Sejarah Zionisme, 1600-1918/Volume 1/Bab 6
BAB VI.
BEBERAPA PANDANGAN MANASSEH
Pembantaian Podolia—Tragedi Marrano—Pandangan Manasseh tentang misi Israel—Pembuangan dan Pemulihan—Pernyataan R. Jacob Emden—Teori ras Yahudi menurut Manasseh.
Pembantaian sengit terhadap komunitas Yahudi di Podolia, Volhynia, dan provinsi Polandia lain, sepenuhnya mengejutkan dan mengkhawatirkan Yahudi di seluruh dunia. Selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun, pembantaian Yahudi terjadi. Tak ada bahasa yang dapat menyebut kekejaman dan penderitaan yang menimpa orang-orang malang tersebut dari Dnieper sampai Vistula. ini adalah “sebuah jenis penempatan dalam wilaayh tertutup.” beberapa Yahudi berpengaruh dan berumur dijadikan sandera di tangan gerombolan, yang menuntut ransum besar dari Yahudi negara lain. Ini adalah tujuan misi Carcassone dari Konstantinopel sampai Amsterdam. Turki memberikan suaka untuk para pengungsi yang diburu yang beruntungnya dapat melintasi perbatasan, namun hanya sedikit yang berhasil, sementara ribuan orang yang berniat kabur dibunuh, atau ditempatkan di tahanan dan penjara sebagai sandera. Manasseh, sendiri merupakan putra pengungsi dan martir, merasakan tragedi tersebut. Di sisi lain, kabar terkait Inkuisisi di negara kelahirannya masih mengkhawatirkan dunia, karena Yahudi masih dibakar hidup-hidup disana. Menempatkan catatan singkat dalam Nishmath Chayyim terkait pembantaian tahun 1648 dengan pernyataan dalam De Termino Vitae tentang Inkuisisi, kami mendapati gambaran mengerikan. Dalam De Termino, Manasseh menuturkan emigrasi Marranos.
Marranos! Apa yang menjadi catatan perialku penting, spontan, kesalehan priyayi, dari penderaan kemenangan, yang menyebut kenangan pada penyebutan kata yang sebenarnya! Apa yang menjadi dorongan kuat yang disebutkan dalam sejarah martir Yahudi! Apa yang jmenjadi inspirasi untuk mengupayakan walau tak mungkin dalam sebab kebebasan hati nurani! Apa yang menjadi tragedi besar terhadap mereka—sebuah tragedi yang tergambar oleh perbuatan pribadi dari pengorbanan diri! Cerita mereka merupakan cerita pengalaman pribadi, kesedihan, perpisahan dan kematian.
H. H. R. Jacob de Aaron Sasportas memberikan deskripsi yang sangat elok dan menyetir dalam karyanya Ohel Jacob (Amsterdam, 1737) tentang tragedi Marranos (Respon. III.).
Mereka terpencar, tutur Manasseh, dalam jumlah ribuan di negara-negara lain, dan tak berguna untuk berupaya menuturkan sedikit kata yang kehilangan perhitungan bahwa Spanyol dan Portugal mengalami kehilangan kekayaan, dan penduduk, lewat tindak Inkuisisi yang tak berperikemanusiaan. Selain dari tindak tak berperikemanusiaan mereka, serangkaian kejahatan nampak dari fakta bahwa Inkuisisi mendorong kekayaan, perdagangan dan keterampilan negara tersebut untuk meninggalkannya. Disini, ia berbicara selaku negarawan yang memahami negara-negara dalam persoalan. Dalam Nishmath Chayyim, catatan tersebut menjadi salah satu pengunduran berpikiran sadar. Ia tak berniat melawan Cossack sebagaimana yang ia lakukan melawan Portugis. ia singkatnya mengekspresikan harapan agar Carcassone mengumpulkan dana yang dibutuhkan, dan agar Allah dapat mengirimkan malaikat-Nya di hadapannya. Dengan memakai frase Alkitab tersebut, Manasseh menyatakan apresiasi tingginya terhadap pengaruh misi. Situasi umum yahudi dalam Diaspora disebutkan olehnya dalam pernyataan singkat namun datar: “Jika bangsa-bangsa akan bertanya, kenapa engkau dibuat, memicu pemberontakan dan sorotan, dipinggirkan dan diacuhkan...?” Manasseh jelas-jelas menolak gagasan bahwa misi Israel menuntut persebaran tak berkesudahan. Ini nampak padanya bahwa persebaran tersebut dilakukan secara bulat, karena hal tersebut harus berujung pada Pemulihan. Dalam sorotan tersebut, pandangannya tak hanya selaras dengan kitab Suci, namun hasil dari pelatihan akal budi. Proses persebaran tersebut mencapai klimaksnya, dan kemudian proses pemulihan akan dimulai. Menurut Hagadik:—
צדקה עשה הקדוש ברוך הוא בישראל שפזרן לבין האומות. פסחים, פז׃
seringkali dikutip oleh para penganut persebaran dalam mendukung Galuth, ditafsirkan oleh Manasseh untuk mengartikan bahwa sepanjang bangsa Israel harus hidup tersebar, mereka harus hidup tersebar di antara banyak bangsa. Karena dalam cara ini, penghancuran penuh mereka sangat sulit ketimbang jika mereka bergantung pada satu atau dua bangsa. Namun, persebaran bukanlah untuk negara ideal bangsa Yahudi.
“... Dialah juga akan mengutus malaikat-Nya berjalan di depanmu, ...” (Kejadian 24:7).
“Sosok kudus Memberkati yang dibenarkan dengan Israel tersebar di kalangan bangsa-bangsa” (Pesachim, fol. 87).
[Satu-satunya kalimat dari jenis tersebut, melawan pihak lain yang tak terhidup dalam kubu yang berlawanan.]
Hukum kehadiran Ilahi terkait dengan bangsa Israel yang telah menyatakan bahwa pembangkangan kemudian disusul oleh persebaran dan rekonsiliasi lewat pemulihan.
“Hai anak manusia, waktu kaum Israel tinggal di tanah mereka, mereka menajiskannya....” (Yehezkiel 36:17).
“... Aku menghamburkan mereka di antara bangsa-bangsa, sehingga mereka berserak-serak di semua negeri;...” (ayat 19).
“... dari segala kenajisanmu dan dari semua berhala-berhalamu, Aku akan mentahirkan kamu.” (ayat 25).
“Dan kamu akan diam di dalam negeri yang telah Kuberikan kepada nenek moyangmu dan kamu akan menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu.” (ayat 28).
Tak ada pasal yang menjanjikan pemulihan yang terwakili sebagaimana hal lain selain pembuktian khas rekonsiliasi antara Allah dan bangsa kuno-Nya, atau persebaran sebagaimana hal apapun selain hukuman. Bangsa dan Tanah Israel sangat berhubungan dengan satu sama lain agar apapun kelanjutannya dituliskan pada sesuatu yang harus, pada seluruh prinsip penafsiran ketat, juga diatributkan ke hal lain. Dalam dua puluh enam pasal Imamat, kami mendapati Musa memberikan bangsa tersebut, sebagai peringatan dan dorongan, penjelasan nubuat dari sejarah masa mendatang mereka, yang membentuk basis sebarnya, dan, pada kenyataannya, membuat substansi dari seluruh hal yang ditemukan pada nabi-nabi berikutnya yang berkaitan dengan bangsa Israel. Adalah benar bahwa kedua pembenaran tersebut mengencam dan kasihnya yang menjanjikan dikeluarkan secara hipotetis, pada penaungan yang datang dari Allah dan kemudian pertobatan—“Jikalau hidupmu tetap bertentangan dengan Daku dan kamu tidak mau mendengarkan Daku,” di satu sisi; “jika kalian mengakui dosa-dosamu dan dosa nenek moyangmu” di sisi lain. Namun karena pernyataan kondisional berubah—sebagaimana mereka berada di tempat lain—dalam pengumuman mutlak dari aap yang ditempatkan, bentuk ekspresi hipotetis harus berkaitan dengan cara peringatan sebenarnya melawan pembelotan dan dorongan untuk pertobatan:—
“Maka pada masa itulah mereka itu akan mengaku segala salah dirinya dan salah nenek moyangnyapun, ... dan melawan akan Daku dengan sengajanya.” (Imamat 26:40).
“Akupun bertindak melawan mereka dan membawa mereka ke negeri musuh mereka; ... dan mereka telah membayar pulih kesalahan mereka” (ayat 41).
“ maka Aku akan mengingat perjanjian-Ku dengan Yakub; juga perjanjian dengan Ishak dan perjanjian-Ku dengan Abrahampun akan Kuingat dan negeri itu akan Kuingat juga.” (ayat 42).
Tak mungkin untuk menyangkali bahwa “pengingatan perjanjian” dan “pengingatan tanah” dimajukan bersamaan. Jika kami mengumpamakannya, kami hjuga harus mengumpamakan hal lainnya, dan kemudian terbentuk tanah, bangsa, perjanjian, para nabi maupun hukum—sebuah kerancuan yang sempat ditolak sendrii. Prinsip Mosaik fundamental bersifat jelas, datar dan positif. Tanah yang diambil oleh bangsa Yahudi, menyediakan kondisi perjanjian dipenuhi. Pergesekan perjanjian memicu pemberontakan terhadap pengikatan dan menjadikannya keluar dari tanah pewarisannya. Janji penebusan yang menjadi penyelamatan dari hukuman kemudian terjadi. Sehingga, ia menjelaskan, Agadist tak menuturkan heglom, “Ia menggerakkan mereka keluar,” yang merupakan pernyataan biasa, namun pizrom, “Ia menyebar, menyerak-nyerakkan mereka,” karena, sepanjang Galuth berlangsung, mereka hidup di berbagai negara. Sehingga, merupakan hal rancu untuk memikirkan bahwa keadaan Galuth, yang diprediksi oleh Musa sebagai kutukan, adalah sebuah pemberkatan. Disini, kami mempersingkat gagasan Manasseh sebagaimana kepada Galuth dan Pemulihan. Kami memahami bahwa ia juga bertindak sepenuhnya selaras dengan gagasan tersebut.
British Museum memiliki salinan Nishmath Chayyim, Amsterdam, 1651, dengan pengucapan autografi R. Jacob Emden [Jacob Israel] (1697‒1776) ben Zebi Hirsch Ashkenazi (1658‒1718). Dua pengucapan tersebut merupakan kepentingan khusus. Manasseh menulis (fol. 6b) soal kelemahan fisik Yahudi kalah dibandingkan dengan Kafir. Terkait hal tersebut, Emden menyatakan: Aku memajukannya hanya berkaitan dengan Yahudi di Galuth; kala Yahudi tinggal di tanahnya sendiri yang mereka memukaukan Romawi lewat pahlawan dan atlet besar mereka, dan kemudian pada masa Bait Allah Pertama. Dalam pasal lain (fol. 8a), tempat Manasseh menulis soal kehidupan pendek dari orang-orang yang menjaga Hukum sebanding dengan lainnya, Emden kembali menyatakan: Namun di Palestina, Yahudi membedakan dirinya lewat banyak perpanjangan yang lebih besar. (M. Seligsohn, pengarang biografi Emden dalam Ensiklopedia Yahudi, yang menghimpun berbagai buku dengan pengucapan autografi Emden, tak nampak memiliki pengetahuan pengucapan apapun.)
Konstitusi yang didirikan oleh Musa bersifat teokrasi. Raja Israel yang sebenarnya adalah Allah, dan konstitusinya adalah Hukum. Para imam dan Lewi menjadi pelayan Allah; para nabi adalah utusan Allah, ditugaskan untuk menyampaikan perintahnya tak hanya pada bangsa namun kepada Raja sendiri. Kerajaan tersebut kemudian menghimpun Kerajaan Allah, dan Raja merupakan pemimpin duniawi dari Penguasa yang tak terlihat. Ia lebih terbatas ketimbang penguasa konstitusional; ia tak hanya menjadi subyek Hukum, namun juga kepada orang-orang yang digelari untuk menjelaskan Hukum. Keadaan hal semacam ini tak pernah terjadi pada bangsa lainnya, entah pada zaman kuno atau modern. Bangsa Yahudi mengaitkannya sebagai Negara Ideal, dan melirik masa depan agar gagasan mereka akan diterima oleh seluruh dunia, kala Allah akan menjadi Raja; selain kehendak tersebut hanya ditempati setelah pendirian perintah Ilahi tersebut di Palestina. Sehingga, Yahudi berdoa kepada Allah untuk memberikan mereka para hakim dan penasehat seperti pada zaman kuno, demi memulihkan kehidupan mereka di bawah perintah Allah, sebuah kehidupan adil, damai dan bijak; mereka juga mengharapkan bahwa kehendak tersebut mempengaruhi seluruh umat manusia untuk mengakui Kerajaan Allah, yakni pemerintahan adil, berbelas kasih dan cinta. Kemudian, janji kepada Abraham akan terpenuhi:—
“... Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat; ...” (Kejadian 22:18).
dan pemberkatan dan hak Kerajaan Allah akan ditawarkan secara bebas kepada seluruh umat manusia. Disini, pengaruh Abrabanel terbukti. Titik berkepentingan lain dalam teori Manasseh merupakan perpaduan gagasan Nefesh Ha’yisraelith dengan prinsip pewarisan. Ia menyebut prinsip tersebut dengan sebutan Mizgé Ha’aboth, yang merupakan karakter tertentu dari kebangsaan yang diwariskan dari para leluhur. Ini adalah kebangsaan Yahudi, yang menjadi bagian dari pewarisan Yahudi saat lahir.
Dalam bahasa Ibrani Alkitabiah, “Mezeg” memiliki arti terpadu, atau tercampur [“Al Yechsar Hamazeg” (Cant.vii. 3)]. Dalam bahasa Ibrani abad pertengahan, kata tersebut memiliki arti “Karakter,” “Sifat Individual,” “Temperamen.”
Ini merupakan pernyataan yang didatangkan dari beberapa teolog Kristen—dari sudut pandang lain—dengan keputusan yang sama terhadap pengaruh ras Yahudi:
“Pertanyaan Restorasi Nasional mereka adalah suatu darah dan bukan pengakuan iman, dari ras dan bukan perpindahan agama, dari kebangsaan yang dapat meliputi banyak sekte seperti pada zaman Kristus. Satu-satunya pertanyaan yang dapat dituntut oleh tanah berrongga dari negara tersebut, dan lewat Kehadiran Ilahi—Apakah Anda Yahudi? Dalam esensi tersebut, dua belas Rasul adalah Yahudi, dan jika kini di bumi gelar mereka terhadpa tanah mereka bersifat jelas, tak diragukan, dan disetarakan dengan Nehemia atau Yahudi modern manapun. Pengakuan imat Kristen tak membuat bangsa lain selain Uahudi dan keturunan Abraham.... Persoalan kebangsaan Yahudi, dan kemudian pemulihan, bukanlah salah satu pengakuan iman selain ras, dan sehingga harus dipertahankan pada pikiran. Isolasi yahudi akan membesar, jika semuanya menjadi Kristen, pada saat ini. Perpisahannya dari antara bangsa-bangsa diucapkan lewat firman maha kuasa, yang kebenaran dan kehendak berdampak pada keperluannya hanyalah setara dengan karakter takterelakkan dari unsur Ilahi. Mereka harus bersinggah sendiri. Mereka tak terikat dengan bangsa-bangsa. Dalam pemulangan terakhir mereka, serangkaian ritus dan hukum keagamaan akan menjaga mereka terpisah dari bangsa lain. Sekali Yahudi, ia selalu Yahudi, apapun pengakuan imannya” (Rev. A. G. H. Hollingsworth, Remarks, etc., London, 1852, hlm. 21).
Ini melebihi gagasan keagamaan Z’chuth Aboth (Kasih Para Bapa); ini merupakan, walau dipadukan dengan pernyataan Kabbalistik, sebuah pembentukan etnologi—dasar sebenarnya dari gagasan nasional Yahudi.
Pembetukan karakter Manasseh (atau perpaduan darah tertentu) dari para leluhur, yang tinggal di negara tersebut, sepenuhnya selaras dengan cara pemikiran Yahudi nasional modern seperti yang ditemukan pada ekspresi dalam tulisan-tulisan terbaik sastra Zionistik baru. Kala Yahudi merasakan dorongan-pukulan alam di hatinya, kemudian sejarah leluhurnya datang untuk hidup di dalamnya. Ia tak lagi berjuang sendiri sepanjang hidup, ia menyatakan hubungan antara dirinya sendiri dan jutaan orang yang menjadi dan seluruh roh dan jiwa yang menerima bagian dalam hidup. Perasaan paling berhaya yang dapat menawarkan ras lama; kesadaran transitoris tunggal dan ketetapan universal, baru dimulai kala nilainya karena masa depan nasional cerdik secara muda dibuat selaras dengan sosok ketakterbatasannya sendiri. Proses fisik tersebut adalah tujuan tak sadar dari yang ia anggap sebagai perpanjangan nasional. Orang bebas harus menjadi unsur problematik jika ia tak dapat menggerakkan akar spiritual dan kepribadian fisik pada tanah dari masyarakat terkait jiwa. Unit tersebut menggerakkan pertikaian perjuangan sosial kala ini tak terhubung oleh seribu tawaran dan sehingga perlakuan tak terkoyak dengan komunitas etnis dari sebuah bangsa. Komunitas etnis didapati dari dua sudut pandang tak terbetas yang menjadi dukungan terbesar dari peradaban manusia; pertama dari semuanya timbul dari kesadaran kendali nasional yang berkemabng dalam pendirian pembuktian diri yang tak tercatat dari unit etnis, kesadaran tugas moral dan esensi pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban nasional mendapati landasannya dalam hak pemulihan orang melawan komunitas. Dalam bergulat dengan moral dan konsep hidup lainnya, seseorang seringkali menyadari bahwa orang-orang yang berpemikiran demikian seperti tak menghilangkan dirinya sendiri. Hal ini mengalami pengulangan dalam sejarah Yahudi bahwa banyak Yahudi tak hanya kehilangan substansi menonjol mereka namun secara sukarela menyerahkannya, sehingga budaya mereka hanya dinaungi sepanjang sistem peniruan unsur asing dan kebiasaan asing.
Apa yang dimengerti Manasseh di bawah “Karakter Para Leluhur” dimajukan sedikit pada atavisme sebagai gagasan nasional Yahudi modern. Atavisme adalah hal yang tak disadari, ditemukan bahkan di kalangan Yahudi yang keluar dari agama Yahudi. Namun apa yang keluar dari agama Yahudi adalah atavisme yang terjadi dengan para Yahudi nasionalis pada dasar sejarah dari penekanan seluruh kehidupan mereka. Landasan masa lalu menghimpun napas hidup pertama sampai saat ini, pada reruntuhan waktu silam yang menggambarkan pendahuluan kebesaran dari setipa kesempatan hidup—dan pemekaran kehidupan baru pada reruntuhan. Sehingga, terbentang juga kuasa kesadaran nasional untuk menciptakan nilai-nilai kebudayaan. Apa yang berdasarkan pada pewarisan dan tradisi tak lagi dikorbankan pada resesi pemikiran sendiri—kekeliruan selaku peradaban—namun diwarnai dengan kecintaan nasional. Hal ini tak lagi menjadi anarki “budaya” tanpa tujuan yang ingin dikaitkan dengan perhatian ras tak familiar sehingga menjadi seperti mereka, dan yang selaku imitasi tak dapat diperhatian, namun merupakan budaya yang berakar kuat, yang mencapai kedalaman pada sumur kehidupan nasional, dan sehingga dapat menjadi setara dengan seluruh budaya besar dan berakar mendalam lainnya.
Sosok tersebut merupakan hasil dari sebuah bangsa, tujuan mutlaknya. Bangsa tersebut bergerak memutar untuk menghasilkan seorang sosok. Sebuah bangsa bersifat besar, tak hanya kala pikiran kreatif besar yang timbul dari tengah-tengahnya, selain juga kala banyak kehidupan secara intensif menerima dorongan dari sedikit orang, dan mengembalikan dorongan ke sedikit orang—dan kala kehidupan lampau berada pada masa sekarang. Ini merupakan gagasan kebangsaan Yahudi yang dirasakan Manasseh di samping mistisismenya. Ia tergerak dengan keantusasiasan keagamaan dan, pada saat yang sama, seluruh dorongan dengan perasaan nasional mendalam. Sehingga pemikiran dan sentimennya bergantung pada kebesaran; ia mamahmi bahwa alat penguatan terbaik dan menghimpun ulang hati nurani nasional bangsa soal kehilangan pengetahuan individualitas enisnya, hanya diperlukan untuk menuturkan sejarahnya, bahwa para leluhurnya harus menuturkan ulang inagtan, perilaku besar mereka dinyanyikan dan dipujikan, dan bahwa kebangggan masa lampau harus dinyalakan. Sebagaimana ia berpuisi sebagiamana ia juga dapat menyertai perilaku besar, karena ia mengarahkan matanya ke Palestina, ia juga dapat meraih hasil besar dalam Diaspora. Ia adalah bapak dari Agama Yahudi Inggris pasca-pengasingan, dan aliran Yahudi tersebut berniat untuk mengikuti langkahnya.
Untuk mewujudkannya, rujuakn harus dibuat pada penulis Ibrani Perez Smolenskin, yang ia sendiri merupakan pionir Zionisme modern yang, walau ia tak sepakat dengan materi secara detil, dipandu oleh intuisi suara kala ia memahami Manasseh dalam karya buatannya Am Olam (1880) sebagai pionir besar gagasan nasional.