Sepeda Untuk Anggi

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis[sunting]

Anggi adalah anak yang sangat mencintai pelajaran PPKN dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Namun, dia lahir dari keluarga kurang mampu dan sering dirundung oleh teman-temannya. Sebuah kejadian bertemu orang spesial membuat mimpinya mendapatkan sepeda terwujud.

Lakon[sunting]

Anggi

Marpuah

Warisno

Margaret

Chyntia

Tania

Bu Nia

Bunda Us

Erlangga

Lokasi[sunting]

Kabupaten Tuban

Cerita Pendek[sunting]

Berangkat ke sekolah[sunting]

Anggi bangun dari tempat tidurnya pukul 04.00. Ia memasukkan bantal dan selimut yang telah ia lipat ke dalam kardus besar di kolong meja. Lalu, menggulung tikar dari anyaman pandan yang sudah bolong-bolong dan menyandarkannya ke samping lemari plastik. Cepat-cepat ia mengambil air wudhu dan sholat subuh. Setelah itu, Anggi mandi dan memakai seragamnya putihnya yang mulai menguning dan rok merahnya yang juga sudah luntur. Bau ikan asin yang digoreng semerbak memenuhi rumah. Anggi segera mengambil piring, secentong naci, dan sepotong ikan asin. Dengan lahap Anggi memakan hidangan lezat itu. Selepas makan Anggi mencuci piring dan menyapu halaman rumahnya. Tampak mendung mulai menghiasi langit . Dengan cepat Anggi mengambil timba dan meletakkan ke tempat yang sering bocor. Maklum rumah Anggi hanyalah rumah gedek, rumah yang dindingnya hanya dari anyaman. Lantainya masih beralaskan tanah dan gentengnya juga banyak yang bocor. “Anggi sebelum berangkat ke sekolah, ngirim sarapan dulu ke ayah!” Perintah Marpuah, ibu Anggi. “Iya bu.”

Anggi kemudian mengambil rantang kecil yang berisi sarapan untuk diantar ke ladang. Padahal ladang dan tempat sekolahnya berlawanan arah. Namun, dengan senang hati Anggi mengantarnya. Mendung nampaknya mulai berkumpul. Langit yang mulanya agak redup, sekarang mulai gelap dengan hembusan angin yang cukup kencang. Anggi mempercepat jalannya menuju ke ladang sambil merapal doa supaya Tuhan tidak menurunkan hujan terlebih dahulu. Namun mungkin doa yang dirapal oleh Anggi kurang mempan. Angin kini berhembus kencang, hingga pohon-pohon banyak yang menunduk seperti akan patah. Mendung hitam dengan bunyi petir yang menggelegar bersahut-sahutan. Sesampainya di ladang jagung. Anggi menaruh rantang tersebut di atas gubuk. Lalu, berteriak memanggil ayahnya yang berada jauh dari gubuk tersebut. “AYAAAAH, RANTANG SARAPAN!” sambil menunjuk ke rantang. Warisno, ayah Anggi segera menghampiri Anggi yang ada di bawah naungan gubuk. Kala itu sudah gerimis. “Makasih sayang, ini Anggi mau sekolah ta? Lihaten sudah mulai gerimis. Nggak usah sekolah ya!” Pinta Warisno. Anggi mengulum senyum. “Ndak papa Yah, lagipula Anggi sudah menata niat untuk pergi ke sekolah. Nawaitu cari ilmu.” “Ya sudah, hati-hati ya sayang. Sekolah yang pintar biar jadi dokter.” Warisno mengelus-elus rambut Anggi. Anggi kemudian mencium tangan ayahnya. Tanpa disangka, ternyata di dalam tas ranselnya anggi membawa kresek besar untuk mewadahi tas dan sepatu. Rambutnya dikuncir dan dimasukkan ke dalam kresek yang lebih kecil.

Anggi berlari menuju sekolah sambil menenteng kresek besar di tangan kanannya. sedang tangan kirinya membawa daun pisang sebagai payung. Apalah daya, hujan terlalu lebat hingga menerbangkan daun pisang yang dipayungkan Anggi. Kini Anggi hanya bisa berlari menembus beceknya tanah merah yang bercampur air hujan. Sekolah Anggi berjarak cukup jauh dari ladang. Sekitar 5 km. Namun demi ilmu dan menggapai cita-cita. Anggi dengan penuh semangat menuju ke sekolah. Anggi harus melewati jalan setapak yang panjang. Lagipula jalan itu selalu becek saat musim penghujan. Rintangan jalan setapak sudah Anggi lewati kini dia melewati jalan beraspal yang penuh kubangan. Tak jarang cipratan lumpur dari pengendara mobil menjadi hal lumrah yang harus Anggi rasakan. Tibalah Anggi di SDN Pelita Harapan. Hujan lebat tadi ternyata perlahan reda dan hanya menyisakan gerimis kecil saja. Hari ini adalah hari Senin. Waktunya upacara bendera. Kebetulan Anggi adalah pemimpin upacara. Hal itulah yang menjadi alasan Anggi semangat untuk berangkat ke sekolah selain untuk mencari ilmu. “Huuuu! Jijik ah bajunya berlumpur, hueeek,” hina Margaret. “Anggi nggak punya jas hujan ya? Sampai pake kresek buat nutup rambut sama bungkus tas, hahahahaha,” sambung Chyntia yang berada di samping Margaret. “Ayo teriakin temen-temen, orang gembeeel! orang gembeeel!” Sambung Margaret. Sebagian besar teman Margaret mengikuti Margaret untuk membullynya dengan sebutan “orang gembel”. Anggi hanya bisa menunduk dan menuju ke belakang sekolah sambil menangis.

Tibalah Tania datang menghampiri Anggi bersama Bu Nia. “Anggi, cup cup. Nggak usah nangis lagi ya!” Ucap Tania sambil menepuk pundak Anggi. “Udah…, berhenti ya nangisnya, ini Tania bawakan sesuatu untuk Anggi,” ucap Bu Nia lembut sambil menyodorkan bungkusan kepada Anggi. Anggi kemudian membuka bungkusan tersebut, nampak wajah murung Anggi berubah menjadi berseri. Ternyata di dalamnya ada baju putih merah yang tampak bersih dan cantik. “Ini benar untukku Tania?” Anggi heran sekaligus senang. Tania hanya mengangguk dan tersenyum. “Coba pakai Nggi!” Anggi kemudian masuk ke dalam toilet dan mengganti bajunya dengan baju pemberian Tania. “Nah cantik kan?” “Iya Tan, makasih banyak Tania.” Anggi memeluk Tania dengan erat “Iya sama-sama.” “Sudah, sekarang Anggi sama Tania cepetan ke lapangan ya, udah mau dimulai upacara benderanya. Lagipula Anggi kan pemimpin upacara.” Ucap Bu Nia. Kemudian mereka menuju lapangan upacara.

Anggi menjalankan tugasnya dengan khidmat dan sungguh-sungguh. Upacara bendera hari ini berjalan dengan baik. Namun, tiba-tiba saat pengibaran bendera merah putih, salah satu pengait antara bendera dan tali terlepas. Pasukan pengibar bendera terlihat cemas dan panik. Padahal bendera merah putih sudah dikerek cukup tinggi dan tak mungkin dapat diraih oleh mereka. Anggi yang sedang hormat langsung berganti posisi jongkok, kemudian melepaskan sepatunya dan berusaha memanjat tiang bendera tersebut. Pelan namun pasti Anggi memanjat tiang bendera dengan lihai. Dan…. Hap! Bendera tersebut telah diraihnya. Ia mengaitkan tali bendera tersebut ke tali pengerek. Sekarang bendera merah putih sudah berkibar dengan gagahnya diterpa angin sepoi-sepoi. Anggi yang melakukan aksi mengejutkan semua peserta upacara yang ada di sana. Semua menatap Anggi dengan khawatir bila ia terjatuh. Namun, Anggi menganggapnya hal yang harus dilakukan sebagai bukti cintanya kepada tanah airnya. Suara tepuk tangan bergemuruh saat Anggi berhasil turun. Anggi kemudian berjalan menuju posisi hormat bendera hingga bendera selesai dikibarkan hingga tiang tertinggi. Setelah kejadian itu upacara berjalan dengan lancar dan tanpa kendala. Begitupun kegiatan sekolah Anggi. Seperti biasa Anggi selalu menyelesaikan semua tugas yang diberikan oleh Bu Nia.

Anggi sedang membatik di rumah Bunda Us

Sepulang sekolah Anggi berganti pakaian dan menuju ke sanggar batik Sekar Ayu. “Assalamualaikum Bunda,” Anggi mengucap salam dengan takzim. “Wa’alaikumsalam, eh Anggi. Masuk sayang!” Jawab Bunda Us. Anggi mengisi kegiatan setelah pulang sekolah dengan membatik bersama teman-temannya. Anggi sangat menyukai kain batik. Bau malam dan tekstur kain yang sudah diberi kanji adalah sebuah hal yang amat menyenangkan bagi Anggi. Anggi sudah dapat membatik berbagai motif seperti, pechotot beton, genggeng, lokchan, dan berbagai motif lainnya. Walaupun Anggi masih kelas 6 SD. Namun, tangannya sangat terampil dalam menoreh canting menjadi sebuah motif yang bernilai seni dan berdaya jual. Buktinya setiap hari Anggi diberi uang saku Bunda Us sebesar Rp10.000,00 untuk uang jajan. Perlahan namun pasti, uang jajan dari upah membatik dikumpulkan oleh Anggi sehingga cukup untuk dibelikan sepeda. Anggi berencana membeli sepeda sambil jalan-jalan ke Alun-Alun Tuban bersama ibunya pada hari Minggu.

Bertemu orang spesial[sunting]

Tibalah hari Minggu, hari yang paling ditunggu-tunggu. Anggi sudah siap dan rapi menggunakan baju terusan dari kain batik yang ia buat sendiri. Anggi dan ibunya berjalan dari rumah menuju jalan raya untuk menunggu angkutan umum. Disela-sela menunggu pandangan Anggi tertuju pada orang-orang yang berlalu lalang mengendarai skuter listrik. “Bu, coba aja kita punya skuter listrik kayak mereka semua. Pasti kalau mau berangkat sekolah bisa cepat sampai deh,” Anggi berkata dengan penuh harap. “Kan Anggi bisa jalan kaki, toh lebih sehat. Lagipula Anggi kan mau beli sepeda, bahaya tahu kalau mau pakai skuter listrik di jalan raya.” Marpuah mencoba menghibur anaknya sambil memeluk anaknya. “Oh ya! Setahu Anggi di Pasal 281 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas, anak dibawah 17 tahun kayak Anggi nggak boleh berkendara.” “Hebaat Anggi, sampe hafal pasal berapa ayat berapa. Emang Anggi tahu dari mana?” Marpuah mengacungkan jempolnya. “Dari buku lah, Anggi tuh suka banget PPKN. Jadi buku-buku yang berkaitan dengan mapel PPKN Anggi baca semua.” Akhirnya angkutan umum yang ditunggu mereka datang.

Disepanjang perjalanan Anggi dan Marpuah melihat pemandangan kota yang begitu menawan. Mobil, becak, angkutan umum, dan berbagai kendaraan yang lainnya tampak berlalu lalang. Baru kali ini Anggi melihat ombak yang ada di pantai dengan hembusan angin pantai yang bercampur bau kaldu bakso dari pedaang kaki lima di pinggir jalan. Gagahnya patung garuda dan indahnya Klenteng Kwan Sing Bio yang merupakan warisan leluhur juga menjadi daya tarik sendiri bagi Anggi.

Mereka berdua turun di Alun-Alun terlebih dahulu untuk rehat sejenak sebelum menuju toko sepeda. “Bu, lihat! Bendera merah putih kok berserakan di bawah sih!” Tania menunjuk bendera plastik mainan yang berserakan di tanah. “Ndoh iya Anggi, meskipun bendera mainan, tapi itu tetap merupakan sesuatu yang harus kita junjung tinggi sayang, yuk diambil!” Mereka berdua akhirnya memungut bendera-bendera tersebut.

Disela-sela mereka memungut bendera. Tiba-tiba Anggi dikejutkan oleh pemuda tampan dengan pandangan teduh dan postur tubuh tinggi. Pemuda itu tampak rapi dengan balutan kemeja batik lokchan warna alam. Diikuti orang-orang yang menggunakan baju seragam dinas. “Hai adek lagi apa?” Tanya pemuda itu dengan senyum yang mengembang. “Eeeem, anu. Ngambilin bendera Mas,” jawab Anggi gugup. “Kenalin saya Erlangga, mau dibantuin nggak?” Erlangga menjabat tangan Anggi. “Saya Anggi, boleh kok Mas.”

Mereka kemudian memungut bendera hingga selesai. Setelah itu, Anggi dan Erlangga beristirahat di bawah pohon. Erlangga kemudian mengajak Anggi menonton tayangan video yang tengah viral. Tampak seorang gadis cilik menyelamatkan jalannya upacara bendera. Melalui aksi heroiknya memanjat tiang bendera. Anggi terkejut dan berkata, “Mas itu kan saya.” “Betul, hebat ya Anggi. Sampai sekarang saya masih kagum dengan kamu mungutin bendera dari tanah.” “Hehehe, Mas ini siapa to? Kok dapat video saya. Perasaan di sekolah Anggi nggak ada Mas.” Tanya Anggi polos. “Coba tebak?” “Ah Mas Erlangga ini lo, orang tanya malah disuruh main tebak-tebakkan.” Anggi cemberut. “Mas guru baru ya di sekolah Anggi? Atau kepala sekolah baru?” Anggi memberondong Erlangga dengan pertanyaan. “Jadi Mas itu…, Bupati.”

Anggi dan ibunya terkejut, “maaf ya Mas Bupati, atas omongan anak saya yang begitu,” kata Marpuah “Ndak papa kok Bu, anaknya hebat. Saya sebenarnya mau datang ke sekolah dek Anggi, malah Tuhan mempertemukan kita di sini. Dengar-dengar Anggi juga suka membatik ya?” “Iya Mas Bup. Anggi suka membatik,” kini Anggi nampak malu-malu menjawab. “Kok Anggi jadi malu-malu jawabnya?” Tanya Erlangga menggoda Anggi. “Abisnya kata temen Anggi, Bupati kita guanteng banget. Anggi tuh pengen banget ketemu Mas Bup.” Anggi menunduk malu dengan pipi yang merah. “Sekarang kan udah ketemu, gimana Mas Erlangga ganteng nggak?” Goda Erlangga sambil memegang pipi Anggi yang bulat dan memerah itu. “Gimana ya Mas, ganteng sih ganteng. Tapi Mas kalah ganteng dengan Taehyung.” Balas Anggi menohok. “Ya deh, emang kamu tau Taehyung siapa?” Tanya Erlangga. Anggi menggeleng. sontak semua orang yang ada disana tertawa. “Anggi, Anggi kamu itu lo…. Pasti kata temen lagi” Erlangga mengacak-acak rambut Anggi. Anggi hanya mengangguk. “Anggi jauh-jauh ke Tuban mau apa?” “Mau beli sepeda.” “Gimana kalau Mas belikan sepeda?” “Beneran?” Erlangga mengangguk. Anggi langsung memeluk Erlangga dengan girang. “Makasih Mas Bupati,” kata Marpuah. “Minggu depan saya hubungi ya Bu, nomor HPnya boleh diberikan ke ajudan saya.” Setelah itu Erlangga dan yang lain pamit undur diri. “Sampai jumpa adik kecil, jangan lupa bawa batik buatan Anggi ya besok. Mas pengen lihat.” “iya Mas Erlangga, dadah!”

Anggi belajar sepeda bersama Erlangga

Akhirnya Anggi dan ibunya tidak jadi membeli sepeda. Setelah berjalan-jalan di Alun-Alun . Mereka memutuskan untuk pulang ke rumah. Anggi semakin semangat untuk membatik. Kali ini Anggi ingin membuat motif kepiting di Klenteng Kwan Sing Bio dan kuda seperti di patung kuda di Alun-Alun. Anggi memilih warna kuning sebagai dasarannya dan hitam serta biru tua untuk motif-motifnya. Tibalah hari yang ditunggu. Ajudan Mas Erlangga menelpon dan menyuruh mereka berangkat ke pendopo pukul 19.00. Anggi membawa kain batik yang dibuatnya seminggu lalu. Kini ia mengenakan baju putih dengan sedikit kombinasi hitam. Anggi datang bersama ayah dan ibunya. ketiganya dipersilahkan masuk ke ruang kerja Mas Erlangga. “Hai Anggi!” Sapa Erlangga. “Hai Mas Er! ini Anggi bawakan kain batik buatan Anggi buat Mas.” Erlangga membuka kain tersebut. Erlangga berdecak kagum dengan kain tersebut. Dilihatnya secara mendetail kain tersebut. Amat menawan. “Wow! ini rapet dan kecil-kecil banget motifnya. Mas paling suka batik kayak gini. Terima kasih Anggi, mas bakal buat baju yang keren deh,” Erlangga mengacungkan jempolnya. “Sama-sama Mas,” jawab Anggi. “Karena Anggi sudah memberi Mas batik dan membuat mas salut dengan aksi pungut bendera dan panjat tiang bendera kemarin. Anggi mas beri sepeda lipat buat Anggi pergi sekolah ya!” Sebuah sepeda di bawa masuk, sepeda itu tampak cantik sekali. “Terima kasih banyak Mas Erlangga! Tapi, Anggi nggak bisa naik sepeda.” “Hahahaha. Sini Mas ajarin.” Anggi akhirnya dapat mewujudkan impian mendapatkan sepeda dan diajari langsung oleh Mas Bupati.