Sungai dari Eden/Fungsi Utilitas Tuhan
Pendeta yang menuliskan saya surat di bab sebelumnya menemukan iman melalui seekor tawon. Charles Darwin kehilangan imannya dengan bantuan tawon yang lain: “Saya tidak bisa meyakinkan diri saya,” tulis Darwin, “bahwa Allah yang maha baik dan maha kuasa akan merancang dan menciptakan Ichneumonidae dengan niat agar mereka hidup dengan memakan Ulat hidup dari dalam.” Sebenarnya hilangnya iman Darwin terjadi secara bertahap dan karena penyebab yang lebih rumit; dia juga menyembunyikannya karena takut mengusik istrinya yang taat, Emma. Rujukannya kepada Ichneumonidae bersifat aforistis. Kebiasaan angker Ichneumonidae yang dia sebut dilakukan juga oleh saudaranya, tawon penggali, yang kita jumpai di bab sebelumnya. Tawon penggali betina tidak hanya bertelur di dalam seekor ulat (atau belalang atau lebah) agar larvanya bisa memakannya tetapi, menurut Fabre dan orang lain, dia membidik sengatnya dengan teliti ke dalam setiap ganglion sistem saraf pusat mangsa, agar mangsanya lumpuh tetapi tidak mati. Dengan cara ini, dagingnya tetap segar. Tidak diketahui apakah pelumpuhan itu berfungsi sebagai anestesi umum, atau apakah seperti curare yang hanya membuat korbannya tidak bisa bergerak. Jika yang kedua, mangsanya mungkin sadar saat dimakan hidup-hidup dari dalam tetapi tidak mampu bergerak sedikit pun untuk melawan. Itu terkesan kejam dan biadab tetapi, seperti kita akan lihat, alam tidak kejam, hanya masa bodoh yang tidak mengenal ampun. Ini adalah salah satu pelajaran paling sulit bagi manusia. Kita susah mengakui bahwa dunia mungkin tidak baik atau jahat, tidak kejam atau ramah, tetapi hanya acuh tak acuh – masa bodoh terhadap segala penderitaan, tanpa tujuan sama sekali.
Kita manusia selalu memikirkan tujuan. Kita susah melihat apa pun tanpa bertanya apa “guna”-nya, apa maksudnya, atau tujuan di belakangnya. Ketika obsesi dengan tujuan menjadi patologis, namanya paranoia – melihat niat jahat di belakang apa yang sebenarnya hanya sial. Tetapi ini hanya bentuk dilebih-lebihkan dari delusi yang hampir universal. Tunjukkan kita objek atau proses apa pun, dan kita susah menolak pertanyaan “kenapa” – pertanyaan “untuk apa?”
Hasrat untuk melihat tujuan di mana-mana adalah hal alami bagi hewan yang hidupnya dikelilingi mesin, karya seni, alat dan artefak lain yang dirancang; hewan, lagi pula, yang pikirannya saat sadar didominasi oleh tujuan pribadinya. Mobil, pembuka kaleng, obeng dan garpu rumput semua layak dipertanyakan, “Untuk apa?” Leluhur kita yang belum beragama akan bertanya hal yang sama tentang guntur, eklips, batu dan sungai. Zaman sekarang kita suka bangga karena sudah tidak menganut animisme primitif seperti itu. Jika batu dalam sungai ternyata berguna sebagai titik tumpu, kita menganggap kegunaannya sebagai bonus kebetulan, bukan tujuan sebenarnya. Tetapi godaan lama itu kembali dengan ganas ketika tragedi menimpa – memang, istilah “menimpa” itu adalah gema animis: “Kenapa gerangan kanker/gempa bumi/topan itu harus menimpa anakku?” Dan godaan yang sama biasanya benar-benar dinikmati ketika temanya adalah asal-usul segala hal atau hukum fundamental fisika, memuncak dengan pertanyaan eksistensial kosong, “Mengapa ada sesuatu dan bukan ketiadaan?”
Saya sudah tidak mampu menghitung berapa kali seorang hadirin telah berdiri setelah ceramah publik saya dan mengatakan sesuatu seperti berikut: “Kalian para ilmuwan sangat pintar menjawab pertanyaan-pertanyaan ‘Bagaimana’. Tetapi kalian harus mengaku tidak berdaya mengenai pertanyaan-pertanyaan ‘Kenapa’.” Pangeran Philip, Duke Edinburgh, membuat poin yang sama ketika dia hadir di Windsor untuk ceramah kolega saya Dr. Peter Atkins. Di belakang pertanyaan itu selalu ada yang tersirat tetapi tidak pernah dibenarkan, yakni, implikasi bahwa karena ilmu pengetahuan tidak mampu menjawab pertanyaan “Kenapa,” harus ada disiplin lain yang layak menjawabnya. Implikasi itu tentu saja sangat tidak logis.
Sayangnya, Dr. Atkins tidak begitu mengindahkan pertanyaan pangeran itu. Fakta bahwa suatu pertanyaan dapat dilontarkan tidak berarti pertanyaan itu layak atau masuk akal. Ada banyak hal yang tentangnya boleh ditanya, “Berapa suhunya?” atau “Apa warnanya?” tetapi pertanyaan suhu atau warna tidak boleh dilontarkan mengenai, misalnya, kecemburuan atau doa. Secara yang sama, kita boleh bertanya “Kenapa” tentang sepatbor sepeda atau Bendungan Kariba, tetapi itu tidak berarti kita berhak untuk berasumsi bahwa pertanyaan “Kenapa” layak dijawab ketika dilontarkan tentang batu besar, kecelakaan, Gunung Everest atau alam semesta. Pertanyaan dapat tidak cocok saja, setulus apa pun pelontarannya.
Di suatu tempat di antara penyeka kaca dan pembuka kaleng di satu sisi, dengan batu dan alam semesta di sisi lain, ada makhluk hidup. Tubuh hidup dan organnya adalah objek yang, berbeda dengan batu, tampaknya jelas-jelas memiliki tujuan. Tentu saja, fakta itu yang sangat terkenal, yakni, bahwa tubuh hidup sepertinya memiliki tujuan, telah mendominasi Argumen dari Rancangan klasik yang digunakan oleh teolog dari Aquinas hingga William Paley hingga kreasionis “ilmiah” modern.
Proses yang sebenarnya mengaruniai sayap dan mata, paruh, insting bersarang dan segala sesuatu yang lain mengenai kehidupan dengan ilusi kuat akan perancangan bertujuan kini dipahami dengan baik. Proses itu adalah seleksi alam Darwinian. Pemahaman kita akan hal ini datang relatif baru dalam sejarah kita, pada satu setengah abad terakhir. Sebelum Darwin, bahkan orang terpelajar yang mengabaikan pertanyaan “Kenapa” tentang batu, sungai dan eklips tetap secara tersirat menerima kelayakan pertanyaan “Kenapa” mengenai makhluk hidup. Kini hanya orang yang tidak tahu-menahu tentang ilmu pengetahuan beranggapan begitu. Tetapi istilah “hanya” itu menutupi fakta tidak enak bahwa orang-orang tersebut masih merupakan mayoritas absolut.
Sebenarnya, para Darwinian tetap melontarkan semacam pertanyaan “Kenapa” tentang makhluk hidup, tetapi mereka melakukannya dalam arti metaforis yang khusus. Kenapa burung bernyanyi, dan buat apa ada sayap? Pertanyaan seperti itu akan diterima oleh para Darwinian modern sebagai singkatan dari pertanyaan ilmiah dan diberi jawaban yang masuk akal berdasarkan seleksi alam leluhur burung. Ilusi tujuan begitu kuat sehingga para biolog sendiri menggunakan asumsi perancangan baik sebagai heuristik. Seperti sudah kita lihat di bab sebelumnya, jauh sebelum karyanya yang dahsyat tentang tarian lebah, Karl von Frisch menemukan, sambil melawan pandangan ortodoks taat, bahwa ada serangga yang memiliki penglihatan warna yang benar. Eksperimennya yang membuktikan hal itu didorong oleh pengamatan sederhana bahwa bunga yang diserbuki oleh lebah bersusah-payah untuk membuat pigmen warna. Buat apa bunga melakukan semua ini jika lebah itu buta warna? Metafora tujuan – lebih tepatnya, asumsi bahwa seleksi Darwinian terlibat – digunakan di sini untuk menarik kesimpulan kuat tentang dunia. Von Frisch akan sangat keliru jika mengatakan, “Bunga itu berwarna, jadi lebah pasti memiliki penglihatan warna.” Tetapi dia benar ketika mengatakan, “Bunga itu berwarna, jadi setidaknya tidak sia-sia jika saya bekerja keras dan membuat beberapa eksperimen baru untuk menguji hipotesis bahwa lebah memiliki penglihatan warna.” Saat dia menyelidikinya secara terperinci, dia menemukan bahwa lebah memiliki penglihatan warna yang baik, tetapi spektrum yang mereka lihat digeser dibandingkan dengan yang kita lihat. Mereka tidak mampu melihat cahaya merah (mungkin mereka akan memberi nama “infrakuning” kepada apa yang kita sebut sebagai merah). Tetapi mereka mampu melihat dalam rentang panjang gelombang lebih pendek yang kita sebut sebagai ultraungu, dan mereka melihat ultraungu sebagai warna tersendiri, terkadang disebut “ungu lebah.”
Ketika dia menyadari bahwa lebah melihat di bagian spektrum yang ultraungu, von Frisch sekali lagi menalar dengan menggunakan metafora tujuan. Untuk apa, dia bertanya, lebah menggunakan indra ultraungunya? Pikirannya kembali ke titik awal – ke bunga. Meskipun kita tidak mampu melihat cahaya ultraungu, kita mampu membuat film gulung yang peka terhadapnya, dan kita mampu membuat filter yang transparan bagi cahaya ultraungu tetapi memblokir cahaya yang “tampak.” Berdasarkan firasatnya, von Frisch mengambil beberapa foto ultraungu atas bunga. Dengan gembira, dia melihat pola titik dan garis yang belum pernah dilihat mata manusia sebelumnya. Bunga yang bagi kita tampak putih atau kuning sebenarnya dihiasi dengan pola ultraungu, yang sering berfungsi sebagai tanda landas pacu untuk membimbing lebah ke tempat nektar. Asumsi akan tujuan semu berguna sekali lagi: bunga, jika dirancang dengan baik, akan mengeksploitasi fakta bahwa lebah dapat melihat panjang gelombang ultraungu.
Ketika dia sudah tua, karya von Frisch yang paling terkenal – mengenai tarian lebah, yang kita bahas di bab sebelumnya – dipertanyakan oleh seorang biolog Amerika bernama Adrian Wenner. Untungnya, von Frisch hidup cukup panjang untuk melihat pekerjaannya dibenarkan oleh seorang Amerika yang lain, James L. Gould, yang sekarang mengajar di Princeton, dalam salah satu eksperimen paling cerdik di seluruh biologi. Saya akan menceritakannya secara ringkas, karena relevan dengan poin saya tentang asumsi “seolah-olah dirancang.”
Wenner dan koleganya tidak menyangkal bahwa tarian itu terjadi. Mereka bahkan tidak menyangkal bahwa tarian itu mengandung semua informasi yang diklaim oleh von Frisch. Mereka menyangkal bahwa para lebah lain membaca tarian itu. Ya, kata Wenner, benar bahwa arah garis lurus di tarian goyang bertolak dari sumbu vertikal berkaitan dengan arah makanan bertolak dari matahari. Tetapi tidak, lebah yang lain tidak menerima informasi ini dari tariannya. Ya, benar bahwa kecepatan aspek-aspek tertentu dalam tariannya dapat dibaca sebagai informasi tentang jarak makanan. Tetapi tidak ada bukti yang memadai bahwa lebah lain membaca informasinya. Bisa jadi mereka mengabaikannya. Bukti von Frisch, kata orang skeptis itu, keliru, dan ketika mereka mengulangi eksperimennya dengan “kontrol” yang seharusnya (yakni, memperhitungkan cara alternatif lebah dapat menemukan makanan), eksperimen itu sudah tidak mendukung hipotesis bahasa-tarian von Frisch.
Ini saatnya Jim Gould memasuki cerita dengan eksperimennya yang amat cerdik itu. Gould mengekploitasi fakta tentang lebah madu yang sudah lama diketahui, yang Anda akan ingat dari bab sebelumnya. Meskipun mereka biasanya menari dalam kegelapan, dengan menggunakan arah lurus ke atas di bidang vertikal sebagai tanda yang dikodekan untuk arah matahari di bidang horizontal, mereka dengan enteng berubah dan menggunakan cara yang mungkin lebih kuno jika lampu di dalam sarang dinyalakan. Kemudian, mereka melupakan gravitasi dan menggunakan bola lampu sebagai tanda matahari, lalu menentukan sudut tarian secara langsung berdasarkan tanda itu. Untungnya, tidak muncul kesalahpahaman ketika penari memindahkan patokan tariannya dari gravitasi ke bola lampu. Lebah-lebah lain yang “membaca” tariannya mengubah patokannya dengan cara yang sama, jadi tariannya masih mengandung makna yang sama: lebah-lebah yang lain masih berangkat mencari makanan ke arah yang ditunjukkan oleh penari.
Kini, kehebatan Jim Gould. Dia mengecat mata lebah penari dengan lak hitam, agar dia tidak mampu melihat bola lampunya. Dengan demikian, lebah itu menari menggunakan konvensi gravitasi biasa. Tetapi para lebah lain yang mengikuti tariannya, yang matanya tidak tertutup, tetap bisa melihat bola lampunya. Mereka menafsir tariannya seolah-olah konvensi gravitasi diabaikan dan digantikan dengan konvensi “matahari” bola lampu. Para pengikut tarian mengukur sudut tarian bertolak dari cahaya, sedangkan penari sendiri menyejajarkan tariannya dengan gravitasi. Gould memaksa lebah penari untuk berbohong tentang arah makanannya. Tidak hanya berbohong dalam arti umum, tetapi berbohong merujuk pada salah satu arah tertentu yang dapat dimanipulasi secara tepat oleh Gould. Tentu saja, dia tidak hanya membuat eksperimennya dengan seekor lebah yang matanya tertutup, tetapi dengan sampel statistik lebah yang layak dan beberapa sudut yang dimanipulasi secara berbeda. Dan eksperimennya berhasil. Hipotesis bahasa-tarian von Frisch yang asli dibenarkan dengan kemenangan.
Saya tidak menceritakan itu untuk senang-senang. Saya ingin membuat poin tentang aspek-aspek negatif dan positif mengenai asumsi perancangan baik. Ketika saya pertama kali membaca makalah-makalah skeptis Wenner dan koleganya, saya menghinanya secara terbuka. Dan sikap itu tidak baik, meskipun ternyata Wenner salah. Sikap menghina saya secara keseluruhan berdasarkan pada asumsi “perancangan baik.” Wenner sebenarnya tidak menyangkal bahwa tarian itu terjadi, atau bahwa tarian itu mengandung semua informasi yang diklaim von Frisch tentang jarak dan arah makanan. Wenner hanya menyangkal bahwa lebahlebah lain membaca informasinya. Dan itu terlalu banyak untuk diterima oleh saya dan banyak biolog Darwinian lain. Tarian itu begitu rumit, begitu kaya akan detail, begitu disetel dengan teliti untuk apa yang tampak sebagai tujuannya, yaitu, memberi tahu para lebah lain tentang jarak dan arah makanan. Penyetelan yang teliti ini tidak mungkin terjadi, menurut kami, selain dari melalui seleksi alam. Saya jadi bertanya apakah kami terperangkap dengan cara yang sama seperti para kreasionis ketika mereka merenungkan keajaiban kehidupan. Tarian itu harus melakukan sesuatu yang berguna, yaitu, menurut perkiraan kami, membantu para lebah menemukan makanan. Lagi pula, persis aspek-aspek tarian itu yang disetel dengan begitu halus – hubungan sudut dan kecepatan dengan arah dan jarak makanan – harus berguna juga. Dengan demikian, menurut kami, Wenner pasti salah. Saya begitu percaya diri sehingga, seandainya saya cukup cerdik untuk merancang eksperimen pembutaan Gould (saya tentu saja tidak secerdik itu), saya tidak akan repot melakukannya.
Gould tidak hanya cukup cerdik untuk merancang eksperimen itu, tetapi dia juga melakukannya, karena dia tidak dirayu oleh asumsi perancangan baik. Namun, pembedaan ini tipis, karena saya menduga bahwa Gould – sama seperti von Frisch sebelumnya, dalam penelitian warnanya – cukup mengandalkan asumsi perancangan baik, sehingga dia percaya bahwa eksperimen luar biasanya mungkin saja bisa berhasil dan karena itu layak untuk dicoba.
Sekarang saya ingin memperkenalkan Anda dengan dua istilah teknis, “rekayasa balik” dan “fungsi utilitas.” Di seksi ini, saya dipengaruhi oleh buku Daniel Dennett yang luar biasa, Darwin’s Dangerous Idea. Rekayasa balik adalah teknik penalaran dalam keinsinyuran yang berfungsi sebagai berikut. Anda adalah insinyur, dihadapkan dengan artefak yang Anda temukan dan belum mengerti. Anda membuat asumsi sementara bahwa artefak itu dirancang untuk suatu tujuan. Anda membedah dan menganalisis objeknya agar mengetahui masalah apa yang dapat diselesaikan dengannya. “Jika saya ingin membuat mesin untuk melakukan x, apakah saya akan membuatnya seperti ini? Atau apakah objek ini dijelaskan dengan lebih baik sebagai mesin yang dirancang untuk melakukan y?”
Mistar hitung, yang sejak dulu merupakan azimat profesi insinyur, kini di zaman elektronik sudah menjadi sama usangnya dengan barang dari Zaman Perunggu. Seorang arkeolog dari masa depan yang menemukan mistar hitung dan bertanya tentangnya mungkin akan menyimpulkan bahwa barangnya berguna untuk membuat garis lurus atau mengoles mentega di roti. Tetapi berasumsi bahwa salah satu fungsi tersebut merupakan tujuan aslinya melanggar asumsi mengenai ekonomi. Penggaris atau pisau mentega saja tidak membutuhkan bagian tengah yang dapat digeser. Lagi pula, jika kita memeriksa jarak tandanya, kita menemukan skala logaritme saksama, terlalu halus untuk sekadar kebetulan. Arkeolog itu akan menyadari bahwa, di zaman sebelum kalkulator elektronik, pola itu merupakan kiat cerdik untuk perkalian dan pembagian. Misteri mistar hitung akan dibongkar oleh rekayasa balik, menggunakan asumsi perancangan cerdas dan ekonomis.
Istilah teknis “fungsi utilitas” bukan milik insinyur melainkan ekonom. Istilahnya berarti “apa yang dimaksimalkan.” Perancang ekonomi dan insinyur sosial agak menyerupai arsitek dan insinyur asli karena mereka berusaha memaksimalkan sesuatu. Para utilitarian berusaha memaksimalkan “kebahagiaan paling banyak untuk jumlah orang paling banyak” (tentu saja frase itu terdengar lebih cerdas dari yang sebenarnya). Di bawah payung ini, seorang utilitarian dapat lebih menekankan stabilitas jangka panjang dibandingkan kebahagiaan jangka pendek atau tidak, dan tidak semua utilitarian setuju tentang apakah “kebahagiaan” harus diukur dengan kekayaan, kepuasan dalam bekerja, pemenuhan kultural atau hubungan pribadi. Orang lain dengan berani memaksimalkan kebahagiaannya sendiri dan merugikan kebaikan umum, dan mereka dapat membenarkan egoismenya dengan suatu filsafat yang mengatakan bahwa kebahagiaan umum akan dimaksimalkan jika setiap orang mengurus dirinya sendiri. Dengan mengamati perilaku individu-individu sepanjang hidupnya, seharusnya kita bisa merekayasa balik fungsi utilitasnya. Jika kita merekayasa balik perilaku pemerintahan di suatu negara, kita mungkin akan menyimpulkan bahwa apa yang dimaksimalkan adalah pekerjaan dan kesejahteraan universal. Untuk negara lain, ternyata fungsi utilitasnya adalah kekuasaan presiden yang terus-menerus, atau kekayaan keluarga mapan tertentu, kebesaran harem sultan, stabilitas Timur Tengah atau penjagaan harga minyak. Poin saya di sini adalah kita bisa membayangkan lebih dari satu fungsi utilitas. Tidak selalu jelas apa yang ingin dimaksimalkan oleh individu, perusahaan, atau pemerintahan. Tetapi sepertinya aman saja jika kita berasumsi bahwa mereka memaksimalkan sesuatu. Ini karena Homo sapiens adalah spesies yang dirasuki tujuan. Prinsip itu berlaku bahkan jika ternyata fungsi utilitas itu adalah jumlah bobot, atau fungsi rumit lain dengan banyak input.
Mari kita kembali ke tubuh hidup dan berusaha menyarikan fungsi utilitasnya. Bisa jadi ada banyak, tetapi ternyata semua dapat direduksi menjadi satu, dan hal ini sangat mendidik. Cara baik untuk mendramatisasi tugas kita adalah membayangkan bahwa makhluk hidup diciptakan oleh seorang Insinyur Ilahi dan berusaha menguraikan, dengan rekayasa balik, apa yang sang Insinyur ingin maksimalkan: Apa Fungsi Utilitas Tuhan?
Citah sangat tampak seolah-olah dirancang dengan begitu baiknya untuk sesuatu, dan seharusnya mudah saja merekayasa balik hewan itu dan menguraikan fungsi utilitasnya. Sepertinya citah dirancang dengan baik untuk membunuh antelop. Gigi, cakar, hidung, otot kaki, tulang belakang dan otak citah semua sesuai secara persis dengan harapan kita seandainya tujuan Tuhan dalam merancang citah adalah memaksimalkan kematian antelop. Sebaliknya, jika kita merekayasa balik seekor antelop, kita menemukan bukti yang sangat meyakinkan untuk tujuan yang persis terbalik: supaya antelop bertahan hidup dan citah mati kelaparan. Seolah-olah citah diciptakan oleh satu tuhan dan antelop oleh tuhan pesaingnya. Namun, jika hanya ada satu Pencipta yang menciptakan harimau dan domba, citah dan gazel, apa maksudNya? Apa Dia Tuhan sadis yang senang menonton kompetisi berdarah? Apa Dia ingin menghindari overpopulasi mamalia di Afrika? Apa Dia ingin memaksimalkan penonton acara David Attenborough di televisi? Semua ini adalah fungsi utilitas yang masuk akal dan mungkin saja benar. Tentu saja, pada kenyataannya, mereka semua salah. Kini kita memahami Fungsi Utilitas tunggal kehidupan dalam banyak detailnya, dan fungsi itu sama sekali tidak menyerupai apa yang disebut di atas.
Bab 1 sudah menyiapkan pembaca untuk pandangan bahwa fungsi utilitas kehidupan yang benar, apa yang dimaksimalkan di alam, adalah bertahan hidupnya DNA. Tetapi DNA tidak melayang dengan bebas; ia terkunci dalam tubuh hidup dan harus memaksimalkan kegunaan alat-alat yang ia punyai. Rangkaian DNA yang kebetulan berada dalam tubuh citah memaksimalkan bertahan hidupnya dengan membuat tubuh itu membunuh gazel. Rangkaian yang kebetulan berada dalam tubuh gazel memaksimalkan bertahan hidupnya dengan mendukung tujuan yang sebaliknya. Tetapi bertahan hidupnya DNA-lah yang dimaksimalkan dalam kedua kasus itu. Dalam bab ini, saya akan merekayasa balik sejumlah contoh praktis dan menunjukkan bahwa semuanya masuk akal jika kita berasumsi bahwa bertahan hidupnya DNA yang dimaksimalkan.
Rasio seks – proporsi jantan dibandingkan dengan betina – dalam populasi liar biasanya 50:50. Ini sepertinya tidak masuk akal secara ekonomi dalam banyak spesies yang mengikuti sistem harem: minoritas jantan memonopoli para betina. Dalam salah satu populasi gajah laut yang sudah banyak dikaji, 4 persen jantan melakukan 88 persen perkawinan. Abaikan saja bahwa “Fungsi Utilitas Tuhan” dalam kasus ini tampak tidak adil bagi mayoritas bujangan. Lebih buruk lagi, suatu tuhan yang mengutamakan kehematan dan efisiensi pasti akan melihat bahwa 96 persen jantan bujangan itu mengonsumsi separuh sumber daya makanan populasi (sebenarnya lebih dari separuh, karena jantan dewasa jauh lebih besar dari betina). Para bujangan tambahan tidak berbuat apa-apa selain menunggu kesempatan untuk menggantikan 4 persen kepala harem yang beruntung. Bagaimana bisa eksistensi jumlah bujangan yang begitu besar dibenarkan? Fungsi utilitas apa pun yang sedikitnya memperhatikan efisiensi ekonomis komunitas akan menyingkirkan para bujangan. Kemudian, jumlah jantan yang lahir tidak akan melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk membuahi para betina. Anomali semu ini, sekali lagi, dijelaskan dengan kesederhanaan yang anggun ketika kita mengerti Fungsi Utilitas Darwinian sejati: memaksimalkan bertahan hidupnya DNA.
Saya akan melihat contoh rasio seks ini secara terperinci, karena fungsi utilitasnya cocok secara halus dengan pembacaan ekonomis. Charles Darwin mengaku dirinya kebingungan: “Dulu saya kira bahwa ketika suatu kecenderungan untuk menghasilkan kedua jenis kelaminnya dalam jumlah yang sama ternyata bermanfaat bagi spesies, hal itu akan berasal dari seleksi alam, tetapi kini saya melihat bahwa seluruh masalah itu begitu rumit sehingga lebih aman menunggu solusinya di masa depan saja.” Seperti yang sangat sering terjadi, Sir Ronald Fisher yang agung itu berjasa di masa depan Darwin. Fisher menalar sebagai berikut.
Semua individu yang lahir hanya memiliki satu ibu dan satu ayah. Dengan demikian, tingkat keberhasilan reproduksi semua jantan hidup, diukur dengan keturunan jauh, pasti sama dengan semua betina hidup. Maksud saya bukan setiap jantan dan betina, karena ada individu tertentu yang jelas-jelas dan secara penting lebih berhasil dibandingkan dengan yang lain. Maksud saya adalah keseluruhan jantan dibandingkan dengan keseluruhan betina. Keseluruhan keturunan ini harus dibagi di antara para individu jantan dan betina – tidak dibagi sama-rata, tetapi dibagi. Kue reproduksi yang harus dibagi di antara semua jantan adalah sama dengan kue yang harus dibagi di antara semua betina. Dengan demikian, jika ada, misalnya, lebih banyak jantan dari betina dalam populasinya, potongan kue rata-rata untuk setiap jantan pasti lebih kecil daripada potongan kue rata-rata untuk setiap betina. Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa keberhasilan reproduksi rata-rata (yakni, jumlah keturunan yang diharapkan) untuk seekor jantan dibandingkan dengan keberhasilan reproduksi rata-rata untuk seekor betina hanya ditentukan oleh rasio jantan-betina. Anggota jenis kelamin minoritas rata-rata mengalami keberhasilan reproduksi lebih banyak daripada anggota jenis kelamin mayoritas rata-rata. Kedua jenis kelamin hanya akan mengalami keberhasilan reproduksi yang sama jika rasio seks sebanding dan tidak ada minoritas. Kesimpulan sangat sederhana ini adalah konsekuensi penalaran murni, yang tidak mengandalkan fakta empiris sama sekali, kecuali fakta fundamental bahwa semua anak yang lahir memiliki satu ayah dan satu ibu.
Jenis kelamin biasanya ditentukan saat pembuahan, jadi kita boleh berasumsi bahwa seorang individu tidak mampu menentukan jenis kelaminnya. Kita akan berasumsi, bersama Fischer, bahwa orang tua mungkin mampu menentukan jenis kelamin anaknya. Dengan “mampu,” tentu saja, maksud kita bukan kemampuan yang digunakan secara sadar atau sengaja. Tetapi mungkin seorang ibu memiliki kecenderungan genetik untuk menghasilkan kimia vagina yang sedikit kurang ramah terhadap sperma yang menghasilkan anak lelaki, tetapi bukan anak perempuan. Atau mungkin seorang ayah memiliki kecenderungan genetik untuk memproduksi lebih banyak sperma yang menghasilkan anak perempuan daripada sperma yang menghasilkan anak lelaki. Bagaimanapun prosesnya secara praktis, bayangkan diri Anda sebagai orang tua yang harus memutuskan untuk memiliki anak lelaki atau perempuan. Sekali lagi, maksud kita bukan keputusan sadar melainkan seleksi atas generasi-generasi gen yang membentuk tubuh agar memengaruhi jenis kelamin keturunannya.
Jika Anda ingin memaksimalkan jumlah cucu Anda, sebaiknya Anda memiliki anak lelaki atau perempuan? Kita sudah melihat bahwa sebaiknya anak Anda adalah jenis kelamin minoritas dalam populasi itu. Dengan cara itu, anak Anda dapat mengharapkan bagian aktivitas reproduksi yang relatif besar, dan Anda bisa mengharapkan jumlah cucu yang relatif besar. Jika tidak ada jenis kelamin yang lebih langka – jika, dengan kata lain, rasionya sudah 50:50 – tidak ada manfaat mengutamakan salah satu jenis kelamin dibandingkan dengan yang lain. Tidak ada bedanya mempunyai anak lelaki atau perempuan. Rasio seks 50:50 demikian dianggap stabil secara evolusi, menurut istilah yang pertama kali digunakan oleh ahli evolusi Inggris agung, John Maynard Smith. Bias terhadap jenis kelamin anak Anda hanya bermanfaat jika rasio seks bukan 50:50. Mengenai pertanyaan kenapa individu harus berusaha memaksimalkan jumlah cucu dan keturunan lebih jauh, itu hampir tidak perlu dilontarkan. Gen yang membuat individu memaksimalkan keturunannya adalah gen yang kita kira akan ada di dunia. Hewan-hewan yang kita pelajari mewarisi gen dari leluhur sukses.
Mungkin kita tergoda untuk mengucapkan teori Fisher dengan mengatakan bahwa 50:50 adalah rasio seks “terbaik,” tetapi ini keliru. Jenis kelamin terbaik untuk anak adalah jantan jika ada minoritas jantan, betina jika ada minoritas betina. Jika tidak ada minoritas, tidak ada yang terbaik: orang tua yang dirancang dengan baik akan masa bodoh tentang jenis kelamin anaknya. Limapuluh-limapuluh dianggap sebagai rasio seks yang stabil secara evolusi karena seleksi alam tidak memilih kecenderungan apa pun untuk menyimpang darinya, dan jika ada penyimpangan darinya, maka seleksi alam memilih kecenderungan untuk menyeimbanginya.
Lagi pula, Fisher menyadari bahwa tidak hanya jumlah jantan dan betina yang dipertahankan pada rasio 50:50 oleh seleksi alam, tetapi apa yang dia namakan “pengeluaran orang tua” untuk anak lelaki dan perempuan. Pengeluaran orang tua berarti semua makanan yang diraih dengan susah payah yang diberikan kepada anak; semua waktu dan energi yang dihabiskan dalam memeliharanya, yang bisa saja digunakan untuk hal yang lain, seperti memelihara anak yang lain. Andaikan, misalnya, bahwa orang tua dalam spesies anjing laut partikular biasanya menggunakan dua kali lebih banyak waktu dan energi untuk membesarkan anak jantan daripada anak betina. Anjing laut jantan begitu besar dibandingkan dengan betina, sehingga mudah percaya (padahal besar kemungkinan keliru) bahwa ini benar. Pikirkan apa artinya itu. Pilihan yang benar-benar ada untuk orang tua bukanlah “Apa saya harus mempunyai anak lelaki atau perempuan?” melainkan “Apa saya harus mempunyai satu anak lelaki atau dua anak perempuan?” Ini karena, dengan makanan dan barang lain yang dibutuhkan untuk membesarkan satu anak lelaki, mereka bisa membesarkan dua anak perempuan. Rasio seks yang stabil secara evolusi, diukur dengan jumlah tubuh, menjadi dua perempuan untuk setiap lelaki. Tetapi diukur dengan jumlah pengeluaran orang tua (dan bukan jumlah individu), rasio seks yang stabil secara evolusi tetap 50:50. Teori Fisher merupakan penyeimbangan atas pengeluaran untuk kedua jenis kelamin. Ternyata penyeimbangan pengeluaran itu sering menjadi sama dengan penyeimbangan atas jumlah individu dari kedua jenis kelamin.
Bahkan bagi anjing laut, sebagaimana sudah saya katakan, tampaknya jumlah pengeluaran orang tua untuk anak jantan tidak begitu berbeda dengan jumlah pengeluaran untuk anak betina. Kesenjangan berat badan yang besar sepertinya terjadi setelah pengeluaran orang tua sudah selesai. Jadi keputusan yang dihadapi oleh orang tua tetaplah, “Apa saya harus mempunyai anak jantan atau betina?” Meskipun pengeluaran total untuk pertumbuhan anak jantan hingga dewasa bisa saja jauh lebih banyak dari pengeluaran total untuk pertumbuhan anak betina, jika pengeluaran tambahan itu tidak dipikul oleh pengambil keputusan (orang tua), itu tidak memengaruhi teori Fisher.
Peraturan Fisher tentang penyeimbangan pengeluaran tetap berlaku dalam kasus spesies yang mortalitas salah satu jenis kelamin lebih tinggi daripada yang lain. Andaikan, misalnya, bahwa bayi jantan lebih mungkin mati daripada bayi betina. Jika rasio seks saat pembuahan persis 50:50, jumlah jantan yang beranjak dewasa akan lebih sedikit daripada jumlah betina. Kemudian, jantan menjadi jenis kelamin minoritas, dan kita layak mengira bahwa seleksi alam akan memilih orang tua yang mempunyai anak jantan. Fisher juga akan mengira itu, tetapi hanya sampai titik tertentu – suatu titik yang terbatas secara tepat. Dia tidak mengira bahwa orang tua akan menghasilkan surplus anak jantan, sehingga seringnya kematian bayi jantan terkompensasi, dan itu akan menyebabkan kesetaraan dalam populasi kawin. Tidak, rasio seks waktu pembuahan harus sedikit berat-sebelah terhadap jantan, tetapi hanya sejauh pengeluaran total untuk anak jantan dikira akan sama dengan pengeluaran total untuk anak betina.
Sekali lagi, cara paling mudah untuk memikirkan hal ini adalah dengan menempatkan diri di posisi orang tua yang harus mengambil keputusan dan bertanya, “Apa saya harus mempunyai anak perempuan, yang besar kemungkinan akan bertahan hidup, atau lelaki, yang mungkin akan mati saat bayi?” Keputusan untuk menghasilkan cucu melalui anak lelaki berarti lebih mungkin Anda harus menghabiskan lebih banyak sumber daya untuk anak lelaki tambahan sebagai pengganti untuk mereka yang mati. Anda bisa membayangkan bahwa setiap anak lelaki yang bertahan hidup memikul hantu kakak-kakaknya yang mati di punggungnya. Dia memikul mereka di punggungnya dalam arti bahwa keputusan mempunyai anak lelaki untuk menghasilkan cucu menambah pengeluaran orang tua yang terbuang untuk lelaki yang mati saat bayi. Peraturan fundamental Fisher tetap berlaku. Jumlah total energi dan barang yang diinvestasikan untuk anak lelaki (termasuk memberi makan kepada bayi-bayi lelaki hingga titik mereka mati) akan sama dengan jumlah total yang diinvestasikan untuk anak perempuan.
Bagaimana jika, alih-alih seringnya kematian jantan yang terjadi saat bayi, justru kematian jantan lebih sering terjadi setelah pengeluaran orang tua sudah berakhir? Sebenarnya ini akan sering terjadi, karena jantan dewasa sering berkelahi dan saling melukai. Keadaan ini, juga, akan menyebabkan surplus betina di populasi kawin. Jadi, pada pandangan pertama, sepertinya faktor ini lebih memilih orang tua yang mempunyai anak jantan, dan dengan cara itu memanfaatkan kelangkaan jantan di populasi kawin. Namun, berpikirlah sedikit lebih keras, dan Anda akan menyadari bahwa penalaran ini keliru. Keputusan yang dihadapi orang tua sebagai berikut: “Apa saya harus mempunyai anak jantan, yang besar kemungkinan akan mati dalam pertempuran setelah saya membesarkannya tetapi, jika dia bertahan hidup, akan memberi saya cucu-cucu tambahan? Atau apa saya harus mempunyai anak betina, yang hampir pasti akan memberi saya jumlah cucu yang rata-rata?” Jumlah cucu yang dapat diharapkan melalui anak jantan tetap sama dengan jumlah rata-rata yang dapat diharapkan melalui anak betina. Dan harga menghasilkan anak jantan tetap adalah harga memberi dia makan dan melindunginya hingga titik dia keluar dari sarang. Fakta bahwa besar kemungkinan dia akan dibunuh tidak lama setelah dia pergi tidak mengubah perhitungannya.
Dalam semua penalaran ini, Fisher berasumsi bahwa “pengambil keputusan” adalah orang tua. Perhitungan berubah jika pengambil keputusan adalah orang lain. Andaikan, misalnya, bahwa seorang individu dapat memilih jenis kelaminnya sendiri. Sekali lagi, maksud saya bukan dengan niat sadar. Saya berhipotesis bahwa ada gen yang mengalihkan perkembangan individu ke jalur jantan atau betina, bergantung pada kondisi lingkungan. Mengikuti konvensi biasa kita, untuk alasan kesingkatan saya akan menggunakan bahasa pilihan sengaja oleh individu – dalam kasus ini, pilihan sengaja atas jenis kelaminnya sendiri. Jika hewan berharem seperti gajah laut diberikan kekuatan pilihan ini, dampaknya akan dramatis. Individu-individu akan bercita-cita menjadi jantan kepala harem, tetapi jika mereka gagal mendapat harem mereka akan lebih memilih menjadi betina daripada jantan bujangan. Rasio seks dalam populasinya akan berat sebelah terhadap betina. Sayangnya, gajah laut tidak bisa merevisi jenis kelamin yang mereka terima saat pembuahan, tetapi ada ikan yang mampu melakukannya. Jantan ikan wrasse kepala-biru adalah besar dan berwarna terang, dan mereka memiliki harem betina berwarna pudar. Ada betina-betina yang lebih besar dari sesama betina yang lain, dan mereka membentuk hirarki dominasi. Jika jantan mati, kedudukannya lekas digantikan oleh betina terbesar, yang cepat berubah menjadi jantan berwarna terang. Ikan-ikan ini mendapat yang terbaik dari kedua jenis kelaminnya. Alih-alih membuang hidupnya sebagai jantan bujangan yang menunggu kematian jantan dominan yang memiliki harem, mereka menghabiskan masa penantiannya sebagai betina produktif. Sistem rasio-seks ikan wrasse kepala-biru adalah langka; di dalamnya, Fungsi Utilitas Tuhan berkesesuaian dengan sesuatu yang mungkin akan dianggap oleh seorang ekonom sosial sebagai bijaksana.
Jadi, kita sudah mempertimbangkan orang tua dan diri sendiri sebagai pengambil keputusan. Siapa lagi yang mungkin sebagai pengambil keputusan? Dalam serangga sosial sebagian besar keputusan investasi diambil oleh pekerja mandul, yang biasanya sebagai kakak betina (dan juga jantan, dalam kasus rayap) dari anak yang dibesarkan. Lebah madu adalah salah satu serangga sosial yang cukup dikenal. Pembaca saya yang juga peternak lebah mungkin sudah menyadari bahwa rasio seks dalam sarang sepertinya tidak sesuai dengan harapan Fisher. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah, pekerja seharusnya tidak dihitung sebagai betina. Secara teknis mereka adalah betina, tetapi mereka tidak bereproduksi, jadi rasio seks yang diatur menurut teori Fisher adalah rasio lebah jantan dibandingkan dengan ratu-ratu baru yang dihasilkan oleh sarang. Dalam kasus lebah dan semut, ada alasan teknis khusus, yang sudah saya bahas dalam The Selfish Gene dan tidak akan ulangi di sini, untuk mengharapkan rasio seks menjadi 3:1, dengan lebih banyak betina. Jauh dari ini, seperti yang sudah diketahui oleh peternak lebah siapa pun, rasio seks aktual berat sebelah kepada jantan. Sarang yang berkembang dengan baik bisa menghasilkan enam ratu baru dalam satu musim tetapi ratusan atau bahkan ribuan jantan.
Kenapa bisa begitu? Seperti sering terjadi dalam teori evolusi modern, kita berutang kepada W.D. Hamilton, yang mengajar di Universitas Oxford, untuk jawabannya. Jawaban ini sangat membuka wawasan dan menjadi teladan bagi seluruh teori rasio seks yang terinspirasi oleh Fisher. Kunci teka-teki rasio seks lebah terdapat dalam fenomena menakjubkan: berkerumun. Sarang lebah, dalam banyak hal, menyerupai individu. Ia tumbuh sampai dewasa, bereproduksi, dan akhirnya mati. Produk reproduksi sarang lebah adalah kerumunan. Pada puncak musim panas, ketika sarang sudah sejahtera, sarang mengeluarkan koloni anak – kerumunan. Menghasilkan kerumunan itu sama dengan bereproduksi bagi sarang. Ibaratnya sarang itu pabrik, kerumunan adalah produk akhir yang membawa gen koloni yang berharga. Kerumunan terdiri atas satu ratu dan beberapa ribu pekerja. Mereka semua berangkat dari sarang induk dalam satu kelompok dan berkumpul sebagai gugus padat, bergantung pada dahan atau batu. Tempat itu menjadi perkemahan sementara sambil mereka mencari rumah tetap yang baru. Dalam waktu beberapa hari, mereka menemukan gua atau pohon keropos (atau, yang lebih sering terjadi dewasa ini, mereka ditangkap oleh seorang peternak lebah, barangkali peternak mereka yang semula, lalu ditampung dalam sarang baru).
Kewajiban sarang yang berkembang dengan baik adalah menghasilkan kerumunan anak. Langkah pertama dalam melakukan ini adalah membuat ratu baru. Biasanya sekitar 6 ratu baru dibuat, tetapi hanya salah satu yang ditakdirkan untuk hidup. Ratu yang menetas pertama kemudian menyengat yang lain sampai mati. (Diperkirakan ratu tambahan itu hanya ada untuk alasan asuransi.) Ratu sama saja secara genetik dengan pekerja, tetapi mereka dibesarkan di sel ratu istimewa yang digantung di bagian bawah sarang, dan mereka diberikan makanan khusus ratu. Makanannya termasuk royal jelly, zat yang menurut novelis Dame Barbara Cartland membuat umurnya panjang dan sikapnya seperti ratu. Lebah pekerja dibesarkan dalam sel yang lebih kecil, sel yang sama yang nantinya digunakan untuk menyimpan madu. Lebah jantan berbeda secara genetik. Mereka berasal dari telur yang tidak dibuahi. Menariknya, terserah ratu apakah telur menjadi jantan atau betina (ratu/pekerja). Lebah ratu hanya kawin dalam penerbangan kawin, pada awal kehidupan dewasanya, dan dia menyimpan sperma seumur hidupnya, di dalam tubuhnya. Sambil setiap telur melewati saluran telurnya, dia bisa melepaskan paket sperma kecil dari cadangannya untuk membuahinya atau tidak. Dengan demikian, ratu berkuasa atas rasio seks telur. Namun, setelah itu, sepertinya para pekerja yang berkuasa, karena mereka menguasai persediaan makanan untuk para larva. Misalnya, mereka bisa membuat larva jantan mati kelaparan jika menurutnya ratu menghasilkan terlalu banyak telur jantan. Bagaimanapun, para pekerja berkuasa atas apakah telur betina menjadi pekerja atau ratu, karena ini bergantung pada kondisi pemeliharaan, khususnya makanan.
Mari kita kembali ke masalah rasio seks kita dan melihat keputusan yang dihadapi oleh para pekerja. Seperti sudah kita lihat, berbeda dengan ratu, mereka tidak memilih apakah anak jantan atau betina yang akan dihasilkan, tetapi saudara (jantan) atau saudari (ratu muda). Dan sekarang kita kembali ke teka-teki kita. Karena rasio seks aktual sepertinya sangat berat sebelah terhadap jantan, dan itu tampaknya tidak masuk akal dari sudut pandang Fisher. Mari kita lihat keputusan yang dihadapi para pekerja dengan lebih saksama. Saya berkata bahwa ada pilihan di antara saudara dengan saudari. Tetapi tunggu sebentar. Keputusan untuk membesarkan lebah jantan memang seperti itu: sarang berkomitmen untuk memberi makanan dan sumber daya apa pun yang dibutuhkan untuk membesarkan seekor lebah jantan. Tetapi keputusan untuk membesarkan ratu baru membuat sarang berkomitmen untuk jauh lebih banyak dari sekadar sumber daya yang dibutuhkan untuk satu tubuh ratu. Keputusan untuk membesarkan ratu baru itu sama dengan berkomitmen untuk menghasilkan kerumunan. Jumlah royal jelly dan makanan lain yang akan dimakan ratu baru hanya merupakan bagian sangat kecil dari harga aslinya. Sebagian besar dari harga itu terdiri atas pembuatan ribuan pekerja yang akan pergi dari sarang bersama dengan kerumunannya.
Ini hampir pasti merupakan penjelasan yang benar tentang bias jantan dalam rasio seks yang tampaknya anomali. Ternyata ini adalah contoh ekstrem atas apa yang saya bahas sebelumnnya. Menurut peraturan Fisher, jumlah pengeluaran untuk jantan dan betina harus sama, bukan jumlah individu jantan dan betina. Pengeluaran untuk ratu baru berarti pengeluaran sangat besar untuk pekerja yang berangkat dari sarang bersama dengan ratu baru itu. Sama halnya dengan populasi anjing laut hipotetis kita, tempat harga pembesaran satu jenis kelamin adalah dua kali lipat daripada harga yang lain, dengan hasil bahwa jenis kelamin itu dua kali lebih langka. Dalam kasus lebah, harga ratu adalah ratusan atau bahkan ribuan kali lebih mahal daripada lebah jantan, karena dia memikul harga semua pekerja tambahan yang dibutuhkan untuk kerumunan. Jadi ratu itu ratusan kali lebih langka daripada jantan. Ada pemutaran satu lagi dalam cerita aneh ini: ketika kerumunan berangkat, secara misterius, kerumunan itu mengandung ratu lama, bukan yang baru. Walaupun begitu, perhitungannya tetap sama. Keputusan untuk membuat ratu baru tetap mengharuskan pengeluaran untuk kerumunan yang dibutuhkan untuk menggiring ratu lama ke rumah barunya.
Untuk menutup diskusi kita tentang rasio seks, kita kembali ke teka-teki harem yang membuka diskusi ini: susunan keluarga boros dengan segerombolan besar jantan bujangan yang menghabiskan hampir separuh (atau bahkan lebih dari separuh) sumber daya makanan populasi, tetapi tidak pernah bereproduksi atau melakukan apa pun yang lain yang berguna. Jelas, kesejahteraan ekonomi populasi tidak dimaksimalkan di sini. Ada apa? Sekali lagi, anggaplah diri Anda sebagai pengambil keputusan – misalnya, seorang ibu yang berusaha “memutuskan” untuk mempunyai anak lelaki atau perempuan agar memaksimalkan jumlah cucu. Keputusannya, pada pandangan pertama, tidak setara: “Apa saya harus mempunyai anak lelaki, yang besar kemungkinan akan berakhir sebagai bujangan dan tidak menghasilkan cucu sama sekali, atau anak perempuan, yang besar kemungkinan akan berakhir dalam harem dan akan menghasilkan sejumlah cucu yang lumayan?” Jawaban yang layak kepada bakal ibu ini adalah “Tetapi jika Anda mempunyai anak lelaki, dia mungkin akan berakhir sebagai kepala harem, lalu dia akan menghasilkan jauh lebih banyak cucu daripada yang Anda bisa harapkan melalui anak perempuan.” Andaikan, untuk alasan kesederhanaan, bahwa semua betina bereproduksi secara rata-rata, dan bahwa sembilan dari sepuluh jantan tidak pernah bereproduksi, sedangkan satu jantan dari sepuluh memonopoli semua betina. Jika Anda mempunyai anak perempuan, Anda bisa mengharapkan jumlah cucu rata-rata. Jika Anda mempunyai anak lelaki, kemungkinan 90 persen Anda tidak mempunyai cucu, tetapi 10 persen kemungkinan mempunyai jumlah cucu yang sepuluh kali lipat lebih banyak dari rata-rata. Jumlah cucu rata-rata yang Anda bisa harapkan melalui anak lelaki Anda itu sama dengan jumlah rata-rata yang Anda bisa harapkan melalui anak perempuan Anda. Seleksi alam masih memilih rasio seks 50:50, padahal akal budi ekonomis pada tingkat spesies menuntut jumlah perempuan yang lebih banyak. Peraturan Fisher tetap berlaku.
Saya menyebut semua penalaran ini sebagai “keputusan” yang diambil hewan individu, tetapi saya ulangi bahwa itu hanya singkatan. Sebenarnya, gen “untuk” memaksimalkan cucu bertambah banyak dalam lungkang gen. Dunia dipenuhi dengan gen yang telah berhasil diwariskan selama berzaman-zaman. Bagaimana gen berhasil diwariskan selama berzamanzaman selain dari memengaruhi keputusan individu agar memaksimalkan jumlah keturunannya? Teori rasio seks Fisher menunjukkan bagaimana pemaksimalan itu harus dilakukan, dan itu sangat berbeda dengan pemaksimalan kesejahteraan ekonomis spesies atau populasi. Ada fungsi utilitas di sini, tetapi jauh dari fungsi utilitas yang akan dibayangkan oleh pikiran ekonomis manusia kita.
Pemborosan ekonomi harem dapat dirangkum sebagai berikut: jantan, alih-alih mengabdikan dirinya untuk bekerja secara berguna, membuang energi dan kekuatan dalam perjuangan sia-sia satu melawan yang lain. Ini benar, meskipun kita mendefinisikan “berguna” dengan cara yang tampak Darwinian, sebagai suatu yang terkait dengan pemeliharaan anak. Jika jantan-jantan mengalihkan energi yang mereka buang untuk kompetisi ke dalam saluran yang berguna, spesies secara keseluruhan akan memelihara lebih banyak anak dengan usaha dan konsumsi makanan yang lebih sedikit.
Seorang ahli efisiensi pekerjaan akan kehabisan kata-kata melihat dunia gajah laut. Kini saya memberi contoh dari dunia pekerjaan manusia yang kira-kira serupa. Ada sebuah bengkel yang hanya butuh sepuluh orang untuk berjalan, karena hanya ada sepuluh mesin bubut di situ. Alih-alih hanya mempekerjakan sepuluh orang, manajemen memutuskan untuk mempekerjakan seratus orang. Setiap hari, seratus orang itu datang untuk mengambil upahnya. Lalu mereka menghabiskan harinya berkelahi untuk mendapat posisi di salah satu mesin bubut. Ada barang yang berhasil dibuat dengan mesin bubut, tetapi tidak lebih banyak daripada jumlah yang akan dihasilkan oleh sepuluh orang, dan besar kemungkinan lebih sedikit, karena seratus orang itu begitu sibuk berkelahi sehingga mesin bubutnya tidak digunakan secara efisien. Ahli efisiensi pekerjaan tidak akan ragu. Sembilan puluh persen karyawan itu mubazir, dan seharusnya mereka dinyatakan begitu secara resmi dan diberhentikan.
Jantan hewan tidak hanya membuang usahanya dalam perkelahian fisik – ”membuang” didefinisikan, sekali lagi, dari sudut pandang ekonom manusia atau ahli efisiensi pekerjaan. Dalam banyak spesies ada juga kontes kecantikan. Kini kita sampai ke fungsi utilitas satu lagi yang kita bisa terima sebagai manusia meskipun tidak masuk akal secara murni ekonomi: keindahan estetis. Di permukaan, tampak seolah-olah Fungsi Utilitas Tuhan dirancang seperti kontes Miss World (syukurlah sudah tidak begitu populer), tetapi dengan jantan sebagai kontestannya. Ini dilihat dengan paling jelas dalam fenomena yang disebut lek dalam burung seperti grouse dan ruff. “Lek” adalah bidang tanah kecil yang secara tradisional digunakan oleh burung jantan untuk memamerkan dirinya kepada betina. Betina mengunjungi lek dan menonton pameran sejumlah jantan sebelum memilih salah satu dan kawin dengannya. Para jantan dalam spesies yang berlek sering memiliki hiasan aneh, yang mereka pamerkan diiringi dengan gerakan naik turun atau membungkuk dan suara aneh. Kata “aneh” itu tentu saja merupakan penilaian subjektif; mungkin seekor burung grouse sage jantan yang sedang berlek, sedang menari dengan tubuhnya dibesar-besarkan dan berbunyi seperti botol anggur dibuka, tidak terkesan aneh bagi betina di spesies itu, dan hanya itu yang penting. Dalam kasus tertentu, ide burung betina tentang keindahan ternyata sesuai dengan ide kita, dan hasilnya adalah burung merak atau cenderawasih.
Semua corak seperti lagu burung bubul, ekor burung pegar, kedipan kunang-kunang dan sisik pelangi ikan karang tropis memaksimalkan keindahan estetis, tetapi itu bukan – atau hanya secara kebetulan – keindahan untuk kenikmatan manusia. Jika kita menikmatinya, itu hanyalah bonus atau efek samping. Gen yang membuat jantan menarik bagi betina secara otomatis diturunkan melalui sungai digital ke masa depan. Hanya ada satu fungsi utilitas yang mampu menjelaskan keindahan tersebut; fungsi yang sama yang menjelaskan rasio seks gajah laut, lomba lari citah dan antelop yang tampak sia-sia, burung cuckoo dan kutu, mata dan telinga dan batang tenggorokan, semut pekerja mandul dan ratu yang sangat subur. Fungsi Utilitas universal agung, kuantitas yang dimaksimalkan dengan rajin di setiap sudut dunia hidup adalah, dalam setiap kasus, bertahan hidupnya DNA yang bertanggung jawab atas corak yang ingin dijelaskan.
Para jantan merak dibebani bulu cantik yang saking beratnya mereka susah melakukan pekerjaan yang berguna, seandainya mereka ingin melakukan pekerjaan berguna – dan pada umumnya, mereka tidak ingin itu. Jantan burung penyanyi menghabiskan begitu banyak waktu dan energi untuk bernyanyi hingga membahayakan diri mereka. Ini tentu mengancam mereka, tidak hanya karena menarik perhatian pemangsa tetapi juga membuang energi, serta waktu yang dapat digunakan untuk memulihkan energi itu. Ada seorang sarjana biologi burung wren yang mengklaim bahwa salah satu jantan liarnya bernyanyi sehingga mati. Fungsi utilitas apa pun yang mempertimbangkan kesejahteraan spesies dalam jangka panjang, bahkan bertahan hidup jangka panjangnya jantan individu partikular ini, akan mengurangi jumlah nyanyian, jumlah pameran, dan jumlah perkelahian di antara para jantan. Namun, karena apa yang sebenarnya dimaksimalkan adalah bertahan hidupnya DNA, tidak ada yang bisa menghentikan penyebaran DNA yang tidak bermanfaat selain dari membuat jantan indah bagi betina. Keindahan bukan keutamaan mutlak pada dirinya sendiri. Tetapi akhirnya, jika ada gen yang memberi kepada jantan kualitas apa pun yang kebetulan dianggap menarik oleh betina di spesies itu, gen itu yang mau tidak mau akan bertahan.
Kenapa pohon di hutan begitu tinggi? Sederhananya, agar mengatasi pohon pesaing. Fungsi utilitas yang “bijaksana” akan memastikan bahwa mereka semua pendek. Mereka akan mendapat jumlah cahaya matahari yang persis sama, dengan pengeluaran yang jauh lebih sedikit untuk batang yang besar dan akar banir yang kukuh. Tetapi jika mereka semua pendek, seleksi alam tidak bisa tidak memilih individu yang berbeda yang tumbuh sedikit lebih tinggi. Dengan taruhan sudah dinaikkan, maka pohon-pohon yang lain akan ikut. Tidak ada yang bisa menghentikan permainan itu yang terus meningkat sehingga tinggi semua pohon menjadi konyol dan boros. Itu hanya konyol dan boros dari sudut pandang perancang ekonomi rasional yang ingin memaksimalkan efisiensi. Tetapi semuanya masuk akal ketika kita memahami fungsi utilitas asli – gen memaksimalkan bertahan hidupnya sendiri. Ada banyak analogi yang dekat dengan kehidupan kita. Di pesta koktail, kita teriak hingga parau. Alasannya, semua orang lain juga berteriak sekeras-kerasnya. Seandainya semua tamu bisa sepakat untuk berbisik, mereka akan saling mendengar dengan jelas, tanpa memaksakan suara atau membuang energi. Tetapi kesepakatan seperti itu tidak berhasil kecuali dipolisikan. Seseorang selalu merusaknya dengan berbicara sedikit lebih keras, dan satu demi satu, setiap orang harus ikut. Keseimbangan yang stabil hanya tercapai ketika semua orang teriak sekeras mungkin, dan ini jauh lebih keras dari apa yang dibutuhkan dari sudut pandang “rasional.” Berkali-kali, kerja sama untuk menahan diri dikalahkan oleh ketidakstabilan internal sendiri. Fungsi Utilitas Tuhan ternyata jarang menghasilkan kebaikan paling banyak untuk jumlah orang paling banyak. Fungsi Utilitas Tuhan menyingkapkan asal-usulnya dalam kompetisi tidak beraturan untuk keuntungan diri sendiri.
Manusia dengan lugu cenderung mengira bahwa kesejahteraan berarti kesejahteraan umum, bahwa “kebaikan” berarti kebaikan masyarakat, kebaikan masa depan spesies atau bahkan ekosistem. Fungsi Utilitas Tuhan, sebagaimana diinduksi dari kontemplasi atas detaildetail seleksi alam, sayangnya ternyata bertentangan dengan visi utopia seperti itu. Tentu, ada saat gen memaksimalkan kesejahteraan egoisnya pada tatarannya sendiri, dengan memrogramkan kerja sama yang tidak egois, atau bahkan pengorbanan diri, oleh organisme pada tatarannya sendiri. Tetapi kesejahteraan umum selalu merupakan konsekuensi kebetulan, bukan dorongan primer. Inilah makna “gen yang egois” (the selfish gene).
Mari kita melihat aspek lain dari Fungsi Utilitas Tuhan, mulai dengan suatu analogi. Psikolog Darwinian Nicholas Humphrey mengarang fakta yang sangat mencerahkan tentang Henry Ford. “Kata orang” bahwa Ford, sang santo pelindung efisiensi manufaktur, pernah melakukan survei tentang mobil di Amerika untuk mengetahui apakah ada komponen Model T Ford yang tidak pernah gagal. Penyelidiknya kembali dengan laporan tentang hampir setiap macam kerusakan: as roda, rem, torak – semuanya bisa gagal. Tetapi laporannya menunjukkan salah satu pengecualian yang menonjol: kingpin dari mobil yang rusak itu selalu bisa bertahan beberapa tahun lagi. Dengan logika yang tidak mengenal ampun, Ford menyimpulkan bahwa kingpin Model T terlalu bagus untuk pekerjaannya dan menyuruh bahwa di masa depan, mobil itu harus dibuat dengan kualitas yang lebih rendah.
Barangkali Anda, seperti saya, tidak begitu mengerti apa itu kingpin, tetapi itu tidak penting. Itu sesuatu yang dibutuhkan mobil, dan apa yang orang anggap sebagai kekejaman Ford memang sangat logis. Alternatifnya adalah memperbaiki semua bagian lain mobilnya agar sama baiknya dengan kingpin. Tetapi kalau begitu bukan Model T yang dibuatnya melainkan Rolls Royce, dan itu bukan tujuannya. Rolls Royce adalah mobil yang layak untuk diproduksi, dan Model T juga, tetapi harga produksinya berbeda. Produsen hanya perlu memastikan bahwa seluruh mobilnya dibuat menurut spesifikasi Rolls Royce atau seluruh mobil dibuat menurut spesifikasi Model T. Jika yang dibuat mobil hibrida, dengan komponen tertentu berkualitas Model T dan komponen tertentu berkualitas Rolls Royce, kita mendapat yang paling buruk dari kedua-duanya, karena mobil akan dibuang saat komponen terlemah rusak, dan uang yang digunakan untuk komponen berkualitas tinggi yang tidak sempat rusak justru dibuang.
Pelajaran Ford berlaku dengan lebih kuat lagi di tubuh hidup dibandingkan dengan mobil, karena komponen mobil dapat, dalam batas tertentu, digantikan. Monyet dan ungka mencari nafkah di bagian atas pohon dan selalu ada risiko terjatuh dan patah tulang. Andaikan bahwa kita membuat survei bangkai monyet untuk menghitung seringnya setiap tulang utama di tubuh patah. Andaikan bahwa ternyata setiap tulang terkadang patah, dengan satu pengecualian: fibula (tulang yang bersebelahan dengan tulang kering) tidak pernah diamati patah dalam monyet mana pun. Perintah tidak ragu-ragu Henry Ford adalah merancang ulang fibula agar kualitasnya lebih rendah, dan seleksi alam akan melakukan hal yang persis sama. Individu mutan dengan fibula yang kurang bagus – individu mutan dengan peraturan pertumbuhan yang mengalihkan kalsium yang langka dari fibula – dapat menggunakan bahan yang dihematkan itu untuk membuat tulang lain lebih tebal dan dengan demikian mencapai ideal: setiap tulang memiliki kesempatan yang sama untuk patah. Atau individu mutan itu dapat menggunakan kalsium yang dihematkan untuk membuat lebih banyak susu dan demikian memelihara lebih banyak anak. Bahan dapat diambil dari fibula, setidaknya sampai titik kemungkinan patahnya menjadi sama dengan tulang berikutnya yang sedikit lebih kuat. Alternatifnya – solusi “Rolls Royce” yang meningkatkan kualitas semua komponen lain agar setara dengan standar fibula – lebih sulit untuk dicapai.
Perhitungannya tidak sesederhana itu, karena ada tulang yang lebih penting daripada yang lain. Saya kira monyet laba-laba akan lebih mudah bertahan hidup dengan tulang tumit yang patah daripada dengan tulang tangan yang patah, jadi seharusnya kita tidak berharap bahwa seleksi alam akan membuat semua tulang agar sama kemungkinannya untuk patah. Tetapi pelajaran utama yang kita ambil dari legenda Henry Ford pasti benar. Suatu komponen hewan bisa saja terlalu bagus, dan kita harus berharap bahwa seleksi alam akan memilih pengurangan kualitas sampai dengan, tetapi tidak melewati, titik keseimbangan dengan kualitas komponenkomponen tubuh lain. Lebih tepatnya, seleksi alam akan memilih pemerataan kualitas baik ke arah atas maupun ke bawah, sehingga semua bagian tubuh berada dalam keseimbangan.
Keseimbangan ini nampak sekali ketika apa yang diseimbangkan adalah dua aspek kehidupan yang agak terpisah: bertahan hidupnya merak jantan versus keindahannya di mata merak betina, misalnya. Teori Darwinian mengajarkan kita bahwa segala bertahan hidup hanyalah sarana untuk tujuan perambatan gen, tetapi itu tidak menghalangi kita membagi tubuh menjadi komponen seperti kaki, yang terutama berkaitan dengan bertahan hidupnya individu, dan komponen lain, seperti penis, yang berkaitan dengan reproduksi. Atau di antara bagian seperti tanduk, yang digunakan untuk bersaing dengan individu lain, dengan bagian seperti kaki dan penis, yang kepentingannya tidak bergantung pada eksistensi individu pesaing. Banyak serangga membuat pemisahan ketat di antara tahap-tahap riwayat hidupnya yang berbeda secara radikal. Ulat bertujuan untuk mengumpulkan makanan dan bertumbuh. Kupu-kupu menyerupai bunga yang dikunjunginya, bertujuan untuk bereproduksi. Mereka tidak tumbuh, dan mengisap nektar hanya untuk langsung dibakar sebagai bahan bakar penerbangan. Ketika seekor kupukupu berhasil bereproduksi, ia tidak hanya menyebarkan gen untuk menjadi kupu-kupu yang terbang dan kawin dengan efisien tetapi untuk menjadi ulat yang makan dengan efisien juga. Mayfly makan dan tumbuh sebagai nimfa di dalam air hingga tiga tahun lamanya. Lalu mereka muncul sebagai serangga terbang dewasa yang hanya hidup beberapa jam. Mereka banyak dimakan ikan; kalaupun tidak, mereka akan segera mati, karena mereka tidak bisa makan dan bahkan tidak memiliki usus (Henry Ford akan suka sekali). Pekerjaan mereka adalah beterbangan sampai mendapat pasangan. Lalu, setelah mewariskan gennya – termasuk gen untuk menjadi nimfa efisien yang mampu makan di dalam air selama tiga tahun – mereka mati. Mayfly itu seperti pohon yang butuh bertahun-tahun untuk tumbuh, lalu mekar selama satu hari yang megah, kemudian mati. Mayfly dewasa adalah bunga yang mekar untuk waktu sesaat di akhir kehidupan dan awal kehidupan baru.
Seekor ikan salmon muda bermigrasi menurun dari sungai kecil tempat ia lahir dan menghabiskan kebanyakan kehidupannya dengan makan dan tumbuh di laut. Ketika beranjak dewasa ia mencari lagi, kemungkinan besar dengan indra penciuman, mulut sungai kecil asalnya. Dalam suatu perjalanan seperti epos yang sangat dirayakan, ikan salmon berenang ke hulu, melompati air terjun dan riam, pulang ke perairan tempat ia muncul di awal kehidupannya. Di sana ia beranak dan siklusnya mulai kembali. Pada titik ini ada perbedaan di antara salmon Atlantik dengan salmon Pasifik. Salmon Atlantik, jika sudah berkembang biak, bisa kembali ke laut dengan harapan mengulangi siklus itu untuk kedua kali. Salmon pasifik mati, habis, beberapa hari setelah bertelur.
Seekor salmon Pasifik biasa menyerupai mayfly tetapi tanpa pemisahan anatomis ketat di antara fase nimfa dengan fase dewasa dalam riwayat hidupnya. Usaha berenang ke hulu begitu besar sehingga tidak layak diulangi. Karena itu, seleksi alam memilih individu yang menghabiskan semua tenaga dan sumber dayanya dalam satu usaha reproduksi “ledakan dahsyat” besar. Sumber daya yang masih tersisa setelah perkawinan akan terbuang – setara dengan kingpin Henry Ford yang dirancang dengan terlalu baik. Salmon Pasifik telah berevolusi agar memperkecil bertahan hidupnya pasca-reproduksi hingga mendekati nol, dan sumber daya yang dihematkan dialihkan ke telur atau semen. Salmon Atlantik ditarik ke jalan yang lain. Barangkali karena sungai-sungai yang mereka harus naiki cenderung lebih pendek dan berasal dari bukit yang kurang mengerikan, individu yang menyimpan sumber dayanya untuk siklus reproduksi kedua terkadang bisa berhasil. Harga yang dibayar salmon Atlantik ini adalah mereka tidak bisa memberi sumber daya sebanyak itu kepada anaknya. Ada pertukaran di antara panjang hidup dengan reproduksi, dan jenis-jenis salmon yang berbeda memilih keseimbangan yang berbeda. Corak khusus siklus hidup salmon adalah perjalanan sulit migrasinya memaksakan suatu kesenjangan kepadanya. Tidak ada kontinum halus di antara satu musim kawin dengan dua. Komitmen untuk musim kawin kedua sangat memotong efisiensi musim pertama. Salmon Pasifik berevolusi menuju suatu komitmen tidak ragu-ragu untuk musim kawin pertama, dengan hasil bahwa seekor individu biasa tidak ragu-ragu langsung mati setelah satu-satunya usaha reproduksi yang amat besar.
Pertukaran seperti itu menandai setiap kehidupan, tetapi biasanya tidak sedramatis itu. Kematian kita sendiri besar kemungkinan diprogramkan dalam arti yang serupa dengan kematian salmon, tetapi tidak sehitam-putih itu. Tidak dapat diragukan bahwa seorang ahli eugenika dapat menghasilkan ras manusia yang umurnya luar biasa panjang. Dia akan memilih individu untuk kawin yang menaruh kebanyakan sumber dayanya dalam tubuhnya sendiri ketimbang anaknya: individu, misalnya, yang tulangnya sangat diperkuat dan susah patah tetapi tidak mempunyai kalsium sisa untuk membuat susu. Bertahan hidup sedikit lebih lama itu gampang, asalkan seseorang dimanjakan dengan mengorbankan generasi selanjutnya. Ahli eugenika itu dapat memanjakan dan mengeksploitasi pertukarannya ke arah umur panjang yang ia inginkan. Alam tidak akan memanjakan seperti itu, karena gen yang pelit terhadap generasi masa depan tidak akan sampai di masa depan.
Fungsi Utilitas Alam tidak pernah menilai umur panjang untuk dirinya sendiri tetapi hanya untuk reproduksi masa depan. Hewan apa pun yang, seperti kita tetapi berbeda dengan salmon Pasifik, beranak lebih dari sekali menghadapi banyak pertukaran di antara anak (atau perindukan) masa kini dengan anak-anak masa depan. Seekor kelinci yang mengarahkan semua energi dan sumber dayanya ke perindukannya yang pertama besar kemungkinan akan mempunyai perindukan pertama yang lebih unggul. Tetapi tidak akan ada sumber daya tersisa baginya untuk perindukan kedua. Gen untuk menyimpan cadangan cenderung menyebar di populasi kelinci, dibawa dalam tubuh anak-anak dari perindukan kedua atau ketiga. Gen macam inilah yang dengan menonjol tidak menyebar dalam populasi salmon Pasifik, karena kesenjangan praktis di antara satu musim kawin dengan dua begitu dahsyat.
Seiring menuanya, kemungkinan kita untuk mati dalam tahun depan, yang pada mulanya menurun lalu datar beberapa saat, mulai naik terus-menerus. Apa yang terjadi dalam peningkatan panjang mortalitas ini? Pada dasarnya ini prinsip yang sama dengan salmon Pasifik, tetapi tersebar sepanjang kurun waktu yang lama, alih-alih terkonsentrasi dalam pesta pora kematian yang mendadak setelah pesta pora perkawinan. Prinsip bagaimana penuaan berevolusi pertama-tama diuraikan oleh pemenang Nobel dan ilmuwan medis Sir Peter Medawar pada 1950-an awal, dengan berbagai modifikasi pada ide dasar yang ditambahkan oleh para Darwinian terkemuka, G.G. Williams dan W.D. Hamilton.
Argumen esensialnya sebagai berikut: Pertama, seperti kita lihat di bab 1, efek genetik apa pun biasanya dinyalakan pada waktu partikular dalam kehidupan organisme. Banyak gen dinyalakan di embrio awal, tetapi yang lain – seperti gen untuk penyakit Huntington yang secara tragis membunuh penyair dan penyanyi rakyat Woody Guthrie – baru dinyalakan waktu setengah baya. Kedua, detail-detail suatu efek genetik, termasuk waktu dinyalakan, dapat diubah oleh gen yang lain. Seseorang yang memiliki gen untuk penyakit Huntington dapat mengharapkan kematian karena penyakit itu, tetapi apakah dia mati karenanya di usia 40 atau di usia 55 (seperti Woodie Guthrie) dapat dipengaruhi oleh gen yang lain. Jadi, melalui seleksi atas gen “pengubah” waktu tindakan gen partikular dapat ditunda atau dimajukan dalam waktu evolusi.
Gen seperti yang untuk penyakit Huntington, yang menyala di antara umur 35 dan 55, mempunyai banyak kesempatan untuk diwariskan kepada generasi berikutnya sebelum ia membunuh pemiliknya. Apabila, sebaliknya, gen itu dinyalakan pada usia 20, ia hanya akan diwariskan oleh orang yang bereproduksi agak muda, dan karena itu akan dilawan oleh seleksi alam. Jika dinyalakan pada usia 10, gen itu hampir tidak akan pernah diwariskan. Seleksi alam akan memilih gen pengubah apa pun yang dampaknya menunda umur penyalaan gen penyakit Huntington. Menurut teori Medawar/Williams, ini persis kenapa gen itu biasanya tidak menyala sebelum pemiliknya setengah baya. Pada suatu masa, bisa saja gen itu menjadi dewasa dengan lebih cepat, tetapi seleksi alam telah memilih penundaan atas efek letalnya sampai setengah baya. Tidak dapat diragukan bahwa masih ada tekanan seleksi kecil yang mendorongnya ke usia tua, tetapi tekanan ini lemah karena sangat sedikit korban mati sebelum bereproduksi dan mewariskan gennya.
Gen penyakit Huntington adalah contoh yang luar biasa jelas atas gen yang letal. Ada banyak gen lain yang tidak letal pada dirinya sendiri, namun menyebabkan dampak yang meningkatkan kemungkinan mati dari penyebab lain dan disebut subletal. Sekali lagi, waktu penyalaannya dapat dipengaruhi oleh gen pengubah dan karenanya ditunda atau dipercepat oleh seleksi alam. Medawar menyadari bahwa kelemahan pada usia tua mungkin merupakan akumulasi efek genetik yang letal dan subletal yang terus-menerus ditunda ke masa lebih akhir dalam siklus kehidupan dan dibiarkan melewati jejaring reproduksi sampai ke generasi masa depan hanya karena efeknya muncul belakangan.
Pembaharuan G.C. Williams, Darwinis Amerika yang paling terkemuka, kepada cerita itu pada 1957 juga penting. Hal ini terkait dengan poin kita di atas tentang untung-rugi ekonomis. Agar memahaminya, kita harus mempertimbangkan beberapa fakta latar belakang tambahan. Suatu gen biasanya menyebabkan lebih dari satu efek, sering di bagian tubuh yang pada permukaan berbeda sekali. “Pleiotropi” ini bukan hanya fakta, tetapi sebenarnya sangat diharapkan, karena gen itu memengaruhi perkembangan embrio dan perkembangan embrio adalah proses yang rumit. Jadi, mutasi baru apa pun lebih mungkin menyebabkan berbagai efek. Meskipun salah satu efeknya bisa bermanfaat, tidak begitu mungkin bahwa lebih dari satu akan seperti itu. Ini karena kebanyakan efek mutasi itu buruk. Selain dari menjadi fakta, hal ini seharusnya diharapkan secara prinsip: jika kita mulai dengan mekanisme rumit yang berfungsi – misalnya, radio – ada jauh lebih banyak cara menjadikannya lebih buruk daripada menjadikannya lebih baik.
Kapan pun seleksi alam memilih suatu gen karena efeknya yang bermanfaat waktu muda – misalnya, untuk daya tarik seksual dalam jantan muda – kemungkinan besar ada sisi buruk: suatu penyakit waktu setengah baya atau tua, misalnya. Secara teoretis, efek umur dapat dibalikkan tetapi, mengikuti logika Medawar, seleksi alam jarang akan memilih penyakit di kalangan muda karena efek bermanfaat dari gen yang sama di masa tua. Selain itu, kita bisa mengingat lagi poin di atas tentang gen pengubah. Untuk masing-masing dari berbagai efek gen, efek baik dan efek buruk, waktu penyalaannya dapat diubah oleh evolusi selanjutnya. Menurut prinsip Medawar, efek baik akan cenderung dipindahkan lebih awal dalam kehidupan, sedangkan efek buruk akan cenderung ditunda. Lagi pula, dalam kasus tertentu akan ada pertukaran langsung di antara efek awal dengan efek akhir. Hal ini tersirat dalam diskusi kita tentang salmon. Jika seekor hewan memiliki jumlah sumber daya terbatas yang dapat digunakan untuk, misalnya, menjadi kuat secara fisik agar mampu melompat dari segala bahaya, maka kecenderungan apa pun untuk menggunakan sumber daya itu lebih awal akan lebih dipilih daripada kecenderungan untuk menggunakannya lebih akhir. Pengguna sumber daya lebih akhir lebih mungkin sudah mati karena penyebab lain sebelum mereka sempat menggunakan sumber dayanya. Jika kita menerjemahkan poin umum Medawar ke dalam suatu versi terbalik dari bahasa yang kita gunakan di bab 1, semua orang menurun dari suatu garis keturunan tak terputus yang terdiri atas leluhur yang pada suatu saat dalam kehidupannya pernah muda, tetapi banyak dari mereka tidak pernah menjadi tua. Jadi kita mewarisi apa pun yang kita butuhkan untuk menjadi muda, tetapi belum tentu apa pun yang kita butuhkan untuk menjadi tua. Kita cenderung mewarisi gen untuk mati lama setelah kita lahir, tetapi tidak untuk mati cepat setelah kita lahir.
Untuk kembali ke permulaan pesimis bab ini, ketika fungsi utilitas – itu yang dimaksimalkan – adalah bertahan hidupnya DNA, ini bukan resep untuk kebahagiaan. Asalkan DNA diwariskan, tidak penting siapa atau apa yang disakiti. Lebih baik untuk gen tawon ichneumon Darwin bahwa ulat itu hidup, agar segar saat dimakan, semenderita apa pun ulat itu. Gen tidak peduli tentang penderitaan, karena gen tidak peduli tentang apa pun.
Jika Alam itu baik, setidaknya dia akan berbelas kasih dan membius ulatnya sebelum dimakan hidup-hidup dari dalam. Tetapi Alam tidak baik atau jahat. Dia tidak melawan penderitaan atau mendukungnya. Alam tidak peduli sama sekali tentang penderitaan, kecuali penderitaan itu memengaruhi bertahan hidupnya DNA. Mudah untuk membayangkan gen yang, misalnya, membius gazel saat mereka akan digigit mati. Apakah gen seperti itu akan dipilih oleh seleksi alam? Hanya jika pembiusan gazel itu meningkatkan kesempatan gen itu untuk diteruskan ke generasi masa depan. Susah melihat kenapa harus demikian, jadi kita dapat mengira bahwa gazel menderita kesakitan dan ketakutan yang mengerikan saat dikejar sampai kematiannya – sebagaimana nasib kebanyakan gazel. Jumlah total penderitaan per tahun di alam jauh melampaui kemampuan orang baik hati untuk merenungkannya. Selama satu menit yang dibutuhkan untuk menulis kalimat ini, ribuan hewan sedang dimakan hidup-hidup; yang lain lari untuk menyelamatkan nyawanya, menangis ketakutan; yang lain pelan-pelan dimakan, digerus dari dalam oleh parasit; ribuan individu dari segala jenis hewan sedang mati kelaparan, kehausan, dan terjangkit penyakit. Harus seperti itu. Jika tiba masa yang makmur, fakta itu sendiri akan menyebabkan secara otomatis suatu kenaikan populasi hingga keadaan alami yang penuh kelaparan dan kesengsaraan dikembalikan.
Para teolog menyibukkan dirinya dengan “masalah kejahatan” dan “masalah penderitaan” yang saling berkaitan. Pada hari saya pertama menulis paragraf ini, semua koran Inggris memuat cerita tragis tentang sebuah bis penuh siswa dari sekolah Katolik yang mengalami kecelakaan tanpa alasan yang jelas, dan semuanya meninggal. Bukan untuk pertama kali, para pemuka agama kehilangan akal soal pertanyaan teologis yang dilontarkan oleh seorang penulis dari sebuah koran London (The Sunday Evening Telegraph) sebagai berikut: “Bagaimana bisa kita percaya bahwa Tuhan yang maha kasih dan maha kuasa akan membolehkan tragedi seperti ini?” Artikel itu kemudian mengutip jawaban dari seorang pastor: “Jawaban sederhananya, kita tidak tahu kenapa harus ada Tuhan yang membolehkan hal mengerikan seperti ini terjadi. Tetapi kengerian kecelakaan itu, bagi seorang Kristen, mengonfirmasi fakta bahwa kita hidup di dunia nilai-nilai riil: positif dan negatif. Jika alam semesta itu hanyalah elektron-elektron, tidak akan ada masalah kejahatan atau penderitaan.”
Sebaliknya, jika alam semesta itu hanyalah elektron dan gen egois, tragedi tidak bermakna seperti kecelakaan bis ini adalah persis yang seharusnya diharapkan, bersama dengan keberuntungan yang sama tidak bermaknanya. Alam semesta itu tidak akan memiliki niat jahat ataupun baik. Alam semesta itu tidak menunjukkan niat sama sekali. Dalam alam semesta yang terdiri atas kekuatan fisik yang buta dan replikasi genetik, ada orang yang akan sakit, orang lain yang akan beruntung, dan tidak ada alasan sama sekali untuk itu, ataupun keadilan. Alam semesta yang kita amati memiliki persis sifat-sifat itu yang akan kita harapkan jika, pada dasarnya, tidak ada perancangan, tidak ada tujuan, tidak ada kejahatan atau kebaikan, tidak ada apa-apa selain dari kemasabodohan buta yang tidak mengenal ampun. Sebagaimana ditulis oleh penyair malang itu, A.E. Housman:
- Karena Alam, Alam tanpa hati atau akal Takkan tahu ataupun peduli.
DNA tidak tahu ataupun peduli. DNA hanyalah ada. Dan kita menari bersama musiknya.