Tante, Aku Datang!

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Judul  : TANTE, AKU DATANG ! (Misteri Menghilangnya O²)

Namaku Canaya, umur sebelas tahun, duduk di kelas V SD. Hari ini aku sangat bahagia, mulut ini tidak berhenti bersenandung, karena hari ini sangat spesial. Aku akan menunjukkan kemampuan mendongeng sebagai kado istimewa pernikahan tante Rinta, adiknya Ayah paling kecil.

Saat ini aku berada dalam iring-iringan kendaraan menuju sebuah hotel di pinggiran pantai Senggigi, salah satu destinasi wisata di tempat tinggalku. Pernikahan akan digelar di sana. Tidak kurang dari 1.500 undangan telah disebar. Itu sebabnya aku sangat bahagia membayangkan mendongeng di depan banyak orang.

Tanganku sebentar-sebentar membuka tas, memastikan peralatan mendongeng dan buku cerita masih berada dalam posisinya. Aku sungguh tidak sabar lekas sampai di hotel. Ibu, Ayah dan Kakak selalu tersenyum setiap kali melihat aku membuka dan memeriksa tas. Sepanjang perjalanan lebih dari enam kali aku membuka dan menutup tas.

Kurang lebih seratus meter dari hotel, iring-iringan kendaraan mendadak berhenti karena semua mesin mati. Anehnya mesin kendaraan mati secara bersamaan, termasuk kendaraan dari arah berlawanan juga mati secara mendadak, alhasil jalanan jadi macet.

Ayah berusaha menyalakan mesin kembali. Lebih dari 30 menit mencoba, ternyata mesin tak kunjung menyala. Tidak sabar dengan kondisi kendaraan orang-orang yang terjebak kemacetan membunyikan klakson. terdengar riuh saling bersahutan layaknya bunyi terompet tahun baru. Klakson dibunyikan bukan meluapkan kegembiraan, melainkan karena pengendaranya merasa stress setelah sekian lama mesin tidak kunjung menyala.

Bertahan dalam kendaraan, kini aku mulai merasakan gerah luar biasa, hawa panas membuat kulitku terasa gatal. Seolah-olah ada hewan kecil yang bergerak di bawah lapisan kulit. Karena tidak tahan dengan gatalnya, tangan ini terus menggaruk hingga ada beberapa bagian kulit lenganku lecet. Rupanya tidak hanya diriku yang merasakan gatal, Ayah, Ibu dan Kakak juga menggaruk-garuk tubuh mereka.

"Ayo Bu, kita jalan kaki saja, biar bisa ngadem di hotel, disini panas! Biar Ayah ditemani Kakak benerin mobilnya." rajukku.

Tanpa menunggu jawaban, segera kugandeng lengan Ibu berjalan perlahan menuju hotel. Tampak orang-orang juga keluar dari kendaraan masing-masing. Anehnya mereka keluar sambil tangannya terus menggaruk kulit. Aku sempat berpikir kenapa kejadiannya bisa mirip dengan yang kualami. Ku abaikan pikiran tak penting itu, kembali betjalan menuju hotel.

Kurasakan bibirku tertarik ke samping dengan pipi sedikit terangkat naik. Ya, senyumku merekah ketika mulai memasuki halaman hotel. Tampak karangan bunga beraneka macam warna dan bentuk ucapan selamat atas pernikahan tante Rinta dan om Zaenal berjajar rapi.

Perlahan kulepas tangan ini dari lengan Ibu, aku meninggalkan Ibu, berlari ke arah resepsionis hendak bertanya ruangan pernikahan tante Rinta. Belum juga tiba di meja resepsionis, aku menyaksikan cat pada pilar-pilar hotel melepuh, pinggiran beton rontok, terdengar bunyi gemeretak dari tembok yang mulai retak.

"Awaaas, gedung mau runtuuh!" teriakku dengan lantang.

Aku berbalik berlari ke arah Ibu, meraih lengannya segera berlari menjauh dari bangunan hotel. Ibu sempat terjatuh, ketika kaki kirinya menginjak ujung bajuku. Kain panjang dan kebaya yang dikenakan Ibu membuat Ibu cukup kerepotan, apalagi alas kaki model selop membuatnya terlihat kesakitan ketika harus berlari.

Lengan dan tanganku sedikit gemetar ketika mencoba bembantu Ibu. Tidak membuang waktu, Ibu meraih tanganku dan segera bangkit, lantas dengan sigap mengangkat kain panjang dengan kedua tangannya hingga sebatas lutut, kemudian berlari mengikutiku menuju pantai.

Kurasa pantai tempat yang cukup aman jika bangunan runtuh, karena lebih lapang. Itu sebabnya aku memilih berlari kearah pantai, sambil terus berteriak mengingatkan orang-orang untuk menjauh dari bangunan hotel. Tidak seberapa lama petugas hotel dan pengunjung hotel berhamburan ke arah pantai, tempatku dan Ibu menyelamatkan diri.

Aku menyaksikan pemandangan yang tidak biasa, semua orang terlihat panik. Berada dalam kerumunan orang-orang panik membuatku merasa tidak nyaman. Perlahan kuoegang dada ini, karena napasku sedikit sesak, Ibu juga terlihat sesak hingga terbatuk-batuk, mungkin akibat kelelahan saat berlari menyelamatkan diri tadi. Kugeret Ibu menjauhkan diri, mencari tempat yang lebih lega dan tidak terlalu ribut.

Kukeluarkan telepon genggam dari dalam tas. Kucoba menelpon nomor Kakak, tidak ada jawaban. Jari tanganku dengan cekatan segera mencari nomor Ayah, setelah tiga kali mencoba akhirnya aku dapat menghubungi Ayah.

"Halo Ayah, adek sama Ibu di pinggir pantai. Adek takut Yah, gedung hotel hampir runtuh, semua orang lari ke pantai, sepertinya acara akan batal." Aku bercerita dengan menahan tangis karena khawatir batal mendongeng.

Ayah menceritakan jika bangunan di pinggir jalan dekat Ayah dan Kakak saat ini juga hampir runtuh, temboknya tiba-tiba saja retak. Sekarang mereka juga mengalami sesak napas.

Belum selesai otakku memikirkan kejadian yang baru saja terjadi, kini mataku dibuat terbelalak. Tanpa sadar mulutkupun terbuka lebar. Tidak hanya diriku, rupanya Ibu dan beberapa orang yang berada tak jauh dari tempatku berdiri juga melakukan hal yang sama.

Kututup mulut ini dengan kedua tangan sambil bertanya dalam hati apa yang sebenarnya terjadi. Air laut di hadapanku mengering, kini terlihat hamparan tanah kering sejauh mata memandang. Seakan tidak percaya dengan pemandangan yang ada, beberapa kali kuusap kedua mata ini dengan punggung tangan. Hasilnya tetap saja aku hanya melihat hamparan tanah kering karena tidak ada lagi air.

Ibu melingkarkan lengannya di pinggangku dengan erat, meski tidak keluar sepatah katapun dari mulut beliau, matanya menyiratkan rasa takut dan sedih yang kurang lebih sama dengan perasaanku. Kugenggam tangan Ibu, rasanya telapak tangan itu sangat dingin. Usapan lembut tangan Ibu mrmberiku kekuatan. Aku meremas tangan Ibu untuk membalasnya

Otakku benar-benar tidak mampu digunakan untuk berpikir saat ini. Bagaimana bisa air laut mengering seperti ini. Bukankah selama ini siklus air terus berputar, dan jumlah air sangat banyak, tidak mungkin air laut bisa mengering.

Tiba-tiba kakiku sedikit amblas ke dalam tanah. Tubuhku oleng, membuat genggaman tanganku terlepas begitu saja dari tangan Ibu. Jangankan untuk bergandengan, berdiri sendiri saja tidak lagi nampu. Kaki ini tidak dapat berdiri dengan tegak, tanah tempat berpijak menjadi lunak dan lebur seperti debu. Tubuh tidak akan mampu menjaga keseimbangan saat berdiri.

Semua orang ketakutan. Bersuara saling bersahutan, dari rintihan, tangisan hingga teriakan mengerikan. Semakin berupaya bergerak mencari pijakan semakin terjungkal, dan saling bertubrukan. Suasana sangat gaduh. Tangisan serta teriakan silih berganti.

Ada yang memanggil nama suami, istri, anak-anak mereka. Ada yang merintih dengan berdzikir dan sholawat. Ada pula yang meneriakkan segala do'a dan berbagai puja puji kepada Tuhan masing-masing, meski sambil terjatuh dan terjungkal.

Aku sangat ketakutan, bibirku bergetar, kepala mulai pusing dan napas pendek-pendek. Mulut ini mulai memanggil nama Ibu tanpa daya, nyaris tanpa suara, Aku terus mengedarkan pandangan untuk mencari Ibu.

"Ibuuu, adek takut Buu." rintihku.

"Adek mau pulaaang, Ibuuu...." Akhirnya tangisku meledak.

Tangisku yang keras ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan teriakan orang -orang. Lelah menangis akhirnya suaraku melemah. dada kembali tersengal karena napas semakin sesak.

Sayup-sayup aku mendengar suara Ibu memanggil namaku. Aku berusaha mendekat ke arah suara Ibu. Namun, tubrukan dari orang orang membuatku terpental dan semakin menjauh dari Ibu, hingga suara Ibu tidak lagi dapat ku dengar, tertutup oleh suara teriakan orang lain.

Jika tadi aku bersama Ibu berusaha saling memberikan kekuatan, kini setelah terlepas dari Ibu justru rasa takut semakin memenuhi otakku, terutama saat bayangan wajah Ibu, Ayah dan Kakakku, satu persatu muncul.

Aku ingin menangis dan berteriak selantang mungkin agar Ibu dapat mendengar. Aku ingin berlari sekencang yang aku bisa, untuk mendekati Ibu. Namun, semua itu tidak bisa aku lakukan. Tubuhku semakin melemah.

Aku terseok-seok menyeret kaki, berjalan tidak tentu arah. Berkali-kali terjungkal dan bertubrukan dengan siapa saja di sekitarku. Buliran keringat kurasakan bermunculan menembus pori-pori, nyatanya keringat itu lekas mengering begitu muncul di permukaan kulit, seolah menguap begitu saja. Aku menggigil. Tubuhku terasa lemas seperti orang belum makan selama beberapa hari. Setiap beberapa saat mulutku terbuka lebar dengan mata menyipit untuk menghirup oksigen sebanyak mungkin, aku menguap. Entah kenapa aku menguap lagi dan lagi. Kuperhatikan orang-orang disekitar ku juga menguap tanpa henti. Sungguh, aku tidak habis pikir, ada apa lagi ini.

Kucoba melangkah, tiba-tiba telinga ini tidak dapat mendengar apapun. Kurasakan seperti ada yang menekan hingga membuat gendang telinga ini sakit sekali. Keseimbanganku hilang, tubuhku seakan melayang, aku meringkuk sambil memegangi telinga ini mebahan rasa sakit. Lamat-lamat kulihat orang-orang juga meringkuk sambil memegang kedua telinga mereka. Tubuhku semakin menggigil


Belum juga reda rasa sakit di telinga, pandanganku mendadak gelap. "Apalagi yang terjadi? Kenapa bisa seperti ini?" gumanku sambil menggosok punggung tangan kearah mata.

Karena terus menggosok, kini kurasakan perih dimata. Meski kugosok, pandangan mataku tetap sama, gelap.

Semua rasa bercampur memenuhi pikiranku. Namun rasa takut yang paling besar. Sejak awal mulai dari mesin kendaraan mati bersamaan, gatal luar biasa dari bawah kulit, tembok dan beton retak dan rontok, sesak napas, air laut mengering, tanah tidak dapat dipijak, hingga gendang telinga terasa mau pecah, dan kini tidak cahaya, semua tampak hitam semua.

Ditengah rasa ketakutan ini, tiba-tiba aku teringat beberapa tulisan yang kubaca dari internet dan beberapa buku mengenai oksigen dan akibatnya jika menghilang dari muka bumi. Tanda tanda kejadian persis seperti yang kualami.

Pikiranku kembali memutar kejadian demi kejadian. Kendaraan macet bersamaan karena tidak adanya oksigen dalam proses pembakaran bahan bakar di kendaraan. Sistem transportasi bakal kacau, kendaraan bisa saling bertubrukan, pesawat bisa berjatuhan jika oksigen benar- benar menghilang selama lima detik saja.

Kejadian berikutnya adalah rasa gatal di kulit. oksigen yang berada di atmosfer bumi berperan dalam menahan sinar ultra violet dari matahari agar tidak langsung menyentuh kulit kita. Akibat tidak berkurangnya oksigen makan sinar ultra violet langsung menyentuh kulit, bahkan bisa menyebabkan kanker kulit.

Kemudian Tembok- tembok beton mulai rontok. Kurasa Oksigen masih ada meski jumlahnya menipis, Jika oksigen benar-benar menghilang, maka beton tembok langsung runtuh seketika, karena oksigen sebagai pengikat utama agar beton dapat merekat kuat.

Mengeringnya air laut juga disebabkan oleh menghilangnya oksigen. Karena air adalah ikatan antara oksigen dan hidrogen, jika oksigen menghilang, maka hidrogen tidak ada yg mengikat lagi. Karena sifat hidrogen sangat ringan, hidrogen akan menguap, mengeringlah semua air dipermukaan bumi.

21 % tekanan udara di telinga kita terdapat oksigen. Jika menghilang, maka gendang telinga kita akan pecah. Penglihatan kita juga menjadi gelap karena tak ada partikeli yang bisa memantulkan cahaya.

Menghilangnya oksigen juga menyebabkan hilangnya pijakan kita, tanah tidak mampu mengeras, lebur seperti debu. Kurasa oksigen belum benar-benar menghilang, sebab meskipun tertatih dan harus terjungkal aku masih dapat maju, tidak langsung amblas begitu saja.

Nafas yang sesak juga menguatkan pikirankuku jika sebenarnya oksigen masih ada. Aku masih memiliki harapan untuk hidup, sebab jika tidak aku dan yang lain sudah tentu akan meninggal mengalami kejadian demi kejadian dari tadi. Oh betapa mengerikan jika itu terjadi. Aku tidak dapat bertemu semuanya Kakak, Ayah, dan Ibu.

Aku teringat Ibu, sekuat tenaga kupanggil "Ibuuu, Ibuuu... Ibu Dimana? Adek takut Buuu."

"Adek, ini ibu Dek."

Perlahan kurasakan sentuhan tangan hangat Ibu. Karena pandanganku gelap aku tak bisa melihat Ibu. Kujulurkan tangan ini meraih tangan Ibu,enggenggamnya erat dan menciumi punggung tangan Ibu.

"Ada apa dek?" Ibu mencubit pipi dan hidungku.

" Heh, bangun woo! Pagi-pagi molor aja. Melek, mata melek dulu woo!" Suara Kakak mengagetkanku. Tangannya menepuk pahaku.

Akupun tersentak, sekilas kulihat cahaya, perlahan ku usap mata ini hingga kembali dapat melihat. Kuperhatikan Ibu tersenyum sambil memegang tanganku, Ayah dan Kakak tertawa melihatku yang kebingungan.

"Alhamdulillaah." Aku mengucap syukur Karena semuanya hanya mimpi. Rupanya aku tertidur selama perjalanan menuju hotel.

Kuceritakan mimpiku, betapa mengerikannya jika oksigen menghilang dari muka bumi. aku juga berjanji akan menanam banyak pohon agar oksigen tetap ada dan menjadi lebih banyak.

Aku akan terus mendongeng tentang menjaga lingkungan agar teman-temanku tidak sembarangan merusak tanaman, dan pohon, serta mau mengurangi polusi udara.

Aku merasa beruntung banyak membaca, Hadiah buku dari Ayah, Ibu, Kakak, juga Tante Rinta sangat berguna. dengan membaca aku jadi tahu banyak hal. salah satunya mengenai akibat menghilangnya oksigen.

Tidak terasa iring-iringan as udah sampai di parkir hotel. Aku bergegas meninggalkan semuanya, berlari ke Ballroom, tempat pernikahan tante Rinta di gelar, dan yang pasti tempatku mendongeng.

"Tante Rintaa, aku dataaang!"