Lompat ke isi

Sejarah Zionisme, 1600-1918/Volume 1/Bab 32

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

BAB XXXII.

ZIONISME DI PRANCIS

Joseph Salvador—Lazar Lévy-Bing—Maurice [Moses] Hess—D. Nathan—Benoît Levy—Dr. A.-F. Pétavel—Ernest Laharanne—Crémieux—“Alliance Israélite Universelle”—Albert Cohn—Charles Netter.

Di Prancis, gagasan Zionis mendapatkan pendukung pada salah satu Yahudi Prancis paling menonjol pada abad terakhir, Joseph Salvador (1796‒1873). Ia adalah Yahudi Prancis pertama setelah emansipasi Yahudi di Prancis yang mengekspresikan gagasan besar Yahudi kuno. Dari 1789 sampai 1822, kala edisi pertam Esay-nya tentang Mosaisme dimunculkan, selama tiga puluh tiga tahun berhalangan—sekitar jangka waktu satu generasi, dan umumnya waktu tersebut mengambil zaman baru untuk berkembang. Salvador, selaku pemimpin intelektual pada zamannya, terinspirasi oleh insting moral sempurna dan pencurahan terhadap kemanusiaan yang dimajukan oleh pengaruh Alkitab.

Kala pada 1840, pertanyaan Timur mengajukan dirinya dalam seluruh perkembangan terkaitnya, Salvador nampak siap untuk mengantisipasi tekanan dan pergesekan yang ditujukan untuk ditimbulkan di wilayah-wilayah tempat calon negara Yahudi berdiri; dan antisipasi tersebut diperkuat kala lima belas tahun kemudian bangsa-bangsa Kristen dari dunia Barat datang untuk menjajakan perang demi tempat-tempat suci. Menurut Salvador, Palestina ditujukan untuk dijadikan pusat ekonomi Yahudi, tepatnya lebih sebagai pusat aspirasi nasional Yahudi. “Kehidupan baru akan merasuki pada pegunungan Yudea, ini akan bangkrit di atas segala bukit, segala gunung. Pertanyaan Timur, karena kala dilepaskan atau dibuka oleh perkara publik lainnya, akan menggetarkan seluruh generasi saat ini. Ini akan meluas pada abad berikutnya. Saat itu, pada 1853, karakternya berada di atas semua hal politik: ini adalah pertanyaan Konstantinopel dan Dardanelles. Mungkin, untuk mengajukannya, diskusi akanmenjadi unsur komersial dalam kaitannya dengan Mesir, Laut Merah, Suez. Persatuan Eropa, yang banyak diinginkan, sangat dipuji, dan tak pernah ditinggalkan, menyiapkan pertanyaan soal pengaruh sekuler. Pusat perkara dunia berubah. Yahudi pada era baru harus terhimpun pada tanah tempat Yahudi pada era lama dibangun.”

“Asia Kecil hanya memiliki dua unsur kehidupan, dua ras yang didapatkan dari peradaban dan perjuangan, Yunani dan Yahudi. Tanpa pengikisan mendalam Yahudi di Timur, pada masa kala kehidupan baru (yang, lewat cara tersebut, digambarkan dari dunia Barat) harus digerakkan ulang penduduknya, Yahudi, lewat pengerahan namanya, oleh janji masa depannya, akan kembali menjadi pusat sorotan tak tertandingi dari seluruh pasukan Yahudi di Timur, dan bagian dari bagian Eropa. Negara baru akan terbentuk pada pantai Galilea dan Kanaan lama, tempat klaim Yahudi akan mendominasi tekanan terpadu dari peristiwa sejarah, penindasan di beberapa negara, dan simpati Puritan dari Inggris Alkitabiah.” Pernyataan Salvador terdengar bak tangisan generasi terlupakan. Ini harus disematkan dalam pikiran bahwaagar mereka ditulis pada suatu masa kala Yahudi Prancis hanya mengharapkan satu harapan dan satu gagasan: penyerapan dan asimilasi oleh sekitaran mereka. Sehingga, ini menyatakan bahwa bangsa mulia tersebut, yang menjadi Yahudi berpendirian serta patriot Prancis, dan menjadi salah satu sosok paling menonjol dalam sastra Yahudi-Prancis, membela gagasan nasional Yahudi dan pemulihan Yahudi ke Palestina dengan kebersihan dan kekuatan semacam itu.

Untuk menyatakan bahwa ia menulis pasal tersebut tepat sebelum Perang Krimea pecah, yang dipandang sebagai kejadian selaras untuk menghimpun kemungkinan di Timur yang lebih besar ketimbang yang sebelumnya dilakuakn, selaras untuk menandakan kepentingan langsung. Namun, kesempatan sebenarnya tak dapat dilakukan oleh dirinya menimbulkan pemikiran semacam itu tanpa fonrasi kuat dan dukungan dakwaan mendalam. Sebagaimana yang ia katakan, “Yahudi dari era baru harus bangkit terhadap tanah tempat Yahudi era lama didirikan.” Ini menjelaskan bahwa ia tak memikirkan Yahudi separuh terpadu yang tak merasakan keberadaan kebangsaan spiritual mereka, dan berharap untuk menghabiskan segala jejaknya. Ia tertarik untuk memutuskan bahwa “unsur Yahudi di Timur dan bahkan belahan Eropa” harus menciptakan Yahudi baru tersebut.

Seperti seluruh pemikiran progresif pada masanya, Joseph Salvador terinspirasi oleh Revolusi besar, emansipasi Yahudi, dan persaudaraan segala bangsa. Tesis utama dari bukunya tentang Hukum Musa adalah “misi universal agama Yahudi.” Tak ada pemikiran Yahudi dari mazhab Asimilasi membela teori tersebut secara lebih konsisten dan lebih kuat, dalam bahasa yang lebih elok dan luar biasa. Sehingga, ia umum dioanggap sebagai bapak Yahudi progresif modern di Prancis. Namun, ia tak melihat kontradiksi apapun antara gagasannya soal pengabdian spiritual dan gagasan pusat kebumian, yang dicetuskan oleh pemikiran politik pada masanya. Dalam kesimpulan kami, dakta tersebut meneguhkan bahwa gagasan pertama misi Yahudi, sebagaimana yang disampai oleh Yahudi besar pada abad terakhir, jauh dari mewujudkan keinginan masa depan nasional Yahudi.

Kami mendapati rujukan subyek tersebut pada kontroversi panjang yang diterbitkan dalam Arsip Yahudi-Prancis Israélites pada 1864. Salah satui kontributor majalah tersebut, M. Lazar Lévy-Bing, dalam sebuah surat berjudul “Rétablissement de la Nationalité Juive,” tertanggal dari Nancy, 21 Mars, dan dalam edara lainnya, “Suite d’une polémique,” Nancy, 2 Mai, menuturkan pada kami dengan jelas, pengedepanan keputusan, bahwa ia meyakini akan masa depan nasional Yahudi, dan menganggapnya satu-satunya solusi masalah Yahudi. Ia memiliki keyakinan agama yang kuat, dan harapan terdepannya menyatukan jiwa masa itu dengan kebenaran abadi agama Yahudi; kala ia menyatakan bahwa sebuah bangsa yang menarik keyakinannya pada Allah akan meninggalkan fonrasi moralitas. Ia menganggap persatuan antara Yahudi dan para teman kebebasan sebagai kondisi tak terpisahkan dari perjuangan manusia. Ia menyatakan bahwa Yahudi akan lebih baik mengurusi kepentingan peradaban universal lewat pengerjaan secara utama untuk persemakmuran mereka sendiri, lewat mempersiapkan masa depan mereka sendiri. Sehingga, ia berujar, minoritas Yahudi di negara-negara bebas utamanya akan tersoroti saat ini, dan tenaga mereka akan dipakai pada lingkungan mereka sendiri, walau mayoritas Yahudi akan bekerja dalam pengarahan Yahudi. Ini menyelaraskan antara Pemulihan Palestina yang dijanjikan oleh para nabi, dan patriotisme Yahudi yang menghimpun kesejahteraan negara-negara berbeda.

Ia sangat didukung oleh serangkaian artikel berjudul: Lettres sur la mission d’Israël dans l’histoire de l’humanité, bertandatangan “Maurice Hess” (1812‒1875), seorang penulis terkenal dan nasionalis Yahudi menonjol. Di sisi lain, M. D. Nathan, Chef d’escadron d’artillerie, dalam sebuah surat, “Une Question Soulevée,” tertanggal dari Toulon 21 Avril, dan M. Benoît Levy, dalam “Tentative de Conciliation,” 15 Juin, mengumumkan gagasan epmulihan sebagai penaungan dan mimpi tak terrealisasikan. Kontroversi menghangat timbul lewat campur tangan teolog Kristen, Dr. Abram-François Pétavel dari Neuchatel, yang mengajukan kepada Yahudi soal pemulihan mereka ke Palestina. Ia menerbitkan dua buku, yang berkaitan dengan pertanyaan dari sudut pandang teologi. Namun, suratnya kepada Yahudi kurang jelas. Ia berniat untuk mengirim soal jenis kompromi, selain menciptakan penekanan buruk. Tindakannya menuai pertentangan, dengan akibat alih-alih mendapatkan ad rem malah mendapatkan ad hominem.

Pada waktu yang sama, penulis Prancis lain, Ernest Laharanne, jurutulis pribadi untuk Napoleon III., walau merupakan penganut Katolik Roma, menulis pamflet berkaitan rekonstitusi Yahudi sebagai bangsa. Ia terinspirasi dengan gagasan “perjuangan dalam peradaban manusia dan hak bangsa-bangsa.” Terdapat sejumlah sentimentalitas tertentu dalam pamfletnya; namun keantusiasannya, walau terlalu emosional dan retorikal, sangatlah bermartabat. Ini masih dikatakan bahwa seluruh penulis Prancis soal kisah terkait dengan pertanyaan abstrak. Alih-alih memberikan indikasi pasti dari apa yang dilakukan, mereka memutuskan untuk menyatakan harapan kosong dan merumuskan saran dan banding besar (Appendix lxiii).

Salah satu Yahudi Prancis terbesar, Crémieux, menyatakan pemnyebutan khusus disini. Isaac Moses Adolphe Crémieux lahir di Nîmes pada 1796. Belajar hukum selama beberapa waktu, ia melamar pekerjaan di kota asalnya pada 1817, dan langsung memulai praktek. Ia meraih reputasi karena keelokan dan dorongan modral. Pada 1827, ia pindah ke Paris, tempat namanya dikenal. Oratoriumnya kemudin menerima sambutan besar di Mahkamah Hukum. Ia secara bertahap makin terkenal pada catatan keberanian politiknya dan integritas keperluannya. Pada 1840, ia datang ke Inggris selaku perwakilan terakreditasi Yahudi Prancis untuk ikut serta dalam deliberasi yang diadakan atas inisiatif Sir Moses Montefiore terkait pembantaian Damaskus. Ia pada waktu itu menjadi Wakil Presiden “Consistoire Central” Yahudi Prancis. Tak lama usai kedatangannya di Inggris, ia menjadi, dengan pengecualian Sir Moses Montefiore, sosok paling berpengaruh dalam agitasi yang dibuka di negara tersebut untuk meraih reputasi dari Mehemet Ali karena dorongan anti-Yahudi yang menjamah dalam yurisdiksinya. Crémieux kemudian menyertai Sir Moses pada misinya ke Timur, dan lewat nasehat dan diplomasi yang disuarakan olehnya membantu dalam menghadapi banyak kesulitan. Kala kesuksesan misi tersebut terwujud, ia bergerak dengan Sir Moses ke Konstantinopel, tempat ia membantunya dalam menerima Firman 12 Ramada buatan Abdul Medjid terkait Yahudi. Dau tahun setelahnya, pencapaian brilian dibuat olehnya pertama kali dalam ranah politik. Ia memegang kursinya di Dewan Deputi, dan naik ke jabatan berpengaruh menonjol. Ia mengidentifikasikan dirinya secara menonjol dengan sayap kiri jauh, dan tak hanya menerima pengaruh besar di kalangan anggota partainya sendiri, namun mengasosiasikan dirinya lebih aktif ketimbang orang lainnya dengan upaya agar mendapatkan jalan untuk Revolusi tahun 1848. Sejak saat itu, ia menjadi salah satu pemimpin politik negaranya, selalu dalam kekuatan walau tak selalu dalam jabatan. Ia beberapa kali menjadi anggota Kabinet Prancis. Pada 1870, ia menjadi salah satu anggota Pemerintahan Pertahanan Nasional.

Emansipasi Yahudi di Aljazair adalah karena inisiatif dan pengerahannya. Pada 1860, ia bekerja sama dengan Sir Moses Montefiore dalam mengumpulkan dana untuk Kristen di Suriah. Pada masa yang sama, ia membantu pembentukan “Alliance Israélite Universelle.” Ia menjadi Presiden pertamanya, dan masih menjabat sampai kematiannya (1880), mengambil bagian penting dalam seluruh urusannya. Ia menjadi sosok utama dari perjuangan besar dan berjaya tak hanya untuk “hak Yahudi,” namun juga untuk kebesaran dan signfiikansi nyata persaudaraan Yahudi dan gagasan agama Yahudi. Dari pertahanan martir Yahudi Damaskus sampai Kongres Berlin (1878), karirnya menjadis ebuah catatan panjang dari upaya berat dan antusias atas pernatara orang Yahudi di seluruh belahan dunia. Ia mengkhaskan dan mempersonifikasikan seluruhnya selaku naungan dalam kepentingan Yahudi. Seluruh hidupnya menghimpun konsistensi dakwaan Yahudinya. Sikap dan nadanya adalah sosok Yahudi, Victor Hugo. Tak ada orator yang lebih menginspirasi dan tak ada intelek yang lebih besar. ia adalah pembentuk “Alliance Israélite Universelle” dalam esensi tertingginya. Ia membesarkannya dari insignifikansi pada pengaruh yang dicapai sebelum ia menjemput ajal. Tindakan resmi terakhirnya selaku Presiden “Alliance” adalah menandai banding atas perantara mazhab-mazhab Yahudi di Yerusalem.

Agitasi tak terhindarkan timbul melawan “Alliance,” dan Crémieux diserang secara pribadi atas davokasinya terhadap emansipasi Yahudi di Aljazair, dan karakter internasional “Alliance.” Rumor terliar beredar berkaitan dengan tujuan dan kegiatan “Alliance,” yang dianggap anti-patriotik, anti-Kristen, dan bahkan anti-kemanusiaan. Kerancuan terbesar mendapati jalan mereka pada pers anti-Yahudi sensasional dari banyak negara, mengaitkannya dengan lembaga kemanusiaan dan amal tersebut dengan kejahatan dan keburukan. Karena Crémieux menjadi salah satu asimilan Yahudi berpikiran lemah yang dengan mudah terusik oleh dakwaan dan tertekan oleh prasangka anti-Yahudi, ia membuat permohonan atau sepenuhnya meninggalkan lingkup kegiatannya. Namun, ia memiliki kekuatan moral yang cukup tanpa kaitannya dengan tuduhan tak berdasar.

Crémieux bukanlah Zionis dalam esensi modern dari istilah tersebut. Namun sempat diajarkan, tanpa melebih-lebihkan, bahwa keantusiasan Yahudi-nya, pembentukan kebesaran Israel, dan kecintaannya terhadap Palestina bersifat Zionistik. Ia merupakan perpaduan menggembirakan dari Yahudi besar dan patriot Prancis besar. Visi masa depan Israel meningkatkan sorotan intelektualnya. Kebangkitan Tanah Suci baginya merupakan pertanyaan penting tingkat satu. “Ini adalah,” ujarnya, “kenyamanan, sinar matahari dari kehidupan kita.” Pada kesempatan lain, ia berujar: “Ini harus dimajukan agar kemudian perhatian menonjol ditujukan kepada aspek Timur.” Berbicara soal sekolah pertanian “Mikveh Israel,” dekat Jaffa, ia berujar: “Kehendak ini menjadi pelopor masa depan. Kala Yahudi menginjakkan kaki pada tanah asli mereka, mereka takkan meninggalkannya lagi.” Dalam seluruh pidatonya, ia menorong niat terhadap kebutuhan pengetahuan Perjanjian Lama. Gagasan Yahudi, dengan memakai istilahnya sendiri, “sangatlah khas,” dan orang-orang yang meperjuangkan keadilan akan berbalik pada kami, pencetusan dan penerusan orang-orang yang mula-mula meraih “Firman Ilahi.” Ini adalah jiwa yang menggerakkan “Alliance Israélite Universelle,” terutama saat tahap-tahap awal dari keberadaannya.

Salah satu anggota paling aktif dari “Alliance,” dan teman akrab, murid dan penasehat Crémieux, adalah Albert Cohn (1814‒1877). Ia mengisi sejumlah jabatan komunal dan lainnya dengan kekhasan. Ia adalah anggota Konsistori Pusat Prancis, Presiden Paris Benevolent Society, anggota penting dari “Alliance,” dan Presiden Society of the Promised Land. Ia bersimpati dengan semuanya yang ditindas, dan ikut serta dalam pengerahan mereka; ia menggelontorkan sebagian besar kekayaannya dalam memitigasi penderitaan mereka; waktunya selalu pada komando orang malang. Ia memadukan karakteristik Yahudi terapan dan idealistik. Ia adalah pekerja komunal setia dalam komunitas Yahudi di Paris, namun pada saat yang sama mencurahkan kehidupannya pada pengerjaan Palestina. Ia memiliki hadiah intuisi menonjol, dan memajukan perkembangan mendatang di Palestina.

“Monsieur le Redacteur,

“... kala kami berhasil untuk membuat kota patriarkal tersebut menjadi pusat pembelajaran agama, sebuah jenis UYniversitasl Yahudi untuk Ketimuran dan daerah sekitar ... kami harus mendirikan menomen penting untuk jiwa masa ini” (Archives Israélites, Nº. 16—15 Août, 1864, p. 715).

Yahudi Prancis lain dari catatan khusus, selaku salah satu pionir pertama kolonisasi Palestina, adalah Charles Netter (1826‒1882). Pada awal 1858, ia menjadi kepala promoter “Société de Patronage des Ouvriers Juifs de Paris.” Pada 1859 (usai kasus Mortara) ia mengajukan, bersama dengan Crémieux dan lainnya, gagasan “Aliansi Yahudi Universal.” “Aliansi” tersebut resmi terbentuk pada 1861. Netter menjadi anggota Komite Enam yang ditugasi merancang aturan dan pengerjaan organisasi umum. Beberapa sekolah didirikan oleh “Aliansi” di Turki dan Maroko, Netter mulai mengarahkan perhatiannya ke kondisi Yahudi di Palestina. Ia melakukan perjalanan ke Yerusalem dan membuat penyelidikan yang sangat teliti. Kala pulang, ia menyerahkan di hadapan para koleganya rencana untuk pendirian sekolah pertanian di Tanah Suci, yang langsung diadopsi. Kembali ke Palestina, ia memilih lahan besar dan layak di sekitaran Jaffa, dan secara pribadi menaungi pendirian sekolah Mikveh Israel, pembangunan berbagai bangunan, mengebor sumur dan menghimpun lapangan dan taman. Hal tersebut tak membuat Crémieux menjadi bungkam atau menghiraukannya kala pengerjaan untuk Mikveh Israel dikerjakan, digerakkan tanpa perkataan. Sekolah tersebut menjadi lembaga kesukaan dari seluruh pemimpin asli “Aliansi.” Ini menjadi kebetulan yang aneh bahwa judul buku terkenal karya Manasseh Ben-Israel, Mikveh Israel (1650), menjadi, dua ratus dua puluh tahun usai penerbitannya, nama sekolah pertanian Yahudi pertama di Palestina. Netter sangat sering mengunjungi Palestina pada tahun-tahun berikutnya. Pada 1882, ia meninggalkan Paris untuk kunjungan terakhirnya ke Jaffa, melakukan kunjungan ke London pada perjalanannya dalam rangka mengkonsultasikan organisasi-organisasi Yahudi pada beberapa pertanyaan yang ditekankan terkait dengan Yahudi di Palestina. Ia wafat di Jaffa kala berkunjung ke Mikveh Israel.