Lompat ke isi

Sosok Berambut Gondrong

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Sosok berambut gondrong

Pengantar

[sunting]

Alhamdulillah Kembali bersama saya Rahma dari pedalaman Kukar. Saya akan mempersembahkan cerita tentang Gusti dan 2 sahabatnya yang berlibur di desa. Ada kejadian yang tidak mungkin mereka lupakan saat memancing. Saya berharap pembaca memahami bahwa tidak ada roh yang gentayangan, setelah manusia meninggal.

Premis

[sunting]

Ketika libur sekolah, Gusti yang baru duduk di kelas 7 mengajak teman sekelasnya Fadil dan Fikri menginap di rumah kakeknya yang terletak di desa di Pedalaman Kutai Kartanegara. Saat ketiganya memancing, mereka terjebak di rumah tua dan Gusti nyaris dicelakai oleh sesosok berambut gondrong.

Lakon

[sunting]
  1. Gusti
  2. Fadil
  3. Fikri
  4. kakeknya Gusti
  5. Pak Arman
  6. Anton
  7. Pak Habibi

Lokasi

[sunting]

Sebuah desa di pedalaman Kutai Kartanegara

Cerita Pendek

[sunting]

Cerita Tentang Roh Gentayangan

[sunting]

Siang itu mereka baru tiba di rumah kakek. Suasana desa yang asri dan jalan yang tidak begitu ramai membuat Gusti bersemangat untuk mengenal desa itu lebih dekat. Dia mengajak Fikri dan Fadil berjalan kaki mengelilingi desa setelah mereka selesai sholat Asar. Walaupun pedesaan, jalan raya yang mereka lewati sudah disemen. Rumah warga tidak terlalu padat. Hampir setiap rumah memiliki pekarangan yang ditanami bunga serta pohon. Hanya sesekali ada motor dan mobil yang lewat.

Sesampainya di ujung desa tidak ada lagi rumah penduduk. Jalan raya masih terhampar panjang menyusuri kebun sawit dan setelah ±10 km akan sampai ke desa sebelah. Mereka tidak tertarik lagi melewati jalan raya. Di depan mereka ada sebuah jalan setapak menuju hutan. Mereka penasaran dan saat ingin memasukinya tiba-tiba ada mobil berhenti disamping mereka. Ternyata Pak Habibi yang kebetulan lewat dengan mobilnya. Pak Habibi adalah sopir travel yang mengantar mereka bertiga dari kota ke desa kakek. Kebetulan rumahnya juga di desa itu. Pak Habibi menceritakan sesuatu yang menyeramkan sehingga ketiganya urung memasuki hutan.

Malam itu setelah selesai makan malam, Gusti, Fikri dan Fadil mencuci peralatan makan, sementara nenek menyimpan sisa makanan. Kakek mengaji dengan suara yang begitu merdu. Setelah selesai, Gusti duduk di sebelah kakek diikuti Fadil dan Fikri.

“Kek, sore tadi kami jalan-jalan di ujung desa dan ketemu Pak Habibi. Kami dilarang masuk hutan yang ada di sana, katanya enam bulan yang lalu ada lelaki pincang yang gantung diri di rumah tua di dalam hutan itu. Arwahnya gentayangan. Betulkah cerita itu?” tanya Gusti.

“Gus, itu hanya mitos. Jika orang sudah meninggal, maka rohnya akan kembali ke alam barzah. Tidak ada arwah atau roh gentayangan.” Kakek menguap.

“Oh ya, kalau besok kalian memancing tolong hati-hati. Kakek tidak bisa menemani kalian memancing karena merasa kurang enak badan.” Kakek berdiri dan menuju ke kamar untuk beristirahat. Anak-anak kembali membahas cerita Pak Habibi.

Memancing

[sunting]

Esok harinya dari pagi sampai siang mereka membantu nenek di kebun karena kakek masih sakit. Setelah sholat asar, mereka pergi memancing. Ternyata tempat mereka memancing kurang mengasyikkan. Hanya satu ikan kecil yang berhasil didapatkan. Mereka berniat memasuki hutan dan berharap mendapatkan tempat memancing yang asyik.

Setelah berjalan 20 menit, mereka menemukan anak sungai yang berada di dekat rumah tua yang angker. Ketiganya tidak terlalu peduli dengan rumah itu. Anak sungai di sampingnya lebih menarik karena memberi tanda ada banyak ikan. Akhirnya mereka duduk memancing di sana. Benar saja, mereka mulai mendapatkan ikan yang besar-besar.

Karena asyik memancing, mereka tidak memperhatikan jika hari sudah senja dan tidak menyadari langit yang mendung. Suara petir mengejutkan mereka dan hujan deras tiba-tiba turun. Gusti, Fikri dan Fadil tidak takut basah, tapi petir yang menggelegar dan sambung-menyambung membuat mereka harus berteduh di rumah tua itu.

Berteduh Di rumah Tua

[sunting]

Mereka berlari masuk melalui halaman depan. Untungnya Gusti membawa senter. Di dalam rumah terasa menyeramkan dan sangat gelap. Jendela dan pintu dalam kondisi terbuka serta ditumbuhi tanaman menjalar. Beberapa kali mereka melihat ada tikus lewat. Ketakutan akan cerita Pak Habibi kalah dengan ketakutan akan petir yang bersahutan. Siapa yang mau disambar petir? Mereka pasrah menunggu hujan reda di rumah itu. Saat itu seharusnya waktu magrib. Akibat lalai dan terjebak, tentu mereka terlewat untuk sholat. Ada penyesalan dalam hati mereka karena terlalu asyik memancing.

Saat ada cahaya kilat, Gusti melihat di ujung ruangan ada sesosok lelaki berambut gondrong memakai baju merah melambai ke arahnya. Tapi ketika Gusti menanyakan kepada Fikri dan Fadil, mereka tidak melihatnya. Ketiganya sangat gelisah dan ingin cepat keluar dari rumah itu.

Sosok Berambut Gondrong

[sunting]

Setelah sekitar 1 jam, hujan mulai reda. Mereka bergegas keluar. Sesampainya di halaman rumah, Gusti berhenti karena ikan-ikan mereka tertinggal di dalam. Gusti berlari ke dalam sementara yang lain menunggu di luar. Karena di luar gelap, Fikri mengeluarkan HP dan membuka senter HP. Sementara itu, Gusti masuk ke dalam dan mencari-cari bungkusan ikannya. Gusti terkejut, saat senternya mengarah ke depan seorang laki-laki berambut gondrong tiba-tiba berada tepat di depannya dan memukul kepalanya. Gusti tidak sempat mengelak. Dia berteriak saat terkena pukulan dan jatuh pingsan. Lelaki itu menyeret Gusti.

Fikri dan Fadil saling berpandangan saat mendengar teriakan Gusti. Keduanya berlari masuk tetapi kaki Fikri tersangkut balok yang tergeletak di teras sehingga dia terjatuh. Fadil menolong Fikri. Dengan mengandalkan cahaya senter dari HP, mereka mencari-cari Gusti tapi tidak ditemukan. Hanya senter Gusti yang ditemukan oleh Fadil. Mereka mencari-cari lebih ke dalam dan memeriksa setiap kamar. Saat di ruang dapur mereka mendengar suara ribut dari kamar ujung. Mereka mendengar Gusti berteriak minta tolong.

Fadil dan Fiktri mendobrak pintu kamar. Kamar itu hanya diterangi 2 buah lilin. Fadil melihat Gusti diikat oleh seorang laki-laki berambut gondrong berbaju hijau. Fadil menyerang lelaki itu. Dengan jurus silatnya dia berhasil membuat lelaki gondrong tersungkur di lantai. Ya, Fadil salah satu pemain silat andalan dari sekolahnya. Fikri bergegas menolong Gusti.

“Guuus, Gusti, dimana kamu?” Suara kakek terdengar dari luar.

“Di sini, Kek.” Gusti keluar dari kamar, dan melihat kakeknya bersama beberapa warga lain.

Kakek yang khawatir karena cucunya tidak pulang, rupanya mengajak beberapa warga untuk mencari ke hutan. Kakek menuju kamar dan terkejut melihat sosok lelaki gondrong yang masih tersungkur di lantai. Fadil Mendudukkan lelaki itu di sebelahnya.

Membujuk Pak Arman

[sunting]

“Kamu, Man! Arman, seharusnya kamu di rumah sakit jiwa. Kok ada di sini?” tanya kakek kepada lelaki berambut gondrong yang ternyata bernama Pak Arman.

“Aku mau cari pembunuh Aris anakku. Pembunuh itu sudah menceburkan anakku hingga tewas.” Pak Arman berapi-api.

“Man, teman-teman Aris saat itu memancing di tempat lain, sedangkan anakmu Aris memisahkan diri. Dia memancing di anak sungai di samping rumah ini sendirian. Aris terjatuh dan saat hendak berenang ke tepi, Aris dijatuhi kayu dari pohon besar, dia pingsan dan tenggelam hingga meninggal. Polisi sudah menjelaskan demikian. Mereka sudah menyelidiki dengan teliti. Anakmu kecelakaan, bukan dibunuh. Cobalah terima kenyataan ini, sudah setahun anakmu meninggal. Bagaimana dia akan tenang, kalau kamu masih tidak bisa mengikhlaskannya. Ayo, kami antar kamu ke Pak RT.” Kakek membujuk Pak Arman.

Sosok Berambut Gonrong yang Lain

[sunting]

Mereka keluar dari rumah itu. Ketika di halaman, Gusti teringat lagi dengan ikan hasil pancingan mereka. Gusti dan Fadil masuk kembali ke dalam rumah, sementara yang lain menunggu. Ketika Gusti menoleh ke ruang ujung, dia melihat sekilas bayangan dan ketika dia menyorotkan senter, Gusti melihat di ujung ruang itu sesosok lelaki berambut gondrong berbaju merah melambaikan tangan, tetapi bukan Pak Arman.

Gusti berteriak terkejut. Sayangnya Fadil tidak melihat sosok itu. Gusti berlari keluar dan menceritakan apa yang dilihatnya. Kakek dan rombongan masuk kembali dan memeriksa setiap sudut rumah tua. Tetapi sosok yang dilihat Gusti tidak ada. Akhirnya mereka pulang ke rumah masing-masing. Pak RT mengurus Pak Arman yang akan diantar besok ke rumah sakit jiwa yang ada di kota.

Anton yang Malang

[sunting]

Keesokan harinya saat sarapan, nenek menghidangkan ikan hasil pancingan Gusti dan kawan-kawan. Ikan gabus bakar dilengkapi dengan sambal mangga dan nasi hangat. Nenek senang karena anak-anak makannya sangat lahap. Gusti penasaran dengan sosok yang dia lihat tadi malam.

“Kakek punya nggak foto orang pincang yang bunuh diri di rumah tua?” tanya Gusti penasaran.

“Ada. Sebelum bunuh diri dia, si Anton ikut gotong royong. Anton tidak lulus SMA. Saat sekolah dia sering dibully oleh teman-temannya. Kakinya pincang dan ayahnya seorang pemabuk. Ayahnya sering menyakiti Anton. Saat gotong royong itu, kaki pincangnya tersangkut akar pohon. Dia jatuh ke parit. Banyak warga yang mentertawakannya. Dia malu sekali. Ini fotonya, sebelum dia jatuh, waktu itu Pak RT yang mengambil gambarnya saat sedang istirahat.” Kakek memberikan HP-nya kepada Gusti. Fadil dan Fikri mendekati Gusti.

“Kek…, ini sosok yang melambaikan tangan kepadaku tadi malam di rumah tua. Berarti dia gentayangan, Kek.” Gusti merinding, jantungnya berdegup kencang. Jarinya menunjuk sosok lelaki gondrong berbaju merah berfoto di sebelah kakek.

Buku dari Kakek

[sunting]

“Gus, setiap orang yang meninggal akan berada di alam barzah. Kalaupun ada yang melihat sosok serupa, itu hanya jin yang menyerupai manusia. Kita sebagai umat Islam memang harus percaya ada mahluk gaib seperti malaikat dan jin. Jin ada yang baik dan yang jahat. Penampakan jin umumnya terjadi jika dibenak kita sudah ada mitos yang dipercayai dan dipengaruhi rasa takut. Jin itu mendekati orang yang takut kepadanya dan menyesatkan manusia agar percaya ada roh gentayangan,” jelas kakek.

“Apakah jin hanya ada di rumah tua, Kek?” tanya Fikri.

“Kita tidak usah repot-repot ke rumah tua, bahkan di rumah kita pun ada. Kamu makan, kamu berpakaian, kamu ke WC, semua harus berdoa ‘kan? Karena kalau lupa berdoa, jin dan setan akan ikut. Ini saat sarapan, kalian sudah berdoa belum?” Kakek menunjuk mereka satu persatu.

“Lupa, Kek.” Mereka menepuk jidat.

“Astagfirullah, pantas nggak kenyang-kenyang. Setannya ikut makan juga tuh.” Kakek geleng-geleng kepala.

Ketiga anak itu akhirnya selesai makan. Fadil menyimpan makanan. Sementara Gusti dan Fikri mencuci piring. Kakek mengambil sesuatu di kamar dan kemudian kembali ke ruang makan.

“Hari ini kami harus pulang, Kek. Besok sudah masuk sekolah lagi. Kami ikut mobil Pak Habibi. Rencananya akan dijemput satu jam lagi. Jadi kami harus siap-siap.” Gusti menjelaskan sambil mencuci piring. Setelah selesai dia duduk di dekat kakek.

“Oh begitu. Gus, ini ada hadiah untukmu.” Kakek meletakkan dua buah buku di atas meja makan.

Mereka mempersiapkan tas masing-masing dan setelah menunggu 1 jam akhirnya mereka dijemput Pak Habibi. Gusti tampak lebih bersemangat dengan hadiah buku dari kakek. Ia menggenggam erat buku “Alam Jin dan Setan” karya Dr. Sulaiman Al Asyqar dan “Roh” karya Ibnul Qoyyim. Mereka berpamitan dengan kakek dan nenek. Gusti, Fikri dan Fadil pulang meninggalkan desa kakek dengan pengalaman yang tidak akan mereka lupakan.