Sesal dari Sekotak Bekal
Sesal dari Sekotak Bekal
Tung Widut
"Sudah Bu bekalnya?" tanya Alan sambil mengambil sebotol parfum dimasukkan ke dalam tas.
"Sudah," jawab Bu Astuti.
Alan segera mengulurkan tangan. Berjabat tangan berpamitan kepada sang ibu. Pesan terucap hati-hati terucap dari bibir tua. Wajah keriput itu kelihatan rela tak rela melihat anak lelakinya berpamitan. Matanya memandangi setiap gerik anaknya keluar dari halaman rumah.
"Kakak. Kakak."rengek Shakila sang adik.
"Kaka sekolah. Besok kalau sudah besar Shakila juga seperti kakak," hibur Bu Astuti.
Anak berumur sembilan tahun itu meneteskan air mata
"Aku masih kangen sama kakak. Kakak tak pernah memikirkan adiknya. Pulang hanya sebentar," lanjut rengekan Shakila sambil memasuki rumah.
Rengekan dan tangisan terdengar setiap kakaknya berangkat di hari-hari lalu. Rasa masih kurang kebersamaan bersama Kaka satu-satunya.
Memang kali ini Alan sang kakak hanya pulang sebentar, hanya semalam. Datang sore. Kembali di siang hari esoknya. Belum juga terbayar rindu sang adik. Harus kembali berangkat kuliah.
"Ayo segera mandi. Adik harus les vokal," ajak Bu Astuti.
Rengekan berhasil dihentikan. Tapi dasar anak kecil. Sebelum mandi mampir dulu ke kamar. Ingin melihat cash kakaknya. Jangan ada yang tertinggal.
"Heh. Bekal kakak ini," kata Shakila.
Bu Astuti segera menuju kamar.
"Ya Allah," katanya.
Melihat sekolah nasi yang tetap bertengger di atas meja. Bergeming tanpa kata. Bau harum pindang bumbu kecap menyebar seluruh ruangan.
Rasa sesal datang bagai petir. Menyambar hati terdalam sampai terasa hangus. Gusar debat di dada terasa. Sesak nafas disela helaan nafas.
"Ya Allah. Bagaimana ini. Bekal ku rasa sudah masuk tas. Ternyata karena ingin didinginkan malah terlupa," kata Bu Astuti.
Tangannya segera menggambil gawai. Beberapa kali melakukan panggilan. Tak ada jawaban juga. Ya iyalah. Tadi tas kecil yang berisi gawai, dompet uang, dan barang berharga dimasukkan kedalam tas besar. Tas punggung. Semua itu saran dari Bu Astuti agar tak ketinggalan jika rehat berhenti.
Hari itu sengaja Alan membawa bekal untuk ngirit pengeluaran. Maklumlah anak kos harus irit agar bisa bayar kuliah sampai dapat gelar. Lagi pula dia juga janjian sama temannya untuk bawa bekal.
Beberapa kali Bu Astuti menelepon sang anak. Akhirnya pupus sudah. Pesan suara pun dikirim. "Kak beli saja nasi Padang. Biar nanti temanmu Yunus nggak sukan makan bekalnya," kata Bu Astuti menutup komunikasi hari itu. Tapi sesal tak sebatas itu. Sampai malam terngiang pesan sang anak yang ingin membawa bekal.
"Bu, aku nanti bawa bekal. Temanku mas Yunus mengajak bawa bekal. Kalau temannya bawa bekal nggak enak kalau nggak makan. Apalagi kangen masakan ibu," kata Alan terngiang selalu.
Kembali rasa sesal itu terkatakan,"Kak maafkan ya kak," kembali kata itu terucap dari bibir tua Bu Astuti.