Sejarah Zionisme, 1600-1918/Volume 1/Bab 1

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

BAB I.

INGGRIS DAN ALKITAB

Hellas, Roma dan Israel—Alkitab orang Inggris—Pengaruhnya pada Sastra Inggris—Rev. Paul Knell, Matthew Arnold, Sir H. Havelock, Gordon, Livingstone, Ruskin, Carlyle, Taine, Sir L. T. Dibdin, Huxley, dan J. R. Green—Puritan—Para Bapa Peziarah—James I.—Cromwell.

Tak ada gagasan besar, yang sempat diproklamasikan, yang telah dimusnahkan dari bumi. Sebuah gagasan yang menghimpun bentuk baru, mengubah tampilan luar sebenarnya—untuk seluruh gagasan besar yang selaras dalam atribut mereka dan handal dalam esensial mereka—namun, kala kembali dinyatakan, kehidupan manusia merasuk dalam dirinya untuk selamanya.

Jiwa kebebasan Yunani, dan tatanan, disiplin dan hukum Romawi bertahan di lembaga-lembaga Anglo-Saxon, bukan lewat pemberlakuan bersenjata menang yang sebenarnya, namun karena orang mengakui mereka sebagai perasaan terbahagia dari kemerdekaan setiap dan penaungan seluruh pihak yang terlibat.

Yunani mempercayakan penanaman akal budi dan perasaan. Hadiahnya bagi umat manusia adalah ilmu dan seni. Dari Yunani, kami memiliki ilmu logika, yang mendominasi pemikiran seluruh pemikir modern. Banyak jiwa politik modern juga datang dari Yunani. Di sisi lain, sentimen dan penghimpunan pasukan di bawah seluruh negara dan pemerintah, yang secara mutlak tak terpisahkan dari nilai mereka, merupakan unsur Romawi yang besar. Hukum Yustinianus menjamah dalam seluruh legislasi modern. Sehingga, Yunani dikatakan mendisiplinkan akal budi dan perasaan manusia, beserta kuasa dan organisasi manusia Roma.

Namun, Inggris dipengaruhi oleh Israel bahkan melebihi Yunani dan Latin; lewat kuasa dan sorotan kecerdasan Ibrani—oleh Alkitab.

Misi ras Ibrani adalah untuk melayangkan fondasi moralitas dan agama di bumi. karya dan Kitab mereka merupakan kenyataan besar dalam sejarah manusia; pengaruh pikiran mereka pada seluruh umat manusia bersifat luas dan menonjol. Orang-orang Ibrani dikatakan mendisiplinkan hati nurani manusia; dan halaman-halaman dari kitab-kitab suci mereka diturunkan lagi dan lagi untuk inspirasi baru.

Tak ada orang yang sangat mencurahkan diri kepada Alkitan seperti halnya Inggris, dan dampaknya terlacak dalam seluruh gerakan besar sejarah Inggris. Alkitab mendominasi seluruh kehidupan domestik dan politik rakyat Inggris selama berabad-abad, dan menyediakan landasan pembentukan kebebasan pribadi dan politik Inggris.

Pendidikan sejumlah besar warga Inggris utamanya terdiri dari bacaan kitab suci. Sehingga bukan kitab, atau kumpulan kitab, yang sangat kaya dalam mengajarkan atau dapat menerapakn secara paksa hal yang tak dipelajari dan dipelajari. Pertumbuhan dan pengembangan bertahap npemikiran keagamaan dan moral adalah karena pengaruh tertinggi Alkitab merupakan fakta yang dapat diakui sepanjang seluruh sejarah Inggris. Sebagai contoh tunggalnya, kami mengambil dua penulis yang hidup pada masa yang berbeda, dan sepakat dengan subyek tersebut dari sudut pandang yang tak sama—Rev. Paul Knell (1615‒1664) dan Matthew Arnold (1822‒1888). Knell membandingkan Inggris dengan Israel. Nama “Israel” dipakai oleh para penulis sezamannya dengan banyak penyelarasan, bahwa itu tak memungkinkan untuk mendefinisikan esensi yang umum ditujukan untuk diterapkan. Hal ini seringkali mengartikan Agama Israel; pada kesempatan lain, hal ini dipakai jika menjadi sinonim dari kata “Gereja.” Namun, Knell memakai kata tersebut dalam arti datarnya: baginya “Israel” singkatnya memiliki arti Bangsa Israel di Tanah Israel (Appendix ii). Jika kita membandingkan nada dan sikap umum pengkotbah Kristen pada masa itu di negara lain dengan sikap yang diambil oleh rohaniwan Inggris, kita harus memahami bahwa hal tersebut memiliki apresiasi yang sangat besar dari nilai dan martabat bangsa Yahudi dan pengaruh besarnya pada karakter bangsa Inggris.

Di samping seluruh pengembangan modern, dan tak berdiri dengan fakta bahwa ilmu modern menaungi beberapa keyakinan lama tersebut, sikap fundamental orang Inggris terhadap Alkitab masih tak berubah. Tak ada kebutuhan untuk mengutip banyak penulis; selaras dengan rujukan kepada Matthew Arnold, yang menghimpun sikap budiman menjadi bobot dari ajaran Perjanjian Lama, dan bahwa gagasan tersebut sangat mempengaruhi pembentukan karakter Inggris (Appendix iii).

Hutang sastra Inggris terhadap Alkitab tak terhitung. Alkitab menginspirasi kitab-kitab tertinggi dan paling berharga dalam bahasa Inggris. Tak ada kitab lain yang secara luas dibaca atau dikaji secara sangat hati-hati. Alkitan telah menjadi unsur aktif dalam sastra inggris selama lebih dari seribu dua ratus tahun. Sepanjang masa tersebut, hal ini telah menghimpun diksi para pemikir dan sastrawan perwakilan Inggris. Alkitab merupakan “kitab yang dapat telah mereka besarkan,” ujar Thomas Carlyle (1795‒1881), walaupun pengaruhnya pada tindakan manusia kurang menonjol. Orang Inggris mencitrakan Sir Henry Havelock (1795‒1857) yang menghimpun dirinya sendiri pada janji-janji Alkitab lewat masa-masa pemberontakan tergelap; Charles George (Chinese) Gordon (1833 ‒1885) menulis dengan Alkitabnya di depannya di Khartoum; dan David Livingstone (1813‒1873) dalam kesendirian di Afrika Tengah membacanya empat kali dari awal sampai akhir, menggambarkannya dengan sabar, teguh dan tekun. Salah satu unsur moral menonjol dari abad terakhir di Inggris, John Ruskin (1819‒1900), mengakui hutang besarnya pada Alkitab. “Dalam agama,” ujarnya, “yang menyertaiku sepanjang hidup, aku digerakkan oleh gagasan Yahudi, dan sebagai warna dan suara yang sempurna secara bertahap menghimpun kekuatan mereka padaku yang kami lihat akhirnya sepakat dengan penjelasan lama iman Yahudi yang hal-hal dilakukan secara ringan dan berhak selalu dilakukan lewat pertolongan dan roh Allah.”

“Aku menghadapkanku salah satu folio lama besar dalam surat gelap yang laman-lamannya, yang dirajut dengan jari-jari, dipasangkan bersamaan,” tulis Hippolyte Adolphe Taine (1828‒1893), dalam Histoire de la Littérature Anglaise (Paris, 1863‒4). ... “Sehingga mencurahkan banyak bahasa Inggris dan separuh perilaku Inggris. Sampai hari ini, negara tersebut bersifat Alkitabiah; ini merupakan kitab-kitab besar yang telah mentransformasikan Inggris buatan Shakespeare. Untuk memahami perubahan besar tersebut, berupaya untuk menggambarkan bangsa tersebut, penjaga toko tersebut, yang pada sore hari menempatkan Alkitab pada meja mereka dan mengangkat penutup kepalanya, dengan mulia, mendengar atau membaca salah satu dari pasalnya. Berpikir bahwa kami tak memiliki buku, bahwa mereka adalah pemikiran perawan, bahwa setiap penekanan akan membuat dorongan, bahwa mereka memuka kitab tersebut bukan untuk hiburan namun menemukannya dalam puncak hidup-mati mereka.”

“Alkitab disanjung di sebagian besar Inggris: ini adalah fondasi hukum kami,” ujar Sir Lewis Tonna Dibdin, “karena kala engaku mengambil balik keputusan hukum dan UU Parlemen, kau datang ke landasan hukum moral, yang membuat Sepuluh Perintah Allah menjadi penjelasan tertulis pertama.”

“Alkitab,” ujar Thomas Henry Huxley (1825‒1895), dalam Esaynya tentang Pertanyaan-pertanyaan Terkontroversi, “telah menjadi ‘Magna Charta’ kaum papa dan tertindas.”

Tak ada orang Inggris bahkan di kalangan negara-negara Protestan yang dapat sebanding dengan Inggris dalam pengetahuan Perjanjian Lama dan pencurahan terhadap ajaran-ajarannya. Ini merupakan hal tersumpah dan hasil tak terbantahkan dari Reformasi Inggris.

“Elizabeth (1533‒1603) dapat membungkam atau melantunkan mimbar,” ujar John Richard Green (1837‒1883), “namun mustahil baginya untuk membungkam atau melantunkan para para pengkotbah keadilan besar serta kasih dan kebenaran yang dituturkan dari Kitab.... Seluruh cobaan dari bangsa tersebut berubah. Bentuk kehidupan baru dan manusia melampaui hal lama. Penekanan agama dan moral baru menyebar melalui setiap kelas.”

Pengaruh Alkitab tersebut terrasa lama sebelum penerjemahan Alkitab ke bahasa Inggris. Kala Raja James I. (1566‒1625) pada 1604 memerintahakn penerjemahan Alkitab yang baru, ia memperkenankan unsur moral dan spiritual yang mengubah kehidupan dan pemikiran Inggris. Namun, sebelumnya, Renaissance, atau kebangkitan pembelajaran, berujung pada pengkajian kitab-kitab suci dan membantu membuat mereka menjadi Puritan.

Bapa-bapa Ziarah melintasi samudra dengan kurang lebih sedikit kitab suci tersebut di tangan mereka dan jiwanya dalam hati mereka. Orang-orang tersebut membentuk Persemakmuran baru yang menghimpun konstitusi mereka pada ajaran-ajaran Alkitab; dan tradisi yang lama menganggap bahwa seluruh prajurit dalam pasukan Cromwell disediakan dengan edisi kantung, yang terdiri dari kutipan-kutipan yang selaras dari kitab-kitab suci, kebanyakan dari Alkitab Yahudi.

Hal yang sama terjadi di antara Puritan, yang Oliver Cromwell (1599‒1658) menjadi sosok utamanya, dan orang-orang yang antusias berbagi dengan tJudas Maccabæus (ob. 3628 a.m.) marabahaya dan kejayaan karir menonjolnya. Keduanya menjadi prajurit tangguh yang dikerahkan dalam pertempuran lewat penekanan prinsip-prinsip besar, dan lewat esensi obligasi kterkuat pada sebab kesucian. Keduanya berjuang untuk kebebasan melawan tirani, melawan penindasan keagamaan dan ke-tidak berkebudiman-an. Jiwa yang menginspirasi mereka semua menjadi rahasia pengabdian terbesar di dunia. Hal yang sama dapat ditelusuri lebih lanjut. Kehidupan Cromwell dibentuk oleh pengaruh Alkitab. Untuk sesosok figur yang sebanding dengan ’Cromwell, kita harus mundur ke sejarah kuno atau sejarah Inggris awal, selain pada laman-laman sejarah nasional Yahudi dalam Alkitab. Contoh-contoh Cromwell adalah Yosua (2406‒2516 a.m.), Gideon (fl. 2676 a.m.) dan Samuel (ob. 2882 a.m.). Para prajurit dan nabi Ibrani menjadi gagasannya. Dan itu tidaklah mengejutkan, karena Cromwell mempelajari Alkitab setiap hari dengan perhatian dan wahyu dan dengan keinginan untuk dipandu olehnya. ia merupakan murid intelektual dan spiritual Perjanjian Lama, dan ia “membayangkan dirinya menjadi Phineas kedua, yang dibesarkan oleh Sang Mahakuasa untuk menjadi momok pemberhalaan dan takhayul.”