Lompat ke isi

Tantangan 11 Februari dari Bude Sascia

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pengantar

[sunting]

Cerpen anak bertema literasi numerasi ini ditulis oleh Braindito, nama pena dari seorang ayah dengan dua orang anak.

Cerita Tantangan 11 Februari dari Bude Sascia sendiri bertutur tentang tokoh Andria dan Arkam yang menerima tantangan dari budenya. Dua kakak-adik yang masih SD itu diminta terbang ke Denpasar tanpa didampingi orang tuanya atau siapa pun.

Lakon

[sunting]
  • Andria: Siswi kelas 4 SD, 10 tahun
  • Arkam: Adik kandung Andria, siswa kelas 2 SD, 8 tahun
  • Bu Nia: Ibu Andria, 39 tahun
  • Pak Bonar: Ayah Andria, 42 tahun
  • Bude Sascia: Kakak Bu Nia, 45 tahun

Lokasi

[sunting]

Kota Yogyakarta dan Denpasar.

Cerita Pendek

[sunting]

Datangnya Surat Tantangan

[sunting]

Bu Nia baru saja menerima surat elektronik (surel) dari kakaknya. Bude Sascia bermaksud mengundang dua keponakan kesayangannya ke Bali. Surel tersebut juga dilampiri dengan e-tiket pesawat pergi-pulang untuk Andria dan Arkam.

Meskipun dadakan, Bu Nia dan suaminya, Pak Bonar, tidak keberatan. Apalagi tanggal di tiket, yakni 11 dan 12 Februari, jatuh pada Sabtu dan Minggu, hari libur sekolah.

Andria dan Arkam bersorak girang mendapat kabar tersebut. Namun, begitu diberi tahu bahwa mereka akan berangkat sendiri, tawa girang itu perlahan memudar. Bagaimanapun, mereka tidak pernah naik pesawat tanpa orang tua.

Namun, memang itulah tujuan Bude Sascia. Itulah tantangannya! Dalam surelnya, beliau ingin kedua keponakannya tumbuh menjadi anak pemberani yang mandiri.

Bude Sascia sendiri terkenal sebagai petualang di keluarga besarnya. Semasa SD hingga SMA, beliau sudah menjelajah belasan kota di Pulau Jawa dan Bali. Selepas SMA, beliau merantau ke Jakarta sendirian.

Lima tahun bekerja sebagai akuntan di ibu kota, Bude Sascia melakukan tindakan nekat berikutnya: menyambar lowongan kerja di Prancis! Padahal, beliau tidak punya gelar sarjana maupun kemampuan berbahasa Prancis.

Namun, barangkali memang sudah takdirnya, Bude Sascia kemudian menikah dengan warga sana, sehingga bahasa Prancisnya menjadi lancar. Bersama sang suami, beliau membuka bisnis penginapan di kota kecil Prancis. Bisnis itu bertahan 19 tahun, sebelum akhirnya terpaksa ditutup setelah suaminya meninggal.

Bude Sascia pun memutuskan pulang dan membeli rumah di Denpasar, Bali, untuk menghabiskan masa tuanya.

Walaupun terkenal nekat ketika belia, semua tindakan Bude Sascia sebenarnya terukur. Beliau perempuan yang sangat logis. Sebagai akuntan, Bude Sascia menggemari angka dan matematika.

Berkat beliau, Andria jadi tertular cinta terhadap angka. Sementara teman-temannya di kelas 4B menjadikan matematika momok, Andria malah selalu menantikan pelajaran itu.

Diam-diam, Andria juga terinspirasi oleh kenekatan budenya semasa muda. Makanya, setelah dua hari mempertimbangkan undangan Bude Sascia, akhirnya dia menerima tantangan tersebut. Dia bahkan membujuk Arkam, sampai bocah 8 tahun itu tidak ragu untuk berkata, “Berangkaaaat!”

Keberangkatan yang Sendu

[sunting]

Pada 11 Februari pagi, Pak Bonar dan Bu Nia mengantar Andria dan Arkam ke Bandara Internasional Yogyakarta. Keputusan ini sudah melalui diskusi panjang, tetapi tetap saja, mereka ragu melepas kedua anak itu. Tidak tega, rasanya. Bagaimanapun, mereka masih bocah SD!

“Segera kasih kabar kalau sudah sampai,” pesan Bu Nia di depan pintu keberangkatan bandara.

“Kalau ada masalah, apapun itu, telepon kami!” Pak Bonar mempertegas pesan istrinya.

Andria dan Arkam mengangguk. Mereka lalu memeluk kedua orang tuanya untuk berpamitan.

“Kalian harus kompak di jalan, ya,” ucap Bu Nia dengan mata berkaca-kaca. “Arkam, kamu jangan pernah berpisah dari Mbak. Andria, kamu jaga adikmu.”

“Siaaap, Ma!” Andria menggandeng tangan adiknya. Dia mengambil napas panjang sampai dadanya membusung, lantas mengembusnya kuat-kuat. “Bismillah! As-salamualaikum!”

“Wa’alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh,” jawab papa dan mamanya bersamaan.

Andria dan Arkam pun balik badan, lalu berjalan menuju pintu keberangkatan. Andria mantap menatap ke depan, sedangkan Arkam bolak-balik menengok ke belakang sekadar untuk melambaikan tangan dengan wajah sendunya.

Melihat perilaku adiknya, langkah Andria melambat. Dia sebenarnya galau juga, apakah sanggup menjawab tantangan ini. Melihat bandara yang luas ini saja dada gadis 10 tahun itu berdebar-debar gentar.

Namun, menyadari betapa besar kepercayaan orang tua dan budenya terhadap dirinya, dia tidak ada pilihan lain. Harus sanggup!

Andria kembali mempercepat langkah-langkahnya.

Proses administrasi di bandara mereka jalani satu per satu, berbekal video-video di internet dan bimbingan papanya yang pernah bekerja sebagai pemandu wisata. Beberapa kali, mereka memang salah jalan, tetapi sebagaimana pesan mamanya, “Kalau bingung, langsung tanya. Ke siapapun! Ketemunya petugas, tanya petugas. Ketemunya penumpang lain, tanya beliau!”

Arkam sampai menegur kakaknya di ruang tunggu, “Mbak, kamu dari tadi tanya-tanya ke orang. Kalau orang itu ternyata jahat, gimana?”

Andria tertawa. “Orang jahat emang ada, Kam. Tapi jumlahnya jauh lebih sedikit daripada orang baik. Ingat kata Bude Sascia, lihat datanya!”

“Data? Apa itu?” tanya lugu sang adik.

Andria kebingungan sendiri menjawab pertanyaan mendasar itu. “Ya pokoknya angka-angka begitulah! Contohnya, nilai rapor murid-murid di kelas. Itu berarti data kelas. Nah, kalau data orang jahat di bandara, angkanya kecil sekali, Kam. Mungkin di antara seribu orang di sini, hanya ada satu yang jahat, sementara 999 lainnya orang baik. Jadi, santai aja. Tapi tetap waspada!”

Tiba-tiba, terdengar pengumuman dari pelantang bandara. Pesannya, para penumpang pesawat penerbangan Yogya-Denpasar dipersilakan boarding. Andria segera meminta Arkam menyiapkan Kartu Identitas Anak (KIA) dan tiketnya.

Arkam Panik di Pesawat

[sunting]

Berkat bantuan pramugari, sampailah Andria dan Arkam di kursi sesuai nomor mereka. Pramugari itu juga mengajari mereka cara mengenakan sabuk pengaman dan melepasnya. Setelah itu, dia memberi Andria dan Arkam permen serta air mineral.

Semua tampak menyenangkan. Arkam mengoceh terus, saking berbunga-bunga hatinya.

Namun, ketika sang pilot mulai memacu pesawat menjelang lepas landas, Arkam berubah tegang. Tangannya mencengkeram lengan kakaknya kuat-kuat. Puncaknya, ketika hidung pesawat terus mendongak di udara untuk mencapai ketinggian tertentu, Arkam mendelik panik.

Karuan saja, Andria khawatir. “Kam, Kam, tenang, Kam! Aman, kok.”

“G-gimana kalau jatuh, Mbak? Gi-gimana ini?” gumam Arkam berulang-ulang seperti mengucap mantra. Mukanya memerah dengan otot bertonjolan.

“Nggaklah! Jangan ngomong gitulah. InsyaAllah aman! Kan, papa udah kasih tahu, pesawat itu moda transportasi yang paling aman!”

“Tapi aku nggak mau mati di sini, Mbaaaaak!” geram Arkam dengan suara lebih keras. "Aku belum mau matiiii!"

Antara ingin tertawa dan malu dengan penumpang-penumpang di sekitarnya, Andria terus berusaha menenangkan adiknya. Tiba-tiba, terpikir sebuah ide. Dia mengambil notes dari saku jaketnya dan lekas membukanya.

“Bicara mati, nih, kubacakan datanya, ya,” katanya. “Menurut World Health Organization atau WHO, sekitar 1,3 juta orang meninggal setiap tahun akibat kecelakaan darat. Lalu, menurut International Maritime Organization atau IMO, sekitar 10.000 orang meninggal setiap tahun akibat kecelakaan laut. Menurut Aircraft Crashes Record Office atau ACRO, sekitar 1.600 orang meninggal setiap tahun akibat kecelakaan udara!”

Perhatian Arkam teralihkan. Dia berpaling dan memandangi Andria. Wajahnya sudah bersiap akan menangis. "Kok kamu malah nakut-nakutin, siiiih?"

"Bukan, Kam," Andria tersenyum geli, menyadari kesalahannya. “Maksudku, justru kamu nggak usah khawatir pesawat ini kenapa-kenapa. Karena, menurut yang sudah-sudah, kecelakaan pesawat itu jarang terjadi. Jumlah yang meninggal pun hanya 1.600 orang per tahun di seluruh dunia. Bandingkan dengan kematian akibat kecelakaan di laut yang enam kali lebih banyak. Atau, bandingkan dengan kematian akibat kecelakaan darat yang 800 kali lebih banyak!”

“Itu kata siapa?” Arkam meragukan kata-kata kakaknya.

“Yaelaaaah, kan, udah kubilang. Itu kata organisasi-organisasi dunia seperti WHO, IMO, dan ACRO. Makanya, Kam, kalau internetan jangan cuma main medsos. Baca-baca Wikipedia juga, dong!”

“Ng … jadi?”

“Jadi, nggak usah takut naik pesawat! Karena angka kecelakaan pesawat itu ternyata kecil.” Andria menepuk-nepuk kursinya, “Ini kendaraan canggih, Kam! Aman banget!”

Arkam terdiam.

“Justru kamu jalan kaki ke sekolah itu yang berbahaya!” lanjut Andria. “Buktinya, jauh lebih banyak kematian akibat kecelakaan di jalan raya. Delapan ratus kali lebih sering. Bayangkan! Tapi, kok kamu nggak takut setiap menyeberang jalan? Naik pesawat yang aman banget begini kok malah takut? Aneh kamu itu!”

Pesawat sudah mulai terbang datar, tidak lagi menanjak. Terdengar suara pilot melalui pelantang, bahwa penumpang sudah boleh melepas sabuk pengaman.

“Aman, ya, Mbak?” tanya Arkam. Dia sudah lebih tenang.

“InsyaAllah,” sahut Andria. “Tapi tetep berdoa, ya.”

Seorang pramugari mendekat. “Adik-Adik, butuh sesuatu? Mau ke kamar kecil?” tanyanya ramah.

Arkam manggut-manggut cepat. “Kebelet pipis, Kak!”

Tenang Karena Tahu Angka

[sunting]

Setelah 1,5 jam terbang, burung baja itu akhirnya menjejak landasan Bandara Ngurah Rai. Wajah Arkam yang tadi sempat tegang lagi ketika pesawat akan mendarat, sekarang sepenuhnya ceria. Apalagi setelah mendengar pilot mengucapkan selamat datang di Denpasar dan mengizinkan penumpang keluar.

Andria mengaktifkan kembali ponsel dan mengirim teks kepada mamanya. Arkam berdiri dan memungut tas ranselnya.

Ketika mereka sampai di lorong yang menghubungkan kabin pesawat dan bandara, ada pesan balasan dari Bu Nia. “Alhamdulillah. Oke, langsung ke pintu kedatangan, ya! Bude udah di sana. Kalau bingung arahnya, ikuti aja rombongan penumpang dari pesawatmu,” tulis beliau.

Dua petualang cilik itu pun melangkahkan kaki-kaki mungil mereka di Bandara Ngurah Rai. Perasaan bangga membuncah di dada Andria. Ternyata, bisa juga dia memimpin adiknya hingga berhasil sampai di pulau dewata.

Tiba-tiba, Arkam terbirit-birit mempercepat langkah. “M-Mbak, itu patung apa?”

Andria mengikuti arah telunjuk adiknya. “Oh. Itu Rangda. Ratu leak.”

“Aduh! Benar temanku yang bilang di Bali banyak leak. Leak itu hantu, kan, Mbak? Gimana kita nanti kalau malam-malam ketemu leak?” bisik Arkam, seperti takut patung itu ikut mendengarnya.

“Astagfirullah, kamu ini dikit-dikit takut! Gimana, sih?” tegur Andria. “Ingat kata Bude Sascia. Kalau mau takut pada sesuatu, lihat dulu angka-angkanya.”

“Angka apa?”

“Ya kamu tadi bicara leak, kan? Hantu, kan? Nah, cari aja data hantu! Berapa jumlah hantu di Bali? Berapa kematian manusia akibat serangan leak?”

Arkam mengerutkan kening. “Emang ada?”

“Ya makanya! Nggak ada, kan? Terus, kenapa kamu takut pada sesuatu yang datanya aja nggak ada? Nggak ada data artinya nggak pernah ada bukti bahwa itu pernah benar-benar terjadi!”

“Tapi temanku pernah bilang, kalau tetangganya katanya pernah ….”

Halah!” potong Andria. “Jangan percaya katanya-katanya. Ada, nggak, datanya?”

“Tapi, kan, bisa aja ….”

“Bisa, sih, bisa! Dalam agama kita, makhluk halus emang ada. Tapi angka kematian akibat hantu itu berapa? Nol! Atau setidaknya, sedikit banget. Apalagi kalau dibandingkan dengan kematian akibat kecelakaan, bencana alam, penyakit, serangan binatang buas, atau gara-gara dicelakai manusia lainnya.”

Titt… tittt… tulitttt…. Andria berhenti melangkah ketika merasakan getaran ponsel di sakunya.

Namun, baru akan memeriksanya, seseorang menepuknya dari belakang. “DORRR!”

Bukan main terkejutnya kedua anak itu.

Perempuan berkacamata hitam itu spontan terbahak-bahak melihat reaksi kaget Andria dan Arkam.

Mereka menoleh. Begitu mengetahui siapa yang baru saja mengagetkannya, mereka malah membuka lengannya lebar-lebar. “Budeeee …!”

Perempuan 45 tahun itu berjongkok, menyambut dekapan dua keponakannya. “Apa kabar, Arkam, Andria? Waaah, tantangan dari Bude terjawab. Masih SD udah bisa naik pesawat … tanpa pendamping! Calon-calon petualang yang siap menaklukkan dunia, nih!”

Andria menarik badannya. Kemudian, menunjuk-nunjuk adiknya. “Tapi ini, nih, Bude! Takut melulu di sepanjang jalan. Takut inilah, itulah. Gimana mau jadi petualang?”

Diejek kakaknya, Arkam hanya bisa tersipu-sipu.

Bude Sascia tergelak. Beliau berdiri dan mengelus-elus rambut Arkam. “Nggak papa, Kam. Namanya juga masih kecil. Lagian, ini baru pengalaman pertama. Lama-lama, pasti tambah pintar dan ..."

"Selalu menggunakan data dan angka untuk mengambil keputusan!" tebak Andria.

"Ya!" sambut Bude Sascia kagum. "Wow, rupanya kamu masih ingat kata-kata Bude!"

Andria tersenyum bangga.

"Aku juga ingat kata-kata Bude yang lain!" Arkam tidak mau kalah.

"Oh ya? Apa itu?" beliau penasaran.

"Orang-orang yang kuat dan gigih itu lahir tanggal 11 Februari!" celetuk Arkam.

Bude Sascia langsung tertawa. “Seratus buat Arkam! Ya, ya, ya. Ilmuwan Thomas Alva Edison, seniman Carlo Carra, aktris Jennifer Aniston, filsuf Hans-Georg Gadamer, pebulu tangkis Susi Susanti, sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana, dan masih banyak lagi. Semua lahir tanggal 11 bulan 2 … seperti kita!”

“Yeeee …!!” sambut Andria dan Arkam.

“Oke,” sambung Bude Sascia, “karena waktu kalian di Bali singkat, ayo kita cepat-cepat pulang. Istirahat dulu di rumah Bude. Nanti siang, baru kita rayakan ultah kita bertiga di Bali! Bude sudah siapin hadiah spesial karena kalian berhasil menyelesaikan tantangan 11 Februari dengan baik!”

Sekali lagi, mereka bersorak. Arkamlah yang paling keras berteriak. Untunglah, kali ini, bukan teriakan panik.

TAMAT