Suatu Senin di Desa Wandepetung

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis[sunting]

Pada suatu Senin yang sibuk, Aceng dan Pak Astu hendak berangkat ke sekolah. Pertemuannya yang tak sengaja dengan Pak Bambang justru menampakkan betapa rasa belas-kasih tak akan surut di Desa Wandepetung.

Lakon[sunting]

  1. Aceng
  2. Pak Astu
  3. Bu Astu
  4. Pak Bambang
  5. Caca
  6. Pak Candra
  7. Bu Candra

Lokasi[sunting]

Desa Wandepetung (fiksi)

Cerita Pendek[sunting]

Ketika jam dinding di rumahnya menunjuk pada angka 6.20, Aceng berpamitan kepada ibunya sebelum berangkat ke sekolah. "Bu, aku dan bapak berangkat, ya", ucap Aceng sembari mencium telapak tangan ibunya. "Hati-hati di jalan, Nak. Ini, bawa kotak bekalmu. Ibu sudah masak tumis kacang panjang dan telur ceplok untuk makan siangmu", ibunya berujar sembari memasukkan kotak bekal berwarna biru ke dalam tas Aceng. "Terima kasih, Ibu!", kata Aceng girang. "Sama-sama", balas ibunya sambil tersenyum. Di luar, bapak sudah siap dengan jaketnya. Ia baru selesai memanaskan mesin motor.

Udara pagi terasa begitu segar. Kicau burung gereja mengiringi perjalanan mereka berdua. Jarak antara sekolah dan rumah Aceng memang tak begitu jauh. Sekolah Aceng berdekatan dengan Balai Desa Wandepetung, tempat Pak Astu, bapaknya, bekerja. Itu sebabnya Aceng kerap berangkat sekolah dengan membonceng bapaknya. Namun, seusai sekolah, Aceng lebih suka pulang berjalan kaki bersama kawan-kawannya.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba Pak Astu memelankan laju motor dan menepikan kendaraan. Aceng penasaran. "Ada apa, Pak?", tanya Aceng. "Lihat itu", kata Pak Astu sembari menengok ke belakang jalan. Tampak Pak Bambang sedang bingung mengamati motornya yang dipasangi keranjang besar. "Sepertinya roda motor Pak Bambang bocor. Ayo kita pastikan bersama", sambung Pak Astu. Mereka pun berputar balik dan menghampiri Pak Bambang.

"Motornya kenapa, Pak Bambang?" tanya Pak Astu. "Eh, Pak Astu. Begini, Pak, sepertinya roda belakang motor saya kempes akibat keranjang bawaan yang terlalu berat. Sepertinya perlu dibawa ke bengkel untuk ditambahi angin", terang Pak Bambang. "Kalau begitu, biar saya bantu, Pak. Namun sebelum itu biar saya antar Aceng dulu ke sekolah". "Aduh, tak usah repot-repot, Pak Astu. Saya jadi tidak enak hati", ucap Pak Bambang. "Tidak apa-apa, Pak. Saya tak keberatan. Menolong yang kesusahan adalah sebuah keharusan".

Sebuah ide muncul di kepala Aceng. "Pak, bagaimana kalau keranjang bawaan Pak Bambang untuk sementara kita pindahkan ke motor bapak? Supaya Pak Bambang tidak kerepotan saat mencari bengkel. Sekolah 'kan tidak begitu jauh, jadi kupikir bukan masalah kalau aku jalan kaki ke sana". "Itu ide yang bagus, Nak", Puji Pak Astu. "Sekarang, mari kita pindahkan keranjang Pak Bambang." Mereka bertiga lantas memindahkan keranjang bawaan Pak Bambang ke motor Pak Astu.

Keranjang bawaan Pak Bambang sudah dipindah. Aceng kembali berangkat ke sekolah. Pak Bambang menyalakan motor dan berniat mencari bengkel, sedang Pak Astu mengikuti Pak Bambang dari belakang. Sesaat kemudian, sampailah Pak Bambang di sebuah bengkel. Roda belakang motor Pak Bambang dipasangi selang kompresor angin untuk menambah tekanan udara. Akhirnya keranjang bawaan kembali diletakkan di motor Pak Bambang, untuk mengecek aman-tidaknya roda motor.

Motor Pak Bambang sudah selesai di servis. Pak Bambang berterimakasih kepada Pak Astu. "Terima kasih sudah membantu saya, Pak Astu. Saya tidak tahu harus bagaimana kalau tidak dibantu Pak Astu dan Aceng". "Sama-sama. Saya senang bisa membantu. Hati-hati di jalan, Pak", pesan Pak Astu sebelum pamit pergi. Pak Bambang pun kembali melanjutkan perjalanan ke pasar.

***

Pak Bambang memang sudah lama berjualan di Pasar Wandepetung. Sedari subuh, ia sudah biasa mengisi keranjang anyam miliknya dengan buah kelapa tua yang sudah ia buang kulitnya. Kelapa-kelapa tersebut tak sepenuhnya ia petik dari kebun sendiri. Tak jarang, ia juga membeli dari pemilik pohon kelapa yang lain, sehingga ia tak pernah kehabisan stok kelapa tua untuk dijual di pasar.

Sesampainya di pasar, Pak Bambang mengeluarkan semua kelapa tua yang ia bawa. Ia menyusunnya satu persatu ke atas meja, sehingga tumpukan kelapa tersebut mirip piramida. Kemudian, ia beranjak untuk mengecek mesin pemarut kelapa yang ada di sudut lapaknya. Mesin tersebut terdiri dari generator listrik yang dipasangi semacam baskom dengan parutan bulat di tengahnya. Di bawahnya ada ember besar yang menampung hasil parutan, sehingga tidak ada yang tercecer. Setelah memastikan mesinnya masih berfungsi, Pak Bambang bersiap untuk berjualan.

Orang-orang mulai berdatangan. Sinar matahari kian menampakkan keriuhan di pasar. Di tengah keramaian itu, ada satu raut wajah yang kelihatan putus asa, begitu kontras dengan pengunjung pasar yang lain. Gadis itu bernama Caca. Ia bolak-balik menyusuri pasar seperti hendak mencari sesuatu. Pak Bambang, yang merupakan tetangga Caca, tak sengaja melihat gerak-geriknya yang menyiratkan perasaan bingung. Ia mendekati Caca dan bertanya kepadanya.

"Ada apa, Ca? Ada yang bisa saya bantu?", tanya Pak Bambang. "Ini, Pak, sepertinya uang saya jatuh selepas membeli kue pukis. Saya ingat betul saya menerima kembalian uang tersebut dan memasukkannya ke dalam kantong. Namun entah mengapa sekarang sudah tidak ada. Padahal Ibu berpesan kepada saya untuk membeli bumbu dapur untuk opor ayam malam ini”, kata Caca menjelaskan. Pak Bambang merasa iba. Ia menawarkan diri untuk membantu Caca mencari uang tersebut. Mereka sekali lagi berjalan menyusuri pasar. Hasilnya nihil.

Caca tampak putus asa. Namun Pak Bambang tak kehabisan akal. Ia memutuskan untuk menemani Caca belanja. “Tapi saya sama sekali tidak punya uang, Pak”, keluh Caca. “Tidak usah kamu pikirkan. Nanti biar saya yang bayar”. “Sungguh? Duh, saya tidak bermaksud untuk merepotkan Bapak”, kata Caca sungkan. “Sungguh tidak apa-apa. Saya ikhlas membantu”, balas Pak Bambang. Caca merasa lega meski dalam hati ia merasa tidak enak.

Pak Bambang dan Caca bergegas mendatangi lapak penjual bumbu dapur. Caca membeli bawang merah, bawang putih, kunyit, lengkuas, kencur, kemiri, ketumbar, serta bumbu-bumbu lain yang biasa digunakan untuk membuat opor ayam. Tak lupa, Pak Bambang memberinya satu plastik kelapa parut untuk diperas santannya. Pak Bambang juga memberinya ongkos pulang naik angkot. Caca mengucap banyak terima kasih kepada Pak Bambang.

***

Sesampainya di rumah, Caca langsung menceritakan kejadian yang ia alami di pasar. Ibunya mendengarkan dengan antusias. “Lain kali hati-hati, Nak. Jangan ceroboh. Untung saja ada Pak Bambang yang mau menolongmu. Sudah, sekarang lekas ganti pakaianmu dan bantu Ibu di dapur”. Caca bergegas masuk ke dalam kamarnya.

Pak Candra, bapak dari Caca, adalah seorang peternak ayam broiler. Tiap kali kandang miliknya panen, ia kerap menyisihkan beberapa ekor ayamnya untuk dimasak di rumah. Di bawah tangan terampil Bu Candra, daging ayam yang dibawa pulang Pak Candra selalu berhasil menggunggah selera.

Tak berselang lama, Caca keluar dan langsung menuju ke dapur. Ibunya sedang memotong-motong daging ayam dan menyuruh Caca untuk mencuci beragam bumbu dapur yang ia dapat dari pasar, sebelum melumatkannya dengan cobek. Ia melakukannya sesuai dengan perintah Ibunya.

Niat baik membuat hidup yang sementara jadi lebih berwarna, serupa kembang durian di belakang rumah

Bu Candra langsung menumis bumbu yang sudah dihaluskan oleh Caca. Ia menambahkan daun salam, daun jeruk, serai dan lengkuas. Saat aroma wangi bumbu mulai tercium, giliran daging ayam yang masuk ke dalam wajan. Bu Candra mengaduknya hingga muncul warna kekuningan pada daging ayam tersebut.

"Masukkan airnya ke wajan, Ca", perintah Bu Candra. Caca pun menuangkan air ke dalam wajan. Daging ayam berlumur bumbu kuning telah terendam sepenuhnya. Bu Candra menambahkan bumbu penyedap seperti gula pasir dan kaldu bubuk, lalu membiarkannya sampai air di dalam wajan menyusut dan daging ayam melunak. Api dikecilkan. Tahapan selanjutnya adalah menambahkan santan. Bu Candra mengaduknya secara perlahan untuk mencegah "pecah"nya santan.

Setengah jam berlalu dan opor ayam sudah matang. Aroma harum menguar dari wajan besar tersebut. Bu Candra meraih irus, mengisi beberapa mangkuk dengan kuah segar serta beberapa potong daging ayam. Ia menaburkan bawang goreng ke atasnya. “Caca, tolong antarkan ini ke rumah tetangga. Jangan lupa mampir dan ucapkan terima kasih kepada Pak Bambang”. “Baik, Bu”, kata Caca. Dengan sebuah penampan besar, Caca membawa beberapa mangkuk berisi opor ayam tersebut dengan hati-hati.

***

Sore menjelang petang di Desa Wandepetung. Aceng baru saja selesai bermain bola bersama kawan-kawannya. Ketika sampai di rumah, Bu Astu sedang menyiapkan nasi di meja makan. “Aceng, lekaslah mandi. Setelah itu baru kita makan bersama”. “Oke, Bu”, kata Aceng sambil setengah berlari untuk meraih handuk.

Selepas mandi dan berganti baju, Aceng mendatangi meja makan. “Wah, hari ini Ibu masak opor ayam, ya?”, tanya Aceng sambil menyeka rambutnya yang basah. “Bukan, Nak. Bu Candra yang hari ini masak opor ayam. Tadi Caca yang mengantarkannya kemari. Sekarang, mari makan. Lekas ambil nasi selagi masih hangat”. Aceng segera meraih piringnya dan mengambil centong nasi. Aceng, Pak Astu, dan Bu Astu makan dengan lahap di meja makan, diiringi suara adzan yang mengalun indah di desa Wandepetung.