Lompat ke isi

Suara Samar dari Alam

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pengantar/Premis[sunting]

Floret dan Kebunnya yang dapat bicara
Gambar cerpen 'Suara Samar dari Alam'

Hai! Perkenalkan saya Syeela Putri. Cerpen 'Suara Samar dari Alam' ini menceritakan tentang seorang gadis yang mendapati dirinya dapat berbicara dengan makhluk yang sekalipun tidak memiliki mulut. Walaupun begitu, suara mereka terdengar sangat jelas olehnya. Nyatanya, perasaan mereka sebenarnya tidak jauh bedanya dengan manusia.

Cerita pendek[sunting]

Semua makhluk hidup tentu memiliki perasaan. Hanya tidak semua dapat menunjukkannya secara transparan. Hal itu dialami langsung oleh seorang anak perempuan berumur 10 tahun yang bernama Floret. Floret adalah anak yang cukup bijak di usianya. Sikapnya yang penyayang membuatnya sangat dikasihi oleh setiap orang yang dijumpainya.

Hari itu adalah hari yang sangat panas. Tuk! Floret menutup pintu mobil ayahnya sepulang dari sekolah.

“Siang ma,” Sapa Floret seketika membuka pintu masuk.

“Siang juga Let!” Ibunya menjawab dari ruangan sebelah.

Ia segera melepas sepatunya dan menyusunnya sejajar dengan garis-garis yang terdapat pada rak sepatu. Ia kemudian masuk ke kamarnya dan segera berbaring ke atas lantai yang dingin. Sungguh merupakan hari yang sangat panas. Keringatnya mulai menetes ke atas lantai abu-abu muda itu. Mendengar langkah kaki, Floret segera bangun dari lantai dan melihat ke arah pintu kamarnya.

“Let, jangan lupa siapkan baju untuk menginap di rumah kakek sebentar, ya.” Kata ibunya sambil berdiri di pintu.

“Baik ma. Habis mandi nanti Floret siapkan.”

“Oke. Ayah akan balik sejam lagi.” Imbuh ibunya.

Saat itu sudah sore dan mereka memulai perjalanan mereka menuju rumah kakek Obe yang jauh dari perkotaan padat itu. Dengan mata yang sayu, Floret melihat-lihat ke arah setiap pepohonan yang dilewatinya. Semuanya begitu indah dan cerah. Angin yang kencang mulai mengepang rambut Floret. Alangkah senangnya ia melihat pemandangan yang tidak bisa didapatkannya dari perkotaan. Setelah hampir dua jam, pucuk atap rumah berwarna biru cerah mulai terlihat.

“Saatnya bersiap untuk menyapa kakek dan nenek.” Katanya dalam hati. Ia turun dari mobil dan segera memeluk kakek dan neneknya. Hari itu, ia tidak melakukan banyak aktivitas karena merasa sangat lelah. Tidak lama setelah makan malam, Floret langsung beranjak ke tempat tidur.

Suara burung berkicauan mulai terdengar, menandakan hari yang baru. Floret meregangkan kedua tangannya ke atas dan segera turun dari tempat tidur. Menurut kebiasaannya, ia membuka tirai jendela untuk membiarkan cahaya masuk. Namun hari itu sudah cukup terang dan cahaya langit biru pun memejamkan matanya. Setelah merapikan diri dan makan pagi, Floret pun siap bermain di taman halaman belakang. Taman itu sangat besar dan dipenuhi dengan beragam tumbuhan. Dengan sepatu bot biru dan topi kakeknya yang hampir menutup matanya karena kebesaran, Floret melompat-lompat penuh girang. Di sana, ada sekumpulan bunga yang sangat indah. Bunga itu memiliki kelopak warna-warni seperti pelangi. Perlahan, Floret mengulurkan tangannya dan hendak memetik setangkai.

Tiba-tiba, bunga itu berteriak, “Ow!”

Floret jatuh ke tanah dengan pupil matanya yang membesar. “Ka-, Kau bisa bicara?”

“Kau bisa mendengarku?” Tanya balik bunga itu.

“I-, iya.” Kata Floret sambil menganggukkan kepalanya. “Maaf aku merusak kelopakmu.” Sambungnya sembari berdiri.

“Tidak apa-apa. Nantinya akan tumbuh yang baru.”

“Aku Floret. Kalau kamu siapa?”

“Aku Zinnia. Aku mudah tumbuh dan kupu-kupu sering datang menjengukku.” Seketika itu juga, seekor kupu-kupu terbang mengitari Floret dan menghinggapi salah satu kepala bunga itu. Warna sayapnya biru seperti laut saat cahaya matahari memancarnya. Floret senang melihat semua keindahan itu.

Tidak lama setelah itu, Floret pamit dan melanjutkan eksplorasinya. Tidak jauh dari situ, ia bertemu dengan bunga yang memiliki corak unik. Hayem … Terdengar suara bunga itu. Floret memberanikan diri untuk bercakap dengannya.

“Halo, aku Floret. Menurutku, corakmu sangat unik.”

“Oh, terima kasih Floret. Aku sering dipanggil Turnera.” Hayem ... Bunga itu menguap lagi.

“Kamu mengantuk?”

“Iya. Waktu sudah hampir siang hari dan aku harus kembali tidur sampai besok pagi. Aku tidur dulu ya, Floret.” Tidak sempat pamit balik, Turnera perlahan menutup kelopaknya. Floret pun akhirnya melanjutkan eksplorasinya pada bunga terakhir di taman itu. Ia berlutut ke atas rumput hijau dan memandang dekat bunga itu.

“Wah, warna ungumu sangat cantik.” Puji Floret sambil menyentuh bunga itu dengan jari telunjuknya.

“Terima kasih. Aku juga menyukai kaus ungumu.” Puji balik si bunga.

“Oh, terima kasih! Aku Floret.”

“Dan aku Petunia. Aku sangat menyukai hangatnya cahaya matahari.”

“Aku juga!” Sambung Floret. Setelah pamit, Floret pun kembali melanjutkan eksplorasinya.

Pada akhir perjalanannya, ia bertemu dengan sebuah pohon yang sangat besar. Dedaunannya sangat rimbun. Cabang-cabangnya menjadi tempat hinggap burung dari perjalanan melelahkan mereka. Floret kemudian duduk di bawah naungannya yang sejuk.

“Terima kasih pohon untuk naunganmu.”

“Kebahagiaanku, gadis kecil.” Jawab pohon besar itu dengan suara yang lembut.

“Oh ya, aku Floret.” “Tanjung. Itulah namaku.“

Floret senang bercakap-cakap dengan tumbuh-tumbuhan di taman itu, apalagi si Tanjung. Naungannya yang sejuk membuat Floret nyaman dan tenang. Sambil bersandar di akarnya, tiupan angin sepoi-sepoi mulai membuat mata Floret menjadi berat. Ia pun tertidur di bawah pelukan pohon besar itu. Dalam tidurnya, ia mendengar suara yang samar seperti sedang berbisik kepadanya.

“Gadis kecil, saatnya bangun. Hujan akan segera turun dan semua burung sudah kembali ke sarangnya. Saatnya kamu kembali juga.” Floret pun terbangun dan setetes air hujan jatuh ke pipinya. Dengan segera Floret lari ke dalam rumah.

Pada sore hari, saat hujan telah berhenti, Floret membantu kakeknya dalam merawat bunga-bunga itu. Kakek Obe membawa sebuah gunting bunga dan gembor warna merah cerah berisikan vitamin tumbuh-tumbuhan itu. Kakek Obe mulai mengarahkan guntingnya ke bunga-bunga itu dan hendak memangkasnya.

“Kek, jangan dipotong!” Seru Floret yang sedang berlutut di samping. “Nanti mereka kesakitan.”

“Lah, kalau tidak dipangkas malah mereka jadi lebih sakit. Kalau daun sudah tampak menguning dan bunga mulai layu, akan lebih lebih baik jika dipotong. Nanti yang lebih elok akan tumbuh lagi.” Kata Kakek Obe.

“Tidak apa-apa, Let.” Imbuh bunga itu juga.

“Baik kek.”

Setelah dipangkas, Floret pun menyiramnya dengan gembor. Bunga-bunga itu bernyanyi dengan riang di bawah siraman lezat itu. Suara nyanyian lembut nan merdu mereka menyukakan hati Floret. Di saat langit sudah semakin gelap, Floret pun pamit kepada mereka semua. Malam itu, hujan kembali turun. Kali ini, ia turun dengan sangat deras dan lama. Floret yang merasa rindu hanya bisa melihat teman-temannya itu sejauh dari jendela kamarnya.

Hari yang gelap itu pun lewat dan matahari mulai terbit. Cahayanya perlahan menerangi tirai jendela Floret.

“Saatnya bangun!” Katanya dengan penuh semangat.

Ia segera membuka tirai jendelanya, merapikan dirinya, dan sarapan bersama keluarganya. Segala sesuatu dilakukannya dengan tergesa-gesa. Floret tidak sabar ingin bertemu dengan teman-temannya itu. Ia keluar dengan langkah yang girang menuju halaman belakang rumah. Suasana sejuk merabanya. Ia menarik sehela napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan. Satu per satu tumbuhan di taman itu pun disapanya. Namun dengan seketika, tatapan wajahnya yang ceria itu langsung berubah. Alisnya miring ke atas dan matanya terbuka lebar. Semua bunga di taman itu telah rusak dan layu. Kelopak mereka berserakan di atas tanah yang berlumpur. Ia memanggil mereka satu per satu, namun tidak ada lagi yang menjawab. Tiba pada bunga terakhir, ia menguatkan dirinya.

“Petunia? Kau baik-baik saja?” Tanya Floret dengan cemas.

“Floret. Aku baik-baik saja, bahkan lebih baik sebenarnya. Aku sudah berusaha untuk mekar selama mungkin dan waktuku sudah lebih dari cukup.” Jawab Petunia yang sementara tergeletak di atas tanah dengan batang yang sudah layu.

Floret yang sedang menatapnya memanggil sekali lagi. “Petunia?” Namun sayangnya, tidak ada lagi suara yang menjawab. Semua tumbuhan di sekitar mengeluarkan suara samar penuh tangis. Suara yang tidak menyenangkan itu membuat bulu kuduknya berdiri.

Di antara suara-suara itu, terdengarlah suara yang lemah lembut bertanya, “Mengapa kamu bersedih sangat, gadis kecil?”

Floret yang langsung mengenal suara itu kemudian berjalan menuju si Tanjung. “Teman-temanku, Tanjung.” Floret mengerutkan dahinya.

“Setiap permulaan pasti ada akhirnya. Boleh sedih, tapi jangan kelamaan. Lihatlah di sekitarmu,” Floret memalingkan wajahnya ke arah taman yang besar itu. “Masih banyak hal baik yang dapat dilakukan selain bersedih. Carilah dan lakukanlah itu.”

Secepat mata berkedip, segumpal ide muncul dalam benak Floret. Hatinya yang tadinya sedih kembali merasa senang dan lega. Sebelum menyatakan idenya, ia pergi memeluk si Tanjung. Tanjung pun menggugurkan beberapa daunnya seperti salju yang turun saat musim dingin. Hal itu dipandang indah oleh Floret.

Ia kemudian lari memanggil kakeknya, “Kek, ayo kita tanam bunga lebih banyak!”

Kakeknya, si tukang kebun handal pun dengan senang hati membantu cucunya. Kali ini, mereka membuat taman itu lebih rapi dan cantik. Mereka juga menanam sebagian bunga-bunga itu di pot keramik warna-warni.

“Yay, Zinnia, Turnera, dan Petunia kembali teman-teman!” Seru rumput hijau dan pohon-pohon pendek di taman itu.

“Floret, terima kasih telah menanamku kembali. Karena kamu sudah baik, aku akan berusaha lebih keras lagi untuk menghasilkan bunga terbaik untukmu.” Ucap terima kasih bunga-bunga itu. Melihat kebaikan Floret, seluruh tumbuhan di taman itu bersukaria. Mereka berjanji untuk tumbuh dan tampil lebih elok lagi, serta memberikan udara yang sejuk kepada lingkungan itu.