Sejarah Zionisme, 1600-1918/Volume 1/Bab 5
BAB V.
NISHMATH CHAYYIM KARYA MANASSEH
Tulisan Ibrani buatannya yang paling berpengaruh—Kutipan dari Gebirol, Bedersi, R. Kalonymus, R. Zerahiah Ha’levi, dan lainnya—Plato, Aristoteles dan Philo—Gagasan Kabbalistik—R. Isaac Luria—Mukjizat dan Orang Kudus Kristen—Nasionalisme Yahudi menurut Manasseh—“Jiwa-jiwa Yahudi”—Zohar—R. Jehudah Ha’levi—Kekudusan Tanah Israel—R. David Carcassone, pembawa pesan dari Konstantinopel.
Hal paling penting dari tulisan-tulisan Ibrani karya Manasseh, walaupun hanya terwujud secara tak sengaja, atau diwarnai dengan kritikan dalam biografinya, adalah karya buatannya Nishmath Chayyim..., Amsterdam, 1651 (Appendix xi). Pengamatan sarkastik dibuka dengan kaitannya pada legenda dan penaungan pada pengikatan buku tersebut. Adalah benar bahwa buku tersebut berisi banyak legenda dan keyakinan yang menaungi; namun itulah kenapa, dari sudut pandang sastra, berkontribusi lebih jauh pada pengetahuan sebenarnya Manasseh ketimbang tulisan-tulisan yang diadvokasikan olehnya yang tentunya berkepentingan selaku apologis atau penerjemah. Dalam buku tersebut, kami mendapati Manasseh sendiri, selaku berkebangsaan Yahudi, mengkotbahi saudaranya dalam bahasa nasional. Kajian hati-hati dari buku tersebut dalam versi aslinya, dengan gaya khasnya, rangkaian besar alusinya, dan jiwanya yang berbeda, memberikan kami gagasan jelas bahwa pandangan keagamaan Manasseh, kesadaran diri nasional Yahudinya, atau—memakai istilah modernnya—Zionismenya.
Buku tersebut merupakan kompilasi yang dibuat secara berhati-hati, secara terampil menempatkan dan memilih pada setiap bagiannya. Walaupun sesuatu berkembang pada bagian-bagian tersebut, karya tersebut ditulis dengan penuh kesempurnaan. Gayanya mengingatkan pada salah satu karya Abrabanel, dengan sentuhan R. Isaac (1402?‒1494) ben Moses Arama. Penulis seringkali mengutip kalimat-kalimat puitis Solomon (1021?‒1058) ben Judah Ibn Gabirol [Abu Ayyub Sulaiman Ibn Yahya Ibn Jabirul], yang dikenal sebagai Avicebron; R. Jedaiah (1270?‒1340?) ben Abraham Bedersi [Bedaresi] Kalonymos (1286‒post 1328) ben Kalonymos ben Meir [Maestro Calo]; Zerahiah (1131?‒1186?) ben Isaac Ha’levi Gerondi, dan lainnya, dan sehingga menunjukkan dirinya juga tak hanya mengutip pada naskah-naskah kuno, namun juga dalam keindahan syair Ibrani terkini secara komparatif.
Argumen Manasseh ditujukan untuk menunjukkan bahwa keabadian jiwa berprinsip Alkitabiah serta Talmudikal, Rabbinikal dan Kabbalistik. Ia mengartikan Nefesh (Jiwa) sebagai prinsip mutlak internal dari orang berpikir, merasakan dan berkehendak. Istilah Ruach (Pikiran) mengartikan prinsip tersebut sebagai subyek keadaan sadar manusia, sementara Nefesh juga diartikan sebagai sumber kegiatan fisik manusia. Pertanyaan soal kenyataan jiwa dan keberadaan terpisahkannya dari tubuh baginya merupakan salah satu masalah agama paling penting, karena hal tersebut mengikat doktrin kehidupan masa depan. Ia mengenalPlato (427?‒347? SM), Aristoteles (384 ‒322 SM) dan Philo (20? SM‒setelah 40 Masehi). Diketahui bahwa Mistisisme berbagi bagian besar dari gagasan sistem Plato, yakni dalam teori dunia gagasannya, dari cikal bakal jiwa duniawi dan jiwa manusia. Dua titik pendirian, kosmologi dan epistemologi, didapati dipadukan pada Plato. Daalam Phædo, argumen utama dari keabadian jiwa berdasarkan pada alam pengetahuan intelektual yang ditafsirkan lewat teori ingatan; penjelasan ini mengimplikasikan pra-keberadaan jiwa. Doktrin tersebut berkembang dalam Transendentalisme ekstrim. Di sisi lain, Aristoteles menekankan keintiman persatuan jiwa dan raga. Kesulitan dalam teorinya adalah untuk menentukan berada tingkat perbedaan atau pemisahan dari materi raga yang berkaitan dengan jiwa manusia. ia sepenuhnya mengakui pemikiran unsur spiritual, dan mendeskripsikan “kecerdasan aktif” sebagai hubungan terpusat, namun pasti dari “kecerdasan aktif” pada pemikiran orang merupakan titik penting dalam teorinya. Philo memadukan teori Platonik dengan data Alkitab, dan mengajarkan bahwa setiap manusia, dengan membebaskan dirinya dari persoalan dan menerima iluminasi dari Allah, dapat mencapai keadaan mistik, kegairahan atau nubuat, kala ia merasuk dalam Keilahian. Stoik mengajarkan bahwa seluruh keberadaan bersifat material, dan menyebut jiwa sebagai napas yang merasuki raga. Mereka juga menyebutnya Ilahi, sebuah unsur dari Allah. Sistem Manasseh bersifat sinkretisme dari gagasan Plato, Philo dan Stoik, sesambil ia menolak gagasan Aristotelian. Ia tedorong untuk menyatakan bahwa Moshe ben Maimon (1135‒1204) tak mengikuti Peripatetik besar, dan menentang penafsir Moreh-Nebuchim Moses (hidup pada abad ke-14) ben Joshua Narboni [Mestre Vidal], dalam apa yang memajukan perilaku dialektikal.
Menerima landasan pra-keberadaan jiwa, kelanjutan jiwa di dunia yang akan datang, dan reinkarnasi, ia mendatangi Cabbalah, mengutip Zohar, dan menyebut dirinya selaku murid dari R. Isaac Luria. Menurut Zohar, manusia terdiri dari tiga hal: Kehidupan, atau Nefesh, Roh, yang disebut Ruach, dan Jiwa, yang disebut Neshamah. Lewat hal tersebut, manusia menjadi Ruach Chajah (Roh yang Hidup). Doktrin Manasseh dapat dijelaskan sebagai berikut:—
(1) Jiwa manusia dilandasi dengan hadiah khusus yang menyelaraskannya pada persatuan intim dengan Keilahian—“partikel Allah” menurut Stoik, berkaitan dengan istilah Ibrani “Chelek Eloha Mimaal”;
(2) Hadiah atau rahmat melalui setiap manusia digerakkan pada kesempurnaan yang membentuk Hidup, Roh dan Jiwa-nya dalam seluruh hal terorganisir, yang bagiannya berkaitan bersamaan;
(3) Melalui ketaatan dan kesalehan, jiwa manusia masuk dalam jiwa sorgawi tingkat tinggi, dalam kosmos mistik yang bersatu dalam keabadian ilahi. Dalam pikirannya, ini merupakan pengartian ajaran Alkitabiah bahwa manusia terbuat dari citra dan keserupaan Allah.
Gagasan-gagasan Cabbalistic sempat diterima, Manasseh juga menerima transmigrasi jiwa, kebangkitan badan, pengusiran setan, dan lain sebagainya. Ia memajukan pandangan teosofi dan perkiraan metafisika. Seluruhnya nampak aneh dari sudut pandang modern, namun ia harus dianggap dalam sorotan masanya. Ia percaya akan mukjizat-mukjizat. Bukankah Para Bapa Gereja Kristen meyakininya? Origenes (185?‒253(4)) berujar bahwa ia melihat contoh-contoh pengusiran setan. St. Athanasius (293‒373) menulis dalam Kehidupan Santo Antonius (251(2)‒356(7)) dari apa yang ia sendiri saksikan dan dengar dari orang yang telah lama menemani orang kudus tersebut. Yustinus Martir (100?‒163‒7), dalam surat keduanya kepada Senat Romawi mengenai mukjizat yang terjadi di Romawi dan disambut baik. Tertulianus (155?‒222?) menantang para magistrat untuk melakukan mukjizat yang dilakukan oleh umat Kristen; Santo Agustinus (354‒430) memberikan daftar panjang mukjizat luar biasa yang terjadi di hadapan matanya sendiri, menyebutkan nama dan penjelasannya. Dan bahkan pada masa Reformasi, bukankah Johann von Reuchlin (1455‒1522) menyebut mistisisme Kabbalistik dalam karya-karyanya De arte cabalistias dan De verbo mirifico? Paradoks nampak pada penglihatan pada mulanya, Manasseh bahkan dalam keyakinan metafisikanya menjadi sesuatu dari rasionalis, dalam esensi bahwa ia hanya menerima bukti otoritas terpercaya. Otoritas Safed, yang mendadak menyaksikan mukjizat-mukjizat Luria, yang sebetulnya menekankan dirinya pada cara yang sama dengan laporan Montezinos, karena mereka selaras dengan teorinya. Pada tingkat apapun, ini merupakan karakteristik cara pemikirannya bahwa ia mencemaskan pembangunan fakta dan bukti.
Kami menelusuri beberapa pernjelasan pada luar domain ranah kami dalam rangka sepenuhnya mengapresiasi gagasan umum Manasseh. Nasionalisme Yahudi-nya, yang bagi kami merupakan titik utama, hanya dapat dimengerti dalam kaitannya dengan seluruh sistem gagasannya. Nasionalisme tersebtu diusrkan dalam Nishmath Chayyim. Dalam bahasa modern, apa yang kami sebut ras, individualitas nasional (dari natus—natio), yakni apa yang yahudi buat lewat dirinya sendiri, lewat fakta terlahir selaku Yahudi, disebut oleh Manasseh sebagai “jiwa Yahudi.” Sistemnya berakar dalam keyakinannya dalam kesempurnaan jiwa Yahudi, yang merupakan tindakan dalam pada ras tersebut; itu merupakan sudut pandang dari yang ia anggap sejarah Yahudi. Sejarah, yang kami pikir—dan dalam penekanan ini lagi ia dipandu oleh bukti fakta sejarah—menyematkan saksi pengaruh bermanfaat bahwa jiwa Israel, atau—lebih pastinya—jiwa bangsa Israel, terhimpun pada kehidupan intelektual umat manusia.
Di titik ini, ia bahkan dilarikan oleh imajinasi untuk membuat pernyataan berlebihan dari jenis berikut, yang kembali dibekingi oleh otoritas: “Ini adalah kebenaran yang terkonfirmasi oleh para penulis yang tak terhitung, bahwa seluruh pemahaman Yahudi dan Mesir datang dari Yahudi: Yustinus Martir, Klemens dari Aleksandria (150?‒213?) dan Theodoret (386?‒247) menyatakan bahwa seluruh filsuf dan penyair terbaik memiliki pemahaman mereka pada Kitab Suci, yang merupakan alasan mereka sebut Plato sebagai ‘Musa Attik’; ‘Musa Athena.’ Clearchus sang Peripatetik (320 SM) menulis bahwa Aristoteles menerima banyak pembelajarannya dari Yahudi yang banyak berbincang dengannya; Ambrosius (340?‒397) menulis bahwa Pythagoras (hidup sekitar 540‒510 SM) berasal dari Yahudi, dan seperti pencuri yang merampok banyak hal dari mereka; Cornelius Alexander Polyhistor (80 SM) menulis bahwa ia merupakan murid dari nabi Yehezkiel (fl. 3332 a.m.). Terakhir, ini menentukan bahwa Orpheus (abad ke-14 atau ke-13 SM), Plato, Anaxagoras (500‒428 SM) Pythagoras, Milesian Thales (640‒546 SM), Homer (hidup 962‒927 SM) da banyak sosok handal lainnya, mengirimkan pengetahuan mereka dari samudra luas pengetahuan Musa (2368‒2488 a.m.) dan kisah dan progesor Hukum paling Kudusnya; karena, menurut Mazmur,
“Ia memberitakan firman-Nya kepada Yakub, ...” (Mazmur 147:19).
“Ia tidak berbuat demikian kepada segala bangsa; ...” (ayat 20).
Dalam prakata buatannya dalam Nishmath Chayyim, ia membuat pernyataan tersebut dalam bentuk paling umum, berujar bahwa “kala ia mengutip otoritas non-Yahid, ia hanya ingin menunjukkan bahwa sebagian besar ajaran mereka datang dari sumber-sumber kuno kami.” Ia mengulang bahwa “Pythagoras adalah orang Yahudi, dan seluruh hal yang diajarkan dan dituliskan olehnya disalin dari Hukum Suci dan Tradisi kami yang sebenarnya” (fol. 171a), dan bahwa “Plato mempelajari ajaran-jaran nabi kami Yeremia” (fol. 171b) (fl. 3298 a.m.). Bukan ia mengurangi cinta dan pengkondisian untuk bangsa lain. Jauh dari itu: sebaliknya, ia menghimpun penekanan terhadap penuturan Mishnah, bahwa sosok saleh mendorong bangsa-bangsa memiliki bagian mereka dalam kehidupan mendatang; seperti yang kami amati pada Tujuh Hukum Nuh; dan, tanpa perlu diujarkan, ia sangat menghormati Kekristenan, dan secara praktikal menjadi penulis Ibrani pertama yang seringkali mengutip dan dengan seluruh pewahyuan besar semacam itu dari Gereja Kristen. Bahkan kala ia membahas Inkuisisi Spanyol, kala ayahnya menjadi salah satu korban siksaan, tak ada kata perhatian atau pergesekan yang melarikan tulisannya, walau, tinggal di Belanda, dan nyaris bersepakat secara khusus dengan para pengikut Reformasi, ia dapat mengekspresikan gagasan-gagasannya tentang pembahasan tersebut. Namun kemudian, ia menyatakan bahwa “Allah memberikan jiwa kepada bangsa Israel sebagai rahmat paling istimewa, yang memperkenankannya untuk merasakan keberadaan bijaknya,” bahwa “angsa Israel masih menjadi bangsa yang khas, secara esensial memiliki prerogatif dari kehidupan yang dikurbankan,” dan ia kemudian mengutip dan menggambarkan ayat-ayat Alkitab:—
“... Diberkatilah ... Israel, milik pusaka-Ku” (Yesaya 19:25).
“... Israel adalah suku milik-Nya;...” (Yeremia 10:16).
“Dan bangsa manakah di bumi seperti umat-Mu Israel,...” (2 Samuel 7:23).
serta beberapa pasal Zohar, yang memajukan martabat jiwa Yahudi, dan pandangan-pandangan terkenal R. Judah (1085(6)‒setelah 1140) ben Samuel Ha’levi’s [Abu al-Hasan al-Lawi], yang tercantum dalam Kuzari (chap. i., par. 46):—
“Bangsa Israel disukai, karena Allah menyerahkan jiwa-jiwa kudus pada mereka.”
Kalimat dari Zohar tersebut adalah catatan penting ajaran Manasseh, dan frase kesukaannya kala ia membahas seluruh Israel adalah,
“... akan ... menggelari dirinya dengan nama Israel” (Yesaya 44:5).
Kala ia berniat untuk menekankan cikal bakal Yahudi, tanpa pembedaan negara, kubu, mazhab, dll (alusi signifikan juga kepada Marranos), ia memakai frase tersebut. Jika kami menambahkan bahwa ia memajukan kesucian Palestina, menghimpun tujuh tingkat kesucian, menjelaskan keinginan sosok saleh untuk mendapati sisa mereka usai kematian di tanah Palestina oleh fakta bahwa kehendak Shechina untuk menetap di Tanah Suci, dan sebagainya—mereka dapat mewujudkan kedalaman keantusiasan Palestina nasionalnya. Sorotan tercurahkannya pada sebab saudara-saudaranya yang tertinda diekspresikan kala ia berujar kepada Rabbi David Carcassone, pembawa pesan dari Konstantinopel, “yang datang ke kota kami untuk mengumpulkan dana untuk pemulihan saudara-saudara kami yang telaj jatuh setahun sebelumnya ke tangan Cossack, ... agar Allah mengirimkan malaikat-Nya di hadapannya” (fol. 173b)—merujuk kepada pembantaian di Polandia pada 1648. Rujukan paling penting pada propagandanya di kalangan Kristen atas perantara Restorasi dibuat dalam prakatanya, kala ia mengaitkannya dengan penglihatannya saat pagi: “Dan aku membuka mataku dan aku melihat sesosok Malaikat menyentuhku dan berujar padaku ... Aku memberikan kehendak untuk sebuah sinar pada Bangsa-bangsa dalam kitab yang ditulis mengenai Sepuluh Suku untuk mewujudkan peninggalan yang tersudutkan....”