunyian kerbau terkadang dilepuhkan, digores, dan digantung untuk dikeringkan di rumah-rumah mereka agar menjadi layu dan benar-benar keras. Ketika ingin dipakai, potongan dipotong dan, direbus selama beberapa jam dengan sedikit air, membentuk jeli yang kaya yang, pada musimnya, menciptakan hidangan yang sangat lezat.
Sago (sagu), yang umum di Sumatra dan jarang dipakai oleh penduduk asli, bukanlah bahan pangan dari pemakaian umum semacam itu di kalangan mereka sebagaimana para penduduk di banyak kepulauan timur lainnya, yang menjadikannya sebagai pengganti nasi. Millet (randa jawa) juga ditanam untuk dimakan, namun tidak dalah jumlah besar.
Ketika beberapa bahan tidak memberikan manfaat pada bagian akar liar, herbal dan dedaunan pohon bagi orang Sumatra maka pohon-pohon tersebut ditebang di setiap musim tanpa ditanam kembali, dan kesederhanaan kebiasaan gaya makannya mengajarkanku untuk beranggapan bahwa tak ada keadaan yang sangat luar biasa dari kerja keras. Sehingga, bencana kelaparan di pulau tersebut, atau secara lebih luas, kegagalan panen, tak pernah mengakibatkan dampak mengerikan pada wilayah-wilayah yang lebih maju dan suku-suku yang paling rentan terdampak.