Lompat ke isi

Si Kembar Belajar Literasi

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

SI KEMBAR BELAJAR LITERASI

Oleh: Ravistara


Azka dan Adiba adalah sepasang putra-putri kembar berusia sepuluh tahun. Keduanya memiliki wajah nyaris serupa, tetapi punya sifat dan kesenangan berbeda. Meskipun demikian, Ayah dan Ibu menetapkan aturan yang sama untuk mereka dalam hal berbagi tugas di rumah, termasuk mengerjakan PR dari sekolah.

Pada suatu hari, Azka dan Adiba mengerjakan tugas mata pelajaran bahasa. Rumah menjadi ramai oleh suara diskusi mereka. Lama-kelamaan, suasana diskusi berubah sengit.

Pertengkaran Azka dan Adiba lantas terdengar hingga sampai ke telinga Ayah yang sedang mengganti tabung gas di dapur. Ayah menengok pada Ibu, tetapi istrinya sedang sibuk memasak. Maka, Ayah berinisiatif untuk turun tangan menengahi perseteruan yang sedang berlangsung antara si kembar.

“Ada apa ini ribut-ribut? Mengerjakan PR tidak akan selesai kalau bertengkar,” tegur Ayah.

“Azka tidak mau mendengarkan penjelasan Adiba, Ayah. Kami disuruh membuat prosa untuk PR, tetapi Azka malah mengotot ingin menulis puisi.” Adiba melapor.

“Prosa dan puisi sama saja, bukan? Sama-sama mengarang indah.” Azka tidak mau kalah membela diri.

“Tidak sama, Azka!” Perdebatan kembali menghangat, sementara Ayah sibuk berpikir kalau Ibu yang akan lebih cocok menangani masalah ini karena Ibu jagonya menulis. Namun, Ibu masih berkutat dengan aktivitas di dapur, sehingga Ayah harus memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah Azka dan Adiba sendiri.

Ayah pun menyiasatinya dengan berpura-pura memeriksa lembar pekerjaan mereka terlebih dahulu. Ternyata, lembar buku milik Adiba sudah terisi separuh halaman. Namun ketika menengok isi buku Azka, Ayah lantas menyadari bahwa Azka belum mengerjakan tugasnya sama sekali.

“Coba Ayah pinjam buku mata pelajaran kalian sebentar.” pintanya kepada mereka berdua.

Adiba pun menyerahkan sebuah buku ajar miliknya kepada Ayah. Ayah segera membolak-balik halaman buku yang cukup tebal, kemudian mengambil gawai, dan membuka halaman situs Wikipedia mengenai serba-serbi prosa sebagai sarana materi tambahan.

“Sebelum mengerjakan tugas, biasakan untuk membaca materi lebih dahulu, ya. Jika sudah paham dan menguasai materinya, insyaallah akan lebih mudah dikerjakan,” nasihat Ayah. Adiba mencibir pada Azka penuh kemenangan, tetapi Azka tidak terima lantas membalas. Si kembar pun saling mengolok tidak mau berdamai.

“Sudah, sudah. Mari kita kerjakan sama-sama, ya. Ayah bantu,” perintah Ayah agar mereka berhenti, kemudian duduk di depan meja lipat.

“Nah, kalian tadi diminta membuat prosa, bukan? Sekarang Ayah ingin bertanya, apakah prosa itu?”

“Karangan bebas, Yah.” Adiba menjawab lantang sambil membaca dari buku catatan. Ayah lantas menambahkan dengan penjelasan dari artikel yang ia kutip sendiri.

“Ya, lebih jelasnya, prosa adalah cerita yang ditulis dalam narasi.”

“Narasi itu apa, Yah?” tanya Adiba penuh rasa ingin tahu.

Ayah pun menjelaskan dengan perlahan. “Narasi adalah peristiwa dalam satu waktu yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembaca. Misalnya, kini kalian sedang belajar bersama setelah pulang sekolah. Peristiwa apa saja yang terjadi selama itu? Keseluruhan cerita itulah yang kemudian disebut sebagai narasi.”

“Oooh, jadi Azka bisa bercerita kalau Azka dan Adiba tadi bertengkar saat mengerjakan PR, lalu Ayah datang membantu karena waktu makan hampir tiba. Begitu, Yah?” Hidung Azka mengendus udara karena pada saat bersamaan, tercium aroma harum masakan dari arah dapur. Rupanya, sebentar lagi Ibu selesai memasak. Adiba dan Ayah pun tergelak.

“Kalau sudah menyangkut soal makanan, Azka memang nomor satu.” Ayah geleng-geleng kepala. “Selesaikan dulu PR-nya, baru memikirkan urusan perut agar makannya lebih tenang. Kalau makan duluan, nanti malah kekenyangan, lalu ketiduran.”

“Siap, Ayah!” Azka menjawab penuh semangat. Ia segera meminta giliran untuk menjawab pertanyaan Ayah berikutnya tentang ciri-ciri prosa. Azka berbicara dengan ekspresi serius. “Ciri utama prosa, yaitu kata-kata yang digunakan tidak memperhatikan pola irama maupun sajak. Oh, jadi prosa itu tidak perlu ditulis indah seperti puisi.” Azka menggaruk-garuk kepalanya sebagai tanda berpikir.

“Nah, betul, ‘kan?” imbuh Adiba.

“Bagus, sekarang kalian sudah mengerti prosa itu seperti apa. Sekarang, mari kita belajar bagaimana menulis prosa dengan baik,” ajak Ayah sembari mengambil pulpen dan kertas.

“Sebelum menulis prosa, terutama dalam bentuk narasi, kalian buat dulu rumus lima ‘W’ dan ‘satu ‘H’.” Ayah menulis besar-besar di atas kertas sehingga bisa dilihat dengan mudah oleh Azka dan Adiba.

What: apa yang ingin kalian ceritakan?”

Where: di mana?”`

When: kapan?”

Who: siapa saja tokoh dalam cerita?

Why: mengapa cerita itu terjadi?”

How: bagaimana jalan ceritanya?”

“Wah, banyak sekali urutannya.” Azka mengeluh ketika memperhatikan catatan yang dibuat oleh Ayah.

“Kamu tinggal melengkapi cerita yang sudah dibuat tadi dengan menambahkan rumus ini. Nah, sekarang coba perhatikan, rumus apa lagi yang belum ada dalam ceritamu sebelumnya?” tanya Ayah sambil tersenyum. Azka mencoba mengingat-ingat sebentar, lalu wajahnya tampak cerah.

“Ah, iya. Azka belum menambahkan tentang di mana, kapan, dan mengapa cerita itu terjadi.”

“Setelah kamu melengkapi semuanya, maka jadilah satu paragraf yang disebut narasi. Setelah itu, kamu tinggal membuat narasi-narasi selanjutnya untuk menyelesaikan cerita sampai akhir.”

“Sampai berapa banyak, Yah?”

“Boleh kamu buat satu atau beberapa halaman sehingga jadi cerita pendek atau cerpen.”

“Oooh, Azka paham sekarang. Jadi, prosa itu seperti menulis buku harian gitu, ya?”

“Salah satunya,” imbuh Ayah. “Catatan harian adalah prosa berbentuk deskripsi.”

“Apa lagi itu, Yah?” Pertanyaan Azka seakan tiada habis. Namun, Ayah melayani dengan sabar.

“Deskripsi adalah gambaran lengkap sesuai apa yang kamu alami dalam sebuah peristiwa. Misalnya, apa saja yang kamu lihat, dengar, atau rasakan, semuanya diuraikan secara rinci sehingga pembaca seolah juga turut mengalaminya. ”

“Seperti tulisan Adiba, ya? Panjangnya dari Sabang sampai Merauke.”

“Kok, kamu tahu?” selidik Adiba heran.

“Selama ini, aku memang suka meniru punya kamu, lalu kuganti nama tokohnya. Daripada repot-repot menulis, capek. Lebih cepat selesai, aku bisa main lebih cepat juga.”

“Azkaaa ….” Ayah menggeleng tidak habis pikir setelah mendengar pengakuan polos sang putra. “Kerjakan tugas menulis kamu dengan mandiri dan kreatif. Jika perlu, buatlah tulisan lewat imajinasimu sendiri. Namanya fiksi. Jika meniru karya orang lain, namanya plagiasi, dan itu tidak boleh karena melanggar hak cipta. Ada sanksinya.”

Azka pun bergidik. Ia tidak mau mengulangi plagiasi lagi!

“Ibu bilang, novel-novel punya Ibu namanya juga fiksi.” Adiba berseloroh di tengah penjelasan Ayah.

“Betul,” tukas Ayah. “Novel adalah prosa jenis baru. Jika cerpen hanya beberapa halaman dan bisa dibaca dengan cepat, novel adalah prosa yang ditulis panjang hingga lebih dari seratus halaman. Ada juga prosa jenis lama yang biasa Adiba baca dalam buku dongeng dan hikayat. Itu hanya beberapa contoh. Masih banyak contoh prosa fiksi yang lain. Selain itu, ada juga yang disebut prosa nonfiksi, contohnya karya tulis ilmiah dan biografi.”

Azka merasa pusing mendengar penjelasan Ayah yang begitu banyak. Azka tidak terbiasa menyimak dan mengulang dalam satu waktu, karena itulah Azka malas setiap kali mengerjakan PR menulis bebas. Ayah pun mafhum kalau Azka punya cara belajar yang berbeda dari Adiba. Ayah kembali berpikir untuk mencari jalan keluar.

“Jadi, Azka sukanya mengerjakan tugas apa?” ulik lelaki itu pantang menyerah.

“Makan!” sahut Adiba usil sambil tertawa.

“Adibaaa.”

“Maaf, Yah. Soalnya, Azka tidak pernah serius kalau diajak belajar bersama, kecuali dikasih camilan dulu. Itu pun lebih banyak makan daripada belajarnya.”

“Kata Ibu, wajar saja karena aku sedang dalam masa pertumbuhan.” Azka berkilah sewot. Ayah pun tiba-tiba memperoleh ide cemerlang dari pembicaraan tersebut.

“Nah, bagaimana kalau kamu menulis prosa tentang bagaimana cara membuat makanan favorit? Kamu bisa mengamati apa yang Ibu lakukan di dapur, lalu menulisnya dalam deskripsi kamu sendiri.”

“Wah, Azka baru tahu kalau boleh menggunakan cara seperti itu,” cetus Azka takjub.

“Tentu saja boleh. Mulailah menulis dari hal yang kamu sukai dulu. Bisa dari hobi, tontonan, olahraga, bahkan cita-cita tentang masa depan.”

“Iya, betul! Adiba juga suka menulis tentang jalan-jalan ke tempat wisata favorit.”

“Nah, itu bisa jadi awal buat kamu jika suatu hari ingin mulai menulis blog di media daring.” Ayah mengusap kepala Adiba sebagai bentuk apresiasi.

“Blog itu apa, Yah?” Adiba baru mendengar istilah tersebut, padahal biasanya ia tahu segalanya.

“Blog itu juga prosa, tetapi dituangkan dalam bentuk media digital, jadi bisa diakses oleh orang banyak secara daring. Kamu bisa menulis pengetahuan atau pengalaman yang bermanfaat untuk semua orang. Keren, bukan?”

“Wah, Ayah memang pandai! Ayah tahu semua tentang dunia menulis,” puji putra-putri kembarnya mengagumi. Ayah hanya terkekeh mendengarnya.

“Kalau kalian membiasakan diri banyak membaca, kalian juga bisa seperti Ayah. Apalagi sekarang media informasi untuk belajar literasi mudah sekali didapat berkat adanya internet. Zaman dulu, Ayah dan Bunda cuma bisa memperoleh informasi dari buku, majalah, atau selebaran cetak, sedangkan media yang tersedia saat ini lebih banyak dan beragam. Kalian tinggal memilih media mana yang cocok dengan cara belajar kalian.”

“Terima kasih, Ayah. Azka kini sudah paham. Sekarang Azka, pamit dulu dan mau pinjam HP Ayah, boleh?”

“Hm, sama-sama. Tapi, untuk apa HP Ayah?” tanya Ayah heran.

“Pasti mau dibawa kabur buat main.” Adiba menceletuk.

“Bukan.” Azka buru-buru menyergah. “Aku mau merekam wawancara bersama Ibu tentang proses membuat camilan lezat.”

Ada-ada saja ide Azka. Ia ternyata berniat menjadikan gawai sang ayah sebagai media dokumentasi untuk menyusun tugas prosa. Dengan senang hati, Ayah pun menyerahkan gawai yang sedari tadi ia gunakan untuk mencari informasi lewat situs daring.

“Kembalikan jika sudah, ya? Selamat mengerjakan tugas,” ujar Ayah memberi Azka semangat.

“Terima kasih, Ayah.”

“Salam literasi!” Adiba turut menyemangati Azka untuk mulai bekerja.

Diam-diam, Ibu menguping diskusi mereka bertiga dari dapur sambil tersenyum. Tampaknya, bantuan Ibu sudah tidak diperlukan lagi karena Ayah bisa diandalkan untuk mengajari si kembar. Membudayakan membaca dan menggiatkan literasi memang solusi untuk mencerdaskan generasi, baik anak muda hingga kalangan dewasa.

Ibu pun kembali melanjutkan aktivitas di dapur ketika Azka muncul dengan perekam di tangan, siap mengumpulkan materi untuk ditulis menjadi prosa.

Catatan penulis: fiksi ini diikutkan dalam Proyek Yuwana Kategori Cerpen.