Suatu Hari di Ulek Barito

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

2004 dan 2014. Dua kali anak hilang dalam jangka waktu 10 tahun. Keduanya hilang di tempat yang sama: Ulek Barito. Kepala polisi yang baru ditugaskan di Marabahan mencoba memecahkan kasus ini. Ia bersama Yunus, anaknya, akhirnya pergi ke tempat tragedi persis 10 tahun setelahnya 2024. Akankah kejadian terulang?

Lakon[sunting]

  1. Sudin
  2. Rafi
  3. Yunus
  4. Kepala Polisi
  5. Putri Junjung Buih

Lokasi[sunting]

Ulek Barito, Kecamatan Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan.

Cerita[sunting]

2034, 10 tahun sejak kejadian hari itu. Yunus memandangi tulisan “Ulek Barito” di siring (sebutan pinggiran sungai di Marabahan) yang termakan usia. Daerah pinggiran Marabahan ini makin ditinggalkan penduduk, sudah tidak ada lagi kehidupan. Aula Selidah yang dulu ramai digunakan untuk apel pegawai pemerintah daerah (pemda) sudah lama terbengkalai semenjak bupati baru merelokasi ibukota kabupaten ke Alalak, bukan lagi Marabahan.

Yunus melamun di siring sambil menaburkan bunga dan bergumam, “Din, Raf, sunyi banar wahini di Marabahan, (Din, Raf, sepi sekali sekarang di Marabahan).”

Suatu Hari di Tahun 2004[sunting]

Marabahan, kecamatan yang menjadi ibukota Barito Kuala (Batola), salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Dulunya Marabahan ramai karena transportasi air. Penduduk dari wilayah Kalsel lain berdatangan ke Batola melalui Marabahan. Sejak ada jalan darat, Marabahan tidak seramai dahulu namun tidak pula mati.

Marabahan cerah hari itu, kota ini masih banyak memperlihatkan pemandangan jamban di pinggir sungai dan anak-anak yang berenang bebas di sana. Sudin hari itu seperti biasa berlarian bersama yang lain. Sekolah sedang libur jadi ia bisa bebas seharian bakunyungan. Bakunyungan artinya berenang bersama-sama dalam bahasa Banjar.

Saat berlari ke arah siring, Sudin melihat satu anak meringis kesakitan. Tangannya memegang selangkangan dengan berlumuran darah. “Diigut iwak buntal, (digigit ikan buntal)” begitu kata warga yang berkerumun saat ditanya Sudin. Merinding bulu kuduk Sudin membayangkan bagian apa yang digigit saat melihati tangannya memegang selangkangan. Apalagi ditambah kabar bahwa buntal bisa membabat habis bagian kelamin, benar-benar tanpa sisa.

Tapi melihat itu tidak menyurutkan niat Sudin bakunyungan, ia tetap berlari menuju siring sambil menyapu hidungnya yang mimisan dengan tisu.

Lawasnya kam, (lama sekali kamu)” ujar teman Sudin.

Ada urang diigut buntal tadi, makanya singgah dahulu aku, (Ada yang digigit buntal tadi, jadi aku mampir dulu)” jawab Udin. Teman-temannya bergidik dan membicarakan keganasan buntal. Sudin berkata lagi, “Daripada bakisahan buntal tarus, lajui bacabur, kena panas hari, (daripada cerita-cerita buntal terus, cepetan nyebur, nanti makin panas).

Sehabis bercerita buntal, teman-teman Sudin terlihat takut untuk berenang. Beberapa kali Sudin mengajak namun tidak ada yang berani. Akhirnya ia terjun sendiri ke Sungai Barito. Hari itu cerah namun bukan berarti tidak ada musibah. Ulek Barito tiba-tiba muncul. Ulek adalah Bahasa Dayak Bakumpai yang artinya berputar. Sungai Barito tempat Sudin berenang berada di percabangan sehingga sering terjadi fenomena pusaran air di sungai yang disebut warga sebagai Ulek Barito.

“Din, awas!” ujar teman-temannya ketika melihat Sudin mulai kesulitan berenang. Tidak ada yang berani menolong, apalagi setelah tadi membicarakan buntal. Warga sekitar fokus dengan anak yang tadi digigit buntal sehingga saat itu tidak ada yang bisa dimintai tolong.

Hari itu Sudin hilang ditelan Ulek Barito.

Suatu Hari di Tahun 2014[sunting]

Lomba perahu naga diadakan di Marabahan. Pengunjung memadati siring untuk melihat langsung balapan perahu, termasuk Rafi. Penampilan Rafi sekilas mirip seperti Sherina versi terlalu banyak plester luka. Tidak seperti Sherina yang gegayaan, Rafi memang punya banyak luka di tubuhnya, semuanya bukan karena tidak sengaja.

Orangtua Rafi sudah pisah ranjang namun masih hidup serumah. Demi anak, itulah kata-kata mereka tiap kali ditanya kenapa tidak berpisah. Padahal kalau ditanya, Rafi ingin pergi saja dari keduanya. Ayah Rafi suka mabuk, tiap hari selalu pulang sempoyongan dan bau alkohol menyengat. Saaat mabuk, Ayah Rafi selalu menjadikan Rafi samsak. Dipukul dan ditendang adalah hal biasa.

Ibunya tidak lebih baik. Melihat suaminya mabuk-mabukan, ibu Rafi malah selingkuh kesana kemari, kadang baru pulang beberapa hari sekali sekadar melihati Rafi yang babak belur. Ia tidak simpati, hanya sekadar melihat rumah untuk memastikan Rafi belum mati. Rafi tidak bisa kemana-mana, ia tidak punya siapa-siapa dan terpaksa setiap hari berada di rumah yang layaknya neraka.

Acara seperti lomba perahu naga jadi tempat Rafi melarikan diri sesaat dari rumah. ia bisa bersenang-senang, bukan dipukuli. Rafi ingin sekali terjun dan berenang di siring, tapi area tersebut dilarang, terutama untuk anak-anak. Katanya dulu ada anak tenggelam karena Ulek Barito.

Pertandingan berlangsung seru, penonton disuguhkan pertandingan kejar-kejaran yang meriah. Tidak hanya perahu naga, ada penampilan dari jukung hias. Jukung adalah perahu dalam bahasa Banjar. Rafi yang bertubuh kecil tidak bisa melihati dengan jelas sehingga mencoba naik ke daerah terlarang. Saat lomba selesai dan semua jukung telah pergi, tiba-tiba siring bergetar. “Siring ditabrak naga, siring ditabrak naga!” begitu teriak warga. Getaran kembali terjadi dan kerumunan mulai menjauhi siring.

Kanakan handak gugur tu! (Itu ada anak mau jatuh)” ujar seseorang menunjuk ke arah Rafi yang oleng. Tidak sempat ada yang mendekat, getaran terjadi lagi dan Rafi jatuh ke sungai. Ulek Barito kembali muncul.

Hari itu, Rafi hilang.

Suatu Hari di Tahun 2024[sunting]

“Satu anak hilang di 2004, satunya di 2014. Keduanya sampai sekarang mayatnya belum ditemukan. Sekarang harus kita temukan,” begitu ujar kepala polisi itu memulai rapat. Kepala polisi daerah Marabahan yang baru ingin menuntaskan kasus lama yang belum selesai. “Keluarga pasti ingin jenazah anaknya bisa ditemukan dan dikuburkan dengan layak,” lanjutnya.

“2004 ada Sudin yang tenggelam setelah bermain di sungai, salah satu alasan tempat ini dilarang untuk berenang. Lalu 2014 ada seorang anak tanpa identitas yang tenggelam karena terpeleset ketika gempa,” kepala polisi mengernyitkan dahi ketika membaca kata gempa, “Kalimantan bukannya tidak ada gempa?”

“Siap, Ndan. Kalau dari Keterangan saksi mata, ada getaran beberapa kali waktu kejadian hari itu,” jawab polisi yang lain.

“Ok… sekarang ayo kita tinjau lokasi dulu,” ujar kepala polisi. Mereka lalu pergi ke siring.

Siring semakin bagus. Ulek Barito menjadi salah satu wisata di Marabahan sampai dibuat tulisan estetik di siring. Di sisi lain, pemerintah tidak ingin kejadian serupa terulang sehingga siring diberikan pelindung. Ada banyak warga yang sekadar duduk-duduk di siring atau membeli makan di warung terdekat. Yunus makan soto banjar dengan lahap di salah satu warung bersama ayahnya, sang kepala polisi.

“Aku mau ikut ke siring,” kata Yunus.

“Gak usah, ayah aja, kamu tunggu disini,” kata kepala polisi.

“GAK! AKU IKUT!” teriak Yunus. Mata seisi warung langsung tertuju kepada ayah dan anak ini.

Kepala polisi menaruh telunjuk di mulut Yunus dan berbisik, “Iya boleh ikut tapi jangan berisik.” Yunus tersenyum dan mengangguk. Selesai makan, berangkatlah mereka ke tempat kejadian tenggelamnya Sudin dan Rafi. Para polisi berangkat menggunakan kapal patroli ke tengah sungai. Perjalanan berlangsung menyenangkan, Yunus bermain-main dengan air. Setidaknya begitulah kelihatannya.

Ulek Barito tidak pernah menyeramkan untuk kapal karena alirannya yang tidak berbahaya, tapi cukup menyulitkan kalau untuk manusia berenang. Tapi hari itu, tiba-tiba gelap dan Ulek Barito menjadi menyeramkan. Kapal patroli oleng, Yunus yang sedang bermain air jatuh. Semuanya panik, ayah Yunus langsung terjun ke Sungai Barito.

Suatu Masa di Suatu Tempat[sunting]

Yunus yang tenggelam tiba-tiba sampai di bibir pantai. “Ayah!” teriak Yunus. Dari kejauhan terlihat ada dua anak yang mendekat.

Betambah nah kawan kita,” ujar salah satu anak. Ia menyodorkan tangan dan berkata, “Ngaranku Sudin (namaku Sudin).”

Ngaran… ulun… Yunus,” ucap Yunus sambil terbata-bata.

“Bukan orang Banjar ya?” tanya anak satunya. Yunus menggeleng.

“Oh pantes, yaudah kita pakai bahasa Indonesia aja. Namaku Rafi,” ujar anak yang dipenuhi plester luka. Mereka lalu mengajak Yunus ke tempat lain.

“Ini tempat apa?” tanya Yunus.

“Kamu tadi tenggelam di Ulek, kan?” tanya Sudin. Yunus mengangguk. “Nah, anggap aja ini surga,” lanjutnya.

Yunus berhenti. Rafi dan Sudin menoleh lalu bertanya, “Kenapa?”

“A… aku sudah mati?” ucap Yunus dengan nada bergetar.

“Tergantung kamu,” tiba-tiba ada suara perempuan. Putri Junjung Buih, putri penguasa tempat tersebut datang mendatangi mereka. “Kamu mau tetap disini atau kembali ke duniamu?” tanya Putri. Yunus masih bergeming.

Rafi menggandeng Yunus dan berkata, “Ayo lihat-lihat dulu, disini seru, lo!” mereka lalu berlari. Yunus takjub melihat tempat yang begitu indah. Ada berbagai wahana permainan. Makanan dan minuman yang dia suka juga tersedia lengkap. Yunus langsung menyerbu berbagai wahana dan mereka bersenang-senang.

Entah sudah berapa lama mereka bermain, Yunus merasa bingung dan bertanya pada Rafi, “Kok aku gak capek ya?”

“Iya dong, ini serunya disini. Jadi, mau tetap disini atau balik?” ucap Rafi.

Yunus melihati ke arah Sudin dan Putri yang sedang duduk. Ia menghampiri mereka dan bertanya, “Kalian sedang apa?”

Putri Junjung Buih memegang tangan Yunus dan tiba-tiba mereka berada di suatu ruangan, “Ini rumah Sudin dan itu orangtuanya,” ucap Putri. Yunus melihat sepasang kakek nenek yang sedang makan.

“Kenapa kak Sudin gak pulang?” tanya Yunus.

Sudin memberikan sarung tangan bekas darah punyanya, “Aku punya penyakit. Kalau hari itu tidak tenggelam, aku tetap akan meninggal beberapa lama setelahnya. Jadi apa bedanya?”

“Kalau aku, orangtuaku saja sekarang sudah lupa ada aku. Buktinya bapakmu gak tau kan namaku siapa?” ujar Rafi yang bergabung dengan mereka.

Tempat mereka tiba-tiba berubah ke Sungai Barito. Terlihat kepala polisi yang sedang berenang mencari anaknya di tengah badai. “Itu bapakmu?” tanya Sudin. Yunus mengangguk.

“Aku mau pulang,” rengek Yunus. “Disini memang seru, tapi aku kangen ayah,” lanjutnya.

“Ayahmu orang yang baik. Jadilah anak baik dan berbakti ya,” ucap Putri dengan lemah lembut. Yunus mengangguk. “Aku akan mengembalikanmu bersama tubuh Sudin dan Rafi,” lanjut Putri.

“Sampaikan salamku untuk ayah dan ibu ya, Nus. Bilang aku baik-baik saja,” ucap Sudin.

“Nus, tidak usah cari orangtuaku, tapi tolong bilang ke bapakmu kalau namaku Rafi. Kuburkan aku di samping makam Sudin ya,” ucap Rafi.

Setelah itu Yunus ditemukan dengan keadaan selamat. Kepala polisi sangat senang. Polisi yang lain juga menemukan jasad Rafi dan Sudin. Yunus memberitahu nama Rafi dan berkunjung ke rumah orangtua Sudin.

Sejak hari itu Yunus tidak pernah lagi merengek seperti di warung soto Banjar. Bahkan ketika ayahnya meninggal 10 tahun kemudian, ia yang menguatkan ibunya.

SELESAI