Lompat ke isi

Sepatu Robek Ajeng

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sepatu Robek Ajeng

Penulis: Wahyu Widiasih

BRETTT!

Ajeng melotot, sepatu kanannya robek! Anak kelas 4 SD Nusantara itu berusaha tenang. Lomba lari pelajaran olah raga ini harus tetap diikutinya sampai selesai.

Di rak sepatu rumah, Ajeng menyimpan sepatunya lebih menjorok masuk. Ia berdoa agar Ibu, Ayah, atau adiknya, Yoga, tidak curiga.

Malam itu mata Ajeng menatap buku pelajaran, tapi pikirannya melayang-layang ke sepatu. Ajeng bisa saja minta Ibu membelikannya sepatu baru. Dia bukan berasal dari keluarga tidak mampu, walaupun bukan juga dari keluarga kaya. Namun kali ini Ajeng ingin mengikuti Hasan, teman sekelasnya. Hasan membeli sepatu dengan uangnya sendiri.

Hasan anak yatim, Ibunya berjualan gado-gado di pasar. Hasan cerita, ia mengumpulkan upah dari mencuci piring di warung makan untuk beli sepatu. Keberanian Hasan membuat teman-teman, bahkan yang jahil sekali pun, segan menginjak sepatu baru Hasan. Menginjak sepatu adalah kebiasaan di kelas Ajeng jika ada teman yang bersepatu baru. Ajeng kagum dengan Hasan.

Savitri, teman baik Ajeng, beberapa minggu yang lalu juga beli sepatu. Ajeng suka modelnya, tapi Ajeng ingin yang mirip saja, tidak sama persis dengan punya Savitri. Kata Savitri harga sepatunya Rp175.000,00 di Toko Sepatu Pandawa di Jalan Pramuka.

Ajeng memutuskan mengumpul uang sebanyak Rp200.000,00, jadi jika nanti harganya lebih mahal sedikit, ia tetap bisa membelinya. Ongkos naik angkot pulang pergi ke toko sebesar Rp8.000,00. Total Ajeng butuh Rp208.000,00.

“Mulai besok aku akan menabung uang jajanku, tapi aku menabung di mana, ya? Aku tidak punya celengan. Aha, aku ada ide!”

Ajeng mengambil kardus bekas susu bubuk di gudang. Ibu biasa mengumpulkan kardus atau plastik yang sudah tidak dipakai di gudang. Setiap Sabtu, kardus dan plastik bekas itu disetorkan ke bank sampah. Bank sampah adalah tempat mengumpulkan sampah yang sudah dipilah-pilah. Bank sampah warga tempat Ajeng tinggal ada di rumah Pak RW (Rukun Warga).

“Tapi bagaimana kalau aku lapar di sekolah? Hmm... Ah, aku tahu!” Ajeng menuju dapur. Dia mengambil boks plastik putih lalu menyimpannya di dalam tas sekolahnya. Boks itu biasa dipakai Ibu menyimpan lauk atau sayur yang belum habis dimakan ke dalam kulkas.

+++

Esok pagi, Ajeng sengaja melambatkan makannya. Ayah dan Yoga sudah selesai sarapan dan meninggalkan meja makan.

“Ini uang jajanmu,” Ibu meletakkan uang Rp5.000,00 di samping Ajeng. Ibu lalu sibuk memakaikan Yoga sepatu.

Pelan-pelan Ajeng mengeluarkan boks plastik dari pangkuannya. Boks itu ia isi dengan nasi, ikan asin, dan tumis buncis, lalu disimpan ke dalam tas. Ajeng lanjut mencuci piring bekas makannya, juga piring Ayah dan Yoga. Ajeng tidak ingin merepotkan Ibu.

Ayah mengantar Yoga ke sekolah, lanjut ke kantor. Yoga masih Taman Kanak-Kanak. Sekolah Yoga lebih jauh dari sekolah Ajeng.

Setelah pamit dengan Ibu, Ajeng mengayuh sepedanya. Tasnya sedikit lebih berat karena boks nasi.

“Ayo, kita jajan cilok,” ajak Savitri saat istirahat sekolah.

“Nggak, ah. Aku bawa bekal,” jawab Ajeng pelan, takut diejek.

“Tumben,” Savitri tersenyum dengan mata berbinar. “Kau tunggu aku di bawah pohon mangga itu, ya. Aku beli cilok dulu,” Savitri berlari ke Penjual cilok di depan sekolah.

Ajeng senang Savitri tidak mengejeknya. Ajeng membuka bekalnya.

“Ikan asin, kesukaanku!” seru Savitri.

“Oh, ya? Ayo, kita makan bersama,” ajak Ajeng.

“Cuci tangan dulu!” ingat Savitri.

+++

“Tabungan hari pertama,” Ajeng memasukan uang jajannya di celengan kardus. Celengan itu ia letakkan di atas meja belajarnya.

Ajeng ingat saat makan dengan Savitri, sahabatnya itu mentraktir minum karena Ajeng lupa bawa minum. Besok harus bawa sendok dua dan air minum, bisik Ajeng sambil mencuci boks plastik, mengelapnya lalu menyimpannya kembali ke dalam tas. Ia juga memasukkan sendok makan dua dan botol minum Yoga yang sudah lama tidak dipakai.

+++

“Ayah, lihat boks plastik putih Ibu, tidak?” seru Ibu dari dapur.

“Nggak.”

“Duh, kemana boks itu? Lagi butuh, nih!” terdengar denting piring dan gelas dari rak piring. Ibu sedang mencari-cari boks plastiknya di rak piring.

Ajeng menggigit bibir bawahnya. Ini hari ke-3 sejak ia memakai boks plastik Ibu. Maaf ya, Bu. Ajeng pinjam boks plastiknya dulu, bisik Ajeng dalam hati dengan perasaan bersalah.

+++

“Kak, tolong bikin mobil-mobilan kardus,” Yoga datang sambil membawa kardus celengan Ajeng.

Ajeng menahan nafas. Malam itu hari ke-7 Ajeng menabung. “Kita bikin pesawat dari kertas saja, ya?” bujuk Ajeng.

“Nggak, ah! Yoga mau mobil-mobilan seperti yang dibikin Ayah,” Yoga hendak membuka kardus.

“Kakak bisa buat kodok dari kertas. Kodoknya bisa melompat-lompat. Seru, loh. Mau?”

Yoga diam sejenak lalu menggangguk. Ajeng menghela nafas lega. Segera ia simpan kardus itu di dalam laci meja belajar lalu menguncinya. Kuncinya dia simpan di tempat yang tidak bisa dijangkau Yoga.

+++

“Sepatu Ajeng robek!” seru Rudi saat istirahat sekolah sambil tertawa-tawa mengejek.

Ajeng yang sedang makan bersama Savitri langsung mematung. Anak-anak yang ada di sekitar mereka menatap kaki Ajeng. Ajeng merasakan wajahnya memanas. Ingin rasanya ia segera menghilang dari tempat itu.

“Robek! Robek!” beberapa anak laki-laki mulai ikut mengejek.

“Aku laporkan kalian ke guru!” ancam Savitri.

“Nggak takut! Nggak takut!” ejek mereka.

Savitri berjalan cepat menuju ruang guru. Ajeng membuntutinya. Anak-anak laki-laki itu berlarian menjauh sambil tertawa-tawa.

“Penakut!” Savitri melengos. “Kenapa pakai sepatu robek, Jeng?” pandangan Savitri beralih ke kaki Ajeng.

“Sa… salah ambil, aku tadi buru-buru,” air mata mengalir di pipi Ajeng. Ia sedih diejek, ditambah lagi kini ia berbohong. Ia ingat Ayah dan Ibu mengajarinya untuk jujur.

Savitri menggenggam tangannya memberi kekuatan. Ajeng mengusap air matanya.

Tiba di rumah, Ajeng mencari sepidol hitam. Kaus kaki putih yang terlihat dari robekan sepatu, diberi warna hitam. Ajeng harap besok anak-anak jahil itu lupa pada sepatu robeknya.

+++

Hari ke-12, Ajeng mengayuh sepedanya pulang sekolah dengan kecepatan penuh. Ia ingin cepat sampai di rumah. Perutnya lapar sekali. Bekal mi goreng dan telur mata sapinya disukai banyak teman. Ajeng senang berbagi, tapi kini dia kelaparan.

CIII…TTT!!!

Ajeng mengerem mendadak. Seorang anak seumuran Yoga tiba-tiba menyeberang jalan.

“ODING!” seru seorang perempuan paruh baya. Ia berdiri di samping bak sampah di pinggir jalan. Tangannya membawa karung dan pengait untuk mengambil sampah. Dia berlari meraih anak kecil yang dipanggil Oding itu lalu menggendongnya.

Oding menangis kencang, mungkin kaget dengan suara-suara keras tadi. Wajah dan bajunya kotor, di bawah hidungnya ada ingus mengering.

Ajeng turun dari sepeda. “Buat Oding,” Ajeng menyerahkan uang Rp5.000,00.

“Untuk apa?” Ibu Oding bingung.

“Hadiah,” ujar Ajeng.

“Oding, dikasih hadiah," ujar Ibu Oding setelah terdiam sejenak.

Tangis Oding mereda. Ia mengambil uang itu dengan ragu. “Terima kasih,” Oding tersenyum.

“Jangan jauh-jauh dari Ibumu lagi ya, Oding,” Ajeng mengayuh sepedanya sambil melambaikan tangan. Oding dan Ibunya tersenyum balas melambaikan tangan.

+++

Hari ke-19, pagi itu Ibu harus membangunkan Ajeng berkali-kali. Semalam Ajeng sibuk membuat prakarya boneka dari kaos bekas. Prakarya itu harus dikumpulkan hari itu.

Ajeng mandi dan berpakaian dengan tergesa-gesa. Sudah pukul 06:30, Ajeng menyambar uang jajan dan langsung memakai sepatu. Ia mengayuh sepedanya sekencang mungkin. Dia tiba saat Pak Sobri, satpam sekolah, hendak menutup pintu pagar sekolah.

“Kenapa kesiangan?” tanya Pak Sobri.

Ajeng hanya tersenyum lalu buru-buru menaruh sepedanya di parkiran. Ia berlari berjinjit-jinjit menuju kelas, takut sobekan di sepatunya semakin membesar.

Lonceng istirahat pukul 10:00. Ajeng berlari ke Penjual cilok.

“Mana bekalmu?” tanya Savitri.

“Lupa,” Ajeng makan dengan lahap tanpa peduli tatapan keheranan Savitri. Ia kelaparan karena tadi tidak sempat sarapan.

Hari itu tidak ada uang yang ditabung. Ajeng menyesal karena tidak membuat prakaryanya jauh-jauh hari. Ajeng bertekad, jika ada prakarya lagi atau PR, ia akan segera menyelesaikannya, tidak menunda-nunda. Jadi rencana yang lain tetap bisa berjalan lancar.

+++

Hari-24, teman-teman Ajeng belum ada yang tahu Ajeng mewarnai kaos kakinya. Ibu juga tidak tahu. Ajeng mencuci, menjemur, dan mengangkat kaos kakinya sendiri.

Jam istirahat sekolah baru saja usai. Ajeng mengejar Savitri yang usil menggelitiknya. Ajeng tak sengaja menyenggol meja Hasan.

KRAK!

Ajeng terbelalak. Ia menginjak penggaris Hasan yang jatuh. “Ma… maaf, nanti aku ganti,” Ajeng meletakkan pengaris patah itu kembali ke meja Hasan.

Hasan hanya mengangguk. Penggaris itu sederhana, tapi Ajeng tetap harus bertanggung jawab.

Pulang sekolah Ajeng mampir ke sebuah warung. Untung ada penggaris mirip punya Hasan, harganya Rp3.000,00. Ajeng lega. Sisa Rp2.000,00 Ajeng tabung.

Malamnya Ajeng menghitung tabungannya, ada Rp107.000,00. Jadi masih kurang Rp101.000,00 lagi. Ajeng memutar-mutar rambut poninya. Otaknya mencari cara agar tabungannya cepat bertambah. “Aha!” Ajeng tersenyum.

+++

Hari itu sepulang sekolah, Ajeng mampir ke toko camilan. Ia membeli keripik singkong sekilo harga Rp10.000,00 dari tabungannya, juga plastik seharga Rp5.000,00 dari uang jajannya hari itu.

Sore itu Yoga ikut Ibu ke arisan. Ayah belum pulang kantor. Diam-diam Ajeng membungkusi keripik yang dia beli menjadi 15 kantong. Satu kantong ia jual Rp2.000,00

+++

“Tasmu besar sekali. Apa isinya?” ujar Ibu sambil menyerahkan uang jajan Ajeng.

“Ibu, kaos kaki biruku di mana?” rengek Yoga sambil menarik-narik tangan Ibu.

“Ajeng berangkat ya, Bu,” Ajeng segera mengayuh sepedanya sebelum Ibu menagih jawabannya.

Ibu Kantin dengan senang hati menerima keripik Ajeng. Ia menyuruh Ajeng datang lagi usai jam sekolah.

“Aku jual keripik singkong di kantin. Kalian beli, ya?” ujar Ajeng di depan kelas.

“Berapa harganya?” tanya Rudi.

“Rp2.000,00 per bungkus.”

“Ah, mahal!”

“Kalau enggak mau beli, enggak usah komen!” seru Savitri. Ajeng meringis.

Ajeng juga memberi tahu kelas lain dia jualan keripik. Ada yang senang, ada yang cuek, ada yang mengejek. Ajeng kesal dengan yang mengejek, tapi dia pura-pura tidak mendengar.

“Laris!” puji Bu kantin. Mata Ajeng berbinar saat Bu kantin memberikan uang Rp30.000,00.

Sebelum sampai di rumah, Ajeng mampir beli keripik singkong lagi sekilo. Ajeng tidak beli plastik karena masih ada.

+++

“Laku sembilan. Sisanya biar di sini saja sampai laku,” saran Ibu Kantin keesokan harinya sambil menyerahkan Rp18.000,00.

Ajeng mengganguk lesu. Ia merenung mengapa penjualannya menurun. Ajeng menduga mungkin teman-temannya lupa, karena ia tidak lagi memberi tahu teman-temannya tentang keripiknya. Ajeng jadi tahu, rajin mengabarkan dagangannya ternyata sangat penting dalam berdagang.

+++

“Ajeng, sepatumu robek?” Ibu yang sedang menyapu di Minggu pagi itu melotot menatap sepatu Ajeng.

“Kenapa tidak bilang sepatumu robek?” tegur Ayah pada Ajeng yang masih diam.

Ibu duduk di samping Ajeng lalu memeluk pundaknya, “Ajeng tidak ingin cerita pada Ibu?”

“Ajeng ingin beli sepatu pakai uang Ajeng sendiri.”

“Uang dari mana?” selidik Ibu.

Ajeng cerita semua usaha dia mengumpulkan uang. Dia juga minta maaf sudah menyembunyikan boks plastik putih dan sendok Ibu. “Sekarang uang Ajeng sudah Rp145.000,00. Sepatu yang Ajeng ingin mungkin sekitar Rp200,000,00 jadi masih kurang banyak.”

Ibu menangis memeluk Ajeng. Ayah terdiam.

“Maafkan Ajeng, Bu,” Ajeng menunduk.

“Ibu menangis bukan karena marah. Justru Ibu bangga Ajeng mau berjuang demi cita-citamu sendiri. Ibu dan Ayah percaya Ajeng bisa beli sepatu dengan usaha Ajeng sendiri. Buktinya Ajeng bisa mengumpulkan uang sebanyak itu, kan? Tapi yang Ibu dan Ayah ingin, Ajeng sekolah dengan sepatu yang utuh, jadi kaki Ajeng terlindungi,” ujar Ibu.

“Kau hebat, Jeng, tapi kewajiban Ayah dan Ibu memenuhi kebutuhanmu dan adikmu,” tambah Ayah.

Ajeng terdiam. Ia bingung, ia tetap ingin membeli dengan uangnya sendiri.

“Begini saja, Ibu dan Ayah menambah kekurangan uang yang sudah Ajeng kumpulkan. Nanti Ajeng bisa cicil uang Ibu dan Ayah itu,” usul Ibu.

“Cicil? Apa itu?” tanya Ajeng.

“Cicil itu Ajeng bisa bayar hari ini Rp1.000,00. Besok Rp2.000,00 atau sesanggup Ajeng sampai uang dari Ayah dan Ibu lunas. Jadi sepatu Ajeng tetap untuh hasil keringat Ajeng sendiri. Setuju?” tanya Ibu.

Ajeng mengangguk, “Tapi Ajeng beli sepatu sendiri. Ayah menunggu di luar toko, ya?”

Sore itu Ajeng pulang sambil membawa sepatu baru. Ia tersenyum, besok ia tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi menyendok nasi, lauk, dan sayur lagi.

Ajeng tetap akan berjualan camilan. Kali ini camilannya akan lebih beragam, seperti dia yang juga suka mencicipi berbagai macam camilan. Selain camilan, Ajeng juga akan menjual jepit rambut.

Ajeng bertekad akan tetap menabung walaupun nanti cicilannya telah lunas. Ia ingin punya buku tabungan di bank seperti punya Ayah dan Ibu.

Ajeng bangga pada Savitri, sahabat yang selalu mendukung dan tidak menyalahkan kekurangannya, walaupun Savitri tidak tahu tentang rencananya. Ajeng bertekad menjadi orang baik seperti Savitri.

Ajeng merasa bahagia saat bisa memberi hadiah pada Oding. Ajeng ingin bisa terus membantu orang lain yang kekurangan.

Ajeng ingat ejekan Rudi. Ajeng sudah memaafkannya, tapi Ajeng bertekad tidak akan mengejek mereka yang sedang kesulitan.

Ajeng juga semakin sayang pada Ayah dan Ibu. Saat sepatunya sobek, orang lain malah meledek, beda dengan Ayah dan Ibu yang langsung membantunya. Ajeng janji akan jadi anak yang membanggakan Ayah dan Ibu. Ajeng belajar banyak dari usahanya membeli sepatunya sendiri.