Suara Yang Tak Terdengar

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis[sunting]

Keyra, mahasiswa ibu kota yang berusaha untuk tetap tegar dengan banyak kondisi yang membuatnya untuk memutuskan hal yang tak terduga

Pemeran[sunting]

  1. Keyra
  2. Cahyo
  3. Gavin
  4. Dara
  5. Liya
  6. Akira

= Lokasi[sunting]

Jakarta

Cerita Pendek[sunting]

Diam[sunting]

Dalam kota besar Jakarta yang sibuk, di balik panorama gemerlapnya, terdapat beban mental yang mungkin sulit terlihat. Mahasiswa di Jakarta tidak hanya menghadapi tekanan akademis, tetapi juga menghadapi tantangan mental yang cukup berat. Kehidupan cepat dan kompetitif menciptakan kondisi di mana mahasiswa terkadang merasa terpinggirkan.

Di balik senyuman dan tawa di kafe atau angkringan, terkadang ada perasaan kesepian yang sulit diungkapkan. Mahasiswa jauh dari keluarga dan teman-teman lama, menciptakan perasaan keterasingan yang mendalam. Mereka belajar untuk mandiri, tetapi terkadang, di tengah hiruk-pikuk kota, kehilangan rasa solidaritas dan dukungan sosial bisa menjadi tantangan. Pergeseran budaya dari kampung halaman ke lingkungan perkotaan juga dapat memengaruhi kesejahteraan mental. Beberapa mahasiswa mungkin merasa kewalahan oleh ritme hidup yang lebih cepat, lingkungan yang anonim, dan tekanan untuk selalu berhasil.

Beberapa di antara mereka mungkin merasa sulit untuk mengekspresikan perasaan dan ketidakpastian mereka. Dalam kehidupan yang sibuk, waktu untuk merawat diri terkadang terabaikan.

Begitu banyak tugas, ujian, dan tuntutan akademis lainnya dapat membuat stres menumpuk. Mahasiswa cenderung menghadapi tekanan untuk tampil sempurna, yang dapat mengarah pada perasaan rendah diri dan kecemasan.

Keyra duduk sendirian di dalam kelas yang sepi. Cahaya matahari yang menyoroti kursi kosong di sekitarnya seolah-olah menandai kekosongan yang tak terucapkan dalam keheningan ruang kelas yang terbuka lebar.

Sementara siswa lain bergembira dengan keceriaan yang biasa, Keyra merasakan sesuatu yang tak terungkap, suatu kesedihan yang mendalam dalam ruang yang seharusnya penuh dengan tawa dan interaksi.

Di kelas yang sunyi, Keyra duduk dengan ponselnya, matanya fokus pada layar yang menyuguhkan artikel mengenai seorang mahasiswa yang bunuh diri. Kedalaman kisah tragis itu menyita seluruh perhatiannya, memaksa dunianya berputar dalam laporan yang membayang-bayangi kesedihan.

Dia terbenam dalam cerita tragis itu. Setiap kalimat, setiap detail, menghadirkan gelombang emosi yang tak terbendung. Wajahnya tak tergerak, matanya terus bergerak membaca tanpa henti, tetapi pikirannya terombang-ambing di lautan kata-kata yang penuh luka. Seorang mahasiswa tewas setelah menjatuhkan dirinya dari lantai empat di kampus.

"Lo mau ikut ikutan?" celetuk seseorang tiba-tiba mengagetkan Keyra. Lelaki di depannya, Cahyo, bergeser tempat duduk, menyapa dengan senyum yang tak sepenuh hati.

Keyra dengan cepat mematikan layar ponselnya, suara itu membuatnya kembali merasakan ketakutan yang ia rasakan setiap kali bangun dari tidurnya. Rupanya lelaki itu memperhatikannya sejak tadi. Ponselnya ia letakkan dengan cepat diatas meja, segera ia menyembunyikan kedua tangannya yang bergetar di pangkuannya.

"Tugas gue gak lupa kan?" tanya lelaki itu tersenyum kecil.

Keyra mengangguk pelan kemudian mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya. Keyra menelan ludah, terdiam saat Cahyo mengambil makalahnya dengan ekspresi kesal. "Maaf," gumamnya lemah.

Cahyo membolak-balikan lembaran kertas yang ia ambil dari Keyra. Sorot mata lelaki itu sudah mulai tampak kesal. "Lah,gue kira lo beneran pinter." Lelaki itu berdecak kesal sambil melempar lembaran kertas di tangannya dengan geraman.

Keyra yang terkejut karena lemparan kertas-kertas di wajahnya memilih semakin menunduk, tidak mungkin ia berani menatap wajah lelaki itu sedangkan tubuhnya sejak tadi masih bergetar karena ketakutan.

Cahyo, lelaki itu menatap sebuah makalah milik Keyra di mejanya kemudian mengambilnya. Cahyo memukulkan makalah itu di wajah Keyra dengan penuh kekesalan. "Tugas gue seharusnya bentukannya kayak gini, kenapa malah lo tulis pakai tangan? lo bercanda atau gimana?"

Cahyo menunjukkan ekspresi marahnya yang tak tertahankan. "Gue kayaknya terlalu lembut deh ke elo" Cahyo menghela nafas panjang.

Ditatapnya kedua mata keyra dengan tatapan tajamnya yang siap mengamuk kapan saja.

"Dulu lo mintanya ditulis, maaf” Keyra mencoba mempertahankan diri.

“Lo bercanda apa gimana? hah?!” Cahyo berteriak keras kemudian menggigit bibir bawahnya menahan kesal sambil menendang bangku Keyra berkali kali untuk meluapkan kemarahannya.

Keyra meremas kedua tangannya, mencoba meredam teriakan dan kemarahan Cahyo untuk dirinya. Dia merasa tertekan, menyesali kesalahannya yang telah memicu amarah Cahyo. Dia terdiam, tak bisa berbuat banyak untuk meredakan situasi yang semakin memanas.

Di sekelilingnya, seperti panggung bisu. Itu adalah hal yang biasa. Setiap ia menunduk, semua orang memperhatikannya seolah mereka adalah orang yang paling peduli padanya, namun saat ia mengangkat pandangannya, semua orang pura-pura tak melihat dan tak mendengar.

Keyra terperangah, membalikkan pandangannya pada Cahyo yang sedang tenggelam dalam gelombang emosi. Diam-diam, ia berusaha keras menyembunyikan ketakutannya, matanya berupaya menatap mata Cahyo yang sedang dipenuhi amarah, mencari getaran emosi yang bisa meredakan situasi tegang itu.

"Lo jadi mahasiswa yang bermoral dikit napa!" sela seseorang tiba2. Cahyo merasa amarahnya dipadamkan oleh kedatangan mendadak seorang wanita yang dengan tegas menghentikan kejadian tersebut. Tatapan Cahyo mencerminkan ketidakpuasan, tetapi ia terdiam di hadapan wanita yang dengan cepat merebut makalah dari tangannya.

"Hari gini masih ngerisak orang, lo mahasiswa atau preman sih?!" lanjut wanita tersebut menatap Cahyo dengan tatapan tak terima.

Cahyo menggeleng kesal, tidak suka diinterupsi oleh kedatangan tak diundang.

Wanita itu, Dara, berbalik kearah Keyra. "Ini tugas lo?" tanyanya, membuat Keyra mengangguk pelan.

"Lo bikin gini doang gak bisa?" Dara menatap Cahyo dengan tajam, mencoba memperjelas sikapnya yang tegas.

Cahyo hanya diam, tidak bersedia terlibat dalam diskusi.

Dara berganti sikap dengan cepat, mendekati Keyra dengan tawa ceria sambil mendekatkan wajahnya kearah Keyra. "Keyra, gue udah kelihatan bestie banget kan di mata lo?”

“Wajah gue udah cocok belum jadi malaikat yang nyelamatin ni anak?" tanya Dara pada Cahyo sambil menahan tawa.

Cahyo membalas dengan celaan ringan. "Ratu drama lo,Dar" sanggah Cahyo.

"Anyway, Key. Mending lo tuli gak sih?karena kayaknya sia sia tuhan ngasih lo dua telinga tapi gak paham sama omongan cahyo." ucap Dara sambil menepuk pundak Keyra yang terdiam.

Sekilas Dara melihat layar ponsel Keyra yang berada diatas meja. Dara tersenyum kecil kemudian dalam sedetik wajahnya berubah menjadi serius. "Oh my God, lo baca apa tadi? mahasiswa bunuh diri? Keyy, Cahyo gak sejahat itu kan buat jadi alesan lo bunuh diri nanti?" Tanyanya penuh kekhawatiran palsu.

"Lo ulernya kocak" timpal Cahyo. Lelaki itu tahu benar, setiap kali Dara bersikap manis atau terlihat peduli, justru itu menjadi ketakutan yang paling besar bagi wanita itu, Keyra.

Liya yang sejak tadi duduk di bangkunya merasa terganggu, terlebih setelah ia mendengar kalimat yang diucapkan dara barusan. Liya mengepalkan kedua tangannya erat. Sungguh dia benar benar muak dan kesal. Gadis itu menahan erat genggaman tangannya, mata menoleh ke arah Keyra yang duduk jauh di belakangnya.

Keyra terdiam, tak menunjukkan perlawanan sedikit pun. Liya bingung dengan ketidakterlibatan yang terus dipertahankan oleh teman sekelasnya itu. Selama ini, Keyra selalu pasif, membiarkan Cahyo dan Dara bertindak sesuai keinginan mereka. Liya tahu, dirinya tidak memiliki ambisi untuk terlibat dalam urusan orang lain, namun pertanyaan yang menderu di benaknya menyiksa: Apakah diam adalah pilihan terbaik? Apakah pura-pura buta dan bisu adalah tindakan yang benar?

Cahyo bangkit dan mendekat ke arah Keyra. "Besok, kasih punya gue yang sama persis," desaknya. Dengan langkah mantap, Cahyo melangkah kembali menuju bangkunya.

Kita Sama Saja[sunting]

Seluruh mahasiswa sudah keluar dari kelas, berjalan menyusuri lorong menuju ruang kelas selanjutnya. Banyak orang yang saling berceloteh menggambarkan dinamika hubungan di antara teman sekelas mereka.

Akira, dengan nada geram, melontarkan rasa frustrasinya terhadap Dara yang tadi pagi memunculkan aksinya.

"Lo lihat tadi si nenek lampir ketawa gak berdosa ke Keyra?rasanya pingin gue datengin terus gue jambak sampe botak!" ucapnya dengan amarah.

Liya, dengan kepala sedikit miring, mendengarkan percakapan itu. "Terus kenapa gak lo datengin?" tanyanya tenang, mencoba memahami situasi.

"Lo tahu sendiri, gue kayak lo, gak berani," Akira menjawab dengan kekecewaan terhadap dirinya sendiri. Liya hanya mengangguk paham.

"Mending lo ngurusin nilai lo deh, kasian otak pinter tapi malesnya kebangetan" saran Liya sambil tersenyum kecil.

Akira mencibir kecil, walaupun tahu kalimat itu tidak menyakitinya. Tentu ia sadar betul tentang bagaimana kondisi dirinya.

Perbincangan mereka berlanjut, membicarakan Gavin yang terlihat tidak terlibat dalam perilaku bullying padahal dia adalah teman dekat Cahyo dan Dara. Akira memperhatikannya di kelas. Bagaimana saat Cahyo dan Dara mendekati Keyra untuk memberinya pelajaran, Gavin hanya diam tak peduli terhadap kedua temannya. Bagi Akira, Gavin adalah sosok yang keren, dia tidak ikut andil dengan perbuatan yang dilakukan kedua teman dekatnya.

Namun, Liya melihat situasi itu dengan pandangan yang lebih kritis. "Gak ada yang keren kalo dia biarin dua temennya kayak gitu," ucapnya tegas.

"Sama aja kayak lo dong" ucap Akira menyuarakan pikiran tanpa berpikir panjang.

Liya terhenti. "Lo temen gue atau temen mereka bertiga?" tanyanya dengan nada yang menekan, menyoroti kesetiaan wanita disampingnya.

Namun, Akira tetap pada pendiriannya. "Gak ada salahnya lo gak deket tapi bantuin Keyra, ya itu berlaku buat gue juga. Cuman bedanya gue gak seberani elo," tambahnya, mengungkapkan keraguannya untuk bertindak.

Liya terdiam mendengar kata-kata Akira, menyadari Akira tengah menggunakan logikanya yang tajam di momen yang seperti ini. “Giliran begini, otak lo dipake,” ucap Liya dengan nada serius sebelum segera beranjak pergi, meninggalkan Akira yang terdiam dalam kebimbangan.

Di tengah itu semua, Liya dan Akira merenung, mencari makna yang sesungguhnya dari kata-kata yang telah terlontar, berusaha menemukan keseimbangan yang benar di antara moralitas dan kesetiaan pada teman.

Tidak Ada Uluran[sunting]

Keyra masuk ke dalam kelas dengan hati yang berdebar kencang. Di sudut ruangan, tiga sosok duduk menanti kedatangannya. Cahyo dan Dara tersenyum, merayakan keberhasilan umpan yang sudah mereka atur.

"Tolong, ambilin bolpoin gue yang jatuh, Key," pinta Cahyo sambil menunjuk ke bolpoin yang bergelatak di lantai.

Keyra tahu permainan mereka, terlebih ketika tidak ada mata yang melihat, mereka tidak akan segan melakukan segala aksi yang sudah mereka persiapkan. Tapi mau tidak mau, ia harus mengikuti permainan kotor ini, sekalipun dan pasti itu akan sangat menyakiti dan menghancurkannya.

Keyra dengan ragu berjalan mendekati bolpoin itu. Bolpoin itu terjatuh di dekat bangku dimana Gavin sedang duduk menikmati kesendiriannya. Kali ini mungkin dia bisa sedikit lebih berani? Ada Gavin, lelaki itu tak pernah menyakitinya selama ini, walaupun sejujurnya dengan diamnya ia sudah merasa sakit.

Sebelum dia bisa meraihnya, sepatu Gavin menginjak telapak tangannya dengan sengaja. Keyra menoleh ke atas, mencari kepastian dalam tatapan Gavin yang tetap diam tak bersuara. Bercanda? sepertinya tidak, Cahyo dan Dara yang sedang berdiri juga terlihat terkejut dengan aksi yang dilakukan Gavin. Apakah kali ini Gavin akan menyakitinya juga?

Keyra berusaha menarik tangannya, namun injakan Gavin semakin dalam, memperparah rasa sakit yang ia rasakan. Cahyo dan Dara hanya tertawa kecil, menggambarkan bahwa kali ini, Gavin benar-benar bersedia melakukan sesuatu yang seharusnya ia lakukan sejak dulu.

"Vin, sepatu lo," desah Keyra dengan suara lemah, berharap Gavin akan merasa bersalah.

Namun, tatapan tak suka dari Gavin membuatnya menelan salivanya. Rupanya kali ini Gavin tidak sedang bercanda, "Lihat? Lo bahkan gak bisa ngelawan," timpal Gavin dengan nada sinis.

Rasa kesal memenuhi Gavin saat dia menghela nafas. Dia bangkit dari tempatnya, meninggalkan Keyra dengan rasa sakit yang tak tertahankan.

Rasa sakitnya semakin menjadi saat Gavin mulai berdiri, menempatkan seluruh beban tubuhnya di telapak tangan Keyra kemudian berpindah ke bangku yang dekat dengan pintu.

Keyra berteriak kesakitan, kali ini bukan hanya rasa sakit dari injakannya, namun karena sikap Gavin yang terlihat tidak merasa bersalah.

Tatapan Cahyo dan Dara seolah mengukur keberhasilan kekejaman yang dilakukan Gavin. Mereka terkesan dengan cara Gavin menginjak harga diri Keyra.

Keyra memegang lengan meja untuk menopang dirinya yang terasa lemah. Dia berusaha menahan rasa sakit yang menusuk telapak tangannya. Rasa putus asa mulai menyergapnya saat dia menyadari bahwa tidak ada yang akan membela dirinya. Rasa sakitnya, baik fisik maupun emosional, menjadi lebih menyakitkan karena sikap mereka.

"Demi apapun ya, Key. Sebenarnya gue suka sama lo, tapi entah kenapa gue juga benci sama lo, kenapa ya?" tanya Dara, suaranya penuh kebingungan.

Cahyo tanpa ampun menambahkan, "Lo itu pinter, Key, tapi kayaknya cuma lo doang yang pinter, rasanya pingin gue jadiin lo bangku.”

Tanpa belas kasihan, dia menendang bangku di sebelahnya hingga jatuh keras ke lantai. Dia memisalkan Keyra sebagai bangku tersebut dan sengaja menambah rasa takut Keyra.

Keyra menutup matanya terkejut, suara bangku yang ditendang Cahyo barusan berhasil membuat bulu kuduknya berdiri tegak.

"Lo gak mau ngasih wejangan buat dia? ucap Cahyo menoleh ke Gavin, diamnya menyeruak dengan jelas.

Gavin tetap asyik dengan ponselnya, tidak peduli dengan situasi di sekitarnya.

Dara tersenyum penuh arti pada Cahyo, merangkul lengan Keyra, membawanya kearah jendela besar yang ada di dalam kelas. "Lihat ke bawah, Key," ucap Dara, menunjuk ke arah lantai.

"Kayaknya kemarin-kemarin lo terobsesi sama hal kayak gini deh," lanjut Dara, mencoba memberikan pembenaran.

"Di kampus kita, belum pernah ada,kan?" Cahyo menyela dari belakang.

Keyra menangkap seriusnya ucapan Cahyo, berharap akan ada penyesalan di mata Cahyo. Namun, tatapan harapannya pupus saat Cahyo menyambutnya dengan senyum penuh antusiasme. Dara menangkap sisi gelap dari situasi itu, menahan tawa.

"Bercanda, Key. Lagian, kalau lo mati, itu karena penyakit," ujarnya tajam dengan senang melihat raut ketakutan di wajah Keyra.

"Penyakit mental" ucap Dara kemudian melepas tawanya, senang melihat ekspresi ketakutan yang keluar dari wajah Keyra.

"Kenapa kalian benci gue?" tanya Keyra tiba-tiba, suaranya terdengar lemah.

“Gimana?” tanya Dara berpura pura tak medengar.

“G-gue udah kasih makalahnya,” ucap Keyra mencoba menahan suaranya yang terus bergetar.

Dara terlihat berpikir sejenak, "Mungkin karena gue ngerasa wajah lo itu nyebelin, dan lo terlalu sok pintar," jawab Dara terlihat jujur.

Keyra berusaha mencari keberanian untuk menatap Cahyo, mencari sinyal kebaikan di antara ekspresi kasar Cahyo. Namun, Cahyo hanya menggelengkan kepala dan berkata, "Gue ngelihat lo kayak bangku."

Keyra mengalihkan pandangannya ke arah bangku yang tadi telah ditendang hingga jatuh oleh Cahyo.

Dari sudut pandangnya, kejadian itu terasa menyakitkan dan merendahkan. Sudah jelas bagaimana Cahyo menganggapnya.

Keyra merasakan gemetar di kedua tangannya. Puncaknya, kapan seharusnya dia memulai perlawanan? Namun, bahkan dari titik terdalam hatinya, keberanian itu tidak tumbuh. Mungkinkah saatnya bagi dirinya untuk mengubah segalanya? Meskipun begitu, terbayang betapa merendahnya dirinya saat ini. Dia melihat Dara yang berdiri di hadapannya, tersenyum seolah barusaja menangkap hewan buruannya.

"Lo cuma perundung yang gak tahu diri!" Keyra bereaksi, mendorong tubuh Dara dengan cepat ke belakang. Dengan gerakan yang tiba-tiba, ia meraih rambut panjang Dara dan menariknya dengan keras. Marah dan terhina, dia merasakan ledakan emosi yang menguasainya.

Cahyo, terkejut dengan tindakan Keyra, segera berusaha melerai mereka. Namun, responsnya tidak terduga. Dengan gerak cepat, Cahyo mendorong tubuh Keyra hingga tersungkur, dan dengan penuh kemarahan dia menginjak telapak kaki Keyra.

"Berani banget lo nyerang Dara!" Cahyo memekik dengan marah.

Rasa sakit menusuk telapak kakinya, namun Keyra menahannya. Di dalam hatinya, dendam dan kebencian muncul melihat perlakuan yang tidak adil ini. Semua keputusan yang ia ambil saat ini, memunculkan kekecewaan yang mendalam terhadap mereka.

Saat tubuhnya terhempas ke lantai dan rasa sakit menusuk telapak kakinya, Keyra merasakan getaran emosi yang campur aduk. Ia merasakan kemarahan yang membara dan kebencian yang memenuhi hatinya. Perlakuan mereka membuka pintu untuknya merasakan kebencian yang sangat.

Dia memandang Cahyo dan Dara dengan tatapan penuh keteguhan. Meskipun dia merasakan rasa sakit yang menusuk tubuhnya, ia memilih untuk berdiri tegak.

Keyra mengangkat pandangannya, tatapannya tak lagi penuh dengan ketakutan atau penyesalan. Ia berdiri tegak, menemukan sedikit keberanian dalam keheningan yang mendalam.

Dengan langkah gemetar, Keyra perlahan meninggalkan ruangan itu. Dalam langkah-langkah yang berat, ada keberanian yang baru ditemukannya. Dia tidak ingin menunjukkan betapa lemahnya dirinya di depan mereka. Dia memilih untuk pergi, tidak ingin menjadi sasaran permainan mereka lagi. Perjalanannya meninggalkan ruangan itu diwarnai oleh langkah-langkah yang berat. Bahkan saat matanya yang tak sengaja bertatapan dengan sorot mata dingin milik Gavin, dia memilih untuk tak peduli.

Hanya Ada Tempat Kosong[sunting]

Keyra menatap cermin di toilet, melihat bayangan dirinya dengan tatapan kosong. Matanya, refleksi dirinya, menyampaikan kekosongan dan kehampaan yang tak terkira. Kehancuran dalam pikirannya muncul dengan jelas. Apa yang harus dilakukannya? Ini adalah kali pertama dalam hidupnya dia merasa diinjak-injak dengan begitu rendah.

Namun, ia tak bisa membagikan pengalaman ini kepada siapa pun. Semakin yakin bahwa dalam dunia ini, dia terdiam sendiri dalam kekosongannya.

"Keyra!" teriakan itu tiba-tiba membuyarkan ruang hampa di toilet. Seorang wanita masuk tanpa aba-aba, merebut tas Keyra yang ditaruh di dekat kaca. Dalam sekejap, lembaran makalah terlihat terjatuh dari dalam tas.

"Lo bisa-bisanya ngelawan gue?! Lo cari mati atau gimana sih?!”ujar Dara dengan penuh amarah, menghantam Keyra dengan kata-kata kasarnya. Dirinya mengejar Keyra setelah sadar wanita itu mendorong tubuhnya dan menjambak rambut miliknya dengan berani.

Tanpa izin, Dara merobek-robek makalah itu di hadapan Keyra. Keyra terkejut, berusaha merebutnya kembali, namun Dara menunjukkan kegigihannya dan semakin mengekspresikan kemarahannya. Robekan-robekan itu dia lemparkan ke arah wastafel, lalu sengaja menyalakan keran air, menunjukkan betapa mendalamnya rasa bencinya.

Keyra tidak bisa berbuat banyak. Wajah marah Dara sudah membuatnya ketakutan.

"Seharusnya kalo lo pinter, lo diem aja! gak usah sok ngelawan gue!" ucap Dara dengan tegas, menciptakan gejolak emosi lebih dalam di dalam Keyra.

Keyra mencoba membangkitkan dirinya sendiri dari keadaan terjepit. Tangannya terulur untuk menyelamatkan lembaran makalahnya yang sudah sobek dan terkena aliran air yang deras. Tidak bisa, makalah ini akan dikumpulkan di kelas selanjutnya. Keyra tahu betul bagaimana kerja kerasnya untuk membuat tugas itu di tengah gempuran kedua orang itu.

Namun, tangan Dara lebih cepat menangkap dan meremas tangan Keyra dengan begitu erat, memaksa Keyra merengah kesakitan. "Gak usah berlagak! Lo ga bisa berani sama gue," desak Dara dengan kejam.

Dara terus menunjukkan dominasinya, menunjukkan betapa lemahnya Keyra di hadapannya. Ia merasa sendirian, dihantui oleh rasa takut yang memenuhi ruang pikirannya.Tapi di tengah-tengah ketakutan, ada perasaan kebencian terhadap ketidakadilan yang dirasakannya.

“Dara!!” Liya memasuki toilet dengan langkah cepat.Melihat Dara dan keyra di sana, ia segera melangkah cepat ke arah mereka. Dengan tegas, Liya menghempaskan tangan Dara dengan kasar, memperlihatkan ekspresi garang di wajahnya.

"Berhenti berlagak jadi setan, Dar!" serunya, matanya menyala garang. Dara, yang merasakan kesakitan pada tangannya, menatap Liya dengan tatapan tak suka sebelum akhirnya berdecis.

"Sekarang lo nambah orang buat lo susahin ya?" Dara pergi, meninggalkan Liya dan Keyra di belakang dengan wajah yang tertunduk.

Sementara itu, Akira, yang sedang berlari menuju toilet, melihat Dara sedang keluar dengan wajah yang kesal. Dalam kecepatannya, mereka bertabrakan keras. Suara benturan bahu mereka menggema, menunjukkan betapa sengaja tabrakan itu dilakukan oleh Akira. Ini merupakan peringatan keras bahwa kelakuan Dara sudah melewati batas.

Dara menatap tajam Akira tak suka, namun ia tidak peduli dan melanjutkan langkahnya karena sudah dikuasai rasa amarah dan kesal.

Keyra, yang menyaksikan insiden itu, segera sadar dengan situasi. Ia bergegas mendekati wastafel dan mematikan keran air yang telah dinyalakan Dara. Dengan cepat, ia mengambil lembaran-lembaran kertas miliknya yang sudah terkena hujan air dari keran yang tadi dinyalakan, menyebabkan tinta pada kertas-kertas itu mulai pudar.

Dalam keadaan hati yang campur aduk, Keyra memegang kertas-kertasnya yang telah tercemar air. Ia merasakan perasaan campur aduk dari kegelisahan dan keteguhan dalam dirinya. Terlepas dari segala kekacauan yang terjadi di toilet itu, ia merasa harapannya mulai pupus. Dia tidak memiliki tugas yang seharusnya ia kumpulkan hari ini. Barusaja semua itu hilang di depan matanya. Meskipun terasa sia-sia karena kertas-kertasnya telah terkena air, Keyra tetap memegangnya erat-erat.

Liya melihat wajah Keyra yang penuh kekhawatiran, siap memberikan bantuan. Namun, Keyra menolak bantuan yang ditawarkan olehnya dengan menahan tangan Liya yang hendak membantu.

"Keyra, lo gakpapa? Dara yang ngerobek ini semua?" tanya Akira begitu tiba di tempat itu, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

Dengan pandangan tajam, Liya memicingkan matanya, memberikan isyarat kepada Akira untuk berhenti bicara atau bertanya lebih lanjut. Dia merasa bahwa momen ini membutuhkan kehati-hatian dan bahwa Keyra mungkin tidak ingin membicarakannya.

Keyra, dengan langkah yang lemah, bergegas keluar sambil membawa lembaran-lembaran kertas basah yang terkena air.

Akira hendak menyusul Keyra, ingin mengetahui lebih lanjut atau memberikan bantuan, namun Liya dengan lembut menahannya, menggelengkan kepala sebagai isyarat untuk menahan diri. Meski dirinya juga ingin membantu atau mengetahui apa yang terjadi, Liya menghormati keputusan Keyra untuk pergi tanpa harus diikuti atau ditanyai lebih lanjut.

Keyra melangkah keluar dari ruangan itu, namun kalimat yang baru saja diucapkan oleh Dara masih bergema di pikirannya. Apakah benar dia menjadi beban bagi orang lain? Pertanyaan itu menggelayut dalam benaknya, merangsang pertimbangan dan refleksi yang mendalam.

Di belakangnya, Akira dan Liya memilih untuk melangkah lebih lambat, memberikan ruang dan waktu untuk Keyra merenung. Mereka tidak ingin mengganggu atau menekan dengan pertanyaan-pertanyaan. Dalam ketenangan, mereka memutuskan untuk memberikan ruang kepada Keyra untuk menyusun pikirannya sendiri.

Liya dan Akira sudah masuk ke dalam kelas. Keyra memilih pergi, dan berniat untuk tidak masuk ke dalam kelas. Langkahnya terlalu berat untuk menampakkan wajahnya yang sudah tak beraturan, walaupun ia tahu dengan jelas, orang-orang tidak akan peduli dengan apa yang menimpanya.

Tanpa aba-aba air matanya mengalir dengan lembut di kedua pipinya. Kini dia tidak lagi menahan rasa sakitnya, ia tumpahkan segala rasa sakit dan penghinaan yang menimpa dirinya. Kekuatan dan ketegaran yang selama ini ia bangun runtuh seketika.

Isak tangisnya mulai terdengar sepanjang lorong. Orang-orang yang berlalu lalang tentu saja memperhatikannya, namun tidak ada satupun yang mendekat. Keyra tahu betul, dirinya bukan sosok yang paling menyedihkan disini, ada banyak orang yang memiliki lebih banyak penderitaan di hidup mereka. Tapi apa ia tidak boleh merasa tidak adil? tidak ada satupun yang mengerti dan mau memahami bagaimana kondisinya.

Isak tangisnya semakin kencang, nafasnya tersengal karena berusaha menahan tangisnya agar segera mereda, tapi sama saja, sekelibat bayangan masa-masa menyedihkan itu muncul, membuatnya semakin mengencangkan tangisannya. Dia tidak berani mengangkat wajahnya, bahkan kini semua mata yang melihat kearahnya akan menambah luka dan penghinaan untuknya.

Wajahnya ia gerakkan kearah kanan, masih dengan bersembunyi diantara kedua lututnya yang ia tekuk. Matanya kini tertuju pada seorang lelaki yang berjalan meninggalkan lorong. Keyra menatap lelaki itu tak berkedip ,dengan penuh keberanian, Keyra berjalan mengikuti langkah lelaki yang ia lihat baru saja.

Kedekatan Yang Beracun[sunting]

Keyra membuka pintu menuju balkon gedung dengan perasaan yang terbebani. Wajahnya tampak lelah, matanya yang sembab dan terlihat setelah menangis barusaja. Pandangannya tertuju pada seorang lelaki yang berdiri di balkon, mengisap rokoknya sambil menyandarkan lengan ke beton balkon.

"Lo masih mau diem?" tanya Keyra, suaranya ia buat agar tetap tegar. Namun, lelaki itu tidak menoleh. Tatapannya masih mengarah ke langit-langit dengan ekspresi yang datar, seolah sedang melayang di dunianya sendiri.

"Lo harusnya ngelawan," ucap lelaki itu singkat, suaranya penuh dengan ketegasan.

Keyra terkejut mendengarnya. Tatapannya yang tak percaya mengungkapkan kebingungannya atas kata-kata tajam yang baru saja diucapkan lelaki itu.

"Mereka temen lo, tapi lo pura-pura gak kenal gue dan biarin mereka ngerisak gue."

"Keyy..." potong Gavin sambil kemudian mengepulkan asap rokok dari mulutnya.

"Lo keluarga gue, kita keluarga," potong Keyra dengan cepat, mencoba mempertahankan posisinya.

Namun, Gavin, lelaki di sana, tertawa renyah. Dia memandang Keyra dengan ekspresi kasihan, seolah melihat seseorang yang butuh diberi pengertian.

"Gue gak nganggep begitu."

"Orangtua lo kacau, mereka sumber masalah di keluarga besar. Dan lo juga kacau di kampus,” lanjut Gavin.

Keyra merasa amarahnya meluap, namun dia menggigit bibir bawahnya untuk menahannya. Air matanya hampir saja menetes lagi, terutama setelah melihat bagaimana Gavin tampak acuh tak acuh, memandangnya seakan dia wanita yang perlu dikasihani.

Gavin melangkah mendekat, menatap wajah Keyra dengan seksama. "Di rumah lo gak bisa ngelawan. Setidaknya di sekolah lo bisa ngelawan. Dan lo gak mau, bahkan gak mampu."

Gavin menghela nafas panjang, memutar tubuhnya dan berjalan pergi memunggungi Keyra.

Gavin menghentikan langkahnya , menoleh sebentar ke arah Keyra. "Jangan mati"

"Lo gak bisa terus-terusan nyusahin orang." Dia kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan wanita itu lagi, untuk kesekian kalinya.

Keyra mengepalkan kedua tangannya dengan erat, menahan emosinya yang ingin meledak. Nafasnya tersengal, memprotes kelemahan dirinya yang terus tertekan dalam situasi yang tak kunjung membaik.

Dia membiarkan tubuhnya terduduk di lantai balkon, rupanya kata kata yang berasal dari lelaki tadi lebih membuatnya merasa hancur dan terhina. Apakah uluran tangan di mata semua orang terdengar sangat menyusahkan?

Sementara itu, Gavin menoleh sekali lagi ke arah balkon. Ekspresinya penuh kegelisahan, namun keputusannya sudah dibuat. Dia merasa terbebani atas keadaan Keyra, tetapi juga merasa bahwa kata-kata yang diucapkannya merupakan kebenaran yang harus dihadapi oleh Keyra sendiri.

Bukan Hanya Obat[sunting]

Keyra hampir mencapai lembar terakhir di jurnalnya. Lembar-lembarnya sudah hampir tak berisi tulisan, lebih banyak dipenuhi oleh gambar-gambar abstrak yang mencerminkan kekacauan yang ada dalam pikirannya. Dalam coretan hitam yang memenuhi kertas putih, ada kecemasan, kebingungan, dan rasa sakit yang terpancar.

Bagi Keyra, coretan-coretan itu merupakan cara untuk meredakan beban yang terlalu berat untuk dibawa seorang diri. Tidak hanya kebencian terhadap orang lain, tetapi juga kebencian yang semakin membesar terhadap dirinya sendiri. Di antara gambar-gambar abstrak, terdapat kata-kata yang terpencar dalam berbagai arah, mencerminkan kekacauan pikirannya. "Gue bodoh," "Mati," "Surga neraka?," "Kill me," "Heal me." Kata-kata itu seperti teriakan dalam keheningan, mencerminkan pertarungan batin yang sedang dialaminya.

Keyra merasa terperangkap dalam labirin pikirannya sendiri. Tulisan-tulisan dan gambar-gambar itu bukan hanya sebuah ekspresi, tetapi juga sebuah permohonan bantuan. Dalam kekacauan yang dia rasakan, dia merasa terasing dan tidak dimengerti.

Di tengah keheningan ruangan, terdengar suara langkah kaki yang mendekati. Seiring dengan perlahan, Akira bergeser ke kursi kosong yang ada di depan Keyra. Dari saku bajunya, ia mengeluarkan sebuah hansaplast dan mulai membuka bungkusnya, menatap Keyra dengan penuh perhatian.

"Harus diobati," celetuknya tiba-tiba, seakan memberi sinyal bahwa ia memiliki solusi untuk melawan kekacauan di hadapan mereka.

Tanpa ragu, Akira menempelkan plester itu ke coretan hitam yang menghiasi kertas milik Keyra. Tindakannya tersebut terlihat sepele, tetapi memiliki arti yang dalam bagi mereka. Seolah-olah plester itu bisa menyembuhkan lebih dari sekadar goresan di kertas, sebagai simbolisasi dari usaha mereka untuk mengatasi masalah yang terpendam.

"Nah, udah,” ujarnya sambil menyematkan plester itu. Ekspresi di wajahnya penuh dengan semangat dan keinginan untuk membantu.

“Kita bisa sembuh bareng-bareng, kan?” lanjut Akira meminta persetujuan pada Liya yang berjalan mendekat. Dia mengangguk memberikan persetujuan pada tindakan Akira.

"Iya, bisa kok," ujarnya dengan mantap, memberi Keyra keyakinan bahwa mereka berdua ada di sana untuk mendukungnya.

Keyra menatap kedua wanita di hadapannya, menangkap aroma kebaikan yang mereka tawarkan.

"Maaf kalau Akira agak cringe, tapi kita serius soal omongan kita," ungkap Liya, mencoba membuka hati Keyra yang terlihat masih tertutup.

"Lo cerita ke kita aja gakpapa, gue bisa bikin lo seneng-seneng," ujar Akira penuh semangat, berusaha menawarkan bantuan dan dukungan yang tak terbatas.

Sambil memberi isyarat dengan menyenggol bahu Liya, Akira menjelaskan lebih lanjut, "Kalo dia bakal ngasih banyak nasehat dan support lewat omongan ke elo."

Keyra mengangguk pelan, merasa terharu dengan tindakan mereka yang tulus ingin membantunya. Senyum kecil terukir di wajahnya, akankah setitik harapan mulai menyinari kegelapan yang menghimpitnya?

Senyum di wajah Keyra menjadi tanda terima kasih tanpa kata-kata. Membuat kedua wanita di depannya saling menyenggol bahu karena merasa telah membuat seorang Keyra tersenyum.

Bisakah Aku Kembali?[sunting]

Akira berlari dengan nafas terengah-engah, mata cermatnya memeriksa keramaian di lokasi yang dituju. Terdengar derap kaki yang semakin cepat, kekhawatirannya menggeliat dalam dirinya, berharap semua pikiran buruknya hanya ilusi.

Namun, betapa terkejutnya dia melihat apa yang terjadi. Keadaan yang selama ini dia takutkan, kini menjadi kenyataan. Kedua matanya membelalak, tak mampu menyembunyikan kekagetannya. Kaki-kakinya tiba-tiba terasa lemah, sulit untuk bergerak, dan dia terdiam, terperangkap dalam keheranannya. Ingatannya berputar, memutar ulang setiap kejadian akhir-akhir ini. Semua terjadi dalam keheningan yang memilukan.

Senyuman yang pernah ada, bahkan saat itu pun masih terpatri dalam ingatannya, tapi kini menyebabkan rasa sakit dan sesak yang mendalam.

Suara yang terdengar di antara kerumunan menyadarkan Akira dari lamunannya. Dia menoleh ke sumber suara, menemukan tiga mahasiswa di belakangnya.

Cahyo dan Dara tampak terkejut, bercampur dalam diskusi yang membingungkan. Namun, Gavin, tanpa ragu, bergerak cepat menuju kerumunan orang yang terhimpun.

Di antara keriuhan orang-orang, terdengar suara-suara yang tercekat. Rasa cemas semakin memenuhi pikiran Akira. Ia merasa seolah waktu berhenti, dan dia tak bisa berbuat apa-apa. Detak jantungnya semakin cepat, kini bahkan air matanya mengalir tanpa suara.

Trotoar yang seharusnya menjadi tempat berlalu lalang para mahasiswa pagi ini, sekarang tampak kosong dan sepi. Garis kuning polisi masih terpasang kuat disana, orang orang semakin ramai mengerubungi trotoar itu. Siapapun bisa melihat bekas darah yang masih menempel walaupun sudah dibersihkan. Kini, tanah itu hanya menjadi saksi bisu atas kejadian tragis yang telah terjadi di sana. Polisi telah melakukan evakuasi terhadap korban sejak malam tadi, dan area itu terlihat sunyi tanpa tanda-tanda aktivitas apa pun. Sebab kematian sudah ditemukan, dan polisi telah mengalihkan kasus itu ke tim forensik untuk penyelidikan lebih lanjut.

Gavin berdiri diantara kerumunan, memandangi tanah kosong itu. Suara bisikan-bisikan terdengar di sekitarnya, tercampur antara rasa kasihan dan kecaman. Orang-orang berbicara dengan nada yang terasa begitu berat di telinganya, mengomentari situasi yang telah terjadi.

Tidak, bukan ini yang seharusnya terjadi.

Di sisinya, Liya, wanita yang tak lama bergabung dalam lingkaran ini, menyuarakan pandangannya dengan tegas.

"Padahal bentar lagi, gue bisa ngelihat senyumannya tanpa rasa takut lagi," ucap Liya dengan suara lirih, namun juga terdapat lapisan kesedihan di dalamnya.

Gavin menoleh, terkejut dengan kehadiran Liya di sampingnya. Tatapan tajam Liya menembus ke dalam dirinya, merasuki jiwanya dengan berbagai pertanyaan yang tersembunyi di balik sorot matanya yang intens.

"Gue baru tahu, ternyata lo saudara Keyra?" Liya bertanya lagi, suaranya terdengar tajam, seolah mencari kebenaran di balik setiap perkataan.

Gavin terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Liya. Keyra, nama yang memicu gelombang emosi di dalam dirinya. Kepedihan terasa semakin dalam setiap kali namanya disebutkan. Dia tak bisa mengabaikan rasa sesal yang membeku di hatinya. "Gue gak sadar seberapa sakitnya dia," bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada Liya.

"Lo tahu, dengan diamnya lo, itu udah cukup untuk ngebuat lo jadi jahat, Vin," Liya menegaskan dengan suara yang tegas, menunjukkan pandangan merendahkannya pada Gavin. Dia memandangnya dengan campuran antara kekecewaan dan ketidaksenangan yang mendalam.

Gavin merasakan tekanan dari pandangan Liya yang tajam. Rasanya seperti berhadapan dengan secercah kebenaran yang sulit diterima. Kata-kata itu menusuk ke dalam hatinya, mengguncang pangkalannya. Meskipun terasa pedih, ia tak bisa menyangkal kebenaran di balik setiap poin yang disampaikan Liya.

Liya memutuskan untuk pergi, meninggalkan Gavin dengan kebingungan dan kekosongan di hatinya.

Terdiam sendiri, Gavin terus memandang tanah yang kosong. Dia merenung, memikirkan tentang semua yang telah terjadi, kehilangan yang begitu besar, dan pertanyaan yang terus mengganggunya. Matanya menatap ke arah yang kosong, memikirkan bagaimana semuanya bisa berubah begitu cepat.

Begitu banyak yang ingin ia ungkapkan, tapi kata-kata terasa tak mungkin keluar dari bibirnya. Rasa sesal yang dalam semakin menggelayuti dirinya, membuatnya merasa seakan tenggelam dalam gelombang penyesalan yang tak terkira.

"Seharusnya gue gak ninggalin, lo."

Kata-kata itu seperti gema yang tak henti bergema di relung hatinya, membawanya terperangkap dalam pusaran penyesalan. Dia terus memutar ulang momen itu di kepalanya. Kenangan tentang detik-detik terakhir bersama seseorang yang ternyata sangat berarti baginya. Kata-kata yang tak bisa dia putuskan, yang menghantuinya seolah menjadi mantra penyesalan.

Gavin menutup matanya dalam upaya menyingkirkan memori itu, namun rasa sesalnya tak pernah berkurang. Ia terus menyayangkan keputusan yang dianggapnya salah. Mungkinkah segalanya akan berbeda jika ia melakukan sesuatu yang berbeda di saat itu?

Akira, dengan tatapan tajam dan serius, menegaskan ancamannya kepada Cahyo dan Dara, menggertak mereka dengan konsekuensi serius atas tindakan mereka.

Cahyo dan Dara menatap Akira dengan campuran rasa takut dan ketidakpercayaan. Mereka terdiam, mencoba menemukan kata-kata yang tepat, tetapi teguran Akira mengikis segala kemungkinan pembelaan. Terbukti dari ekspresi wajah Akira yang menunjukkan keputusasaan atas tindakan mereka.

Dara, dengan suara yang bergetar, mencoba membela diri. "Kita gak bermaksud untuk ngebuat dia ngelakuin hal itu.” Akira mengangkat bahu dengan dingin. "Ketika lo nekan seseorang, lo juga harus tanggung jawab sama yang tejadi. Kalian udah ngehancurin seseorang dan bahkan lo nyanggah."

Cahyo mencoba untuk membela diri, tetapi kata-katanya terputus-putus. "Kita gak bisa ngontrol reaksi orang lain."

"Semua orang juga tahu kelakuan kalian!," tegas Akira, tidak memberi ruang untuk alasan. Tatapannya menembus, membuat Cahyo dan Dara merasa seperti tersandera oleh keputusasaan mereka sendiri.

"Gue pastiin kalian bertiga dikeluarin dari kampus ini," ucap Akira serius.

"Gue gak bikin dia bunuh diri yaa!" ucap dara dengan wajah menyembunyikan rasa takut.

"Secara gak langsung, lo menghasut bunuh diri. Lo berdua ngerisak bahkan sekarang gue gak lihat ada wajah penyesalan di muka kalian." Akira menatap wajah Cahyo dan dara satu persatu. menegaskan bahwa dia akan melakukan apapun untuk membuat mereka menderita selam hidup mereka.

Lembaran Terakhir[sunting]

Kali ini kelas terlihat berbeda, tidak ada suara berisik atau semacamnya. Terlihat sunyi dan hampa. Semua orang duduk dibangkunya masing2, berusaha beraktivitas seperti biasanya walaupun faktanya masih terbayang kejadian beberapa hari yang lalu.

Bangku Keyra terlihat penuh dengan bunga dan beberapa kertas berisi tulisan anak anak di kelasnya, sekedar pesan kecil untuk tetap semangat, untuk bahagia selamanya, untuk tenang dan damai di alam sana.

Ada hal yang menarik, sebuah buku catatan milik Keyra ada disana, sengaja dibuka dengan memperlihatkan coretan lamanya dengan plester luka yang dulu pernah diberikan oleh Akira.

Akira yang berusaha untuk fokus mencatat perkataan dosen mengehentikan aktivitasnya, dia tidak bisa berkonsentrasi, matanya tanpa sengaja terarah pada bangku kosong di depannya, bangku milik Keyra yang seharusnya sekarang sedang duduk dan belajar bersama.

Liya tidak bisa melakukan apapun, dia menoleh ke belakang, melihat bangku Keyra yang dipenuhi dengan bunga dan pesan2 perpisahan. Tergambar jelas bagaimana imajinasi Liya sekarang, ia bisa melihat senyuman Keyra yang sedang duduk disana, membicarakan segala hal yang menyenangkan tanpa takut apapun.

Tebak siapa yang paling merasa bersalah?akira dan dara?mereka merasa bersalah karena tidak bisa menghentikkan salah satu temannya yang bahkan sebentar lagi akan terus tertawa. Cahyo dan dara? Mungkin jika keyra tidak berkorban, kedua orang ini akan tetap melakukan hal yang sama atau bahka lebih parahnya mereka melakukan hal yang sama pada orang lain. Gavin, gavin adalah orang yang paling merasa bersalah. Dia bukan hanya sekedar teman, dia memiliki ikatam darah yang bahkantidak diketahui semua orang, dia tidak hanya mengetahui kekacauan yang terjadi di kampus, namun dia juga menjadi saksi kekacauan keyra di rumahnya. Dia bahkan memilih untuk tidak melihat, memilih untuk berpegang pada loyalitas pertemanan sampahnya. Mengesampingkan rasa egonya hanya demi gelar bukan pengkhianat dalam hubungan pertemanan, dia memilih membuang rasa kekeluargaannya dengan ganti kehilangan salah satunya.