Senja yang Menyimpan Rahasia

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Senja yang Menyimpan Rahasia

Sol Amrida

Minggu, 08 Februari 2015

SETIAP perjalanan dan kisah-kisah di dalamnya telah membuat kita merasa begitu hidup, tapi kemudian berakhir oleh sakitmu. Di atas kasur, tubuhmu begitu ringkih. Lebih ringkih dari senja.

Setiap senja aku memelukmu. Seperti memeluk kekosongan. Senja membuatmu bertambah tiada. Raut mukamu kian pudar. Rambutmu kusut mengambang, bagai bulir cahaya menembus jendela yang tak sampai pada kulitmu. Matamu nanar seperti pasir pantai yang ditimpa gelap malam. Segalanya terasa kusam. Segalanya telah berubah. Dan, rahasia telah mengubahnya.

Kita mencintai perjalanan, tapi juga mencintai rahasia. Banyak hal telah disembunyikan. Bagai bom waktu, kini rahasia telah meledak dengan letusan yang dahsyat.

Kini kau sudah terkulai. Perjalanan kita telah menjadi alasan untuk menutupi segala rahasia. Dengan menikmati perjalanan kita seolah lupa pada sesuatu yang siap terbuka katupnya dan berubah menjadi ledakan. Kita begitu bersemangat mencari tempattempat yang belum disinggahi, sekadar untuk menutupi sebuah rahasia besar. Dengan perjalanan kita berpurapura menyangsikan rahasia di antara kita.

Rahasia itu bermula dari sebuah pertemuan tak terduga. Sebuah senja yang menggelora di antara deburan ombak. Aku sedang berjarak dengan ombak Pantai Lagoi, Bintan. Cakrawala menyebarkan kepingan-kepingan cahaya emas membelah awan. Di pantai itu waktu menjadi sekutu bagi cahaya dan kerlip ombak memantul. Keindahan yang tiada tara. Itu sebabnya aku selalu mendambakan senja di tepi pantai. Seorang diri.

Keindahan mendadak berubah saat aku melihat seseorang tersapu ombak. Tubuh yang tak kuat menopang. Tubuh payah dengan tangan menggapai-gapai. Debur ombak menelan tubuhnya. Seketika aku melepaskan baju dan berlari ke arahnya. Aku menggapainya, lalu menyeretnya ke pinggir pantai. Itulah kau, perempuan bermata sayu. Tubuhmu lunglai. Aku memapahmu, menjauh dari ombak dan merebahkanmu di atas pasir. Orang-orang mendekat. Mengerumuni tubuh yang belum sadar itu.

Peristiwa itu ternyata menjadi awal yang penuh rahasia bagi kita. Saat penjaga pantai dan paramedis berdatangan memeriksa keadaanmu, kau mulai sadar. Kau tersenyum ke arahku saat petugas penjaga pantai bertanya tentang aku, dan ada hubungan apa aku denganmu. Aku menjawab sekenanya, bahwa kau adalah temanku. Tapi penjaga itu bertanya lagi, entah sekadar memastikan apakah betul aku temanmu atau lebih dari sekadar teman? Aku menjawab dengan pasti, “Dia pacarku.” Itulah awal rahasia kita.

Sejak itu kita sepakat menghabiskan senja bersama. Di sebuah kursi di pinggir pantai, kita menikmati sisa senja. Masing-masing memesan minuman. Kau hanya memesan air putih. Lantas mencampurkannya dengan sesuatu yang melarut berwarna kekuningan. Saat aku tanya tentang minuman itu, kau hanya menggeleng. Kelak, aku mengerti bahwa minuman itu ialah salah satu rahasia yang kau sembunyikan. Senja terasa cepat. Keindahan ternyata harus berujung. Dan, waktu telah memperpendek pertemuan. Kita saling menatap senja. Menghilang ditelan waktu. Di antara ujung senja itu, kita rupanya telah tertelan perasaan masing-masing, karena sebuah persamaan: pencinta senja, pantai, perjalanan, juga kesendirian.

“Tapi, betulkah kita pencinta kesendirian?” tanyaku.

Gelap kian menyelimuti Pantai Lagoi. Lampu-lampu di sepanjang cottage mengerlip bersamaan dengan lampu-lampu pantai yang berjajar di sepanjang pantai. Orang-orang beranjak menuju penginapan.

“Aku menyukai obrolan ini, tapi tahukah kau bahwa kesendirian menjadi alasan utama ketika aku tidak pernah bertanya siapa namamu, asalmu, juga pertanyaan remeh lainnya?

Kau tahu kenapa? Karena hal-hal remeh akan memberatkan perjalanan selanjutnya. Itulah kesendirian. Siap untuk meninggalkan remeh-temeh yang membuatku tak bebas melangkah,” jawabmu sambil menatapku dalam-dalam.

“Tapi betulkah kesendirian tak memerlukan hal-hal yang remeh? Semisal cinta, atau rindu?” Kau menatap ke arah pantai yang mulai gelap. Aku merasa bersalah. Di ujung senja ini seharusnya aku lebih tahu diri bahwa keindahan senja sudah mulai hilang. Tidak patut aku bertanya hal yang memberatkan.

“Aku harus segera membersihkan diriku.”

Tiba-tiba kau berdiri sambil menatapku. Melangkah pergi. Aku hanya diam dirundung kegelapan. Juga kesendirian.

Kesendirian sepertinya teman abadi di setiap perjalananku. Kesendirian telah membawaku pada suasana asing, tetapi selalu mengubah arti hidup. Di setiap kesendirian selalu terselip pertanyaan-pertanyaan mendasar: tentang keberadaan diri, alam, juga manusia. Dengan kesendirian aku bisa meraih kebebasan. Dengan kebebasan aku mampu mencerna dan mengubah cara pandangku tentang apa saja. Karena sejatinya hidup ialah masalah bagaimana kita memandang sesuatu.

Seperti aku memandang sebuah ketakterdugaan. Dalam perjalanan kesendirian, ketakterdugaan menjadi penyebab pertanyaan-pertanyaan yang selalu timbul dalam banyak peristiwa penuh ketakberdayaan. Serbadi luar nalar, menyentak, serupa energi besar, dan aku seperti bukan apa-apa.


KETAKTERDUGAAN itu pun kembali hadir di senja berikutnya. Aku bertemu kembali denganmu. Di tempat ketika aku menolongmu dari sergapan ombak. Aku mendadak waswas karena pada pertemuan kedua itu kau menyeretku pada sebuah percakapan penuh privasi, juga emosi. Aku yang masih sadar tentang konsep ketakterdugaan, menyambutnya dengan sukacita.

Kau berhasil membahasakan perasaanmu, tapi bukan rahasiamu. Sementara aku berhasil mengaduk emosimu tentang masa depan, cinta, dan wanita idaman yang semuanya kutujukan kepadamu. Kau membuka asal usulmu. Kau menagih asal usulku.

Sampai kita menangguk kerinduan dan kebahagiaan nirrahasia.

Kita sepakat untuk memperpanjang masa menginap dalam satu kamar atas namamu.

Satu minggu kita memulai untuk segalanya: mengupas perjalanan, arti kesendirian, cinta, masa depan, dan hal-hal yang pernah kita anggap remeh sebelumnya.

Ujung dari semua pembicaraan itu adalah kita harus bersatu dalam ikatan perkawinan. Di kamar itu? Kamar yang kelak menjadi kamar terakhir kau tergolek lemah? Kita menangguk cinta menggelora. Kita tahu bahwa rahasia alam telah hadir, sebagaimana rahasia yang terkandung dalam diri kita.

Di kemudian hari kita mewujudkan masa depan bersama. Kau mengenalkan aku pada keluargamu di Bekasi. Aku mengenalkan kau pada keluargaku di Surabaya. Keluarga kita bahagia. Pun kita, tak ada alasan untuk menolak bahagia. Kecuali rahasiamu yang mulai terkuak satu per satu.

Setahun setelah menikah, kita giat merencanakan perjalanan mengejar senja di pantai-pantai yang belum kita singgahi: Senggigi, Nongsa, Tenggiri, Bunaken, Carita. Dalam perjalanan selanjutnya, kelak kita menemukan sebuah jawaban dari yang pernah kita sangsikan saat dalam kesendirian, perjalanan ternyata lebih berarti jika dilakukan berdua.

Namun, dalam perjalanan selanjutnya, rupanya sebuah rahasia mulai terkuak: kau sering jatuh dan pingsan dalam perjalanan. Kejadian itu berulang tanpa penjelasan. Kau hanya menyangkal ketika aku mencoba bertanya tentang tubuhmu. Kau menjawab, “Sudahlah, Sayang. Aku tidak apa-apa.” Selesai, dan seperti tak terjadi apa-apa.

Sejatinya aku berharap akan mengerti tentangmu. Tapi aku telah kehilangan dirimu untuk kesekian kalinya setelah aku ingat pertemuan awal kita di Pantai Lagoi, ternyata kau pingsan bukan karena terseret ombak, melainkan karena tubuhmu sudah lemah. Oh, betapa konyolnya aku ketika itu.

Kekonyolanku berulang ketika aku ingat minuman yang kau minum saat pertama bertemu, larutan berwarna kuning itu ternyata obat yang mesti kau minum secara rutin. Oh, betapa keberuntungan hanyalah sebuah kekonyolan.

Begitu keras kepalanya dirimu. Sekadar menjelaskan apa yang terjadi saja, kau begitu kuat untuk diam. Aku sering memaksamu pergi ke dokter, kau menolak. “Uang untuk dokter akan lebih berguna jika kita gunakan untuk pergi ke pantai yang belum kita singgahi.”

Begitu entengnya kau menganggap masalah dalam tubuhmu. Aku betul-betul menyerah untuk menyeretmu ke dokter.

“Aku sudah berkali-kali ke dokter. Dokter hanya memberiku resep yang sama. Sampai akhirnya aku menghentikan kunjungan ke dokter dan langsung membeli obat tanpa resep.”

“Kau tahu apa penyakitmu?” “Aku tidak ingin tahu dan aku tidak akan bertanya. Biarlah dokter saja yang tahu penyakitku.”

“Ada baiknya kau tahu penyakitmu.”

“Sayang, kalaupun aku tahu penyakitku, apakah segalanya akan berjalan dengan baik?

Apakah dengan mengetahui penyakitku, aku harus menghentikan pencarianku terhadap kebahagiaan? Lebih bermakna mana hidup bahagia tanpa mengetahui penyakit atau hidup tak bahagia dengan ancaman yang selalu terpikirkan?” Aku harus menerima segalanya. Permintaanmu untuk berakhir di tempat kita memulai, aku tunaikan. Kini kau menikmati duniamu dengan tergolek lemah di atas kasur. Di sebuah kamar di pinggir Pantai Lagoi.

Lewat jendela kamar kita kembali menikmati senja merajang awan di sekujur pantai. Daun kelapa melambai pelan. Dalam kesedihan yang penuh rahasia kita juga bisa berbahagia.

Aku memelukmu. Seperti memeluk kekosongan. Senja telah membuatmu bertambah tiada. Raut mukamu kian pudar. Rambutmu kusut mengambang. Bagai bulir cahaya menembus jendela yang tak sampai pada kulitmu. Matamu nanar, seperti pasir pantai yang ditimpa gelap malam. Sepi mengental. Segalanya terasa kusam. Segalanya telah berubah...