Sejarah Zionisme, 1600-1918/Volume 1/Bab 12
BAB XII.
HAIM FARHI
Saul Farhi—Ahmad Jazzár—Putra-putra Saul Farhi: Haim, Solomon, Raphael dan Moses Farhi—Komunitas Yahudi di Palestina dan Siria—Pengaruh Palestina dalam perjuangan antara Bonaparte dan Kekaisaran Utsmaniyah—Kemartiran Haim Farhi.
Dalam rangka menghimpun pengaruh nyata dan pengartian gagasan Bonaparte, mereka menempatkan diri mereka sendiri dalam kepribadian dramatis, dan pertama dari semuanya dengan Haim Farhi. Kehidupan sosok tersebut penuh dengan romansa dan pencurahan yang tak datang dengan apresiasi semacam itu dari para sejarawan Yahudi sebagaimana yang terhimpun.
Haim Farhi lahir di Damaskus pada sekitar pertengahan abad kedelapan belas. Keluarga Farhi adalah keluarga Yahudi lama, yang para anggotanya selama beberapa generasi mencurahkan tenaga mereka untuk tugas membela bangsa kuno mereka, sesambil tetap setia terhadap pihak Pemerintah Utsmaniyah. Ayah Haim, Saul, adalah “Katib” untuk Ahmad Jazzár (1735?‒1808), yang menjadi Pasha Acre dan Sidon pertama, kemudian selama beberapa tahun Pasha Damaskus, dan setelah itu sepanjang beberapa tahun kembali menjadi Pasha Acre dan Sidon, dan memegang pengaruh besar atas Siria dan Palestina. Ahmad Jazzár (si penjagal) adalah seorang sosok tanpa moral, kekejamannya berubah-ubah dan haus akan nafsu. Alih-alih memakai pengaruhnya dan kekayaan besar untuk mempromosikan kebahagiaan terhadap warganya, ia membiarkan dataran besar di dekat Acre dengan nyaris berrawa. Kemegahan dan kemewahan sangat didorong olehnya, sementara pertanian dihiraukan. Tindakannya berseberangan dengan Sheikh Daher, pendahulunya, yang mengubah Acre dari desa menjadi kota besar. Pada masa pemerintahannya, masyarakat daerah tersebut menjadi sangat meningkat. Sumber utama kekayaan Jazzár adalah pashalik Damaskus, yang membuatnya terdorong untuk menambahkan bekas kekuasaannya. Sampai tahun 1791, Prancis memiliki pabrik-pabrik di Acre, Sidon dan Beyrout. Pada tahun tersebut, mereka semua diusir dari wilayah Jazzár lewat edik dadakan, yang memperkenankan mereka dalam tiga hari untuk meninggalkan keberadaan mereka, dengan ancaman mati.
Jazzár memerintah pashalik Damaskus yang diperlakukan buruk hanya selama beberapa tahun. Pemerintahannya tak mengetahui metode selain penindasan dan kekejaman; ia mendapat dorongan dari rakyatnya terhadap bagian menonjol dari kekayaannya dan memberlakukan hukuman mati terhadap ratusan orang, yang kebanyakan tak bersalah. Tindakan dugaannya sendiri, selaku pemimpin karavan ke Makkah, berpadu dengan pergerakan musuhnya di Porte, akhirnya berujung pada pelengserannya; namun ia meninggalkan monumen hidup dari kekejamannya dalam bentuk orang-orang yang termutilasi yang atas perintahnya dipotong hidung dan telinganya. Kala dibawa dari Damaskus, ia kembali ke pashalik lamanya di Acre dan Sidon.
Jazzár, yang penuh akan tenaga dan hidup, dan menghimpun beberapa kualitas kepahlawanan, namun menjadi monster dalam wujud manusia, dan spesimen sebenarnya dari “satrap” Timur, mengalamatkan dirinya ke Katib-nya untuk bantuan dan nasehat. Katib dalam bahasa Arab, seperti Yazgy dalam bahasa Turki, tak memiliki arti selain “penulis” atau “jurutulis,” namun jabatan tersebut memegang kuasa yang lebih besar ketimbang penerapan nama tersebut. Katib seringkali menjadi jurutulis dan bendahara pemerintah; karena ia umumnya menjadi pejabat tetap di pashalik selama hidupnya, sementara para pasha seringkali didakwa, lewat pencopotan atau kematian, dilakukan agar ia menjadi pemimpin usaha pashalik, dan pendapatan dan sumber dayanya, sementara para pasha, yang datang dari wilayah yang jauh, masuk pada kekuasaan yang menjadi kunci dalam genggaman Katib, dan menghadapkan padanya dalam penugasan mereka dan dipandu olehnya. Selain itu, Pashalik Damaskus ditempatkan sendiri, sejauh pasha dan para pegawai utamanya bergerak sepanjang tahun pada ziarah ke Makkah, dan akibatnya melebihi ikatan yang menghimpun urusan mereka pada Katib. Dikatakan bahwa pada rangkaian pawai, perintah dan aturan untuk para peziarah, sejumlah arahan yang diwajibkan dan berbagai fakta esensial lainnya dihubungkan dengan kejadian penting tersebut, telah menjadi rahasia yang dijaga Yahudi, dan bahwa Saul Farhi dianggap merupakan pakar besar dan otoritas terakui dalam persoalan tersebut. Ia memiliki empat putra: Haim, Solomon, Raphael dan Moses (ob. 1840) dan satu putri. Haim, sang anak sulung, ditugaskan oleh ayahnya untuk mengurusi seluruh kerahasiaan profesional dari jabatannya. ia adalah pemuda berkemampuan dan berpemahaman sempurna. Para paruh awal kehidupannya, kala ia masih di Damaskus, pergerakan musuhnya timbul kala ia datang ke Konstantinopel untuk menjawab dakwaan tertentu yang ditujukan terhadapnya; dan, kala diberlakukan denda yang tak dapat dibayarkan olehnya, ia dilemparkan ke penjara. Saudarinya, seorang wanita bertenaga besar, mengambil perjalanan dari Siria ke Konstantinopel untuk membuat petisi demi pembebasan saudaranya. Ia berhasil, dan membawa saudaranya kembali ke rumahnya. Kesetiaan dan integritas Haim dtempatkan di luar keraguan, dan pengalamannya di Konstantinopel harus membentuk untuk memberikannya pengetahuan hukum dan sorotan pada pemerintah pusat, yang sangat dicurahkan olehnya. Ia kemudian diangkat oleh Jazzár pada jabatan Katib atau menteri di Acre, tempat terdapat tiga puluh enam keluarga Yahudi yang bermukim. Disamping 9000 penduduk Muslim dan Kristen, Yerusalem memiliki sekitar 1000 Yahudi; dan komunitas lama dengan jumlah menonjol bertempat di Tiberias, Safed, Jaffa dan Hebron. Walaupun tak berpengaruh dalam jumlah, Yahudi, yang memiliki hubungan mereka dengan komunitas Damaskus, Aleppo, Bagdad, Konstantinopel, Smirna dan Salonica, yang menghimpun sejumlah sekolah agama, dan usaha bisnis besar yang meluas sampai sejauh Mesir dan India, dianggap menjadi unsur penti9ng. Fakta bahwa Saul Farhi menjadi Katib di Damaskus, dan putranya Haim di Acre, dan bahwa, menurut wacana umum, Yahudi lebih diakui ketimbang golongan lain pada rute menuju Makkah, dan dengan perintah dan aturan, tak hanya menjadi nilai fiskal dan komesial, namun juga pengaruh strategis besar—fakta tersebut tak kalah banding dengan pembayangan Bonaparte. Dari sudut pandang tersebut, dan seluruh kejadian yang timbul, ia menunjukkan bahwa sikap Bonaparte terhadap Yahudi tidaklah fantastik sebagaimana yang dapat dilihat pada penglihatan pertama. Ini merupakan skema yang dihimpun dengan baik.
Kegiatan Haim Farhi menjadi dua kali lipat. Ini jatuh pada ranahnya untuk dilirik usai komunikasi dengan Damaskus dan Hedjaz, untuk tetap bersentungan dengan seluruh pusat perdagangan dan sumber daya yang jauh, dan pada saat yang sama menanamkan hubungan yang sangat berhati-hati dengan Konstantinopel. Kedua departemen kegiatan tersebut tersebut terikat dengan kesulitan dan pertanggungjawaban. Jalannya buruk, suku-suku, klan-klan, dna keluarga-keluarga banyak terpecah dan secara berkelanjutan bergesekan satu sama lain. Komunikasi tak aman, dan bahaya yang terputus selalu terjadi secara langsung. Di sisi lain,pengutamaan hubungan damai antara Pasya yang berkuasa dan Padishah dengan seluruh camarilla-nya biasanya merupakan tugas yang keras. Farhi mengamankan reputasi untuk kemampuan khusus dalam kedua arah. Dibesarkan dalam atmosfer profesi Katib, ia lebih baik memberitahukannya ketimbang hal lain terkait komunikasi dan keadaan perkara di Damaskus dan tempat lain, sementara martabat perilakunya, sebabagi keturunan keluarga Yahudi tua, hadiah intelektualnya dan pengetahuan menakjubkannya dalam bahasa-bahasa Timur, memperkenankannya untuk melakukan tugas-tugas karir diplomatik dengan sangat sukses. Karena fungsi tersebut, terdapat pernyataan Jazzár, yang menyebut pernyataan tersebut bahwa “catatan Farhi kepada Porte memiliki kualitas makjubkan dari kesopanan serta ekspresif.”
Tanpa perlu dikatakan, pengaruh dan kegiatan Farhi, yang akan menjadi penting bahkan pada masa damai, menghimpun pengaruh menonjol pada masa berikutnya kala untuk pertama kalinya sejak Perang Salib Timur dan Barat terlibat dalam perjuangan untuk keberadaan. Ini adalah salah satu hal teraneh dalam sejarah bahwa persiangan kekuatan antar kekuatan-kekuatan terbesar di dunia—Bonaparte dan Kekaisaran Utsmaniyah pada masa itu, dibekingi oleh Inggris Raya—adalah untuk diputuskan di Tanah Suci, di wilayah pelabuhan kecil, dan bahwa putra bangsa mengatur wilayah tersebut dan menjadikannya tanah kejayaan, dan bahwa Allah menjanjikannya sebagai “warisan berkelanjutan,” merupakan jiwa pertahanan, yang mengusik seluruh rencana musuh.
Karir Haim, yang bersifat romantis, menghimpun kepentingan dari salah satu insidennya, yang membuat Pasya nampak menjadi monster barbar dan gila. Kisahnya terdengar seperti reka cipta khayalan liar, namun merupakan fakta nyata tak terbantahkan. Kami menyebutnya berkaitan dengan kegiatan Jazzár di Damaskus bahwa monumen hidup dari kekejamannya masih ditinggalkan dalam bentuk wajah tanpa hidung dan kepala tanpa telinga dari warga Damaskus. Semangatnya untuk melukai dan memutilasi nampak bertumbuh dengannya di Acre.
Rev. John Wilson (1804‒1875) berujar pada kami: “Nyaris setiap orang dalam pihak domestiknya dilukai. Beberapa menginginkan tangan, beberapa menginginkan kaki; yang lainnya merenungkan atas kehilangan kaki, jari atau tenglia, menurut rangkaian tirani yang terjadi untuk mengarahkannya. Haim Farhi adalah seorang pria handal dan menghimpun figur sempurna dan pengalamatan pra-prosesi. Ia menikmati kepercayaan Pasya, dan mengembangkan kekayaan dalam pekerjaannya. Suatu hari, Ahmad (Jazzár) berujar kepadanya: ‘Haim, kau memiliki orang yang sempurna, kau sangat indah, kau adalah pria paling atletik; kala tetamu datang, inilah kamu, bukan aku, ujar mereka; setiap orang nampak berujar bagaimana kebahagiaan Pasya menghumpun sosok semacam itu: Kini, karena ini, aku memiliki beberapa pemikiran yang mencurahkanmu dari jabatanmu; namun kasih besarku kepadamu menghalanginya; namun, kau tak dapat menentang apapun untuk menempatkan salah satu matamu.’ Tukang potong lekas dikirim; dan Haim Farhi kehilangan matanya. Ia tetap meneruskan tugasnya, dan dengan percaya diri melaksanakan tugasnya, dan Pasya terus terpikat padanya. Namun, Yahudi terpukau pada penampilannya, dan melucuti tepian sorbannya dengan sangat terampil agar penampilannya tak terlalu teramati. Jazzár menyatakannya, dan berujar padanya pada suatu hari, ‘Semua yang aku lakukan tak berguna, kau menjadi indah dan atraktif seperti sebelumnya; aku harus memotong hidungmu.’ Tukang potong kembali dikirim, dan Haim kehilangan hidungnya. Ia masih tetap mengabdi pada Pasya, dan menjalankan tugasnya dengan percaya diri, dan bahkan memimpin kegiatan tindakan tiraninya.”