Stasiun Tawang Ninggal Kenangan
Di kursi tunggu Stasiun Tawang ini, setiap malamnya aku masih menunggu kepulanganmu Sri. Aku teringat betul, saat mengantarkan kepergianmu sebulan yang lalu. Kau genggam erat jemariku dan kau tatap binar mataku, lalu aku tidak mengerti mengapa kau tergesa-gesa meninggalkanku, kau juga lupa tidak memberi isyarat lambaian tanganmu kepadaku. Apa kau sedang menangis saat itu? Apa ada kekecewaan di balik jendela kaca kereta itu Sri?
Malam ini begitu dingin Sri, aku lupa tidak membawa jaket pemberianmu. Bulan Oktober ini memang hawa dingin semakin terasa menusuk tulang-tulangku. Rinduku terasa semakin bising, seperti suara gesekan batu kerikil yang terseret sepanjang rel kereta api itu. Hatiku semakin gundah penuh pertanyaan, mengapa dulu kau tidak mengizinkanku menemani di sampingmu, kau juga tidak mengizinkanku mengecup keningmu. Apa dosa yang telah kuperbuat hingga menanggung pahitnya penantian ini.
Pagi telah tiba Sri, mataku terasa begitu berat menahan kantuk, ingin rasanya sejenak aku memejamkannya. Sungguh aku tidak ingin sedikitpun beranjak dari kursi tunggu ini Sri. Biarlah kursi tunggu Stasiun Tawang ini menjadi saksi bagaimana kesetiaanku dalam mengharapkan kepulanganmu Sri. Dua puluh menit telah berlalu Sri, akhirnya mata ini benar-benar terpejam. Namun, tiba-tiba dengan isak tangis, kau bangunkan aku dan menghancurkan segala harapan dengan perkataamu "Pulanglah! Pulanglah! Tiada yang perlu kau tunggu, aku telah berbulan madu dan bermesraan di sepanjang kereta itu, bersama suamiku."