Sisir
Sisir
Gunawan Tri Atmodjo
Minggu, 29 Maret 2015
MENYISIR rambut bagiku adalah mengenangmu, dan itu terasa menyakitkan. Sepanjang waktu kusisir rambutku dengan sisir pemberianmu. Seperti akar-akar waktu yang gugur dicabut tangan-tangan usia, helai-helai rambutku berguguran. Aku memungutinya dari lantai dan ruas-ruas sisir. Di cermin, kembaranku menatapku penuh haru. Ia tak lebih muda dariku, tak lebih bahagia dariku, dan sama-sama gagal bersetia padamu.
SEBELUMNYA aku percaya, kenangan akan senantiasa muda dan cinta akan selalu remaja. Setiap kali menyisir aku mengenangmu. Membayangkan ketika kau masih di sisiku. Menghalau gelisah dengan cerita-cerita tentang masa lalu yang bukan milikku. Aku teringat bakal selalu tertidur di pangkuanmu manakala kau bercerita dan membelai rambutku. Suatu hari kau menemukan tiga helai uban di kepalaku. Aku menyangkalnya dan mengatakan bahwa itu rambut mati. Aku menolak penuaan, apalagi saat bersamamu. Tapi, justru kau melapangkanku dengan mengatakan bahwa uban itu membuatku tampak makin matang dan dewasa. Aku bahagia mendengarnya, lalu membiarkan uban itu tumbuh dan merasa makin bersyukur telah memilikimu.
Sembari berbaring, aku pun membelai rambut panjangmu yang hitam, tebal, dan wangi. Rambut yang biasa kau ikat itu segera tergerai dan mengembang begitu dilepaskan. Menutupi hampir sebagian punggungmu yang telanjang. Saat itu juga aku berniat membelikanmu hiasan rambut yang kupikir akan membuatmu lebih jelita, tapi dengan halus kau menolaknya, karena ingin tampil apa adanya. Penolakan itu membuatku makin jatuh cinta kepadamu.
Waktu itu kita adalah sepasang pencuri waktu luang. Sebuah pertemuan meski terlarang dan sulit senantiasa kita usahakan. Dalam kebersamaan itu, waktu terasa tak pernah panjang, sedangkan rindu selalu terbarui setelahnya. Rindu yang segar itu kian gencar menagih pertemuan. Saban kali begitu, aku ingin waktu membeku dan kebersamaan kita abadi di situ. Aku tak ingin kau terenggut dariku dan cintaku akan menyelamatkanmu dari segala marabahaya, baik yang berasal dari luar atau yang mendekam dalam tubuhmu.
Tapi kita sadar bahwa kebersamaan ini hanya sementara. Waktu dan akal sehat yang berjalan tergesa akan memaksa kita kembali pada takdir kita. Dan kita masih berusaha berterima kasih atasnya dengan meyakini bahwa setidaknya dalam waktu sesingkat itu kita pernah benar-benar bahagia. Kita jatuh cinta dalam kerapuhan, dalam kesementaraan dengan tangan saling genggam, yang seakan melawan kemestian dunia.
Di akhir kebersamaan kita, kau memberiku sisir kesayanganmu sebagai kenang-kenangan yang kuterima dengan penuh keharuan. Aku mencari segala hal yang mungkin bisa kuberikan kepadamu, tapi kau bilang itu tak perlu. Kau tak butuh apa-apa lagi karena telah menanam sejumlah kenangan kita dalam dirimu. Dan, katamu, itu aman. Tak seorang pun akan tahu apa yang kau sembunyikan. Kau akan membawa semua itu sebagai bekal mengarungi kematian.
Aku mengekalkan ucapanmu dalam ingatanku. Kuanggap sisir itu sebagai pengganti jemarimu yang membelai rambutku. Aku akan merawatnya seperti merawat kesehatanku dan menjadikannya jimat pengusir rindu.
Dan memang, sisir itulah yang meringankan deritaku saat aku menerima kabar kematianmu. Hanya sisir itulah yang mampu mengurai kesedihanku saat harus melepaskanmu untuk selamanya. Kanker yang menggerogotimu dari dalam memutusmu dari dunia dan diriku. Tapi, aku yakin penyakit ganas itu tak akan kuasa menggerogoti cinta kita dan segenap kenangan manisnya. Cinta kita akan abadi. Demikianlah keyakinanku saat itu.
Setelah kepergianmu, aku sering menangis diam-diam. Tangis yang berusaha kusembunyikan dari istri dan anakku. Tangis seorang lelaki yang merindu dan kehilangan. Pada sisir itulah kucurahkan segala kesepian. Kularung rinduku pada helai-helai rambutku.
Aku sering membayangkan rambutku adalah lautan dengan ombak yang bergelora. Sementara dirimu, lewat sisir itu, adalah peselancar mungil yang bahagia. Maka kubiarkan rambutku memanjang hingga kau dapat lebih lama berselancar dengan riang. Tak dapat kupungkiri sisir pemberianmu sudah menjadi pengganti dirimu. Aku membawanya ke mana pun aku pergi. Kumasukkan sisir itu ke tas. Aku rajin ke toilet sekadar untuk menyisir. Melunaskan rindu padamu.
Kebiasaan itu menjadikanku lelaki perlente. Kerapian dan keterawatan rambut yang terjamin sepanjang waktu adalah buah dari rinduku padamu. Setidaknya kau bisa meninggalkan dunia dengan bahagia, karena aku tidak menjadi lelaki yang menderita setelah kepergianmu. Sebaliknya, aku menjelma lelaki pesolek yang optimis menghadapi hidup.
Pada akhirnya aku memang harus bangkit dari kesedihan ini. Aku harus tetap menghidupi istri dan anakku. Mereka menggantungkan hidup kepadaku. Tapi, aku kembali merasa tak cukup hidup jika hanya dengan mereka. Aku butuh cinta yang lain untuk hidup dan aku bertemu dengan seorang perempuan yang sangat mirip denganmu. Kami saling jatuh cinta dengan gila dan membabi-buta.
Aku percaya reinkarnasi. Aku percaya bahwa kehidupan diulang kembali beberapa kali demi jiwa yang sempurna di alam nirwana. Pada awalnya aku merasa jiwamu menitis pada raga perempuan itu. Aku tahu itu dari caranya memperlakukanku, caranya bicara, caranya menyisir rambut, dan hal-hal kecil lain yang masih segar di ingatanku. Perempuan yang lahir beberapa hari setelah kematianmu dan berselisih tiga puluh tahun dariku itu memberiku cinta yang meledak-ledak sepertimu. Dia memuja rambut panjangku yang terikat dan terawat. Dia sering membelainya sama seperti caramu membelaiku dulu. Bahkan dengan sisir pemberianmu dia sering merapikan rambutku. Itu biasa berlangsung di depan cermin hotel. Dia akan menyisir rambutku sembari bernyanyi-nyanyi kecil yang terdengar begitu merdu dan membuatku mengantuk.
Sungguh aku tak menyangka jika ini semua akan membuatmu cemburu. Lewat mimpi kau mendatangiku, mengatakan bahwa perempuan itu bukan titisanmu, dan aku harus meninggalkannya, atau sisir peninggalanmu akan mengutukku. Aku terjaga dengan perasaan terancam yang memang menjelma kenyataan. Sisir yang biasanya begitu lembut membelai rambutku kini berubah seperti garu. Dengan kegarangan yang tenang, ia merontokkan rambutku satu per satu. Seiring bergugurannya rambutku, kekhawatiranku menetas. Aku tahu kau sedang membuktikan ancamanmu.
Aku tahu di alam lain kau pasti tertawa mengejek ketika aku mengganti sisirmu dengan sisir baru yang ternyata ketika memakainya rambutku rontok dua kali lebih banyak. Sisir baru itu kemudian kubanting dan patah di lantai. Hal yang tak terjadi ketika kubanting sisir pemberianmu di tempat yang sama. Mau tak mau tetap kupakai sisir pemberianmu karena hanya dengan itulah kuminimalkan kerontokan rambutku. Tentu tak bersisiran bukan pilihan bagiku. Aku enggan tampil dengan rambut kumal seperti orang gila di hadapan banyak orang, terlebih di depan kekasih baruku. Aku harus mempertahankan keelokan dan tatanan rambutku meski sejatinya telah berkurang kelebatannya setiap hari.
Dengan kerontokan itu aku menyadari bahwa aku begitu mencintai rambutku dan tak ingin kehilangan keindahannya. Tapi, aku juga begitu mencintai kekasih baruku, yang juga tahu persis bahwa rambutku mengalami kerusakan. Di hotel pinggiran kota, pada siang yang terik selepas bercumbu, dia mengatakan hal itu padaku. Begitu banyak rambutku yang rontok, berserakan di seprei putih ranjang hotel. Dia menawariku perawatan rambut lebih lanjut. Aku menyanggupinya meski aku juga tahu itu bakal sia-sia. Aku menyanggupinya karena aku mencintainya dan tak akan melepasnya demi menghindari kutukanmu.
Seperti dugaanku, perawatan rambut itu tak ada artinya. Dia tampak sedih dan melihatnya seperti itu kesedihanku berlipat ganda. Dan bagimu kini, rambutku bukan lagi lautan menyenangkan melainkan hutan rimba dan di dalamnya kau adalah pembalak liar yang menebang batang-batang rambutku dengan beringas karena api cemburu, yang menurutku, sangat kekanak-kanakan.
Aku tak mampu menahan kebuasanmu lagi. Saat bangun tidur aku menemukan helai-helai rambutku rontok dengan jumlah tak terkira. Aku memungutinya dengan kekecewaan yang berlinang. Istriku membaca raut kecewaku dan mengatakan hal klise bahwa laju usia tak akan mampu ditahan tubuh manusia.
Ketika sendirian di kamar, aku keluarkan sisir pemberianmu. Aku telah menggunakannya lebih dari tigapuluh tahun dan berbahagia karenanya. Mungkin kini telah tiba saatnya untuk tak memakainya lagi. Lagipula akan terlihat aneh jika lelaki yang terancam kebotakan sepertiku masih membawa sisir ke manamana. Meski demikian aku tetap akan menyimpannya dengan baik. Aku menghormati segala yang telah kita lalui.
Hari masih pagi. Di ujung kompleks ini ada kios potong rambut. Aku berniat menggunduli rambutku. Aku ingin membebaskan diri dari kutukanmu. Aku akan mengucapkan selamat tinggal pada rambutku. Aku percaya bahwa mereka, istri dan selingkuhanku, tetap akan mencintaiku tanpa mempedulikan potongan rambutku.
Solo, 2015