Sirine

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sirine

Sori Siregar

Minggu, 05 April 2015

SAYUP-SAYUP terdengar raungan sirene mobil pemadam kebakaran. Orang yang lalu lalang di luar tetap bergegas agar tepat waktu tiba di tempat tujuan. Sirene mobil pemadam kebakaran adalah suara yang senantiasa memekik dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada orang yang berpaling ketika mobil itu lewat atau bertanya di mana lagi terjadi kebakaran. Ini telah menjadi rutinitas yang tidak lagi merenggut perhatian.

Dengan isyarat tangan Pandapotan memanggil Umar, putranya, yang sedang berbicara dengan seorang pelanggan. Umar menghampiri Pandapotan.

“Ini teman Ayah yang baru datang dari Jakarta,” kata Pandapotan kepada Umar.

Umar menjabat tangan teman ayahnya sambil mengangguk dan tersenyum. Lalu, ia meminta diri untuk berkomunikasi dengan pelanggan lain di restoran yang memiliki 5 meja dan 20 kursi itu.

“Jangan berkecil hati, Sul,” ujar Pandapotan kepada temannya. Dia sudah jadi orang Inggris. Maksudku, sekarang ia sudah jadi warga negara Inggris. Karena itu gayanya seperti itu. Seandainya aku memintanya duduk di antara kita untuk sekadar beramah-tamah sebentar, pasti ia menolak karena merasa lebih perlu berbicara dengan pelanggannya. Ia tahu kau hanya teman ayahnya, bukan pelanggan yang akan sering datang ke sini. Orang Indonesia kan bisa memasak sendiri di rumah mereka.”

Syamsul mengangguk. Belum lepas dari ingatannya, 20 tahun sebelumnya Umar masih kanak-kanak, dan memanggilnya om. Syamsul kehilangan kontak dengan keluarga Pandapotan hampir 18 tahun. Baru dua tahun terakhir kontak kembali terjalin melalui seorang temannya yang baru kembali dari London.

“Kau sendiri bagaimana?” tanya Syamsul.

“Maksudmu?”

“Lebih dari 30 tahun kau di sini, mengapa tidak jadi orang Inggris saja”.

“Tidak perlu.”

“Tidak perlu?”

“Tanpa menjadi warga negara pun aku diperlakukan baik di sini. Penduduk tetap seperti aku punya hak yang sama dengan warga setempat. Hanya satu yang tidak kumiliki; hak suara dalam pemilu.”


PANDAPOTAN memotret rumah itu sebelum melangkah menuju stasiun kereta api bawah tanah. Dua puluh tahun lalu ia juga memotret rumah itu berkali-kali ketika mengambil gambar istri dan anakanaknya. Edgware belum banyak berubah. Rumahrumah di Manor Park Gardens juga begitu, kecuali rumah nomor 34 yang dihuninya dulu. Rumah itu telah direnovasi tanpa perubahan bentuk. Ruang yang dulunya garasi telah menjadi ekstensi dari rumah induk.

“Di mana Mrs Marks sekarang?” ia membatin mengenang perempuan Yahudi yang dulu pemilik rumah nomor 34 itu. Ia tidak membutuhkan jawaban karena menduga perempuan tua itu telah kembali ke dunia sana. Jimmy? Putra Mrs Marks yang ramah dan sopan itu tentu masih berada di sekitar Middlesex, distrik yang sangat disukainya itu.

“Potan. Dulu kau kan tidur di kamar depan ukuran kecil ketika masih tinggal bersamaku. Masih ingat?”

“Tidak mungkin aku lupa.”

“Beberapa lembar Alquran diterjemahkan Pak Jassin di kamar itu. Dia senang sekali tidur di situ walaupun ruangannya kecil. Bacalah kata pengantar terjemahan Alquran itu. Pak Jassin menyebut London sebagai salah tempatnya merampungkan tugas yang tidak ringan itu. Kamar itulah yang dimaksudkannya.”


“BAGAIMANA Wisma Siswa Merdeka di Willesdengreen? Masih ada?”

“Aku tidak tahu,” sahut Pandapotan. ”Sudah lama aku tidak ke sana. Yang aku tahu ada wisma Indonesia juga di Hendon.”

“Dekat rumah si Lubis dulu?”

“Ya.”

“Kalau naik tube turunnya juga di Hendon Central.”

Dengan tube pula kedua teman lama itu melanjutkan perjalanan ke stasiun Holborn yang tidak jauh dari Bush House, tempat mereka dulu bekerja.

“Setelah kontrak keduaku selesai, aku tidak pernah lagi ke sana. Tidak ada lagi yang mengenalku kalau aku datang,” ujar Pandapotan.

“Bush House bagiku adalah kenangan manis. Kita mendengar dentang Big Ben di studio setiap hari, lalu disusul suara lantang this is London calling Asia. Lalu suara trompet itu. Ah, aku suka mengenang itu”.

“Kalau aku lain lagi. Terkenang Bush House sama dengan mengulang kisah si Lubis yang diterbangkan Royal Air Force dari Jakarta. Situasi politik memanas waktu itu dan tidak ada penerbangan komersial langsung dari Jakarta. Lalu aku teringat Mis, istri si Lubis, yang haru diangkut dengan ambulans dari bandara ke rumah sakit karena tidak berani menyantap makanan yang disediakan selama penerbangan yang jauh itu. Akibatnya, dia lemas dan pingsan,” kata Pandapotan sambil tertawa.

Mengulang kisah lama adalah sesuatu yang sangat lazim bagi rekan sebaya, teman sekampus, kolega sekantor atau sahabat seperjuangan. Itu pulalah yang tidak dapat ditolak Pandapotan dan Syamsul. Karena itu Pandapotan hampir kehilangan kata untuk bertanya apa tujuan Syamsul datang ke ibu kota Britania itu. Akhirnya ia bertanya juga.

“Kau datang hanya untuk berlibur?” Syamsul tidak langsung menyahut. Ia merenung sebelum menjawab.

“Menikmati sisa kebebasanku,” kata Syamsul menjawab pertanyaan Pandapotan.

Pandapotan menatap Syamsul. Lama. Tanpa penjelasan lebih lanjut ia telah memahami maksud Syamsul. Syamsul bukan orang pertama yang menikmati sisa kebebasan seperti itu. Kota ini hanyalah tempat singgah sementara sebelum melanjutkan pelarian ke kota lain yang jauh lebih aman di salah satu benua ini. Banyak yang selamat, tapi banyak pula yang dapat dibekuk. Syamsul tampaknya pasrah. Karena itu ia mengatakan, “Menikmati sisa kebebasan.” Artinya, ia maklum cepat atau lambat kebebasannya akan dirampas dengan paksa.

“Aku sebenarnya ingin bertemu dengan anakku yang kuliah di Reading. Kalau bukan karena anakku itu, aku tidak akan ke kota ini, tapi langsung hijrah ke tempat persembunyian yang jauh lebih aman dan penuh dengan berbagai kemudahan”.

Pandapotan menangkap rasa takut yang bersarang di wajah Syamsul. Rasa takut karena mungkin ia sangat sadar akan kesalahan yang dilakukannya. Tampaknya kesalahan itu harus mendapat ganjaran. Hukuman, itulah yang ditakuti Syamsul terutama karena fisiknya yang lemah dan sering sakit. Pandapotan tidak ingin tahu lebih jauh tentang kesalahan temannya itu.

“Karena kau tidak bertanya aku juga tidak akan bercerita. Tapi, bacalah berbagai media yang setiap hari membeberkan berbagai fakta yang sukar dibantah itu. Namun, masih banyak yang terus menyangkal tanpa rasa malu. Mereka seakan-akan berlindung di balik lalang sehelai. Aku tidak menyangkal kesalahan yang aku lakukan. Ganjaran memang tidak terelakkan. Aku harus menerimanya. Tapi, keberanian untuk menerima ganjaran itu yang tidak kumiliki. Aku memilih menjadi pelarian. Dulu kita mengenal tokoh-tokoh politik dalam pengasingan. In exile. Aku memilih menjadi tokoh eksil seperti itu selama aku bisa. Kalau pun akhirnya aku tertangkap seperti para penjahat Perang Dunia II itu, aku pasrah.”

Pandapotan hanya mengangguk mendengar penjelasan temannya itu. Ia jijik dan ingin muntah setiap kali membaca berita tentang kejahatan yang dilakukan orang-orang yang diberi mandat dan mendapat amanah itu. Kini teman lamanya yang dulu terkenal saleh itu telah terseret ke dalam barisan orang-orang yang tunarasa malu itu. Saat itu Pandapotan merasa beruntung tidak mudik ke kampung halaman. Seandainya ia pulang, mungkin ia juga akan terseret seperti Syamsul.

Tidak, tidak harus seperti itu. Pandapotan membantahnya sendiri. Buktinya teman-teman yang pulang banyak yang sukses dalam profesi mereka. Mungkin Syamsul hanya anomali.


“AKU pulang, Pandapotan. Aku mengubah keputusanku.”

Teman Syamsul yang bernama Pandapotan itu ingin kata-kata itu diulangi. Karena ia tidak yakin, katakata itulah yang menerobos gendang telinganya. Syamsul maklum.

“Aku akan pulang setelah bertemu dengan Yodi di Reading.”

“Rencanamu berubah begitu cepat? Padahal, kau bilang, istrimu Chadijah, besok tiba di sini”.

“Kami cuma akan bertemu dengan Yodi. Setelah dua malam di Reading kami pulang.”

“Boleh aku tahu alasanmu?” “Aku sudah bercerita kepadamu apa arti Yodi bagiku. Aku berhenti merokok bukan karena gangguan jantung, tapi karena Yodi memintaku. Kalau aku jenderal berbintang empat, Yodi jenderal berbintang setingkat di atasku. Saran, permintaan, atau ucapannya adalah perintah bagiku.”

Pandapotan menunggu sejauh mana Yodi berperan dalam mengubah rencana Syamsul.

“Yodi terkejut ketika mengetahui aku di sini. Aku buka kartu kepadanya dan meminta pendapatnya. Lalu dia bilang, dia akan mengikuti aku ke mana pun aku bersembunyi. Untuk itu ia siap meninggalkan kuliahnya di Reading. Berkali-kali ia mengucapkan itu. Kalimatkalimatnya itulah yang aku anggap sebagai perintah. Yodi akan mendampingi Papa ke mana pun Papa pergi. Ke mana pun, hingga ke ujung dunia sekali pun. Yodi akan melanjutkan kuliah di Reading hanya jika Papa kembali ke Jakarta. Maksudnya jelas, aku harus berani mempertanggungjawabkan perbuatanku.”

Suara sirene mobil pemadam kebakaran terdengar meraung. Lima mobil pemadam kebakaran itu tampak saling berkejaran. “Sudah 20 tahun aku kehilangan suara sirene itu. Setelah beberapa hari di sini aku akan kehilangan suara itu lagi. Mungkin untuk selama-lamanya,” ujar Syamsul.

Jakarta, 2015