Lompat ke isi

Setamat Sekolah Dasar

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Penulis

[sunting]

Siti Ana Musfaizah, lahir di Magelang, 28 September 2000. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2018-sekarang, Universitas Tidar.

Premis

[sunting]

“Ayah benar-benar masih terpukul dengan kejadian kakakmu itu. Ayah merasa gagal dalam pendidikan moral. Kakakmu memang pintar di akademik, dapat peringkat paralel di sekolah, tapi sikap moralnya, bagaimana bisa dia masuk pergaulan seperti itu. Ayah takut mengalami kegagalan di kamu, makanya Ayah kepikiran untuk mengirim kamu ke pesantren.”

Lakon

[sunting]
  1. Sani
  2. Ayah
  3. Ibu
  4. Kakak
  5. Mbok Rum
  6. Dea

Cerita Pendek

[sunting]
Setamat Sekolah Dasar

Secangkir kopi hitam di teras rumah diserutup Ayah panas-panansnya. Koran di tangan kiri dan rokok dan rokok di kanannya menemani pagi hari di libur nasional ini. Setelah kasus kakakku sebulan yang lalu, ayahku menjadi lebih diam dan dingin. Sampai aku takut untuk mengajaknya berbicara, ibuku juga begitu. Ibuku menjadi pucat, wajahnya tak se-semangat dulu. Aku mencoba menghampiri ayah dan duduk di sampingnya.

“Ayah, …” suaraku lirih memecahkan lamunan aku.

“Ada apa?” jawab Ayahku datar.

“Ujian sekolah Sani sudah selesai.” pungkasku sambil terus berusaha agar suaraku tetap pelan.

“Iya, setelah kelulusan kamu nyantri saja.” jawab Ayahku tanpa melihat ke arahku.

Aku tertegun. Aku tidak mau belajar di pesantren. Aku punya sekolah yang aku inginkan. Aku sudah mencari tahu dan sudah mantap mau melanjutkan kesana. Entah bisikan darimana Ayahku tiba-tiba mau mengirimku ke pesantren.

“Aku mau ke SMP 1, Ayah.” Bicaraku semakin samar.

Ayah tidak bergeming bahkan tidak melihat ke arahku. Matanya tetap tertuju pada satu artikel yang berjudul “Nama Calon Anggota KPPU 2023-2028 Akan Segera Dikirimke DPR” di koran Harian Kompas itu. Aku tunggu beberapa detik, tidak ada yang berubah. Aku lantas pergi lagi ke kamarku.


Semenjak kakak menjadi terdakwa penyintas obat-obatan terlarang, Ayahku berubah tidak sehangat dulu. Kami jarang berbincang-bincang di meja makan, ruang tv, dan jarang sekali menengokku di meja belajar saat malam hari. Ayahku sering tidur awal, diam, rautnya pucat, dan menghindari pembicaraan panjang. Ayahku terpukul karena merasa gagal mendidik anak lelakinya. Anak yang pintar, yang dikirimnya ke luar kota untuk belajar, ternyata mengecewakannya. Kakakku semasa sekolah siswa yang pintar, setidaknya selalu masuk dalam 10 besar parallel di sekolah. Entah pergaulan mana yang diikuti, sampai di tahun kedua kuliah, kakakku divonis sebagai pecandu. Sekarang kakakku sedang menjalani rehabilitasi. Ibuku sering menghubunginya, tapi Ayahku tidak, kecewanya terlalu dalam.


***


Pengumuman pembukaan pendaftaran sekolah incaranku sudah muncul di website. Tertera tanggal-tanggalnya di sana. Aku diam saja. Bingung antara mengikuti pilihan Ayah atau keinginanku. Aku bahkan belum bercerita ke Ibuku. Sudah seminggu yang lalu sejak aku bertanya kepada Ayah. Beliau tidak pernah membicarakannya lagi, aku pun enggan membicarakannya. Sayup-sayup aku mendengarkan harmoni pengantar tidur, lalu aku terlelap.

“Sani, Ibu mau tanya sama kamu.” sapa ibuku di pagi hari.

“Apa, Bu?” jawabku.

“Kamu sudah ada gambaran mau melanjutkan kemana? Ibu pikir kamu sudah selesai ujiannya, tadi juga Ibu ikut Mbok Rum ke tukang sayur, ibunya Sarah nanyain ke ibu kamu mau lanjut kemana.”

“Aku sudah ada gambaran sih Bu, tapi …” jawabku ragu.

“Kenapa?” ibuku sambil mengernyitkan dahi.

“Aku bilang ke Ayah kalo pingin ke SMP 1, tapi kata Ayah aku mau dikirim ke pesantren. Aku jadi malas Bu mau bahas sekolah lagi. Aku ngga mau ke pesantren.” Jawabku sedikit menundukkan kepala.

“Ayahmu bilang begitu, nanti kita bicarakan lagi ya.” jawaban ibuku menenangkanku.


Malamnya, di meja makan, aku, ayah, dan ibuku makan bersama. Selesai menyantap sayur sop dan ayam goreng, ibuku membuka obrolan tentangku yang akan segera lulus sekolah dasar. Ibuku menjadi penengah antara aku dan ayah, mencoba menyampaikan keinginanku bersekolah di sana. Aku sudah menggali informasi sekolah itu, akreditasinya sudah baik, gurunya kompeten, siswanya baik-baik, minim riwayat kriminal, bahkan sering menjuarai berbagai perlombaan, dan lagi kegiatan ekstrakurikulernya beragam. Aku ingin melanjutkan sekolah di sana karena aku melihat artikel di koran mengabarkan siswi dari SMP 1 Grahana menjuarai perlombaan melukis tingkat nasional. Artikel itu menjadi motivasiku. Tetapi Ayah tetap pada pendiriannya, berkelit kalau di pesantren juga ada hal semacam itu. Aku tidak ingin berdebat dengan kondisi Ayah yang masih seperti ini, aku takut kalau Ayah marah. Aku sudahi pembicaraan ini tanpa mengiyakan pilihan Ayah.


***


Dua hari setelah malam itu, aku datang ke sekolah untuk urusan administrasi. Semua siswa kelas enam datang ke sekolah. Ada yang melengkapi berkas, menyelesaikan pembayaran, ada beberapa juga yang mengembalikan buku ke perpustakaan yang telah lama dipinjamnya. Senang sekali bertemu dengan teman-teman. Kami membicarakan sekolah tujuan kami.

“Ada yang mau mondok ngga?” tanyaku memecah keheningan di perpustakaan. Saat itu jam pelajaran, jadi semua siswa ada di dalam kelas, hanya siswa kelas enam yang sudah tidak ada pelajaran yang punya jam bebas.

“Aku sih engga, tapi kayanya Mira, Kayla, sama Riko iya deh.” Jawab Dea sambil mengorek-ngorek isi tasnya mencari pena.

“Oh ya? Kamu tau di mana ngga De?” tanyaku menggali informasi, siapa tahu kalau memang aku memutuskan untuk mengikuti pilihan Ayah, aku ada teman.

“Belum tau sih San, tapi kalo Riko ikut kakaknya ke luar kota.” Jawab Dea sebisanya. “Kamu mau lanjut pesantren, San?” tanya Dea balik.

“Belum tau, aku lagi cari informasi aja” jawabku masih ragu.

Selesai mengurus administrasi, kami langsung pulang. Himbauan dari sekolah agar segera pulang setelah selesai urusan, dikarenakan takut mengganggu kegatan belajar kelas lain. Aku pulang diantar ojol yang dipesankan guru wali.


***


Berhari-hari memikirkan sekolah tujuan membuatku lelah. Tiba-tiba aku teringat kakak. Biasanya kakakku akan membantu berpendapat di saat begini. Toh kakakku juga berprestasi di sekolah biasa. Andai aku bisa berbincang dengan kakak. Tapi pasti pikiran kakak sekarang juga sedang sibuk.

“Apa aku cari informasi tentang pesantren dulu ya?” gumamku di kamar seraya bangun meraih laptopku.

Aku mencari beberapa pesantren tersohor di negeri ini. Menguliknya satu per satu. Melihat gedung belajarnya, asramanya, siswa-siswinya, tenaga pengajarnya, beserta program luar kelas seperti yang aku impikan di artikel koran kala itu.

“Ah! Ada melukis?” aku membuka halaman seni di website pesantren itu. Melukis kaligrafi rupanya menjadi program yang diunggulkan. Ternyata sudah beberapa angkatan selalu menjuarai perlombaan baik daerah maupun nasional.

“Apa sebaiknya aku bicarakan lagi sama ayah soal ini ya” batinku seraya meng-scroll monitor di depanku.

Sebenarnya aku hanya belum siap belajar di pesantren. Tidak ada anggota keluarga yang pernah belajar di pesantren, teman-temanku pun tidak ada, temen di komplek juga tidak ada. Tidak ada yang pernah menceritakan bagaimana kehidupan di pesantren. Lagipula, bagaimana aku akan bertahan di sana? Berbagi banyak hal, makanan, tempat tidur, kamar mandi, aku sepertinya tidak sanggup.


***


Sepulang Ayah dari kantor, aku mencoba membicarakan lagi. Hari ini Ayah pulang awal karena hari Jum’at. Aku akan menanyakan pesantren mana yang dipilih Ayah. Saat itu Ayah sedang di belakang menyiram koleksi bunga di taman kecilnya. Raut wajahnya kali ini, tampak lebih santai.

“Yah, pesantren yang Ayah maksud buatkku itu di mana?” tanyaku langsung saja, enggan berbasa-basi.

“Ayah tahu kamu suka melukis. Ayah sudah baca macam-macam informasi tentang pesantren. Kalau Ayah boleh memutuskan, Ayah memilih salah satu pesantren di Sukabumi.” Jawab Ayah dengan suara teduh hari ini. Entah kenapa sangat aku rindukan.

“Jauh, Ayah. Ayah aku boleh tanya kenapa aku mau dikirim ke pesantren?” tidak tahu kenapa kalimat itu keluar saja dari mulutku. Memang terasa asing untukku, mengapa Ayah tiba-tiba kepikiran pesantren, secara lingkungan kami tidak ada yang di pesantren. Lagipula,  pilihan tempat Ayahku itu jauh dari rumah, untuk kami yang saat ini tinggal di Kota Semarang.

“Ayah belum memutuskan. Ayah hanya memberi gambaran, bagaimana kalau ke pesantren karena Ayah tahu kamu pasti bakal menggali informasi itu sendiri. Mungkin secara tidak sadar, kamu juga sudah membandingkan sekolah pilihamu dengan pesantren kan? Kata Ayah dengan nada halus sekali.

“Iya sih, Yah.” Begitu jawabku.

“Ayah benar-benar masih terpukul dengan kejadian kakakmu itu. Ayah merasa gagal dalam pendidikan moral. Kakakmu memang pintar di akademik, dapat peringkat paralel di sekolah, tapi sikap moralnya, bagaimana bisa dia masuk pergaulan seperti itu. Ayah takut mengalami kegagalan di kamu, makanya Ayah kepikiran untuk mengirim kamu ke pesantren.” penjelasan Ayah ini membuatku ikut merasakan bagaimana hancurnya jiwa Ayah. Dari sini aku mulai paham apa yang dipikikan Ayah. Aku benar-benar tidak bisa menjawab apapun setelah mendengar ini. Perkataan Ayah ada benarnya, toh pilihan Ayah juga tidak buruk.


***


Pengumuman kelulusan tinggal beberapa hari lagi. Berarti aku harus segera memutuskan sekolah tujuanku. Ah, sial. Kenpaa aku tidak pernah membahasnya dengan ibu.

“Ibu di mana, ya?” aku bergumam sambil celingukan mencari ibu di rumah.

“Mbok Rum, ibu di mana?” Aku lihat Mbok Rum di depan rumah sedang merapikan tanaman pagar.

“Ibu? Tadi pergi sebentar, katanya arisan sekarang di rumah ibunya Dea.” Jawab Mbok Rum sambil menyingkap keringat di dahi.

“OK, Mbok Rum” jawabku. Ternyata ibu tidak ada di rumah, ya sudah nanti saja aku membicarakannya.

Sesampainya ibu di rumah, sekitar pukul tiga sore. Aku menyambut tangannya yang menjinjang sekotak hampers kue lapis.

“Bu, oleh-oleh ni?” tanyaku sambil menarik kotak itu.

“Iya, biasa.” Jawab ibuku seraya pergi ke wastafel cuci tangan.

“Bu, pengumuman kelulusanku minggu depan loh. Aku kemarin ngobrol sama Ayah soal sekolah itu, katanya Ayah belum memutuskan aku haru ke pesantren, hanya memberi gambaran aja, biar aku bisa bandingkan pesantren dan sekolah biasa.” Aku mencoba menjelaskan situasiku saat itu.

“Oh ya???  Terus kamu sendiri gimana?” tanya ibuku dengan mata membelalak.

“Aku? Malah jadi bingung. Aku sudah mencari informasi keduanya. Sama-sama bagus, Bu. Di pesantren yang disebutkan Ayah juga ada hal yang buat aku penasaran. Jadi aku bingung memutuskan.” Jelasku pada Ibu.

“Kamu mengincar kegiatan melukisnya?”

“Iya, Bu” sambil sedikit muka merengek aku mengiyakan Ibu.

“Kita coba minta pendapat Kakak besok ya. Besok kan jadwal besuk Kakak.” Ibu malah mengajakku menjenguk kakak sekalian minta pendapat. Tapi aku senang mau ketemu kakak.

“Siap deh, Bu.” Jawabku sambil melompat ke sofa depan TV.


***


Keesokan paginya, pukul 08:00 aku dan ibu beangkat ke tempat rehabilitasi kakak. Aku hanya berdua saja dengan ibu. Ayah belum mau menemui kakak lagi sejak pertama kali dimasukkan ke tempat rehabilitasi. Tidak apa-apa, sejak obrolan sore itu aku sedikit paham kondisi Ayah. Memakan perjalanan satu jam lamanya untuk sampai di tempat kakak.

“Kak, apa kabar?” tanyaku kepaada Kakak setelah sampai di tempat rehabilitasi.

“Baik aja, sehat.” Jawab kakakku, padahal aku bisa melihat tubuh kakak yang mengecil karena kecanduan obat-obat itu. Kakak meaihku dengan kedua tangannya dan memelukku.

“Kamu udah lulus ya, kok ngga ke sekolah?” tanya kakak.

“Selesai ujian sih, baru minggu depan pengumuman lulusnya” jawabku sambil memandangi wajah lesu Kakak.

“Oh ya??? Wow! Bukan anak SD lagi ini?” kakakku selalu mengggodaku begitu.

“Engga dong, makanya aku jenguk kakak hari ini sekalian mau minta pendapat kakak” jawabku, lalu aku menceriatakan semua yang selama ini aku pikirkan. Aku juga menceritakan pendapat Ayah kepada Kakak.

“Ah! Bagus semua menurut Kakak. Kalau pendapat Kakak, kamu pikirkan lagi saja, berunding dengan Ibu. Toh, pengumunan kelulusan masih minggu depan, dan tidak langsung pembukaan pendaftaran kan? Begitu pendapat kakakku, yang sebenarnya membuatku tambah bingung.

“Ah! Aku semakin bingung” keluhku sambil memegangi kepala. Kakak dan Ibu tersenyum melihatku kebingungan. Setelah itu, mereka berbincang lama, sekitar satu jam waktu yang diberikan oleh petugas. Setelah itu, kami bergegas pulang.

Selama perjalanan pulang, aku benar-benar memikirkan itu. Lalu aku menyeletuk pada ibu.

“Bu, aku mau ke SMP 1 Graha saja” kataku tanpa beranni menatap ibu.

“Kamu sudah memutuskan?” tanya ibu balik.

“Iya, Bu. Aku berjanji meskipun aku tidakdi pesantren, aku akan menjaga sikap. Aku akan belajar giat dan tidak melakukan hal-hal yang dilarang. Kakak juga tadi sudah berpesan seperti itu. Kata kakak, kakak akan cepat sembuh dan tidak mengkonsumsi obat lagi. Kejadian kemarin katanya karena Kakak lagi pusing aja” jelasku meyakinkan Ibu.

“Ya sudah, nanti kita bicarakan sama Ayah” jawab Ibu.


Iya, aku memutuskan untuk menggunakan rencana awalku. Toh aku yakin dengan nilaiku, aku bisa masuk ke sekolah impiankku itu. Hasil try-out kemarin rata-ratanya selalu dapat sembilan lebih. Aku akan membuat kiat-kiat belajar dan berperilaku baik yang akan aku serahkan kepada Ayah, agar Ayah percaya padaku. Kejadian yang menimpa Kakak, menjadi kenangan buruk bagi kami, sekaligus sebagai pembelajaran yang baik ke depannya. Aku akan mengatakan ini dengan lantang kepada Ayah.

“Ayah, aku sudah memutuskan akan melanjutkan ke sekolah pilihanku. Dengan berbagai pertimbangan aku. Aku berjanji meskipun tidak masuk pesantren, aku akan tetap belajar mengaji, menjaga sikap, dan beradab” aku terus mengulang kalimat itu di kepalaku untuk latihan nanti berbicara kepada Ayah.


***