Sisir Emas Payung Putri

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sisir Emas Payung Putri

Alpansyah

Tiba-tiba sebuah benda terlepas dari genggaman jari Putri. Benda itu melulus melalui selasela rambut yang basah dan licin karena saat itu ia sedang mandi di sungai sambil berlulur kembang tujuh warna dan melangih rambutnya yang terurai, hitam dan lebat.

Saat benda itu melulus dari sela-sela rambut, mata gadis itu masih sempat menangkap gerakannya. "Ciuuup!" terdengar benda itu menghunjam ke dalam sungai lalu lenyap diikuti riak air yang berkecipak!

“Sisirku, tolong ... sisirku jatuh ke sungai! Sisirlu!" demikian teriaknya. Jelas sekali teriakan itu ditujukan kepada dua orang dayang yang pada saat itu turut menemani Putri mandi.

“Sisir emas Putri jatuh?" mereka memastikan.

“Betul, sisir itu terlepas dari tanganku!" tukasnya, "Tak dapatkah kalian membantuku menemukannya kembali?" pintanya dengan cemas. Warna muka Putri yang senantiasa mengingatkan pada warna kelopak bunga mawar yang tengah merekah merah merona penuh gairahkini tampak pias, kehilangan semangat.

Setelah menyadari kejadian itu, tentu kedua dayang itu berusaha mendapatkan kembali sisir emas kesayangan Putri. Memang sudah menjadi tugas mereka mengasuh Putri termasuk melindungi Putri dari segala sesuatu yang dapat membahayakan keselamatan gadis itu. Bagi dayang-dayang itu Putri sudah dianggap sebagai anak atau adik sendiri sebab mereka sudah merawat dan mengasuh Putri sejak kecil, semenjak ibunda Putri masih ada.

Kini para dayang itu pun menyelam sebisanya. Namun, air sungai yang ketika itu memang sedang tinggi sama sekali tidak mendukung usaha mereka. Hujan yang turun deras semalam telah menyebabkan sungai menjadi dalam.

“Bagaimana? Ditemukan?" Putri menanyakan.

“Maaf, tampaknya kami tidak berhasil," jawab salah seorang dayang.

“Ya, airnya sangat dalam. Mungkin sisir itu telah masuk ke dasar sungai dan tertutup lumpur,” dayang lainnya menambahkan.

Putri hanya dapat terdiam. Kegembiraannya mandi di sungai sambil luluran kembang dan langih di pagi itu berubah menjadi kekecewaan.

“Aku akan mencarinya sendiri," demikian katanya.

“Tetapi ini berbahaya. Airnya sangat dalam!”

jelas para dayang itu.

“Tapi ... tapi .. . ? ujar Putri dengan suara bergetar. Ia tampak seperti sangat kehilangan.

“Sudahlah Ndara Putri, nanti di rumah kita pikirkan cara mendapatkannya lagi. Mungkin sebaiknya kita pulang dahulu, lagi pula air sungai masih dalam," demikian para dayang yang menemaninya itu memberikan pandangan.

“Baiklah, aku menuruti pendapat kalian," jawab Putri, "Aku sangat berharap besok atau !usa sisir itu dapat kutemukan kembali," imbuhnya.

Lepasnya sisir dari genggaman jari Putri telah menorehkan kekecewaan di hati dara itu. Bibir yang senantiasa menebar keceriaan kini berubah banyak terkatup, mengunci senyum. Wajah yang menaburkan kemilau bunga dari sela-sela kuntum bermadu kini tampak sendu, layu.

"Tanpa sisir emas itu Ndara Putri tetap cantik," demikian hibur para dayang sore itu saat mereka telah tiba di rumah.

“Ke manakah larinya barisan gigi seputih mutiara dari senyum Ndara Putri? Bukankah tidak sedikit budak-budak bujang dusun terpenjara hatinya karena terkurung dalam bubu yang terpasang dari kejernihan air muka-mengalir di tepian keanggunan wajah-Ndara Putri? Tidakkah Ndara Putri berkenan membagi sedikit senyum kepada kami?" demikian para dayang membujuk.

Setelah mendengar hal itu, Putri terhibur hatinya. Senyum meretas dari wajah yang tadi membeku, "Maafkan aku kalau sejak tadi banyak berdiam diri. Aku masih memikirkan sisir yang terjatuh di sungai tadi," jelas Putri.

Ketika Putri tersenyum, para dayang memberanikan diri meminta penjelasan lebih jauh tentang asal-usul sisir emas yang jatuh itu. "Kami tahu sisir itu terbuat dari emas sehingga mahal, tetapi rasanya harta yang Ndara Putri miliki lebih dari itu. Kami heran, mengapa karena sisir itu Ndara Putri seperti merasa sangat kehilangan?” demikian dayang bertanya.

“Sisir itu sangat berarti bagiku bukan karena bahannya, tetapi sisir itu peninggalan almarhum ibuku!" jawab Putri.

Penjelasan itu diikuti pula suara "O" dari mulut para dayang sebagai tanda mereka sudah mengerti alasan mengapa Putri merasa sangat kehilangan.

“Kalian tahu, dengan hilangnya sisir itu aku merasa tidak dapat merawat benda pusaka peninggalan orang tua. Lebih dari itu, sisir itu diperoleh ibuku dari ayahku. Ayah memberikan sisir emas itu kepada ibu sebagai mahar pernikahan mereka," papar Putri.

Tambahan penjelasan Putri itu kembali diikuti pula koor "O" dari mulut para dayang sebagai tanda mereka semakin paham dengan alasan mengapa Ndara itu merasa sangat kehilangan.

“Dayang, bantu aku untuk menemukan sisir emas itu kembali. Mungkin kita mintakan bantuan orang lain. Apa pun permintaan orang berhasil menemukan sisirku itu akan kupenuhi," kata Putri dengan segenap perasaan.

Setelah mendengar perkataan Putri, semua dayang yang berada di dekat itu menjadi terdiam. Mereka dapat merasakan betapa berartinya sisir emas itu.

“Ndara Putri . . . kalau disetujui aku ada usul," kata salah seorang dayang.

“Apa usulmu dayang?" tanya Putri.

Para dayang saling menggamit, "Ayo, kau saja yang bicara!" demikian katanya saling menyuruh.

“Katakanlah. Kalau usul kalian masuk akal aku akan menuruti," sekali lagi Putri menantikan usul para dayang itu.

“Begini, biar aku yang bicara," kata salah seorang memberanikan diri, "Bagaimana kalau diadakan sayembara. Kita umumkan kepada seisi dusun bahwa siapa yang dapat menemukan sisir emas Ndara Putri akan mendapat hadiah yang sangat istimewa."

“Ya, aku setuju!" tiba-tiba Putri langsung menyetujui, "Hadiahnya adalah kalau perempuan, dia kuangkat sebagai saudara kandung dan kalau lelaki, aku rela menjadikan ia sebagai suami,” jelas Putri dengan mantap.

Jawaban Putri itu tentu saja membuat para dayang menjadi tercengang. lngin mereka menanyakan sekali lagi ucapan yang dilontarkan Putri, tetapi rasa segan dan takzim membuat mereka sungkan untuk berkata.

"Tetapi .... "

“Tetapi apa, dayang?" tanya Putri.

“Tet, teee .... Anu, maafkan sebelumnya kalau hamba lancang," dayang itu mencoba memberanikan diri.

“Ya, katakan saja!"

“Bagaimana kalau yang menemukan sisir itu seorang pemuda yang buruk rupanya? Apakah Puyang Putri rela menjadikannya suami?”

Setelah pertanyaan itu terucap, para dayang menjadi terdiam. Dalam hati mereka sangat khawatir kalau pertanyaan itu akan menyinggung perasaan gadis yang sekaligus adalah majikannya itu.

“Menjaga keberadaan sisir itu agar tidak hilang merupakan salah satu tanda baktiku kepada kedua orang tuaku. Kalau ada orang yang dapat membantuku, apa pun keadaan orang itu akan kuterima sebagai tanda baktiku kepada orang tua. Mudah-mudahan Tuhan dapat menjadikanku sebagai salah seorang hamba yang sabar dan ikhlas dalam menjalani ketetapannya,” jawab Putri.

Setelah mendengar jawaban itu, seluruh dayang menjadi lega. Mereka tidak menyangka bahwa Putri yang mereka asuh selama ini bukan lagi anak kecil, tetapi telah tumbuh menjadi wanita dewasa yang dapat menentukan pilihannya sendiri.

Angin sore telah menuntun langkah para penduduk dusun kembali pulang dari ladang. Cerita tentang butir padi yang menguning, pisang yang masak setandan, pepaya masak di batang, atau budak-budak bujang yang mengagumi kecantikan dara jelita bernama Putri adalah balada yang mengupas kepenatan langkah-langkah mereka menyusuri tepian pematang sawah menuju dusun setelah seharian bekerja di ladang.

Di pinggir dusun terdapat sebuah tanah lapang. Para pemuda dusun biasanya sering menghabiskan waktu sore mereka setelah pulang dari ladang dengan bermain-main di sana. Permainan mereka adalah menendang bola yang terbuat dari rotan. Orang yang dapat melambungkan bola rotan itu lebih tinggi adalah pemenang. Ketinggian bola rotan yang ditendang diukur dari tinggi pohon kelapa yang tumbuh dekat lapangan. Hadiah bagi pemenang adalah boleh mempersunting Putri, demikian mereka sering berolok-olok dan berandai-andai.

Kalau sore-sore sebelumnya hadiah memperistri dara jelita bernama Putri tidak lebih dari bahan olok-olokan atau andai-andaian bagi para pemuda dusun, tetapi tidak pada sore hari ini.

“Kami mendengar sendiri dari dayang-dayangnya bahwa gadis itu mengadakan sayembara!” tukas salah seorang pemuda itu.

“Apakah sayembaranya menendang bola rotan setinggi pohon kelapa?" pemuda lainnya menimpali.

“Bukan. Bukan menendang bola rotan, melainkan menemukan sisir emasnya yang jatuh di sungai. Siapa yang mendapatkannya akan mendapat hadiah, yaitu menjadi suaminya kalau ia jejaka dan menjadi saudara kalau ia perempuan,” ujar pemuda tadi.

Sayembara itu tidak disia-siakan oleh beberapa pemuda dusun yang sejak lama mengagumi kecantikan Putri. Selama ini hasrat terhadap Putri itu bagi mereka tidak lebih dari andai-andai saja, bak pungguk merindukan bulan, tetapi kali ini para pemuda itu bukan lagi pungguk. Meskipun Putri tetaplah bulan, para pemuda itu ingin menjadi matahari yang akan berjalan berdampingan dengan bulan dan memutari jagat raya yang berhias kelap-kelip bintang dalam kehangatan malam.

Air sungai masih dalam. Semburat cahaya matahari menjadi risau saat suara burung-burung kecil yang biasa mencericit di atas pepohonan di tepi sungai saat ini tidak terdengar. Burung-burung kecil itu sengaja membubarkan diri untuk sementara. Burung-burung kecil itu menghindari kerumunan orang yang pada pagi itu memenuhi tepian sungai di tempat pemandian Putri.

“Gong! Gong! Gong ... !" terdengar suara gong dipukul bertalu-talu. Bunyi gong bagi penduduk dusun bisa berarti pengumuman penting atau sesuatu berita yang layak diketahui akan disampaikan.

“Saudara-saudara sayembara akan dimulai. Peserta yang akan mengikuti diminta ke depan, mengambil tempat tersendiri!" kata seseorang memberikan aba-aba.

Pertama terlihat tiga orang pemuda maju mengambil posisi, lalu seorang lagi dan akhirnya terdapat lima orang pemuda yang tampak sudah siap mengikuti sayembara menemukan sisir emas yang terjatuh ke dalam sungai. Empat pemuda mengenakan ikat kepala, sedangkan seorang lagi tidak mengenakan ikat kepala. Kelima pemuda itu telah melepaskan baju yang membalut tubuh mereka-hanya celana setengah tiang "kulot" yang terbuat dari bahan belacu yang mereka kenakan-sebagai tanda sudah siap menyelam. Mereka tampak gagah. Tangan mereka berotot dan berdada bidang. Orang-orang berkerumun menyaksikannya. Para dayang, Putri, beserta kerabat. menyaksikan sayembara itu dari de kat.

“Aku orang pertama yang akan muncul ke permukaan sambil mengacungkan sisir emas itu!” tukas salah seorang pemuda yang mengenakan ikat kepala berwarna hitam. Matanya berkilat-kilat. Pandangannya tajam. Sampai pada akhirnya anak mata pemuda itu tersangkut pada pandangan mata Putri. "Aku akan membungkam kecantikanmu wahai Putri. Dengan memperistrimu aku ingin semua orang di dusun ini mengakui akan kegagahanku. Kau tidak lebih dari kendaraan yang akan membawaku untuk mencapai ambisiku itu," demikian pemuda itu membatin.

“Aku mungkin muncul belakangan, tetapi sisir berada dalam genggamanku!" tukas seorang pemuda yang mengenakan ikat kepala bercorak batik. Ia tampak tidak mau kalah gertak. Dalam batinnya berkata, "Wahai Putri setelah aku mendapatkanmu, semua gadis di dusun ini akan kutundukkan. Gadis mana yang akan menolak pinanganku kalau saja-gadis kembang desaberhasil kudapatkan!" Lalu pemuda itu mengarahkan pandangan ke arah Putri.

Pemuda ketiga mengenakan ikat kepala berwarna merah. Ia tidak mengumbar sesumbar. Ia hanya melemparkan pandangan sinis, "Wahai Putri, dara cantik lagi banyak warisan harta, kaukira aku puas dengan mereguk kecantikanmu semata? Tidak, bagiku kau adalah sekeping uang logam dengan dua sisi, dirimu dan harta warisanmu!” demikian pemuda itu bermonolog dalam batinnya.

Pemuda keempat mengenakan ikat kepala berwarna putih. Ia tidak mengumbar sesumbar. “Aku ingin mencari istri. Entah mengapa hatiku terpaut pada Putri. Aku tidak buta karena kecantikannya. Aku juga tidak mabuk karena derajat dan hartanya. Aku hanya mencintainya dengan segenap perasaanku. Ya, Tuhan andai kami berjodoh izinkan aku memperitri dirinya," demikian pemuda itu membatin.

“Aku hanya ingin menolong. Bukan mengharapkan hadiah dari sayembara ini. Kalau memang ada jalan aku berjodoh dengan Putri, aku akan mensyukurinya sebagai sebuah amanah. Ya, Tuhan luruskanlah langkah hamba-Mu ini,” kata pemuda terakhir dalam hati. Ia tidak mengenakan ikat kepala kecuali sebuah tasbih menggantung di lehernya. Kini tangannya yang beberapa saat lalu tampak tengadah telah diusapkan ke dahinya seperti ia baru selesai memanjatkan doa.

“Gong! Gong! Gong ... !" kembali terdengar suara gong dipukul bertalu-talu. Suaranya menggema. Suaranya terpantul dari air yang mengalir lalu menjauh dibawa angin menuju hilir.

“Saudara-saudara kini saatnya para peserta sayembara akan melakukan pencarian sisir emas itu dengan menyelam ke dasar sungai," demikian terdengar sebuah pemandu. Orang-orang pun menyambutnya dengan gegap-gempita.

Suara riuh, tepuk tangan, dan siulan melengking-lengking sebagai tanda mereka memberi dukungan.

Setelah hitungan satu, dua, tiga!

“Cebuuuuur!" terdengar suara mendebur. Sungai yang tadinya tenang mengalir kini tersingkap memercikkan semburan saat kelima pemuda tadi melompat masuk sungai. Beberapa waktu kemudian, riak yang mencercah itu tenang kembali seiring dengan hilangnya pemuda itu dari pandangan.

Berpasang-pasang mata menatap seksama. Sekitar lima belas menit telah berlalu tetapi air di permukaan belum juga beriak memberi tanda akan munculnya pemuda itu dari dalam sungai. Setelah mendekati menit ketujuh belas, tampak warna merah menyembul ke permukaan. Orang-orang yang menyaksikan menjadi terkesiap. “Darah!" demikian pikir mereka.

Mengambangnya darah di permukaan air diikuti pula dengan munculnya pemuda yang mengenakan ikat kepala hitam ke permukaan. Ia menjulurkan tangan sebagai tanda meminta pertolongan.

“Aku menyerah, tolong aku!" demikian katanya.

Orang-orang menariknya dari sungai. Orang-orang sangat terkejut saat melihat tulang betis pemuda itu sudah terkulai. Beberapa serpihan daging yang masih menempel tampak berantakan tercabik-cabik.

"Tolong aku! Sisir itu dijaga seekor buaya!” demikian jelasnya setelah itu terkulai lemas. Ia pun pingsan. Orang-orang menggotongnya ke rumah tabib untuk diobati.

Kini berpasang-pasang mata di pinggir sungai semakin lekat menatap permukaan air. Perasaan mereka lebih banyak mengatakan akan menjumpai hal yang tidak jauh berbeda dengan pemuda pertama.

Firasat mereka pun benar. Tidak lama berselang muncul lagi pemuda kedua, yaitu pemuda yang mengenakan ikat kepala bercorak batik.

"Tolong! Aku tidak sanggup. Aku dipagut ular! Ada ular besar di dasar sungai yang menjaga sisir itu!" demikian jelasnya.

Orang-orang segera menariknya dan menyelamatkannya. Ada lubang bekas gigitan ular pada lengannya. Ia pun terkulai lemas, pingsan.

Belum sempat orang menggotong pemuda itu untuk diobati, dari permukaan air telah muncul lagi pemuda yang mengenakan ikat kepala merah. Ia pun mengatakan hal yang sama.

"Tanganku bahkan sempat menyentuh sisir emas itu, tetapi tiba-tiba sesuatu mengibaskan rambutnya yang panjang sehingga sisir itu lepas dari genggamanku. Rambut lebat dan panjang itu sempat membekap mukaku sehingga aku hampir mati lemas karena tidak dapat menuju permukaan air sekedar untuk mengambil napas. Aku menyerah!" katanya.

“Untunglah kau tidak apa-apa," kata orang-orang.

Kini tinggal dua orang lagi di dalam sungai. Semua memandang dengan harap-harap cemas. Mereka sangat khawatir jika kedua orang itu mengalami nasib buruk seperti mereka yang sudah menyerah itu.

Hampir satu jam berlalu, tetapi belum tampak pemuda yang berikat kepala putih dan pemuda yang berkalung tasbih muncul ke permukaan. Hal itu memberikan tanda tanya bagi kerumunan orang di pinggir sungai. Beberapa pasang mata tidak lagi memandang sungai, tetapi memandang seorang gadis cantik yang berada di dekat tempat itu, yaitu Putri.

Gadis itu pun tampak risau. Ia tidak menyangka kalau sayembaranya itu akan memakan banyak korban. Kini gadis itu menyandarkan kekuatannya kepada nasihat-nasihat dan pandangan para dayang yang berada di dekatnya.

“Ndara Putri, orang yang berhasil menemukan sisir itu tentu bukan orang sembarangan sebab ia adalah pilihan Yang Mahakuasa. Ia adalah jodoh bagi Putri dan jodoh yang menentukan adalah Tuhan!" demikian para dayang itu memberikan pandangan.

“Ya, aku memasrahkan semuanya: hidupku, matiku, takdirku, juga keselamatan para peserta sayembara kepada Tuhan semata," kata Putri.

“Siapa yang tahan tidak bernapas selama satu jam? Mungkin kedua pemuda itu sudah mati karena lemas!" seseorang menyeletuk.

“Ya, begitu berartinya zat asam bagi manusia. Jangan satu jam, lima belas menit saja zat asam ini dihentikan peredarannya oleh Sang Pencipta maka kita akan bergelimpangan. Kini zat yang sangat mahal itu diberikan dengan gratis, tidak bayar, tetapi masih juga kita tidak bersyukur,” orang yang lain menimpali.

Matahari yang tadi merasa sendiri menyinari sungai pemandian Putri karena burung-burung kecil tidak menampakkan suaranya kini ikut menyaksikan riak air yang terdorong ke atas saat dua orang pemuda muncul ke permukaan secara bersamaan.

“Hore! Aku mendapatkannya!" tukas mereka bersamaan. Tangan mereka sama-sama mengacungkan sisir emas itu tinggi-tinggi ke udara.

“Mereka berhasil! Lihat mereka berhasil!” teriak orang-orang.

“Pemuda berikat kepala putih dan pemuda yang berkalung tasbih telah mendapatkan sisir emas milik Putri," kata dayang kepada Putri.

Ketika melihat kenyataan itu, Putri menjadi tercengang. Ia semakin bingung saat kedua pemuda itu melangkah ke arahnya dan menyerahkan sisir itu.

“Ndara Putri, terimalah! Sisir emas milik Ndara Putri telah ditemukan. Mengapa Putri menjadi ragu?" kata dayang yang melihat perubahan warna pada muka Putri.

“Terima kasih. Kalian telah berhasil menemukan sisir emasku. Ketahuilah yang menemukan sisir emasku ini bukan kalian, tetapi kebersihan hati dan ketulusan hati kalian dalam berbuat kebaikan. Sayangnya, hadiah yang kujanjikan tidak mungkin kuwujudkan karena tidak mungkin aku bersuamikan dua orang lelaki!" tukas Putri.

Keriuhan atas ditemukan sisir emas itu kini menjadi keheningan yang membungkam. Orangorang baru sadar akan janji hadiah bagi pemenang sayembara. Sejak tadi orang-orang melupakan itu karena terbawa situasi mencekam dari kejadian demi kejadian yang dialami peserta sayembara sebelumnya.

Putri bangkit dari duduknya. Ia berjalan hilir mudik. Sulit baginya untuk memutuskan siapa yang akan dijadikan suami karena sisir itu ditemukan dua orang pemuda secara bersamaan.

Orang-orang menatap lekat-lekat kepada Putri. Mereka sedang menunggu keputusan akan nasib kedua pemuda itu. Putri menatap langit. Sinar matahari mengintip kerisauan hati gadis itu. Putri menumpahkan kegalauannya pada sungai. Air yang mengalir merasakan kebimbangan di hati gadis itu. Putri memandang rindangnya pepohonan. Daun-daun pun membisikkan semangat kepada gadis itu.

Kini Putri menatap orang-orang, ia berbicara dengan suara lantang, "Dengan disaksikan langit, tanah, hutan, dan seisi sungai ini maka dengarkanlah aku berjanji bahwa aku tidak mungkin bersuamikan dua orang pemuda. Sebagai tanda sesal karena aku tidak dapat memberikan tanda terima kasih kepada kedua pemuda yang telah menemukan sisir emasku, sejak saat ini sampai aku mati aku tidak akan menerima pinangan siapa pun. Biarlah jodoh bagi kami menjadi rahasia Sang Pencipta. Mungkin di dunia kami belum berjodoh, tetapi di akherat Tuhan akan menentukan takdir yang berbeda," tukasnya.

Matahari sore masih mengintip dari celah-celah rimbunnya daun sebuah batang rengas yang sudah tua dan bongkok di tepi sungai. Bongkoknya batang rengas itu karena berab-adabad digelayuti waktu. Namun, pohon itu masih tetap rapi menyimpan kisah tentang para bujang dusun yang berebut menaklukan hati Putri dalam sebuah sayembara.

Burung-burung kecil yang dahulu pernah “mengungsi" karena terusik kerumunan orang yang memenuhi tepian sungai kini telah kembali bersenda-gurau, berlompatan dari dahan dan ranting yang satu ke dahan dan ranting yang lain.

Di bawah sebuah batang rengas yang berusia ribuan tahun itu terdapat sebuah makam yang dikeramatkan. Sebuah makam puyang. Penduduk setempat menyebut makam itu dengan nama makam Puyang Putri.

Makam itu diapit oleh dua makam lain. Konon kabarnya makam yang mengapit makam Puyang Putri itu adalah makam dua orang pemuda yang berhasil menemukan sisir emas Puyang Putri yang terjatuh, yaitu pemuda berikat kepala putih dan pemuda berkalung tasbih.

Sampai saat ini makam Puyang Putri dan makam kedua pemuda itu dapat dijumpai di Pulau Putri, sebuah pulau kecil yang ditumbuhi pepohonan rindang. Pulau Putri terletak di tengahtengah sebuah dataran yang merupakan daerah rawa di Desa Pangkal Lampan, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering llir. Para remaja sering menjadikan tempat ini-terutama bila air sedang surut-sebagai salah satu tempat berekreasi terutama di kala sore hari. Tentu saja sejumlah pantangan tidak boleh dilanggar selama berada di tempat itu, seperti: berbicara kotor, berbuat tidak senonoh, atau menunjuk tempat pemakaman dari kejauhan.

Keterangan:

  • Langih (melangih): membasuh rambut dengan minyak yang terbuat dari daging buah kelapa yang sebelumnya dijemur (dikeringkan) kemudian diambil minyaknya. Kebiasaan ini sering dilakukan perempuan desa dahulu kala agar rambut tumbuh lebat dan hitam berkilat. Sama dengan menggunakan shampo pada saat sekarang.
  • Bubu: alat yang digunakan untuk menangkap ikan, seperti perangkap. Alat ini bentuknya bulat memanjang dan terbuat dari bambu.
  • Budak bujang: remaja laki-laki (dalam bahasa masyarakat Sumatra Selatan)
  • Puyang: eyang, buyut, leluhur yang makamnya dianggap keramat orang harus menyebutnya kuburan/makam Puyang Putri atau makam Puyang sebab menyebut makam Putri dianggap tidak sopan)