Sejarah Zionisme, 1600-1918/Volume 1/Bab 37
BAB XXXVII.
PROPAGANDA KRISTEN DI INGGRIS
Banding baru—Earl of Shaftesbury pada 1876—Edward Cazalet—Laurence Oliphant—Zionisme dalam fiksi Inggris—George Eliot—“Daniel Deronda”—Nasionalisme Yahudi dari Mordecai Cohen—Kutipan dari Dr. Joseph Jacobs.
Di Palestina, Yahudi meneruskan penekanan harapan kolonisasi, walau mereka memiliki perjuangan keras untuk keberadaan. Dalam banding baru yang ditujukan kepada Yahudi di Inggris, Rabbi Sneersohn menjelaskan situasi di Palestina, dan memberikan gagasan upaya jelas yang sebeloumnya dibuat dalam pengarahan kolonisasi. Banding tersebut sangat instruktif sebagaimana sejarah upaya kolonisasi pada tahap-tahap sebelumnya (Appendix lxxi).
Pada saat yang sama, kala organisasi-organisasi menghadapi masalah satu sudut pandang amal, gagasan Zionis besar kembali dimajukan oleh Kristen Inggris. Di tempat pertama, Lord Shaftesbury menulis pada 1876 sebuah artikel Zionis paling menonjol, yang kami kutip beberapa kalimat:—
“Apakah tak ada takdir lain untuk Palestina selain dibiarkan terdesolasi atau menjadi bahan kekuasaan asing ambisius? Suriah dan Palestina telah lama menjadi tempat yang sangat penting. Di Efrat dan sepanjang kota pesisir lama akan bangkit dan kota-kota baru akan dibangun: zaman kuno akan kembali pada skala kebesaran dan tahap yang lebih besar: dan menjembatani kawasan-kawasan aliran yang akan mengalir pada jalan-jalan karavan. Suriah kemudian akan menjadi tempat perdagangan dini. Dan siapa yang akan mendahului para pedagang dunia? Akankah ada, kala perubahan yang datang telah terjadi, menjadi bidang yang lebih menonjol untuk tenaga Yahudi? Negara tersbeut menginginkan penggelontoran dan penduduk. Yahudi dapat memberikan keduanya. Dan bukankah Inggris memiliki kepentingan khusus dalam mempromosikan pemulihan semacam itu? Ini akan menjadi ledakan bagi Inggris jika setiap pesaingnya harus merebut wilayah Suriah. Kekaisarannya yang mencapai dari Kanada di Barat sampai Kalkuta dan Australia di Tenggara akan terpotong menjadi duaInggris takkan membiarkan wilayah semacam itu, namun ia harus melihat bahwa mereka tak dipegang pada tangan kekuatan pesaing. Ia harus menghimpun Suriah itu sendiri. Bukankah kebijakan kemudian—jika itu semua—menghimpun Inggris untuk mengedepankan kebangsaan Yahudi dan membantu mereka, sebagaimana kesempatan yang ditawarkan, untuk dipulangkan selaku kekuatan yang ditinggalkan pada negara lama mereka? Inggris adalah kekuatan dagang dan maritim besar di dunia. Kemudian, bagi Inggris secara alami memasuki peran menghimpun pemukiman Yahudi di Palestina. Kebangsaan Yahudi didirikan: semangat itu ada dan selama 3000 tahun, selain bentuk luar, ikatan persatuan masih diinginkan. Sebuah bangsa harus memiliki negara. Tanah lama, bangsa lama. Ini bukanlah percobaan buatan: ini bersifat alami, ini adalah sejarah.” Tak perlu untuk dikatakan, gagasan politik, selaku yang dijelaskan dalam kalimat-kalimat tersebut, tak ada yang lebih menghentakkan oleh Zionis politik Yahudi terkuat.
Beberapa tahun kemudian, dua tokoh Inggris menonjol memulai karya propaganda pada kalimat yang sama sebagaimana Lord Shaftesbury: Edward Cazalet dan Laurence Oliphant.
Edward Cazalet (1827‒1883) adalah sosok berkemampuan politik besar. Ia adalah teman dekat Yahudi, dan ia memahami Ketimuran. gagasannya adalah bahwa “kesalahan harus dibenarkan dan kebebasan memperkenankan sebuah tempat di dunia.” Ia memiliki pembentukan paling tinggi dari tugas Britania Raya di Timur. Apresiasi utamanya untuk “budaya Yahudi” secara khusus menonjol. Secara keras, penekanan tunggal nampak melarikannya; ia menaungi seluruh landasannya, dari kritik terhadap kebijakan Inggris lama sampai diskusi masalah Timur baru, mengambil pertanyaan masyarakat Palestina, keiirian sekte-sekte, dan ratusan hal lain yang berjalan. Secara alami, terdapat sedikit titik perdebatan dalam risalah komprehensif ini (Appendix lxxii). Namun secara keseluruhan, ini menunjukkan sorotan menonjol.
Penempatan penghormatan dalam ranah Zionisme Inggris masuk pada sosok menonjol lainnya: Laurence Oliphant (1829‒1888). Ia adalah teman Lord Shaftesbury, dan memegang jabatan tinggi dalam hubungannya dengan urusan India, jurutulis dari Earl of Elgin dan Kincardine (1811‒1863), penjelajah, wartawan, diplomat dan anggota parlemen. Ia memegang skema untuk kolonisasi Palestina dengan Yahudi, dan pada awal 1879 datang ke Timur untuk menguji wilayah tersebut dan dorongan untuk mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Turki. Akibat keirian tersebut, upaya untuk mempengaruhi Pemerintah Turki mengalami kegagalan, dan skemanya ditiadakan, sebagaimana beberapa hal lain yang diluncurkan pada sekitaran masa itu. Ia kembali menyerahkan skema kolonisasi Palestina pada 1882. Ia berkunjung ke Konstantinopel pada musim panas tahun tersebut, dan bermukim pada suatu waktu di Therapia. Pada penghujung tahun, ia pindah dengan istrinya ke Haifa.
Ia kemudian melaporkan upayanya dalam bukunya:—
“... Namun, sebelum mulai menunjukkan tugas pertamaku untuk menghimpun materi tersebut ke hadapan Pemerintah, dengan pandangan meraih dukungan dan kesepakatan, dan sehingga ia berkomunikasi kepada Perdana Menteri waktu itu dan Lord Salisbury untuk menjelaskan proyek tersebut. Dari kedua Menteri tersebut, aku meraih dorongan dan bantuan dukungan terbaik, sejauh memungkinkan untuk menerimanya tanpa secara resmi mendorong Pemerintah. Dan aku memeinta untuk mendapatkan, jika memungkinkan, kesepakatan tak resmi Menteri Urusan Luar Negeri Prancis dari skema tersebut. Sehingga, aku bergerak ke Paris, dan mengajukannya kepada M. W. H. Waddington (1826‒1894), yang secara layak menekankan dengan gagasan untuk memberikanku surat edaran kepada Dubes Prancis di Konstantinopel dan para perwakilan diplomatik dan konsuler lain di Turki. Aku juga sama-sama diberi dengan surat-surat rekomendasi dari Kantor Luar Negeri kami sendiri.
“Aku akan terdorong untuk menyatakan rasa syukurku secara sangat hormat dan berterima kasih kepada Yang Mulia Pangeran Wales dan kepada Yang mulia Pangeran (1831‒1917) dan Putri Christian dari Schleswig-Holstein karena sambutan hangat dan simpati terhadap kaitan mereka terhadap proyek tersebut dan mendorongku untuk melaksanakannya.”
“Ini nampak padaku bahwa tujuan tersebut dapat diraih lewat tindakan Perusahaan Kolonisasi, dan bahwa salah satu kawasan kaya dan tak diduduki tersebut yang berada di Turki dapat diraih dan dikembangkan melalui agensi wirausaha komersial yang harus dibentuk di bawah naungan Yang Mulia, dan memiliki kursinya di Konstantinopel, meskipun, sebagaimana dalam kasus Bank Utsmaniyah dan perusahaan Turki lain, keuntungan akan didapatkan di luar, menyediakan piagam yang berisi penjagaan untuk perlindungan kepentingan para pemegang saham.” “Ini merupakan sesuatu yang tak menguntungkan yang sangat penting pada pertanyaan politik dan strategis sebagaimana masa depan Palestina harus secara tak terpisahkan terhubung dalam pikiran masyarakat dengan teori keagamaan yang disukai. Pemulihan Yahudi ke Palestina seringkali dituturkan atas dasar sentimental atau kitab suci, yang kini, kala memungkinkan menjadi solusi terapan dan esensi umum dari kesulitan masa depan yang besar, prasangka melawannay timbul dalam pikiran orang-orang yang selalu menganggapnya sebagai landasan teologi, yang tak mudah untuk menghapuskannya. Kecelakaan sebenarnya dari tindakan yang melibatkan dampak internasional paling penting, diadvokasikan oleh sejumlah besar komunitas Kristen, dari sudut pandang Alkitabiah murni, tanpa membutuhkan pemasangan nilai politiknya. Sebaliknya, nilai politiknya sempat diperkirakan pada jasanya sendiri dan mendorong fakta bahwa ini akan dilaksanakan dengan simpati dan dukungan orang-orang yang tak biasanya juga terlibat dalam politik luar negeri diputuskan dalam peminatannya. Aku akan menyediakan diriku kesempatan mengamati bahwa, sejauh upayaku sendiri terkait, hal-hal tersebut berlandaskan pada pengadaan yang tak berhubungan apapun dengan teori keagamaan populer manapun terhadap persoalan tersebut.”
Pernyataan terakhir tersebut utamanya menghimpun perhatian dari orang-orang yang, menghiraukan fakta sebenarnya, terlibat untuk mewakili Zionsime dengan benar sebagai gagasan teologi atau sektarian. Ini secara tanpa diragukan merupakan perasaan keagamaan yang kuat yang menaunginya, selain gagasan yang mengaitkannya dengan pertahanan dan dorongan di Inggris dari seluruh sudut pandang.
Laurence Oliphant terus mengambil kepentingan dalam persoalan tersebut sampai kematiannya pada 23 Desember 1888.
Salah satu penulis Inggris yang memahami gagasan tersebut dalam seluruh kedalaman dan napasnya, tempat kehormatan secara tanpa dipertanyakan ditujukan kepada George Eliot (1819‒1880). Ia memilih gagasan Zionis untuk tema pembentukan khayalan, sesambil ia menyimpan kedalaman tak sebanding dari landasan dan napas pembentukan. Dalam “Daniel Deronda” (1874‒1876), Yahudi menuntut hak terkait rasnya, dan mengklaim keadiran pada komunitas bangsa-bangsa sebagai salah satu anggota sahnya. Ia menuntut emansipasi sebenarnya, kesetaraan sebenarnya. Darah para nabi mengalir di nadinya, suara Allah memanggilnya, dan ia menjadi tersadar, dan secara empatik mendeklarasikan bahwa ia memiliki kebangsaan yang berbeda; hari-hari pengangkatan telah usai. Kala kesunyian dan dorongan tak lagi nampak selain disjecta membra, mata penyair Inggris menganggap entitas nasional penuh ditujukan untuk memulai kehidupan segar, kekuatan dan keberanian penuh.
Ini adalah buku kenangan, ditulis oleh penulis yang ditujukan untuk kemanusiaan dan untuk kenyataan mendalam dari kehidupan nasional Inggris. Atmosfernya sangat terhapuskan dari pembentukan dunia materialistik. Sehingga, ini diterapkan dalam esensi yang lebih tinggi. Ini menkotbahkan gagasan besar. Kebangsaan Yahudi terwakili sebagaimana hal yang sebenarnya: bukan sebagai perpaduan buatan, namun sebagai kelompok etnologi yang menghimpun kejayaan kemerdekaan dalam masa lalu yang lebih bahagia dan tetap hidup untuk harapan demi masa depan oleh kesadaran historis mendalam dan pencurahan besar untuk kemanusiaan. Sehingga, ini adalah pesan Zionis.
Pemenuhan dan akurasi menakjubkan dari karakter Yahudi yang diwakilkan oleh George Eliot sangatlah menonjol. Sketsa-sketsa Klesmer dan Alcharisi adalah kemenangan dari keterampilan artistik. Ezra Cohen adalah perwujudan ranah komersial yang sukses. Pengaruh ibu dan tempat tinggal pada kehidupan dalam Yahudi, sebagaimana yang disebutkan dalam novel, harus merasuki setiap pembaca. Pusti, “Yahudi yang bukan Yahudi,” sangat mengkhususkan kelas yang ada menjadi spesimennya. Gideon yang sangat berperasaan mewakilkan sejumlah besar Yahudi yang mempermalukan ras mereka maupun membanggakannya, namun bersiap untuk melekaskan kekhasan rasial dan keagamaan yang diperjuangkan bangsa Yahudi secara sangat tak tercurahkan. Namun, karakter utama dari buku tersebut adalah Mordecai Cohen.
Mordecai Cohen adalah keturunan lineal dari tiga rumah spiritual besar yang, pada masa lampau, menjajakan perang moral dalam ranah seluruh dunia melawan pihak mengerikan; dan fakta bahwa jiwa-jiwa bangsawan tersebut merupakan keturunan ras Yahudi yang menghimpun pembuktian stamina fisik, intelektual dan moral yang selalu dicurahkan agama Yahudi. Mordecai adalah pemimpin kalangan yang menolak untuk meyakini bahwa kelompok Israel dalam sejarah yang menyertai, dan menyatakan bahwa kebijakan masa depan Israel harus menggabungkan bangsa-bangsa sepanjang memungkinkan.
George Eliot menjelaskan tradisi, kebiasaan dan karakteristik Yahudi dengan akurasi menonjol dari pengamat ilmiah tercerahkan dan dengan keantusiasan besar dari jiwa kemanusiaan. Kerancuan penjelasan dan sensitivitas bentuk sempurna bersifat menakjubkan. Dengan penaungan, penekanan dan penarikan, tanpa ketertarikan sensasionalisme, ia terus memperjuangkan pemulihan dari masalah Yahudi sebenarnya. Beberapa hal yang lewat sempat menghimpun kehidupan dan nilai darinya sendiri. Pengerjaan ribuan tahun telah lenyap; bara api menyala, sebuah api berkobar tanpa memajukan kehidupan. Ini adalah kesedihan mengerikan di dalamnya. Jiwa manusia beralih menjadi apa yang menjadi aspirasi tertinggi kehidupannya. Mordecai memiliki perhatian menonjol terhadap seni pergerakan; ia menginginkan keaslian kreatif. Gagasannya sepenuhnya menjadi apa yang sebagian, pada dirinya sendiri, memulihkan pendiriannya sendiri. Ia menginginkan kehidupan sepenuhnya di tempat tinggal, untuk hidup lewat pekerjaan tangannya, untuk mengirim kedewasaan gagasan yang dirasakan olehnya berkembang dalam pikirannya. Dimanakah hal itu akan memungkinkan? Hanya dalam organisasi bangsanya sendiri di tempat tinggal kunonya, di kawasan ibu pertiwi dari kerabat dan leluhurnya sendiri, di sebuah persemakmuran yang harus berfokus dan mewujudkan seluruh kehidupan Yahudi yang seharusnya, tanpa gangguan, kekeringan, pemotongan, disajikan dalam bentuk relik kekudusan dan diadaptasi oleh penafsiran dan kompromi ke zona, budaya dan adat istiadat berbeda. Ini benar, ia memiliki wahyu besar untuk relik kekudusan tersebut, dan—faute de mieux—dalam Diaspora, ia merasakannya tugas suci untuk merawatnya. Namun ia mewasa bahwa ini bukanlah gagasan, ia melihat bahwa ini digerakkan untuk pemusnahan, dan sehingga ia jauh dari tempat tinggalnya, karena entitas budaya bekerja secara tersendiri selaras dengan entitas serupa. Ini dan hanya ini yang akan mengirim Yahudi dekat dengan dunia, dekat dengan kemanusiaan. Apa “nasionalisme” itu? Dalam ketiadaan nama yang membahagiakan, mari kita terima istilah tersebut. “Apa itu namanya?” Pada kenyataannya, itu adalah kebebasan manusia; ini tak melibatkan pemisahan dari arus kemanusiaan umum. Ini bukanlah aspirasi yang lebih selaras dengan penakanan semangat dan mendalam dari zaman kami, lebih selaras dengan kebebasan dan keadilan, bagi seluruh bangsa serta perorangan. Ini adalah “nasionalisme” Zionis. Tak ada penulis yang membelanya secara lebih antusias ketimbang George Eliot.
Dr. Joseph Jacobs (1854‒1916) lebih Zionis ketimbang Zionis sendiri kala ia menulis: “Tanpa beberapa proyek seperti yang dipandang oleh Mordecai yang dibawakan dalam tiga generasi berikutnya, sangat mengkhawatirkan bahwa kehidupan nasional Yahudi dan kehidupan keagamaan Yahudi akan benar-benar musnah dari muka bumi” (Macmillan’s Magazine, Juni 1877, hlmn. 110). Wacana tersebut sangat terlalu berlebuhan, dan ia memegang pandangan berbeda pada tahun-tahun berikutnya. Namun, wacana pertamanya bersifat signifikan.
Dalam Valhalla dari orang Yahudi, salah satu penekanan tempat tinggal yang ditawarkan sepanjang berabad-abad, “Daniel Deronda” akan mengambil tempatnya selaku pernyataan paling membanggakan terhadap pengakuan Inggris pada gagasan Zionis.