Si Gembul Belajar Adaptasi

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Si Gembul Belajar Adaptasi

Oleh : Wiwin Isti Wahyuni, S.Pd

Aku memegang lengan Ibu, sembari menoleh beberapa kali pada teman sekolahku di ruangan cukup besar ini. Ya … ini sekolah baru ku, dan hari pertama ku masuk, karena itulah Ayah Ibu boleh menemani ku. Ada yang menangis tidak mau masuk kelas, ada pula yang merengek minta digendong, bahkan ada yang masuk dalam kerudung Ibunya. Bagiku lucu sekali mereka ya.

“Selamat Pagi, anak-anak hebat!” Suara Ibu guru cantik itu merdu mendayu, hampir sama dengan suara Ibu dirumah, meski terkadang Ibu lebih suka berteriak saat aku tak menuruti perintahnya.

“Selamat pagi Ibu guru.” Suara teman-temanku masih terdengar malu-malu, namun ada pula yang sudah berlarian kesana-kemari hingga menggeser beberapa bangku yang harusnya bisa kami duduki dengan manis.

Aku tersenyum, saat Ibu guru mulai membagikan beberapa perlengkapan untukku dan teman-teman. Senyum ku bertambah lebar, saat Ibu guru cantik itu menyapa ku dengan ceria.

“Siapa namamu anak soleh?”

“Gembul Bu,” Jawabanku dengan tetap tersenyum, meski aku melihat raut muka Ibu guru ku berubah menjadi penuh kerut di kening nya.

“Kenapa Gembul? Bukankah Ayah Ibu memberimu nama dengan doa baik Mas?” Sekarang berganti kening ku yang dipenuhi kerut tanda tanya. Percakapan kami terhenti karena ada salah satu temanku yang menangis di ujung ruang kelas, karena tak sengaja tersenggol teman lain hingga peralatan nya berantakan.

“Bu aku tak suka dipanggil Gembul mulai hari ini.” Aku merengek setelah pulang dari sekolah di hari pertama ku.

‘Kenapa Sayang, bukankah Gembul panggilan kesayangan kita semua?” Suara Ibu diantara ramai air mengalir dari tempat cuci piring.

“Ibu guru ku bilang katanya kenapa dipanggil Gembul, kan namaku bagus Bu?’ seruku diantara suapan nasi makan siang ku.

Ibu masih setia dengan suapan-suapan nya ke mulutku, tanpa menjawab hanya sesekali tersenyum mendengar ku bercerita. Hari berlalu, malam itu aku merengek hal yang sama pada Ayah.

“Ayah jangan panggil aku Gembul mulai hari ini, aku tak suka.” Kulihat ayah hanya mengerutkan dahinya, sembari menoleh ke arah ibu yang sedang menemani ku belajar di ruang keluarga.

Ibu memberi isyarat pada ayah dengan menganggukkan kepalanya, sebelum kemudian ayah berlalu dan melakukan aktivitas seperti hari-hari sebelumnya.

Hari kedua di sekolah, aku melihat beberapa temanku sudah bermain bersama. Berlarian dan saling mengejar satu dengan yang lainnya. Berteriak, memukul, menangis, kemudian tertawa lagi. Aku hanya duduk di bangku yang sudah disediakan, ada namaku disana, Afif Ahwal Said. Bukan karena aku tak mau bermain bersama mereka, tapi aku takut jika tubuhku yang besar ini menyakiti mereka secara tak sengaja, bukankah aku akan berdosa, atau aku akan dimarahi oleh ibu guru ku, ayah ibuku, juga mungkin orang tua temanku yang tak sengaja terluka olehku.

”Hai Gembul sini, ayo kita bermain petakumpet.” Ajak teman perempuanku yang berambut keriting.

“Namaku Afif, jangan panggil aku gembul. Bagaimana kalau aku memanggilmu si gimbal karena rambutmu yang keriting itu.” Aku menjawab ajakannya dengan ketus.

Anisa, anak perempuan berambut keriting itu langsung menangis. Aku tak merasa melakukan kesalahan, jadi untuk apa aku minta maaf padanya. Dasar anak perempuan cengeng.

Ibu guru bergegas menghampirinya, bertanya jika saja Anisa terluka. Anisa menuding ku, dengan suara terbata-bata dia bercerita, hatinya sakit karena aku membulinya.

“Gembul nakal bu, dia mengolok ku dengan memanggil ku si keriting.” Aku melihatnya tanpa simpati, memutar balikkan fakta bukankah dia yang duluan membuliku tadi.

“Bukankah dia juga memanggil ku Gembul bu, dimana salah ku? Dia aja yang cengeng.” Aku menyanggah ucapan Anisa dengan cepat, bahkan sebelum bu guru memberi ku kesempatan menjawab ucapan Anisa.

Ibu guru hanya meredakan tangis Anisa, untuk kemudian membuat kami saling meminta maaf, berjanji untuk tidak mengulangi, dengan banyak nasihat disana sini.

Sepulang sekolah, tak seperti biasanya. Aku yang kata ibu cerewet, menceritakan apapun hanya mau berdiam diri di kamar, sembari memainkan sekotak mainan ku untuk membuat lupa akan kejadian tadi pagi. Ayah ibuku mungkin melupakan ku, berpura-pura tak tahu aku berubah, atau mungkin aku tak penting lagi karena tak lucu seperti sebelum aku bersekolah.

Satu semester, enam bulan sudah aku bersekolah. Menjadi anak kelas 1 sekolah dasar, kata ibu aku sudah besar, tak lagi cengeng dan manja. Kata ayah aku sudah bisa diandalkan. Kataku aku menjadi seorang anak yang pendiam, empati ku mati, dan melihat dunia seperti apa yang aku suka.

Hingga suatu hari, aku memukul teman sekelas ku hingga pelipis nya berdarah. Itu karena dia mengambil penghapus ku tanpa izin. bukankah benar kata ayah, anak lelaki tidak boleh cengeng, harus bisa membela diri jika benar. Aku benar kan, mempertahankan penghapus ku yang diberikan ibu saat aku pertama ke sekolah. Lalu mengapa ibu guru cantik itu membentak ku? Mengapa teman yang mencuri justru menangis karena aku mengambil hakku? Mengapa orang tua temanku ikut campur ke sekolah keesokan harinya, dan mengapa ayah ibuku juga ikut dipanggil ke sekolah? Ah aku tak bisa berpikir lagi, aku hanya diam di kursi ruangan kantor bimbingan konseling, sembari mendengar mereka berbicara dengan bahasa orang dewasa.

“Mas Afif ada masalah dengan adaptasi Ibu Bapak.’ Ibu guru ku mengawali pembicaraan diantara mereka.

“Bagaimana bu? Anak saya baik-baik saja dirumah, dia anak manis dan penurut, hanya saja awal tahun dulu dia pernah menolak dipanggil gembul, dan kami menghargai proses adaptasi nya.” Suara ibuku terdengar sedikit gemetar, mungkin ibu malu atau marah.

Aku menunduk tajam, melihat ujung sepatuku yang berharga mahal pembelian kakek, bergambar naga yang kuat perkasa. Ada rasa takut dalam hati dan kelapaku, tapi aku benar bukan? Akalku masih membuat pembelaan untuk diriku sendiri.

Bu guruku membuka sebuah jurnal, entah apa isinya, aku hanya melirik sebentar ada banyak tulisan yang berisi namaku disitu. Lalu, ibuku menangis, dan ayahku hanya hanya bisa terdiam melihatku. Setelahnya, ayah dan ibu sengaja mengajakku pulang lebih awal, aku menduga pasti nanti setelah dirumah mereka akan marah besar padaku.

Kami berkumpul seusai makan malam. Di luar dugaanku, semenjak pulang ayah dan ibu sama sekali tak marah, tak menyinggung kejadian tadi di sekolah. Semua tampak normal, apakah mereka berpikir sama denganku, bahwa aku membela apa yang menjadi hakku. Aku benar bukan?

Aku baru saja hendak beranjak ke dalam kamar, ketika ayah menarikku untuk diajak nonton film bersama. Film Petualangan Sherina judulnya. Film ini mengisahkan tentang seorang anak bernama Sherina yang melakukan petualangan menakjubkan. Petualangan itu bermula, saat Sherina harus pindah ke Bandung. Di sekolah barunya, Sherina langsung bermusuhan dengan seorang anak laki-laki yang suka mengganggu. Tak disangka, anak laki-laki yang memusuhinya itu ternyata adalah pemilik kebun tempat ayah Sherina bekerja.

Sepanjang film ayah dan ibu tak bersuara, hanya suara kerupuk yang dikunyah, dan sesekali ayah yang menyeruput cangkir kopinya. Baru setelah film itu selesai diputar, ayah bertanya padaku.

“Mas Afif tahu maksud ayah mengajakmu melihat film bersama Nak?” suara ayah pelan sekali, dan tetiba aku menjadi malu sudah berprasangka buruk kepadanya semenjak dulu.

Aku mengangguk tak yakin.

“Kenapa Mas Afif berubah?”

“Ayah dan Ibu tak sayang lagi padaku semenjak aku tak mau dipanggil gembul.” Aku menjawab dengan air yang berenang di sudut mata.

“Kenapa Mas Afif berpikir begitu? Apa ayah dan Ibu berubah sama Mas Afif?"

Aku terdiam, dan dengan tiba-tiba menangis. Ayah dan ibu membiarkanku menangis, setelah tenang aku mendongak, melihat wajah tenang dan teduh milik ayah ibuku.

“Aku sayang Ayah, aku sayang Ibu, aku tak mau berubah, aku mau tetap jadi si gembul ayah dan ibu.” Tiba-tiba kalimat itu yang keluar dari mulutku, begitu saja keluar untuk menjawab pertanyaan ayah ibu yang aku tak tahu jawabannya.

Besoknya aku kembali ke sekolah dengan semangat. Aku meminta maaf pada Anisa anak perempuan berambut keriting, pada Khoir anak lelaki yang peilipis nya berdarah karena tonjokan tanganku yang kuat, juga pada teman-teman yang pernah kubuat parah hatinya karena aku menolak diajak bermain bersama mereka. Aku tahu, aku tak selalu salah, namun tak ada salahnya berbesar hati pada setiap hal yang tak seperti mau ku. Benar kata ayahku saat menemani ku menjelang tidur kemarin. Dunia tak akan peduli dengan penilaian mu, tapi kamu yang harus siap beradaptasi dengan baik.

"Kamu tidak bisa mengubah siapa pun, tetapi kamu bisa menjadi alasan seseorang berubah." Kata-kata ayah mengutip dari ungkapan Roy T. Bennett.