Lompat ke isi

Tas Pink Yandi

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis

[sunting]

Rendy dan Tresna mengunjungi rumah sahabat mereka, Yandi, yang sudah tidak masuk sekolah selama tiga hari. Mereka kira Yandi sakit. Ternyata tidak. Yandi punya alasan sendiri mengapa ia tak mau masuk sekolah. Dan ini berkaitan dengan perkataan Rendy. Rendy sendiri tak menduga celetukan asalnya ternyata diingat Yandi. Yandi berhasil dibujuk ke sekolah. Namun, Rendy masih tak enak hati. Ia akan melakukan sesuatu agar Yandi bersemangat lagi di sekolah.

Tokoh

[sunting]
  1. Rendy
  2. Yandi
  3. Tresna
  4. Ibu Yandi

Cerita Pendek

[sunting]

"Benar di sini rumahnya, Na?" tanya Rendy kepada Tresna setelah mereka berbelok ke sebuah gang sehabis jembatan.

"Benar, Ren. Tuh, itu, rumah Yandi yang bercat hijau," Tresna menunjuk sebuah rumah kecil yang bercat hijau terang.

Rendy menatap rumah yang ditunjuk Tresna. Bertahun-tahun berteman dengan Yandi, baru sekali ini ia ke rumahnya. Rumahnya mungil. Di bagian depannya terdapat jendela besar yang berfungsi sebagai tempat berjualan gorengan.

"Kenapa malah bengong, Ren? Ayo, ke sana," ajak Tresna.

Tresna mengayuh sepeda BMX-nya ke arah rumah itu disusul Rendy. Rumah Tresna melewati rumah Yandi. Jadi, dia tahu di mana rumah Yandi. Rendy, Tresna, dan Yandi adalah tiga sekawan di sekolahnya. Di sekolah, ke mana-mana mereka selalu bersama. Andai sebangku boleh bertiga, mereka pasti akan duduk bertiga. Keakraban mereka membuat mereka menjuluki diri sebagai Trio RTY.

Namun, beberapa hari belakangan, keakraban itu harus absen seiring absennya Yandi dari sekolah. Sudah tiga hari Yandi tidak masuk sekolah. Rendy yang khawatir memutuskan untuk menengoknya ke rumah.

"Assalamualaikum,” teriak Rendy dan Tresna bersamaan.

“Waalaikumsalam,” terdengar suara Yandi menjawab.

“Yandi!” pekik Rendy dan Tresna bersamaan saat melihat Yandi.

Namun, alih-alih menyambut kedua sahabatnya, Yandi yang sempat keluar justru masuk lagi ke salah satu kamar. Rendy dan Tresna saling bertatapan bingung.

“Temannya Yandi, ya?” seorang ibu menghampiri dari luar rumah. “Ayo, masuk. Yandi ada di dalam,” ajaknya sambil masuk ke dalam rumah.

Rendy dan Tresna mengikutinya. “Yan, ini ada teman-temanmu,” kata ibu Yandi sambil masuk ke salah satu kamar tempat Yandi tadi muncul. Tak lama, Yandi muncul dengan wajah malu-malu.

“Ibu buatkan minum dulu, ya. Mau minum apa? Ayo, pilih sendiri,” ibu Yandi menawarkan sambil menunjukkan aneka minuman bubuk yang tergantung di dinding kios gorengannya.

“Es susu cokelat, Bu,” ujar Tresna penuh semangat sambil menunjuk kemasan susu cokelat berwarna hijau.

Rendy buru-buru menyikut perut Tresna yang tambun.

Ibu Yandi terkekeh geli. “Nggak apa-apa. Es susu cokelat dua, ya,” katanya sambil memotong dua saset kemasan bubuk susu cokelat.

“Terima kasih, Bu,” jawab Tresna dan Rendy semringah.

“Kamu sakit apa, Yan?” tanya Rendy.

Yandi diam sambil menunduk. Rendy dan Tresna berpandangan bingung.

“Yandi nggak sakit, kok. Tapi nggak tahu, tuh. Ibu suruh masuk sekolah nggak mau gara-gara tasnya jebol. Padahal, kan, bisa pakai tas kakaknya dulu. Eh, ini minumannya,” terang ibu Yandi sambil menyajikan dua es susu cokelat di meja. Tresna yang kehausan langsung menyeruput es susu cokelat yang segar itu.

“Benar, Yan?” tanya Rendy dengan wajah kaget.

Lagi-lagi Yandi diam.

“Kata Yandi, dia malu kalau disuruh pakai tas kakaknya gara-gara warnanya pink. Ealah, ada-ada saja. Ini, silakan gorengannya.” Kali ini, ibu Yandi menyajikan sepiring pisang goreng dan bakwan yang terlihat masih hangat.

Mata Tresna langsung berbinar melihat sepiring gorengan di atas meja. Rendy kembali menyikut perut Tresna saat Tresna mengulurkan tangan untuk mengambil gorengan tersebut. Namun, dengan gesit, Tresna menghindar dan menyomot sepotong pisang goreng.

“Benar kamu malu kalau harus pakai tas pink, Yan?” tanya Rendy.

Awalnya, Yandi tetap diam. Namun, ia akhirnya mengangguk pelan.

“Ya ampun, Yan. Kenapa harus malu, sih? Biasa aja, kali,” kata Tresna sambil mengunyah pisang goreng keduanya.

“Tapi, dulu, kan, Rendy pernah mengejek kamu gara-gara kamu pake kaus kaki warna pink, Na,” kata Yandi dengan wajah agak tak terima.

Wajah Rendy yang sebelumnya serius berubah kaget bukan kepalang. “Hah, memangnya aku pernah mengejekmu, Na?” tanya Rendy.

Tresna terlihat berusaha mengingat-ingat, lalu mengangkat bahu. “Aku lupa, Ren,” jawabnya sambil terus mengunyah pisang goreng.

“Iya. Waktu kamu pakai kaus kaki warna pink, Rendy bilang, masa anak cowok pakai warna pink, gitu,” terang Yandi.

Rendy menatap Tresna yang memakan pisang goreng ketiganya dengan bingung.

Sadar tengah ditatap serius oleh Rendy, Tresna berhenti sebentar. “Aku benar-benar lupa, Ren,” kata Tresna.

Rendy juga sudah lupa. Namun, ia benar-benar tak menyangka Yandi mengingat celetukannya. “Waktu itu aku cuma asal bicara, Yan,” ujar Rendy. “Aku minta maaf, ya, Na,” imbuhnya.

“Ye, orang aku juga sudah lupa, kok,” jawab Tresna.

“Benar, Yan. Aku cuma asal bicara waktu itu. Kamu masuk sekolah, ya. Mana asyik kalau kami cuma main berdua,” bujuk Rendy.

“Betul, Yan,” ujar Tresna sambil bersiap mengambil gorengan lagi. “Ayo, masuk sekolah. Besok aku jemput, ya.”

Yandi terdiam.

“Tuh, udahan ngambeknya, Yan. Pakai saja dulu tas kakakmu. Kalau Bapak punya duit, nanti Ibu belikan tas baru,” ibu Yandi ikut membujuk sambil mengaduk adonan gorengan.

“Hmm ... ya, sudah, besok aku berangkat, deh,” jawab Yandi pasrah yang disambut senyuman semringah Rendy, Tresna, dan ibu Yandi.

Sepulang dari rumah Yandi, Rendy masih merasa tak enak hati. Ia masih memikirkan dampak ucapannya pada Yandi. Padahal, waktu itu, dia benar-benar hanya asal bicara. Rendy bahkan tak mengira Yandi akan mengingat ucapannya. Malamnya, Rendy terus berpikir. Ia ingin menebus kesalahannya.

“Aha! Aku tahu!” pekik Rendy setelah berpikir beberapa lama.

Rendy buru-buru ke gudang. Di sana, ia mengambil sebuah tas yang tersimpan di salah satu rak. Tas itu milik adiknya, Bella, yang sudah tidak dipakai. Rendy menatapnya. Tempelan boneka berambut pirang di depannya membuat Rendy tersenyum kecut. Rendy menghela napas. Ia sudah mengambil keputusan. Ia lalu mengambil cutter dan pelan-pelan melepas tempelan gambar boneka pada bagian depan tas berwarna pink cerah itu.

Tas pink itu sekarang polos. Rendy memutar otak, mencari cara agar tas itu makin keren. Ia ingat, beberapa hari lalu ia melihat video pembuatan stiker dengan alat-alat sederhana. Begitu saja. Ia akan menempeli tas itu dengan stiker. Malam itu, Rendy asyik membuat stiker untuk menghias tas pink-nya.

Keesokan harinya, Rendy menunggu di gerbang sekolah. Dalam hati, ia cemas. Jangan-jangan Yandi berubah pikiran. Semoga Tresna bisa membujuknya untuk masuk. Tak lama kemudian, dari kejauhan, terlihat Tresna dan Yandi mengayuh sepeda ke arah sekolah.

“Yan! Na!” pekik Rendy sambil melambaikan tangan. Ia sudah tak sabar kembali belajar dan bermain dengan kedua karibnya itu. Selain itu, ia juga ingin menunjukkan hasil karyanya semalam.

“Senyum, dong, Yan. Masa ketemu aku, mukanya kusut begitu,” goda Rendy saat melihat Yandi. Yandi mengenakan tas warna pink tua yang kemarin Rendy lihat di rumahnya.

Rendy menunjukkan tas yang ia pakai. “Nih, kamu nggak sendiri. Aku juga pakai tas warna pink,” Rendy berusaha menyemangati.

Mata Yandi membelalak tak percaya. “Ren. Ini tas siapa? Warnanya pink banget,” tanya Yandi. “Sebentar, kamu beli stiker ini di mana? Kok, bagus?” tanya Yandi lagi. Wajahnya mulai terlihat antusias.

“Bikin sendiri, dong. Aku juga bikinin buat kalian. Stiker Trio RTY. Satu buat Yandi, satu buat Tresna,” Rendy membagikan stiker buatannya.

Yandi dan Tresna menerimanya dengan senang hati.

“Eh, sini aku tempelin di tasmu,” kata Rendy.

Yandi mengangguk. Rendy lalu menempelkan stiker buatannya di tas Yandi.

“Punyaku juga, dong,” pinta Tresna.

Rendy dan Yandi terkekeh geli. Yandi lalu membantu menempel stiker di tas Tresna.

“Tasku jadi keren, Ren. Terima kasih,” kata Yandi. Wajahnya tak lagi kusut.

“Sip. Waktunya Trio RTY mengguncang sekolah lagi,” ujar Rendy penuh semangat.

“Yeay!” pekik ketiganya bersamaan.