Lompat ke isi

Sekolah Bersama Kambing

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

SEKOLAH BERSAMA KAMBING

*Heri CS


Libur Panjang sudah usai. Ibu telah menyiapkan seragam sekolahku. Besok sudah hari senin.  Tapi rasanya libur masih terasa kurang. Aku sudah naik kelas dua. Pasti pelajarannya tambah sulit.tapi bagaimana bisa ibu lebih semangat dibanding aku.

           “Katarina! Ayo bangun! Hari ini sudah mulai sekolah. Jangan sampai kamu terlambat di hari pertama sekolah.”

           “Iya, Bu.” Jawabku lirih dan malas-malasan. Aku masih ingin bermain dan tak mau belajar.

           Kemudian ibu membopongku dari tempat tidur dan memaksaku duduk.

“Ini,” ibu menyodorkan handuk.

“Ibu sudah menyiapkan air hangat. Lekas mandi dan sarapan.”

Dengan masih menahan rasa kantuk aku berjalan menuju kamar mandi. Setelah semua siap aku duduk di meja makan Bersama ayah dan ibu. Ibu memasak nasi goreng dan telur ceplok pagi ini. ayah terlihat begitu tergesa-gesa dan menyelesaikan makannya lebih cepat dari aku.

“Ayah duluan ya. Kau jangan lupa belajar dengan semangat.” Sambil menjinjing tas kerjanya ayah mencium keningku. Dan aku hanya tersenyum dan mengangguk. Pagi ini udaranya sangat cerah dan matahari terlihat sangat cerah. Usai sarapan aku diantar ibu sampai di depan gerbang sekolahku. Aku melihat teman-temanku sudah dating lebih pagi.

“Katarina! Ayo masuk!.” Teriak Namira sambil melambaikan tangan.

“Aku masuk dulu ya, Bu. Aku sayang ibu.” Aku mencium tangan ibuku kemudian lari mengahampiri teman-temanku. Beberapa menit kemudian bel sekolah berbunyi dan kami semua harus masuk kelas. Ibu guru langsung memulai pelajaran di hari pertama kami masuk sekolah. Aku begitu tak semangat. Aku malah teringat dengan hari liburku yang menyenangkan. Pergi ke pantai bersama ayah dan pergi ke pasar bersama ibu. Ayah membelikanku kerajinan dari kulit kerang dan membelikanku jagung bakar. Ibu mengajakku ke pasar untuk berbelanja dan sebelum pulang kami pasti menyempatkan untuk makan dulu di warung soto Pak Saliman. Tempatnya di tengah-tengah pasar, meski tempatnya sempit namun rasa sotonya sangat enak. Aku selalu menghabiskan dua tusuk telur puyuh dan meminta es teh. Sampai sekarang aku masih terbayang nikmatnya liburan.

“Katarina!” suara Bu guru mengagetkanku. Dia ternyata sudah berdiri di depan mejaku.

“Iya, Bu.” Katarina menunduk

“Kamu diminta membaca malah ngelamun.” Kemudian satu kelas menertawakanku. Ternyata Bu guru berkali-kali memanggil namaku namun aku tak mendengarnya.

***

Hari sudah siang dan aku lekas berlari karena melihat ibuku sudah menjemput. Hal yang paling menyenangkan untukku saat sekolah hanya dua hal. Yang pertama adalah saat jam istirahat tiba dan yang kedua adalah saat waktunya pulang sekolah. Semua anak-anak pasti akan berteriak. Hore..! sudah waktunya pulang. Jarak sekolah ke rumah Katarina sekitar sepuluh menit dengan ditempuh menaiki sepeda motor. Sebagian besar dari siswa yang sekolah di tempat itu akan selalu diantar jemput oleh orang tuanya. Hari-hari berjalan dengan datar. Tidak ada sesuatu yang berubah. Tiap pagi hanya apel pagi, masuk kelas, istirahat dan pulang.

“Bagaimana hari pertamamu sekolah?”

“Nggak gimana-gimana, Bu.”

“Lho, ditanya kok jawabnya tidak semangat.”

“Aku bosen, Bu.”

“Lha? Kenapa? Sekolah kan banyak teman-teman. Bisa belajar sama bu guru. Kenapa bosen?”

“Hanya gitu-gitu aja belajarnya.”

“Gitu-gitu aja gimana maksudnya?”

“Ya, hanya diajari membaca, menulis dan berhitung. Tiap hari begitu.” Katarina langsung lari ke kamarnya dan langsung berganti pakaian.

“Hai! Mau ke mana? Makan siang dulu!” teriak ibu Katarina yang melihat Katarina berlari keluar rumah.

“Nanti, Bu. Aku mau main dulu. Namira dan Pandu sudah menjemputku.”

Katarina terlihat lebih bahagia saat bermain dibanding saat sekolah. Setiap kali pagi tiba wajah malas-malasan selalu melekat di wajahnya yang oval, matanya yang sedikit sipit, kulitnya yang sawo matang dan hidungnya yang tak begitu mancung. Ibunya Katarima mungkin paham kenapa anaknya tak semangat sekolah, mungkin alasannya karena pembelajarannya yang monoton, tidak variative. Hanya itu itu saja. Selain itu Katarina juga masih kesulitan dalam membaca. Ia selalu pulang paling akhir karena diberi jam tambahan oleh gurunya untuk membaca. Oleh gurunya dan aku sebagai orang tuanya, mungkin itu dianggap penting dan harus dilakukan, namun berbeda dengan Katarina. Ia sama sekali tak suka dan tertekan.

“Ibu? Kenapa aku selalu pulang paling akhir?” Tanya Katarina suatu malam.

“Karena kau belum lancar membaca.”

“Apa sekolah harus lancar membaca, Bu? Aku kan masih kelas dua.”

“Iya, gurumu menganggap begitu.”

“Kenapa di sekolah cuma diajarkan membaca dan menulis, Bu? Aku sangat bosan. Apalagi pelajaran menghitung, Bu. Sulit sekali.” Keluh Katarina.

“Ya, memang sudah begitu.”

“Aku tidak mau sekolah lagi, Bu. Aku mau belajar di rumah sama ibu dan ayah saja. Lebih seru!”

“Jangan begitu. Sekolah juga penting. Biar kamu bisa sosialisasi sama teman-teman.”

“Di rumah ibu tak pernah memaksaku membaca, Bu. Ayah juga.”

“Sudah, Ayo tidur. Besok hari selasa kan? Kau sudah siapkan semua bukumu?”

Ibu lengsung memelukku dan mematikan lampu kamar. Dalam dekapannya aku masih berharap kalau besok merupakan hari libur. Atau akan ada hal baru yang bisa membuatku semangat dan bahagia untuk memasuki gerbang sekolahku.

***

Pagi yang sama. Rutinitas yang sama dan sarapan yang sama. Hari ini sepertinya tidak aka nada yang berubah.

“Ibu masak nasi goreng lagi?”

“Iya, maaf ya ibu kesiangan.”

Saat sampai ke sekolah aku melihat beberapa anak berlarian ke belakang sekolah. Termasuk Namira dan juga pandu.

“Ayo Katarina! Ada peternakan kambing di belakang sekolah kita.” Tarik Zahida salah seorang teman sekelas Katarina.

“Ayo!”

Wah!, dan benar saja di belakang sekolah kami kini terdapat peternakan kambing yang ternyata baru beberapa hari didirikan oleh pemerintah desa.

“Tapi kemarin kok tidak ada ya?”

“Iya, baru tadi pagi kambingnya datang. Kalau kandangnya sudah dibangun sejak kita libur Panjang kemarin.”

Kedatangan kembing-kambing itu membuat suasana menjadi berbeda. Anak-anak menjadi lebih semangat menyambut pagi dan berangkat sekolah, tujuan utama mereka adalah melihat kambing-kambing itu saat diberi makan dan diperah susunya. Saat bel istirahan dan bel waktunya pulang anak-anak akan lebih dulu mampir ke kendang kambing yang letaknya di belakang sekolah mereka. Meski beberapa guru protes karena baunya.

***

Pagi ini Katarina bangun lebih pagi dengan semangat penuh. Bahkan sebelum ibunya meneriakinya, ia sudah mengambil handuk dan mandi dengan sigap. Raut wajahnya begitu bahagia. Langkahnya menjingkat-jingkat menuju meja makan.

“Wah! Wah! Anak ayah kenapa begitu semangat hari ini?”

“Iya, Yah. Ayah tahu? di sekolahanku sekarang ada kandang kambing, kambingnya ada dua puluh, Yah. Aku mau lekas berangkat karena tidak mau melewatkan saat kambing-kambing itu diberi makan dan dimerah susunya. Dan mulai hari itu anak-anak berangkat ke sekolah dengan bahagia, bukan karena semangat ingin belajar membaca dan menulis serta berhitung namun karena kandang kambing yang baru saja di dirikan di belakang sekolah mereka

***