Sejarah Zionisme, 1600-1918/Volume 1/Bab 11
BAB XI.
KAMPANYE NAPOLEON DI TIMUR
Sikap Bonaparte terhadap Yahudi dari Asia dan Afrika—Haim Mu’allim Farhi—Benteng Acre—Wacana Yahudi di Palestina—El-Arish—Gaza—Yerusalem—Moses Mordecai Joseph Meyuchas—“Surat yang dialamatkan oleh Yahudi Prancis kepada Saudara-saudaranya”—Prancis dan Inggris—Motif sebenarnya dari sikap Bonaparte.
Pada 1799, Napoleon Bonaparte (1769‒1821) mengeluarkan seruan kepada Yahudi Asia dan Afrika untuk berkirab di bawah panjinya, berjanji “untuk menyerahkan Tanah Suci kepada mereka,” dan “untuk mengembalikan Yerusalem kuno dan keutamaannya” (Appendix xl). Suatu hal yang sulit diketahui apakah ini diambil secara sangat serius. Yahudi di Yerusalem nampak tak menempatkan banyak kepercayaan dalam pernyataan datar Bonaparte, atau malah menghiraukan proklamasi tersebut. Pertanyaan tersebut sangat penting, dan banyak penyamaan yang timbul berkaitan dengannya, agar perbandingan, yang selaras dengan pengartiannya, tak dapat menghimpun tindak praktikal. Sejumlah sejarawan bertutur bahwa proklamasi tersebut hanyalah trik yang dimainkan oleh Bonaparte dengan tujuan memenangkan kepentingan utusan Yahudi dari Pasha Acre, Haim Mu’allim Farhi (1750?‒1820), jiwa pertahanan dari benteng laut penting. Namun, pernyataan tersebut tak berdasarkan pada bukti. Ini murni spekulasi, dan sangat tak mungkin.
Tak ada Yahudi yang diyakini dalam kesuksesan rancangan ambisius Bonaparte atau dalam kemungkinan kemenangannya, dan tanpa perhatian yang dibayarkan kepada janji-janjinya. Di sisi lain, ini takkan mungkin menunjukkan bahwa rencana Bonaparte dapat berhasil usai ia merebut Siria dan melakukan perang ke jantung Turki. Ia kemudian mungkin menghimpun bagian dalam pemerintahannya kepada para anggota bangsa Yahudi yang mengabdi pada Prancis.
Gagasan Bonaparte bersifat sederhana dan tujuannya bersifat tulus. Ia menganggap Yahudi—terutama yang tinggal di Asia dan Afrika—sebagai sebuah bangsa, dan memiliki klaim historis tak dipersengketakan terhadap Tanah Suci dan Yerusalem. ia sepakat bahwa mereka akan membantunya dan menghormati kemenangannya sebagai kemenangan bahagia jika mereka mengetahui bahwa gagasan kebangsaan mereka diwujudkan dan “Yerusalem kuno” dipulihkan ke “keutamaan”-nya. Bukankah kebijakan yang sama diterapkan olehnya pada tahun-tahun berikutnya dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa kecil di Eropa?
Wacana Yahudi di Timur disajikan dan bersifat pesimistik, tak terkait dengan keperluan tersebut, namun terkait kesempatan dan pemanfaatan. yahudi berkehendak untuk membuat pengorbanan apapun dalam rangka memulihkan “Yerusalem kuno” dengan cara damai, bukan memberontak melawan apra penguasa daerah tersebut. Selain itu, mereka memahami bahwa kampanye tersebut berujung pada kegagalan.
Warga Turki mengikuti rencana memperkenankan pasukan Bonaparte untuk bergerak sampai sejauh mungkin dari pangkalan Mesir mereka, sementara mereka mengerahkan pasukan besar di Siria. El-Arish dan Gaza di barat daya Palestina jatuh ke tangan pasukan Bonaparte pada 17 dan 25th Februari 1799. Komunitas Yahudi di Gaza melarikan diri. Di Yerusalem, kabar kemenangan dan kejahatan menciptakan kepanikan besar. Bonaparte dikabarkan nyaris memasuki Kota Suci tersebut. Atas komando wakil Gubernur, para penduduk mulai melempari benteng, Yahudi juga ikut serta dalam pengerjaan tersebut. Salah satu Rabbi, Moses Mordecai Joseph Meyuchas, mendorong dan bahkan membantu mereka dalam operasi mereka. Usai kejadian tersebut, keberhasilan Bonaparte di Mesir dan Siria terhenti, utamanya oleh pengerahan Britania Raya, dan skema-skemanya di Timur ditekan.
Kehadiran Bonaparte di Palestina seperti meteor melintas, yang usai menyebabkan kegaduhan besar, menghilang. Impiannya menjadi Kaisar Timur lenyap seketika. Mesklipun demikian, fakta bahwa gagasan Pemulihan Israel menempati pikiran penakluk besar tersebut sejak masa mudanya, pada permulaan karirnya yang tak tercontoh. Ia dan pengikutnya nampak, bahkan usai kegagalan tersebut, terdorong dengan pengerahan sorotan terhadap wilayah yang sama, dan rencana ambisi mereka membuktikan keterlibatan keberuntungan negara-negara Timur yang telah lama menjadi wilayah isolasi dan terracuhkan yang monoton.
Apapun pembenaran yang mereka bentuk adalah untuk nilai terapan dari skema Bonaparte pada masa itu, saran pemulihan Palestina ke Yahudi masih sangat signifikan. Ini menunjukkan bahwa tak ada aspirasi Yahudi dari jenis ini di Prancis sebagaimana saran yang tak dapat timbul bahkan sebagai rencana fantastik atau sebagai tindakan markas besar militer di daerah jauh. Bonaparte sangat menyoroti politik bahkan pada masa mudanya untuk menjalani resiko mencurahkan dirinya dalam menangani penyuaraan lingkar-lingkar kompeten di negaranya sendiri. Sebagai materi fakta, aspirasi tersebut diekspresikan, dan, seperti yang kami bayangkan, nampak menjadi sangat populer di kalangan Yahudi Prancis. Akibatnya, terdapat alasan untuk menyatakan bahwa skema Bonaparte, pada kenyataannya, lebih serius ketimbang yang nampak pada penglihatan pertama.
Sebuah dokumen paling menonjol, nyaris sepenuhnya sangat dilirik atau di bawah perkiraan oleh para sejarawan Prancis, melontarkan beberapa sorotan terhadap penakanan nyata pada masa itu di kalangan Yahudi Prancis. Ini merupakan “Surat yang disampaikan kepada saudaranya oleh orang Yahudi” pada 1798—setahun sebelum Proklamasi Bonaparte (Appendix xli). Surat tersebut adalah sebuah jenis dari program Zionis. Ini adalah perpaduan dari unsur-unsur berbeda, sebagian Yahudi, sebagian Imperialis pan-prancis, menjelaskan dalam hal bahwa hanya perasaan kebangsaan Yahudi mendalam yang dapat menginspirasikannya. Spekulasi politik tak terjamah dari masa itu mengandung beberapa gagasan yang berkembang pada kesadaran dan kebersihan penuh pada seratus tahun kemudian dalam pidato, pamflet dan program Zionis modern.
Penulis “Surat” tersebut dengan jelas memproklamasikan di tempat pertama kepentingan dini dari temanya, “tema terbesar sejarah Yahudi.” “Ini adalah terakhir kalinya untuk mengguncang hal tak terdukung ini—ini adalah waktu untuk menghimpun peringkat kami di kalangan bangsa lain di alam semesta.” Bangsa-bangsa di duni—yang kini ia harapkan—akan mendukung klaim Yahudi agar bangsa Yahudi harus diperlakukan atas dasar gagasan nasional. Rancangan penulis tersebut kemudian menyarankan solusi yang tak kurang masalah ketimbang Tragedi yahudi. Ia mulai dengan tinjauan “keadaan Yahudi sepanjang masa di bawah beban penindasan terkejam,” dan tinjauan tersebut tak kurang tragis ketimbang nasib Yahudi pada Abad Pertengahan, meskipun ini ditulis beberapa tahun setelah Revolusi besar, Ia kemudin menempatkan dirinya pada tugas utamanya, penjelasan yang berdasarkan pada sepanjang kemampuannya untuk melandaskannya pada pelajaran yang dipelajari dari peristiwa-peristiwa sezaman, dari sistem Restorasi yang ia anggap sangat praktikal.
Tanpa ragu, penulis tersebut menjadi agen dan corong bangsa di belakangnya. Fakta bahwa “Surat” tersebut diterbitkan atas saran orang-orang yang kala itu berkuasa di Prancis menunjukkan bahwa skema tersebut disarankan selaras dengan pandangan Pemerintah. Ini menjadi penekanan Pemerintah, pernyataan yang disampaikan oleh Bonaparte kepada Yahudi Asia dan Afrika setahun setelah penerbitan “Surat” tersebut, pada 1798, nampak menjadi akibat logis dari wacana-wacana menonjol. Selain itu, fakta bahwa skema dari jenis tersebut meraih gelombang besar di Inggris, dan bahwa Pemulihan Israel yang merupakan gagasan kesukaan Inggris, tak dapat dimengerti di Prancis. Ini sangat membutuhkan penekanan dari apa yang menjadi gagasan fundamental kampanye Mesir dan Siria. gagasan Pemulihan Israel, sebagaimana yang dicetuskan dalam “Surat kepada Yahudi Prancis” pada 1798 dan dalam Banding Bonaparte tahun 1799, sebetulnya bertautan dalam jaringan yang sama.
Untuk menjelaskannya, situasi perkara, dalam pandangan kemungkinan perubahan besar di Timur, nampak memajukan kesempatan untuk solusi permasalahan Yahudi pada tingkat nasional. Bonaparte juga mencemaskan penyertaan dirinya terhadap pelayanan Yahudi Asia dan Afrika. Namun, penekanan pentingnya adalah bahwa kebanyakan Kristen serta Yahudi berpengaruh menempatkan masalah Yahudi dari sudut pandang nasional pada akhir abad kedelapan belas.