Lompat ke isi

Sejarah Zionisme, 1600-1918/Volume 1/Bab 23

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

BAB XXIII.

EARL OF SHAFTESBURY

Buku harian 1830‒40—Wakil Konsul Inggris pertama untuk Yerusalem—Perjalanan Lord Lindsay ke Mesir dan Tanah Suci—Pemanduan lima Kekuatan—Pembentukan Lord Shaftesbury terhadap pusat spiritual untuk bangsa Yahudi.

Gagasan Zionis tak hanya memiliki sejarah panjang dan tak terpisahkan di Inggris; ini menghubungkan bersama periode dan orang dari sebgaian besar dakwaan dan emosi yang sangat berbeda. Kebenaran tersebut diilustrasikan oleh fakta bahwa pada masa kala Sir Moses terdorong untuk mendirikan Persemakmuran Yahudi di Palestina, sosok terkenal lain, salah satu Kristen terbesar di neagra tersebut, bekerja dengan caranya dan seturut sorotannya, dengan keantusasan serupa dan kekuataan dakwaan, untuk kepentingan yang sama. Ia adalah Earl of Shaftesbury ketujuh (1801‒1885), salah satu sosok paling penting pada masa itu, seorang sosok cerdik yang paling disuarakan dan persepsi yang terkuat, berani, berpandangan jauh, kejujuran keperluan yang besar, sederhana dan jauh dari kemewahan, seorang Kristen dan dermawan berpemikiran luas.

Terkait Lord Shaftesbury, dermawan Kristen terawal, dunia tak terlambat untuk mengakui reformator sosial paling menonjol pada abad kesembilan belas Adopati Argyll (1823‒1900) kemudian menyebutnya dalam pidato peringatan dalam Dewan Bangsawan, dan eulogi yang dimajukan oleh Lord Salisbury (1830‒1903): “Motto keluarga Shaftesbury, ‘Kasih, melayani,’ sangat diterapkan dalam karakter hidupnya. Upayanya dan pengaruhnya terajut dengan banyak gerakan paling manusiawi selama dua generasi. Secara terdahulu, teman kaum papa, tersingkirkan dan terkucilkan, simpati besarnya dan pekerjaan tiada hentinya atas perantara kelas yang ia sangat tempatkan dalam kepentingan, memberikannya tempat tinggi dalam serangkaian gambaran warga Inggris tercinta. Epitaf yang diinginkan Rabi Timur untuk dirinya sendiri dapat dengan kebenaran sempurna ditujukan kepada Lord Shaftesbury, ‘Menuliskanku sebagai sosok yang mengasihi sosok sejawatku.’”

Lord Shaftesbury menulis dalam buku hariannya pada 29 September 1838:—

“Meninggalkan pagi itu, Young, yang diangkat menjadi Wakil Konsul Yang Mulia di Yerusalem! Ia akan berlayar dalam sehari atau dua hari ke Tanah Suci. Jika ini ditonjolkan, ini menjadi peristiwa yang menakjubkan! Kota kuno dari bani Allah nyaris meneruskan tempat di kalangan bangsa-bangsa, dan Inggris merupakan Kerajaan non-Yahudi pertama yang berhenti ‘untuk meredamnya.’ Jika aku berniat untuk menulis, nyaris tiada henti, aku akan mencatat disini, untuk manfaat kenangan menonjol dan sangat menghentakkanku, seluruh langkah tempat perbuatan baik ini telah dilakukan, namun aransemen naratif, daneksekutif darinya, juga akan membiayaiku banyk penulisan; aku harus selalu, dalam tingkat apapun, mengingat bahwa Allah menempatkannya dalam hatiku untuk menggerakkan rencana tersebut untuk penghormatan-Nya, memberikanku pengaruh untuk selaras dengan Palmerston, dan menyediakan seorang sosok untuk situasi tersebut, yang ‘dapat mengenang Yerusalem dalam pikirannya’” (vol. i., p. 233).

Itu adalah, sebagaimana yang kami lihat, sebuah catatan yang sangat menonjol dari Lord Shaftesbury bahwa Yerusalem adalah tentang penerusan tempat di kalangan bangsa-bangsa, dan bahwa Inggris ditujukan untuk melaksanakan rancangan Allah.

Ia melanjutkan pada 3 Oktober 1838:—

“‘Perjalanan di Mesir dan Tanah Suci’ karya Lord Lindsay sangat membekas padanya, ... Mesir akan secara besar menghimpun konfirmasi catatan Yahudi; dan Palestina, kala digali dan ditelusuri lewat para penjelajah yang berusaha, harus melihat masa lampaui dengan seluruh penglihatan terkini. Kekerasan Ibrahim Pasha (1789‒1848) (Momok Suriah) membuka sumber-sumber pertama dari regenerasi politiknya lewat penawaran akses bebas ke warga asing dalam tekanan ketakberhukuman penduduk asli; ratusan orang kini pergi pada bulan kedua belas kala satu rombongan bergerak dalam seperempat abad, dan Alkitab menjadi kitab jalan umum” (Ibid.).

Kalimat terakhir menyatakan karakter Alkitab dari pencurahan Inggris kepada Palestina. Para pemikiran dan negarawan Inggris utamanya memuji fakta bahwa tak ada negara yang menjadi tempat drama utama perkembangan manusia sepanjang berabad-abad sebagaimana Palestina, dan tak ada lainnya yang menghimpun ingatannya dengan sangat banyak pergesekan dari pertikaian besar tersebut yang membentuk unsur-unsur utama dari sejarah.

Ia menulis pada 24 Juli 1838:—

“Ini nampak sebagaimana uang menjadi satu-satunya hal yang diinginkan untuk meregenerasikan dunia. Tak pernah ada zaman kesuburan dalam rencana baik, atau dengan nampak sosok yang lebih baik untuk melaksanakannya, namun dimana pengartiannya?... Kenapa uang nyaris akan memulihkan Yahudi ke Tanah Suci. Tentunya sepanjang Mehemet Ali menjadi arbiter takdir mereka....

“Kekhawatiran tentang harapan dan nasib orang Yahudi. Setiap hal nampak tergerak untuk pemulangan mereka ke Palestina; ‘cara raja-raja Timur mempersiapkan.’ Dapatkah lima kekuatan barat terlibat untuk menjaga keamanan hidup dan pendirian ras Ibrani, mereka akan bergerak balik dengan cepat pada jumlah yang dikatakan. Kemudian lewat berat Allah, aku akan menyiapkan dokumen, membentenginya lewat seluruh bukit yang dapat aku hitung, dan, menghimpun kebijaksanaan dan kasih Mahakuasa, menjabarkannya di hadapan Menteri Urusan Luar Negeri” (Ibid., p. 310).

Ini dapat diamati bahwa rumus Zionis dari program Basle, menuntut tempat tinggal untuk orang Yahudi yang diamankan lewat hukum publik, identik dengan “penjagaan Kekuatan Besar” yang disarankan oleh Lord Shaftesbury.

Tak hanya pertanyaan kebangsaan yang terlibat dalam realisasi program penting tersebut, namun juga pertanyaan penciptaan nukleus spiritual untuk kecerdikan Ibrani—salah satu aspurasi menekan dari Zionis—menduduki pemikiran Lord Shaftesbury sebanyak proporsi politik:—

Vitalitas warisan ras Ibrani menyatakan ulang dirinya dalam dorongan menakjubkan; kecerdikannya, untuk menuturkan kebenaran, mengadaptasi dirinya kurang lebih untuk seluruh gelombang peradaban dari seluruh belahan dunia, selain selalu timbul dengan unsur-usnur khas dan serangkaian pemulihan. Terdapat identitas tak terpatahkan dari ras Yahudi dan pemikiran Yahudi pada zaman kami: namun kebangkitan besar hanya dapat dilakukan di Tanah Suci.

Ia kemudian menyatakan soal langkah-langkah terapan.

“1 Agustus 1838.—Bersantap dengan Palmerston. Usai makan malam ditinggal sendiri dengannya. Menyatakan skemaku, yang nampak menyerang khayalanku; aku menanyai beberapa pertanyaan, dan siap berjanji untuk menghimpunnya. Bagaimana ketunggalan menjadi tatanan Kehadiran! Ketunggalan, itu jika diperkirakan oleh cara-cara manusia! Palmerston telah dipilih oleh Allah menjadi alat kebaikan untuk bangsa kuno-Nya, untuk dipulangkan, sebagaimana yang dilakukan, pada pewarisan mereka, dan untuk mengakui hak mereka tanpa meyakini takdir mereka. Dan nampak ia akan melakukan lebih. Namun walau motifnya baik, ini tak disuarakan. Aku terpaksa untuk berargumen secara politis, keuangan, perdagangan; pengadaannya mendorongku pulang; ia tak tersentuh seperti Pemimpinnya atas Yerusalem, maupun berdoa agar kini, setidaknya, ia dapat menempatkan rajutan indahnya....” (Ibid., hlmn. 310‒11).

Dalam beberapa baris, kami melihat masalah Zionis dalam dua aspeknya: Lord Shaftesbury bersepakat dengannya sub specie æternitatis, sehingga sepenuhnya merasuk dengan esensi martabatnya bahwa khayalan pembaca disetir perasaannya yang sama, dan Lord Palmerston, seorang diplomat, melalui wacana bahwa skema tersebut, dibangun di tengah-tengah gagasan, aspirasi dan emosi, mengharuskan kebersihan yang lebih, sehingga selaras dengan penjelasan utama dan lebih menuntut terkait sisi ekonomi dan statistik dari persoalan tersebut. Perbedaan antara dua sosok tersebut adalah ini: Lord Palmerston adalah pemimpin politik besar, Lord Shaftesbury adalah Kristen besar.

The Quarterly Review untuk Januari 1839, menerbitkan artikel menonjol karya Lord Shaftesbury. Ini adalah ulasan dan apresiasi “Surat tentang Mesir, Edom, dan Tanah Suci, oleh Lord Lindsay, 1838.” Ia menulis: “Kami membayangkan, dalam pernyataan artikel tersebut, untuk mengembangkan peminatan yang terwujud atas perantaraan Tanah Suci. Peminatan tersebut tak terhimpun pada Kristen —ini dibagi dan disumpah oleh seluruh kalangan Yahudi,... Tanpa ragu, ini bukanlah sentimen terhadap bani yang tertekan. Keadaan saat ini tak dibohongkan dalam penebusan harapan semacam itu ... namun dalam pengakuan tanpa takut mereka akan harapan; dan dalam perkiraan jiwa antara Kristen dan Ibrani, untuk menghibur keyakinan yang sama dari kejayaan masa depan Israel,... Dalam kebanyakan masa lampaui, perkembangan perasaan keagamaan disusul oleh penindasan bangsa kuno Allah;... Namun perubahan menonjol datang pada hati non-Yahudi; mereka kini memperjuangkan ... perdamaian orang-orang Ibrani. Salah satu dari mereka ... melakukan perjalanan ke Polandia ... memberitahu kami bahwa sekitar ribuan Yahudi di negara tersebut dan Rusia kini mengikatkan diri mereka sendiri lewat sebuah sumpah, bahwa, kala jalan terbuka untuk mereka agar pergi ke Yerusalem, mereka akan langsung kesana,... Dr. [Joseph] Wolff (1795‒1862) (Jurnal, 1833) (sic) mendengar sentimen tersebut dari mulut mereka di negara-negara Asia terpencil; dan Buchanan menganggap bahwa kala ia mendatangi Yahudi India, ia mendapati kenangan pengusiran mereka dari yudea, dan keyakinan mereka untuk kembali kesana.... Di Polandia, fokus besar orang-orang Ibrani, sentimen tersebut sangat menonjol pada waktu itu mendekati keputusan untuk kembali dari pembuangan mereka:...” (hlmn. 176‒9).