Lompat ke isi

Sejarah Zionisme, 1600-1918/Volume 1/Bab 39

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

BAB XXXIX.

DR. LEO PINSKER

Kehidupan dan pengalamannya—Auto-emansipasinya—Gagasan lama bantuan diri dalam ajaran Yahudi—Pertolongan diri perorangan dan nasional—Kebangkitan doktrin lama—Analisis Auto-emansipasi—Hasil gagasan Pinsker.

Leo Pinsker (1821‒1891) adalah putra dari cendekiawan Yahudi terkenal Simchah Pinsker (1801‒1864), pengarang tersohor Lekute Kadmonioth (Wien, 1860), sebuah karya tentang sejarah Karaites, dan karya-karya Ibrani berharga lainnya. Pinsker dididik di Odessa, tempat ia belajar hukum di Lyceum Richelieu lokal. Namun, hukum bukanlah yang ia sukai, dan ia datang ke Moskow, tempat ia belajar kedokteran dan meraih gelar M.D. Ia kembali ke Odessa dan menjalankan praktek sebagai pekerja medis. Tak lama setelahnya, Perang Krimea berakhir, dan Odessa dipenuhi para prajurit yang menderita demam tifoid. Ini adalah bahaya epidemik. Pinsker mengadakan prateknya dan mencurahkan diri sepenuhnya kepada para prajurit yang menderita. Pengorbanan diri tersebut tak terlalu dilirik oleh para pegawai tingkat tinggi, yang memberikannya catatan Czar Alexander II. (1818‒1881), dan Pinsker meraih penghargaan besar. Disamping menjadi otoritas persoalan kedokteran, Pinsker menjadi salah satu penyunting surat kabar Yahudi-Rusia Zion. Dididik kala ia berada pada masa gelap kekuasaan Nicholas I. (1796‒1855), dan menyaksikan sesuatu yang menghimpun kondisi terhadap Yahudi lewat kenaikan takhta Alexander II., Pinsker berkeyakinan pada suatu waktu akan emansipasi dan amalgamasi; namun setelah bertahun-tahun pengamatan dan pengalaman, ia mengambil pandangan berbeda. Ia menjadi saksi mata kerusuhan anti-Yahudi pada 1859, 1871, dan 1881; dan pada tahun terakhir, ia mengedarkan pamflet dalam bahasa Jerman, dengan nom de plume “Ein Russischer Jude,” kala ia menyatakan pernyataan yang ai sampaikan. Ini diberi judul “Auto-emansipasi,” yang versi Inggris-nya muncul di London pada sekitar sepuluh tahun kemudian. Emansipasi diri adalah gagasan besar Pinsker. Bukan bahwa gagasannya tidak ada sebelum ia menceramahkannya: sebagai materi fakta setua agama Yahudi. Namun, Pinsker memulai karirnya sebagai nasionalis Yahudi dengan memberikan ekspresi baru terhadap gagasan pertolongan diri, dan dari kesempatan yang menghimpunnya dalam pengedepanan aspirasi dan kegiatan. Kelistrikan menjadi temuan terkini yang mendasar; ini adalah saut-satunya dalam paruh abad akhir bahwa inidatang untuk dimengerti penuh dan didorong untuk keperluan manusia. Namun, kekuatan misteriusnya bukanlah kelahiran tekrini; walau tak mengetahui sosok yang laten dalam alam semesta dari permulaan. Dalam pemenuhan waktu, pemikiran penyelidikan mendapatinya dan memberikan kami kemenangan kekuatan modern kami, penyinaran dan komunikasi. Walau lemah, analogi tersebut dapat menghimpun kami pada derajat tertentu dari apa yang terjadi dalam kasus gagasan bantuan diri. Ini menghimpun negara Yahudi dari permulaan zaman. Pengaruh kehendak bebas dan tindakan independen telah menjadi prinsip Yahudi utama dari kenangan waktu. Namun, ini membutuhkan “Pecinta Zion” dan pergerakan penafsir besar untuk emmberikan rumah pelajaran pada masyarakat Yahudi.

“Didedikasikan kepada Letkol A. Goldsmid sebagai penekanan perkiraan untuk kejawaraannya dari kolonisasi Palestina.”

Bantuan diri menerapkan tugas kebangsaan pada penjagaannya dan memakai dorongannya sendiri untuk mengamankan posisinya. Ini mengimplikasikan obligasi moral dari pertahanan diri dan keselamatan diri oleh upaya dan pengorbanan orang itu sendiri, tanpa bantuan dan perlindungan orang lain. Prinsip tersebut datang pada permukaan lagi dan lagi dalam Alkitab, tempat kami mendapati serangkaian doktrin yang sepenuhnya bekerja hanya dalam perkembangan gerakan nasional. Penulis Kitab Yosua memberikan catatan kunci tugas Israel kala ia berujar:—

“Kuatkan dan teguhkanlah hatimu;...” (Yosua 1:6).

“Hanya, kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh, ...” (ayat 7).

Frase tersebut mirip dengan Ulangan pasal 31 ayat 6, 7 dan 23. Yosua menaatinya, dan mewujudkan janji yang menyertainya. Bagian sejarah dari Alkitab diisi dengan gagasan tersebut—setiap penyampaian berhubungan langsung dengan integritas moral Yahudi dan pertolongan Allahnya. Ini menandai bagaimana penyampaian tempat dicantum dalam Alkitab; mereka tak dapat dengan mudah menghitung “hal-hal mengkhawatirkan” dari kitab suci. Dan tak ada pembenaran firman untuk bungkam, mereka menjadi firman yang menggerakkan, menyerukan konflik dan kemenangan. Ini adalah pelajaran yang orang serta bangsa pahami. Dalam sosortannya dapat terbaca seluruh sejarah Israel. Sepanjang zaman mengeluarkan seribu jalan yang Israel usahakan untuk menebus bencana yang terbawa sendiri lewat bantuan pihak lain. Kini, ini adalah Mesir (yesaya 30:2, 36:6), kini Asiria (2 Raja-raja 16:7), kini raja-raja dan bangsawan-bangsawan mereka sendiri. Kala terancam oleh Suriah, mereka membuat perjanjian dengan Asiria; kala terancam oleh Asiria, mereka berniat untuk memperkuat diri mereka sendiri dengan dukungan Mesir. Ketidakbergunaan uluran pihak lain membawa bangsa tersebut berakhir untuk mengakui kepercayaan menyeluruh dan taat akan Allah.

“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu,...” (Amsal 3:5),

adalah protes melawan kemandirian, kesombongan dan keangkuhan, dan juga lagi-lagi terjawab pada hal lainnya. Seluruh jawaban terhadap Allah, terwujudkan dalam firman “dengan segenap hatimu,” adalah penempatan puncak serangkaian dorongan yang dikaitkan khsusu kepada Allah dan hubungan manusia dengan-Nya, sebanyak kepercayaan diri atau kepercayaan semacam itu menjadi prinsip fundamental dari seluruh agama. Dorongan tersebut tak mengartikan bahwa orang tak memakai pemahaman mereka sendiri, yakni untuk membaut rencna auntuk menghimpun tindakan sah selaras dengan akhir mereka; selain bahwa, kala mereka memaakinya, mereka bergantung pada Allah dan kepercayaan terarah dan memerintahkannya. Karena ada pengadaan diri yang benar dan palsu: bahwa yang dilupakan, Allah menghiraukan dan tak menaatinya; itu yang mengakuinya sebagai sumber seluruh kecerdikan sebenarnya adalah kecerdikan dan berkat.

“Jika Anda bijaksana, Anda bijaksana untuk diri Anda sendiri;

jika kamu mengejek, kamu sendiri yang akan menanggungnya” (ayat 9:12).

Ini adalah proklamasi prinsip dan kepribadian, kebenaran besar yang setiap orang, dalam kepribadian tunggalnya, telah terdorong dengan hak penuh dan setara dari penentuan nasib sendiri dan pengendalian diri. Peradaban lama meniadakan hak banyak orang dalam hak sejumlah hal, dan menempatkan kemanusiaan dari masyarakat di bawah ketergantungan kekuatan. Gagasan gak umum timbul pada pemikiran manusia. Unsur kepribadian manusia, selaku kesucian penuh dan tak tercederai dalam setiap orang, tidaklah terlepaskan. Gagasan tersebut, yang kini sangat familiar dengan setiap manusia beradab, bahwa setiap orang yang digelari pada seluruh hak umat manusia pada tanggung jawabnnya sendiri aslinya merupakan Yahudi. Pengartian ayat yang dikutip di atas sangatlah jelas: kebijaksanaan atau pemenuhan kami adalah urusan kami sendiri, baik dalam cikal bakal dan dampaknya. Kami harus bergerak agar mereka menabur, harus menghimpun bara konflik yang mereka picu.

Prinsip tersebut berkaitan dengan bangsa-bangsa serta perorangan. Kitab Amsal berisi banyak penjelasan terkait dengan bangsa-bangsa:—

“Kebenaran meninggikan derajat bangsa;...” (ayat 14:34).

Pembenaran nasional menghimpun pengadaan jiwa pewahyuan dan pratek keadilan, kemurnian dan kasih. Di dalamnya, ini adalah kekuatan dan keunggulan bangsa, karena ini akan berujung pada kehendak fisik, kemakmuran material, pergerakan moral dan spiritual, dan perkiraan dan pengaruh di kalangan bangsa-bangsa sekitar. Pandangan Pagan dari unsur keabadian tak terelakkan menghimpun dan mengendalikan seluruh tindak tanduk manusia berseberangan dengan bentuk kehendak manusia dan nasional yang bebas dari Yahudi: manusia bukanlah makhluk tak tertolong, yang tersemat oleh takdir. Kebebasan moral dan tanggung jawab manusia sangatlah berakar pada seluruh ajaran Yahudi, dan secara sangat kuat terhimpun dengan kaitannya pada sebuah bangsa:—

“Adakah Israel itu budak?

atau anak budak?...” (Yeremia 2:14)

Budak dapat diemansipasi hanya oleh pihak lain, seorang manusia bebas yang mengemansipasi dirinya. Harapan datang pada orang-orang yang menumpuhkan diri mereka sendiri dari kekesalan, dan “menguatkannya power pada kekuatan yang ada.” Sejarah menyatakan penerapan tersebut, serta ketidaksyukuran dan sikap berontak, “Israel mengguncang Allah.” Kala kebenaran ditempatkan pada kekuatan lain yang mereka himpun seperti Mesir—tidaklah aktif, tidaklah bertindak (Yesaya 31:7). “Putri Sion yang tertawan,” yang merupakan citra puitis untuk bangsa Yahudi, terbawa menjadi abu lewat penderitaan dan penindasan, mengarahkan kebangkitan dan kegoyahan dirinya dari abu.

“Bangunlah! Bangunlah!

Kenakanlah kekuatanmu, hai Sion;...” (Yesaya 52:1).

“Kebaskanlah dirimu dari debu;

Bangkitlah! Duduklah, hai Yerusalem;

Lepaskanlah belenggu dari lehermu,

Hai putri Sion yang tertawan” (ayat 2).

Dalam firman tersebut, Sion dilakukan pada bagiannya, untuk menempatkan kekuatannya sendiri. Apa yang kami istilahkan dalam bahasa modern “emansipasi dri,” Nabi, dalam fraseologinya yang lebih sederhana, menyerukan “Lepaskanlah.” Kala belenggu dapat dipatahkan, dobrak mereka; kala pintu dapat dibuka, bongkarlah; kala jalan menjadi kelas, memegangnya tanpa pewarisan dan penundaan; dan jika ini nampak tak mungkin, upayakan dan upayakan lagi. Kehadiran Allah mewajibkan seseorang mengupayakan diri mereka sendiri, sebagaimana kondisi yang membantu mereka. Kala Yahudi dikirim dari Babilonia, hanya orang-orang yang dikirim yang menghimpun diri mereka untuk upayab besar, meninggalkan semua yang mereka miliki, menghadapi bahaya (Ezra 8:31), mengalami perjalanan sulit dan mengkhawatirkan (ayat the difficult and wearisome journey (ayat 43) dari Kaldea ke Palestina, dan membuat seluruh jenis pengorbanan. Mereka menyelamatkan bangsa. Permulaan kecil yang terfasilitasi pada beberapa hal lewat tingkat yang disukai dari Sirus, selain bagian paling penting dan esensial ditinggalkan untuk bangsa yang melakukannya sendiri.

“Janganlah percaya kepada para bangsawan,

kepada anak manusia yang tidak dapat memberikan keselamatan.” (Mazmur 146:3)

Mazmur tersebut benar-benar dikomposisikan pada waktu depresi nasioanl besar, kala masyarakat, yang berkegantungan pada pihak pangeran asing, makin diturunkan pada pemikiran bantuan diri yang dipasangkan dengan keyakinan kuat akan kebaikan dan kepercayaan abadi dari “Allah Yakub.” Ini menghimpun penelusuran bukti yang masih pada masa pasca-pembuangan, dan ayat-ayat berikutnya:—

“... TUHAN membebaskan para tahanan;” (ayat 7)

“... TUHAN membangkitkan orang-orang yang tertunduk;...” (ayat 8)

merupakan ekspresi perasaan yang secara alami diserukan pada masa berikutnya untuk kembali dari Pembuangan.

Gagasan tersebut ditangani sebagai warisan dari para nabi dan pemazmur kepada para anggota Sinode Besar, dan dari situ sampai para filsuf dan guru Yahudi pada Abad Pertengahan. Tanpa ragu, ini berganti dalam bentuk dan isi; namun dalam esensinya, ini adalah kesamaan. Kemerdekaan politik hilang sepanjang waktu; dan tempat negara politik diambil lewat penyatuan nasional dan kepercayaan tak tergoyahkan dalam pemulihan orang-orang ke tanah lamanya. Akibatnya, ini menjadi perpadaun kesadaran masa lampau dan harapan untuk masa depan yang membuat kehidupan Yahudi pada saat ini berjalan dengan baik. Tantangan masih ada, orang-orang masih meyakini “di dalam manusia, tidak ada pertolongan,” dan memiliki kebutuhan batubara hidup dari altar. Namun kini, tak ada malaikat yang membawa orang ke badan pemurnian. Penderitaan bangsa telah melampaui jauh di atas batubara altar. Kemartiran nasional meraih pengartian yang lebih mencolok dan terlihat. Ini menjadi secara lebih insisten terhimpun melawan pemikiran kehidupan materialistik.

Kemudian, kami membaca pernyataan Hillel si tua (112 ? SM‒8 ? M) yang dipakai oleh Pinsker sebagai motto pamfletnya:

הוא היה אומר אם אין אני לי מי לי וכשאני לעצמי מה אני ואם לא עכשו אימתי׃ פרקי אבות א׳ יד׳

Ia dipakai untuk berkata, “Jika aku bukan untuk diriku sendiri, siapa yang akan menjadi bagiku?

Dan menjadi pendirianku sendiri, apakah itu aku?

Dan kini bukan sekarang, kapan?” (Etika Para Bapa, chap. i. v. 14.)

Kami tak dapat membantu berpikir soal aforisme, serta aturan tersebut:—

”... ובמקום שאין אנשים השתדל להיות איש׃“ ב׳ו׳

“... dan di tempat yang tak ada orang, dibuat menjadi ada orangnya.” (ayat 2:6.)

tak hanya merujuk kepada materi perorangan, namun juga tugas nasional. Beberapa abad kemudian, Bahia ben Joseph Ibn Pakuda (fl. 1000‒1050), yang mencurahkan seluruh bab Tugas Hati untuk menghimpun kepercayaan akan Allah buatannya, menulis:—

“Percaya akan Allah takkan menghindarkan orang dari perlakuan menonjolkan dalam cara upaya dan wirausaha manusia. Nampaknya, ini sepenuhnya menempatkan kepercayaan paling banyak dalam pemanfaatan, selain kekuatan.”

Sehingga, emansipasi diri orang Yahudi bukanlah sekadar gagasan Yahudi, ini adalah gagasan Yahudi. Gagasan tersebut bukanlah Ghetto, ini adalah Ibrani sebenarnya; ini ditentang pada beberapa pernyataan tertinggi, namun ini bersifat keagamaan dalam esensi tertinggi. Kepercayaan akan kehadiran membuat banyak bangsa Asia menjadi lesu dan lamban. Fatalisme membunuh tenaga mereka dan menghentikan seluruh perjuangan mereka. Menjawab hal lainnya secara khusus merupakan fatalisme. Doktrin ini adalah Babilonia; ini tak pernah menjadi Yahudi.

“Etiopia dan Mesir merupakan kekuatan engkau; dan itu tak terbatas;

Put dan Lubim merupakan para penolong engkau” (Nahum 3:9).

Ini adalah beban terkait Niniwe, selain Israel percaya akan Allah, yakni dalam kecerdikannya, dalam kekuatan moralnya sendiri, dalam pengorbanan dirinya dan kepercayaan akan idealnya.

“Yang pergi ke Mesir,

Dan tanpa bertanya terlebih dahulu kepada-Ku,

Untuk berlindung pada perlindungan Firaun,

Dan untuk mencari naungan dalam bayangan Mesir!” (Yesaya 30:2).

“Oleh karena itu, perlindungan Firaun akan menjadi aibmu,

Dan naungan dalam bayangan Mesir akan menjadi kehinaanmu.” (ayat 3).

“Celakalah mereka yang pergi ke Mesir untuk meminta pertolongan,...” (ayat 31:1).

“... penolong itu akan tersandung dan orang yang ditolong akan terjatuh,

Dan mereka semua akan binasa bersama-sama.” (ayat 3).

Pada zaman Bait Allah Kedua, para Hellenis kembali membuat upaya besar untuk diemansipasi oleh Yunani. Hukum Yahudi, yang menjadi kehidupan dan perjuangan bangsa, bagi mereka menjadi kekuatan persatuan Yahudi dan tantangan dalam wadah mereka. Namun, mereka lebih tergerakkan melampaui kesetaraan dengan Yunani, lebih nampak pada kekuatan mereka. Ini menjadi kehilangan kepercayaan mereka akan Allah dan bangsa mereka membuat mereka nyaris menghimpun kekuatan lain untuk menggerakkan mereka. Mereka menghimpun penampilan budaya Yunani pada moralitas Ibrani; kekuatan Suriah pada Roh Ilahi; pasukan material dari Seleukia, yang mendorong mereka agar mengikuti dan dapat menangani senjata mereka, untuk kekuatan moral tak nampak dari bangsa mereka. Ini adalah dosa para Hellenis. Kala kesuksesan mereka berada pada puncaknya, mereka memberikan mereka sendiri dengan tenaga kejam untuk penindasan para saudara mereka yang masih percaya akan kebangsaan mereka sendiri. Dengan perasaan yang jauh terhimpun ketimbang musuh, mereka diburu sampai mati para pengikut tak bersalah dari para nabi lama. Namun tepat kala penindasan tersebut, kekhawatiran membakar pada titik terpanasnya, orang-orang Makkabe maju ke depan dan menyatakan “putri Sion yang tertawan” untuk mengguncangkan dirinya sendiri dari debu. Sehingga, mereka menjadi pembawa pesan berkat dari pertolongan diri nasional, dan ini menjadi kesenangan utama mereka untuk menyanyikan kejayaan rahmat Ilahi yang memperkenankan mereka untuk lebih terlibat dalam pengerjaan ketimbang seluruh pihak lainnya.

Bukankah Rabbi Akiba (50?‒132?) ben Joseph merupakan pahlawan dan martir spiritual, pengkotbah emansipasi diri? Bukankah gagasan serupa menginspirasi Judah Halevi [Abu al-Hassan al-Lawi] (1085(6)‒setelah 1140), Moses ben Nachman Gerondi [RaM-BaN]: Nachmanides: [Bonastruc da Porta] (1194‒1270?), Obadiah (Yareh) (sekitar 1475‒1500?) ben Abraham Bertenoro, dan sejumlah besar cendekiawan yang mendorong pendirian ulang penahbisan di Palestina, dan mendorong pemukiman Yahudi, di wilayah tersebut, di antara ketegangan dan marabahaya mengerikan, serta Don Joseph Nasi [João Miguez]—(sekitar 1510‒1579), Adipati Naxos, yang tak menghiraukan upaya untuk menolong saudara mereka untuk bermukim di tanah terjanji?

Gagasan yang sama terhimpun pada akar pembentukan Pinsker. Selaku pemikir besar dan berpemikiran jernih, ia sangat tertekan oleh peristiwa tahun 1880‒1881. Kekhawatiran besar yang dialami Yahudi Rusia telah berlalu, dan kebangkitan perasaan anti-Yahudi di Eropa Barat, terutama di Jerman, membuatnya menghimpun ulang doktrin Emansipasi konvensional yang dulu diyakini, seperti seluruh Yahudi Rusia dan Polandia berpendidikan tinggi. Dengan menjadi pekerja kedokteran, ia dapat melihat penyiksaan para korban; sebagai penduduk lama Odessa, ia tak ragu mengingat kerusuhan anti-Yahudi tahun 1859 dan 1871; dan kini pada delapan puluhan, dengan seluruh kengerian mereka, dimulai. Ia kemudian menyatakan “pesan Zionsime politik.” “Pinsker, seperti seluruh Zionis politik berikutnya, mendatangkan gagasan Zionsime meskipun bukan masalah agama Yahudi—melalui kebutuhan pencarian untuk fondasi baru terhadap keberadaan dan persatuan nasional mereka, menggantikan fondasi lama, yang diremukkan—selain melalui masalah Yahudi—melalui dakwaan pasti bahwa bahkan emansipasi dan perjuangan umum takkan menghimpun posisi tak aman dan terkikis Yahudi di antara bangsa-bangsa, dan bahwa anti-Semitisme takkan pernah berhenti sepanjang kami tak memiliki tanah air nasional dari kami sendiri.” Pinsker mendapati bahwa sebab akar dari “kebencian dan pengucilan mereka melebihi hal-hal manusia lainnya .. sangat terhimpun dalam psikologi manusia.”

“Kami tak dapat mengetahui kapan hari besar akan datang kala seluruh umat manusia akan hidup dalam persaudaraan dan ikatan, dan perbatasan nasional takkan ada lagi; namun bahkan yang terbaik, ribuan tahun harus dijalani sebelum zaman Mesianik. Meskipun demikian, bangsa-bangsa hidup berdampingan dalam keadaan relatif damai, yang utamanya berdasarkan pada kesetaraan fundamental di antara mereka.... Namun ini berbeda dengan bangsa Israel. Bangsa ini tak dihitung di antara bangsa-bangsa, karena sejak diasinghkan dari tanahnya, bangsa tersebut telah kekurangan atribut kebangsaan esensial, yang membedakan suatu bangsa dari lainnya.... Benar, kami bahkan tak berhenti di tanah pengasingan kami untuk menjadi bangsa berbeda secara spiritual, sejauh dari pemberian status bangsa kepada kami di mata bangsa lain, merupakan sebab kebencian mereka terhadap kami selaku bangsa. Orang-orang selalu ditakuti oleh jiwa ketakbertubuhan, sebuah jiwa yang mengembara nyaris dengan tanpa penutup fisik; dan teror memicu kebencian. Ini adalah bentuk penyakit psikis yang membuat kami tak berdaya untuk sembuh. Pada sepanjang zaman, orang-orang mengkhawatirkan segala jenis hantu yang nampak pada khayalan mereka; dan Israel nampak pada mereka selaku hantu—namun hantu yang mereka lihat dengan mata mereka, bukan hanya sekadar khayalan. Sehingga, kebencian bangsa terhadap kebangsaan Yahudi adalah penyakit psikis dari jenisnya yang dikenal sebagai ‘demonopati’; dan terjadi dari generasi ke generasi selama sekitar dua ribu tahun, ini kini telah menjadi sangat berakar mendalam yang tak dapat lagi terhapuskan.”

Nilai besar doktrin Pinsker tak terhimpun dalam fakta keasilannya dalam sastra. Keaslian baginya—yang secara tanpa ragu ia datangkan kepada kesimbulannya lewat refleksi dirinya—bukanlah temuan dalam esensi umum dari perkataan tersebut: pandangan jenis tersebut telah diekspresikan di hadapannya. Entah pada nilai besarnya terhimpun dalam pengadaan karakter tak terbantahkan dari ranah ilmiah. Dikatakan bahwa walau Yahudi mungkin merupakan contoh paling sempurna dari keberadaan spiritual dalam pembuangan, mereka masih tidak terlalu unik dalam penghormatan tersebut. Bangsa-bangsa tak terwarisi lainnya timbul kurang lebih secara spiritual selama berabad-abad dalam ekadaan terkikis dari ketiadaan tanah air nasional, “kekurangan atribut kebangsaan esensial,” terhempas atau bergantung pada bangsa lain, dan kala tak menghasilkan, bahkan dalam tingkat paling kecil, kekhawatirkan tersebut dipicu oleh “jiwa tak berwujud.” Ini dapat juga dinyatakan bahwa Yahudi dibenci dan dicap oleh seluruh jenis kesenjangan dan tuduhan jahat [Apion (sektiar 15‒54 M), Tacitus (55?‒setelah 117 M)], utamanya pada catatan kekhasan mereka, isolasi mereka, pandangan dan kebiasaan berbeda mereka, dan prasangka tak terbukti dari pihak lain—bahkan kala mereka memiliki tanah mereka sendiri. Dan walaupun mereka dapat, dan mungkin akan, menemui simpati beberapa bangsa, yang sepenuhnya tak terbutakan oleh prasangka, dan yang kepentingannya tak bergesekan dengan mereka, jika mereka berhasil dalam mendirikan hunian mereka sendiri, masih menganggap bahwa mereka takkan lagi dibenci oleh pihak lain, meskipun tak dapat mengklaim kepastian ilmiah apapun. Harus diingat bahwa, selain dari “demonofobia,” yang secara tanpa ragu merupakan motif penting, kebencian Yahudi dipicu secara berkelanjutan oleh fanatisisme keagamaan yang berakar mendalam, lewat persaingan dan kesenjangan ekonomi, lewat prasangka rasial, dan itu lebih kepada mixtum compositum dari sebab, kondisi, semangat dan peminatan yang terlalu banyak untuk dihancurkan oleh penyingkiran sejumlah kecil dari mereka, dan mungkin terlalu beragam untuk difokuskan pada rumus tunggal manapun.

Namun itu bukanlah titik utamanya. Psikologi anti-Semitisme, sebagaiman yang dirumuskan oleh Pinsker, dapat terjadi dari sudut pandang ilmiah yang secara mutlak benar, atau dapat dibuka pada beberapa kritikan: pencapaian terbiak dan paling asli dari Pinsker lebih kepada bahwa ia adalah salah satu Yahudi Rusia pertama yang menelusuri masalah Yahudi secara keseluruhan, dan memperlakukannya secara ilmiah, sementara pihak lain hanya bersepakat dengan fragmen-fragmennya, dan selalu dalam semangat apologetik. Sintesis baru, garis pemikiran baru, dibayangi oleh pemikirna besar pada masa lampau, seloain kini sepenuhnya dihimpun dan dijalin secara jelas terkuak sebagai sosotan burung dari masa depan, yang pada pemikiran kami, bukanlah perumusan sebab masalahnya, namun perumusan programnya—emansipasi diri. Perez Smolenskin menyuarakan tuntutan hati nurani Yahudi untuk menghimpun tradisi bersejarahnya, dan penentangannya terhadap segala jenis asimilasi yang mengkhianatinya dengan rumus baru atau menyangkalinya. Penonjolan Pinsker bersifat independen dari cara yang diperlakukan terhadap Yahudi oleh pihak lain. Bagi Smolenskin, fakta anti-Semitisme bukanlah merupakan salah satu dampak fundamental—pesannya, seelok-eloknya, dialami dari ekspresi dalam banyak buku berbeda, dipadukan dengan persoalan lain, dan ditujukan kepada pembaca Ibrani, dan sehingga tak dapat digandungkan dengan ajaran ringkas dan pasti Pinsker. Namun, terdapat banyak ketidaksempurnaan dalam ajaran tersebut. “Kemalangan besar kami adalah bahwa kami bukanlah membentuk sebuah bangsa—kami benar-benar merupakan Yahudi.... Dan kala dimana kami harus menemukan hati nurani nasional tersebut?” Cara berbeda Smolenskin dan lainnya, yang dituturkan dari menara kepercayaan yang aman! “Kala ia menulis pamfletnya, Pinsker tak menganggap tanah historis kami sebagai satu-satunya tempat hunian yang memungkinkan; sebaliknya, ia mengkhawatirkan bahwa cinta yang kami raih terhadap Palestina dapat memberikan kami bias dan menghimpun kami untuk memilih bahwa kawasan tanpa kaitan dengan kondisi politik, ekonomi dan lainnya, yang mugnkin tak disukai. Untuk alasan tersebut, ia memperingatkan kami secara empatik untuk tak dipandu oleh sentimen dalam persoalan tersebut, namun untuk meninggalkan pertanyaan wilayah pada pengajuan pakar.” Ia benar-benar nampak di Palestina tak lebih dari fraksi belahan Asiatik, yang diisi oleh sejumlah penduduk tertentu, sementara Smolenskin, David Gordon, dan beberapa orang lainnya memandangnya sebagai suaka bangsa, pusat sejarah, kala mendatangkan pesan Yahudi kepada orang-orang, dan inisiatif Yahudi di dunia. Seperti kebanyakan orang lain setelahnya, Pinsker tak terwujud pada waktu itu agar suatu kawasan bukanlah benar-benar sebuah teritorial. Teritorial hanyalah basisnya; kawasan adalah gagasan yang ditimbulkan pada basis tersebut, pemikiran sejarah umum yang tergambar bersama seluruh putra dari teritorial tersebut, Namun di samping seluruh ketidaksempurnaan tersebut, pamflet Pinsker secara dibutuhkan berujung pada keyakinan akan kebangkitan nasional dan Palestina—bukan karena argumennya, namun karena ini merupakan dokumen manusia yang menakjubkan. Terawal benar, karena, tanpa penelusuran berdampak, banding Pinsker menghimpun cap kedinian besar, dan jika ada dalam pamfletnya soal beberapa semangat para nabi, ini secara khusus merupakan tangisannya untuk bantuan diri, dalam peringatannya tak dipercaya dengan lainnya, dalam bandingnya kepada martabat dan tenaga nasional. Pada pemikiran tertinggi, gagasan ilmuwan modern tersebut secara tak disadari menggemakan ulang peringatan para nabi yang tak dipercaya di Mesir atau di Asiria nampak berlebihan, namun nampak berbanding jauh dalam kemutlakan, karena ini berdasarkan pada kemutlakan seluruh perwujudan—persatuan gagasan nasional Yahudi sepanjang ratusan generasi.

“Ia datang untuk ikut serta dalam pengerjaan Chovevé Zion.... Ia memahami benar bahwa pengerjaan mereka sangat jauh terhapuskan dari proyek besar yang diimpikan olehnya ... namun kala ia melihat sekelompok kecil orang, dengan pengartian tak signifikan, memajukan setiap upaya memungkinkan untuk mengadakan proyek nasional, kecil dan rendah melalui perbandingan dengan gagasannya sendiri, Pinsker tak dapat membantu menangani orang-orang yang mengadakan pengerjaan tersebut, memandang mereka selaku nukleus organisasi, dan permulaan kecil resolusi nasional.” Ia mendorong dan mendukung pengerjaan Chovevé Zion (Pecinta Sion) selaku Presiden pertama dari Komite Odessa, dan memberikan jalan untuk Zionisme modern. Ia wafat di Odessa, kota asalnya, dalam usia enam puluh sembilan tahun, pada 21 Desember 1891.