Tasya dan Pelajaran Matematika

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis[sunting]

Tasya adalah siswi kelas 4 SD. Ia bercita-cita untuk menjadi dokter, seperti ibunya. Tasya tidak suka angka, berhitung, dan pelajaran matematika karena membuatnya pusing. Toh, menurutnya menjadi dokter tidak perlu pintar matematika. Benarkah demikian?

Lakon[sunting]

  1. Tasya, siswi kelas 4 SD yang tidak suka matematika.
  2. Kak Dodi, kakak Tasya dan siswa kelas 11 SMA.
  3. Bu Rara, ibu Tasya dan Kak Dodi dan juga seorang dokter klinik.

Cerita Pendek[sunting]

Siang hari yang panas[sunting]

“Hah!” Tasya mengeluarkan nafas berat untuk ketiga kalinya selama 15 menit. Udara panas siang itu ditambah ingatannya pagi tadi saat ia dimarahi Bu Daisy karena tidak mengerjakan PR matematika semakin membuat suasana hatinya tidak nyaman. Ditambah lagi Kak Dodi, kakaknya, seharusnya sudah menjemputnya 30 menit lalu, tidak semestinya dia terlambat.

Tasya bukannya anak yang pemalas, PR yang diberikan oleh gurunya selalu ia kerjakan tepat waktu. Bahkan di pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, nilainya adalah yang terbaik di kelasnya. Tetapi Tasya sangat membenci matematika. Berhitung dan melihat angka membuatnya pusing. Sedari awal, Tasya memang bercita-cita menjadi dokter, seperti ibunya, menolong banyak orang yang sakit. Dokter tidak perlu belajar matematika, kan?

Suara klakson membangunkan Tasya dari lamunannya. Kak Dodi melambaikan tangannya sambil tersenyum, di tangan satunya sudah terjulur helm kecil milik Tasya. Sambil cemberut, Tasya naik membonceng kakaknya.

“Loh, sambil cemberut gitu, marah ya Kak Dodi telat?” tanya Kak Dodi.

“Enggak kok!” balas Tasya singkat.

“Kak Dodi minta maaf ya, tadi masih ada kegiatan ekstrakurikuler sebentar di sekolah, jadi telat deh.” Kak Dodi menjelaskan alasannya kenapa terlambat.

“Iya yang itu dimaafkan, tapi aku kesal, pagi ini aku dimarahi Bu Daisy gara-gara enggak mengerjakan PR matematika. Aku kan enggak suka matematika, aku sukanya sama IPA, mau jadi dokter! Dokter kan enggak perlu belajar matematika!” kata Tasya dengan muka merah.

“Ooh, begitu rupanya, kita mampir ke suatu tempat yuk sebelum pulang ke rumah?”

“Mau kemana?”

“Ra-ha-si-a!” Kak Dodi hanya tersenyum sambil menyalakan motornya dan menuju ke suatu tempat.

Di tempat rahasia[sunting]

Tidak sampai 5 menit, Tasya dan Kak Dodi sudah sampai ke suatu tempat bertuliskan “Klinik Sehat Sejahtera.”

“Loh ini kan klinik Ibu? Kita mau apa ke sini?” Tasya semakin terlihat sebal.

“Tasya mau jadi dokter kan? Ikut ke dalam yuk!” Kak Dodi menggandeng Tasya masuk ke dalam klinik.

Sesampainya di dalam, Tasya dan Kak Dodi disambut langsung oleh Bu Rara, ibu mereka. Bau khas obat-obatan dan disinfektan membuat Kak Dodi mual, dengan cepat, ia menutup hidungnya dengan jaket. Tasya, sebaliknya, malah kegirangan dan seketika lupa akan rasa kesalnya, ia sangat tertarik dengan profesi ibunya itu.

“Kak Dodi, Tasya, ada apa kok tumben ke klinik Ibu?” tanya Bu Rara sambil tersenyum menatap Tasya dan Kak Dodi bergantian.

“Diajak Kak Dodi nih, Bu!” jawab Tasya.

“Iya, Dodi yang ajak, Ibu sedang kosong? Kalau iya, Dodi minta tolong medical check up ya Bu. Sudah lama enggak cek juga kan? Nanti Tasya juga sambil lihat, katanya Tasya juga mau jadi dokter kayak Ibu.” Kak Dodi menjelaskan maksudnya ke Bu Rara.

“Wah, boleh dong. Kebetulan jadwal Ibu sedang kosong, kita langsung mulai saja ya. Tasya ikut Ibu yuk, pakai jas putih juga, ada ukuran untuk Tasya itu.”

“Asyik! Aku mau!” Tasya langsung mengikuti ibunya dan mempersiapkan keperluan medical check up untuk Kak Dodi.

Medical check up dimulai![sunting]

Termometer
Stetoskop

Tidak lama kemudian, Kak Dodi mulai diperiksa oleh Bu Rara, dan dibantu oleh Tasya, tentunya.

Pertama, Bu Rara mengeluarkan alat berbentuk tabung panjang dengan layar kecil di bagian ujung atasnya lalu menyerahkan ke Tasya.

“Ini namanya termometer, gunanya untuk mengukur suhu tubuh. Caranya diimpit di ketiak lalu ditunggu beberapa saat sampai bunyi. Coba Tasya ukur suhu tubuh Kak Dodi.”

Tasya menempelkan termometer ke ketiak Kak Dodi. 5 detik kemudian termometer berbunyi, sekarang giliran Bu Rara yang mengambil termometer lalu membaca angka yang tertera di termometer.

“Normal ya.” ujar Bu Rara.

“Kita lanjut ke pengecekan berikutnya.” tambahnya kemudian.

“Normalnya berapa Bu?” potong Tasya.

“Nanti kita bahas bareng ya setelah semua selesai.” jawab Bu Rara sambil tersenyum.

Berikutnya, Bu Rara mengeluarkan alat panjang dengan bentuk seperti huruf Y. Kedua ujung atas alat tersebut ia pakaikan ke kedua telinganya. Ujung bawahnya ia tempelkan ke dada Kak Dodi. Bu Rara menempelkan alat tersebut ke dada Kak Dodi selama beberapa saat.

“Ini stetoskop, gunanya untuk mendengar detak jantung dan hembusan nafas. Coba deh Tasya pakai.” jelas Bu Rara sambil memakaikan stetoskop ke Tasya.

“Wah iya, aku bisa dengar Bu.” kata Tasya.

“Nah, Tasya sambil berhitung ya berapa kali jantung Kak Dodi berdetak dan berapa kali Kak Dodi bernafas selama satu menit. Nanti Tasya tulis di kertas ini, Ibu juga tulis di kertas Ibu.”

Setelah Tasya selesai memeriksa Kak Dodi, berikutnya Bu Rara mengeluarkan sebuah alat yang kelihatannya terbuat dari kain hitam, dari kain tersebut pipa berwarna hitam dan tersambung ke kotak kecil dengan layar monitor yang menampilkan angka-angka. Ah angka lagi! Tasya kelihatan mulai gemas dan pusing karena dari tadi ia sering kali melihat angka, padahal ia mulai bersemangat mengikuti praktik ibunya sekaligus melupakan pelajaran matematika. Kini, ia teringat lagi. Sebal rasanya!

Sfigmomanometer
Tensimeter

Bu Rara memasangkan alat tersebut ke pergelangan Kak Dodi lalu mengencangkannya dengan sabuk yang melekat di alat. Kemudian Bu Rara memencet tombol di kotak kecil dengan layar monitor. Alat tersebut perlahan mengembang dan mengempis kembali.

“Kalau ini namanya tensimeter atau sfigmomanometer, lumayan susah ya untuk dibaca, gunanya untuk mengukur tekanan darah. Yang tadi Ibu lakukan itu mengembangkan tensimeter supaya aliran darah Kak Dodi berhenti sesaat, lalu otomatis tensimeternya mengempis agar aliran darah bisa kembali. Nah, saat mengempis itu tekanan darah bisa diukur. Di layar monitor sudah ada angkanya, Tasya bisa lihat lalu kita catat bareng ya.” jelas Bu Rara.

“Kok angka lagi sih Bu? Tasya kan jadi pusing banyak angkanya, Tasya enggak suka angka, enggak suka matematika!” potong Tasya sambil cemberut.

Kak Dodi tertawa sedikit, “Jadi Dokter Tasya sudah menyerah? Pasiennya bagaimana dong? Mau ditinggal?” katanya sambil menggoda.

“Kalau cek saja tanpa angka bisa enggak?” tanya Tasya.

Bu Rara dan Kak Dodi saling berpandangan, lalu Bu Rara akhirnya mengalah sedikit dengan keegoisan anaknya.

Timbangan badan

“Oke, Tasya bantu Ibu saja dulu ya. Nanti Ibu saja yang mencatat angka-angkanya.”

“Siap Ibu!” kata Tasya semangat kembali. Akhirnya ia tidak harus berurusan lagi dengan angka-angka yang membuat ia pusing.

“Sekarang pemeriksaan terakhir, tinggi badan dan berat badan. Kak Dodi tolong ke sebelah timbangan sana ya lalu Tasya bisa bantu Ibu pasang penahan mistar ke atas kepala Kak Dodi. Karena Tasya lebih pendek dari Kak Dodi, pakai tangga yang di samping ya. Hati-hati agar tidak jatuh.” Bu Rara menjelaskan cara pengukuran tinggi dan berat bedan secara rinci kepada Kak Dodi dan Tasya.

Mistar badan

Setelah selesai melakukan proses medical check up, Bu Rara menjelaskan hasilnya kepada Kak Dodi dan Tasya.

Kok matematika lagi?[sunting]

“Yang pertama, suhu tubuh. Kak Dodi suhu tubuhnya 37,3 derajat Celsius. Masih tergolong normal, artinya Kak Dodi tidak sedang demam atau hipotermia-saat tubuh kehilangan panas dengan cepat.” jelas Bu Rara.

“Tahu dari mana Bu kalau normal? 37,3 derajat Celsius itu kan banyak.” tanya Tasya.

“Nah, suhu tubuh itu ada batas normalnya. Rata-rata manusia dewasa, suhu tubuhnya di antara 36,5 sampai 37,5 derajat Celsius. Kalau kurang berarti bisa jadi hipotermia kalau lebih bisa jadi demam.” Bu Rara menjawab pertanyaan Tasya.

“Ooh begitu.” Rara sebenarnya tidak terlalu suka mendengar angka-angka itu, tapi ia penasaran.

“Berikutnya cek pengukuran denyut jantung dan nafas. Kak Dodi jantungnya berdenyut 74 kali per menit dan bernafas 15 kali per menit. Untuk ukuran usia Kak Dodi-17 tahun, angka-angka tadi masih termasuk normal.” jelas Bu Rara.

“Nah, mungkin Tasya akan bertanya juga untuk normalnya berapa? Jadi, normalnya manusia dewasa jantungnya berdenyut 60 – 100 kali per menit dan bernafas 12 – 20 kali per menit. Lalu jika lebih cepat atau lambat apakah tidak normal? Belum tentu, karena bisa jadi orang yang diukur habis berolahraga atau beristirahat.” Bu Rara menambahkan.

Tasya mengangguk-angguk pelan. Ia tidak menyangka ternyata walaupun ibunya seorang dokter, ternyata ibunya tidak seperti dirinya yang tidak suka angka dan matematika.

“Yang ini hasil dari pengukuran tekanan darah. Tekanan darah Kak Dodi 117/76. Angka pertama itu namanya sistole, artinya tekanan darah saat jantung memompa darah. Angka yang kedua namanya diastole, artinya tekanan darah saat jantung beristirahat. Keduanya diukur dalam satuan milimeter raksa, artinya ketinggian air raksa saat diberi tekanan. Dan hasil Kak Dodi normal kok, rata-rata tekanan darah manusia dewasa 90/60 sampai dengan 120/80 milimeter raksa.” jelas Bu Rara.

Kali ini Tasya hanya diam mendengarkan, rasanya terlalu banyak angka-angka yang berputar di kepalanya. Sepertinya ia harus banyak belajar matematika agar terbiasa dengan angka dan perhitungan.

“Terakhir, pengukuran tinggi dan berat badan. Tinggi badan Kak Dodi 165 centimeter dan beratnya 45 kilogram. Dari tinggi dan berat badan, kita bisa tahu indeks massa tubuh, bisa menentukan seseorang sehat atau tidak. Caranya berat dalam satuan kilogram dibagi dengan tinggi yang dikuadratkan dalam satuan meter. Jadi indeks massa tubuh Kak Dodi adalah 45 dibagi 1,65 kuadrat sama dengan kurang lebih 16,5 kilogram per meter kuadrat.” jelas Bu Rara.

“Kak Dodi kurang sehat, tergolong berat badang kurang. Normalnya indeks massa tubuh adalah 17,7 sampai dengan 24,9 kilogram per meter kuadrat. Jadi Kak Dodi harus menaikkan berat sampai minimal 48,2 kilogram. Tapi karena Kak Dodi masih 17 tahun, tinggi badan masih bisa bertambah, jadi nanti bisa dihitung ulang.” Bu Rara menambahkan.

“Wah, Ibu pintar deh. Bisa menghitung banyak seperti itu. Tasya pikir jadi dokter enggak perlu angka, berhitung, dan matematika!” akhirnya Tasya mengungkapkan isi pikirannya.

“Iya nih, Dodi juga heran, ternyata hitungan matematika untuk dokter juga sulit-sulit ya.” tambah Kak Dodi yang juga takjub.

“Harus dong, jadi dokter juga harus pintar berhitung. Jadi, kita bisa dengan tepat memberi tahu pasien kita sakit atau tidak dan perlu perawatan apa.” jelas Bu Rara.

“Nah, ini Kak Dodi Ibu beri resep suplemen makanan ya supaya makanan ya untuk mengimbangi makanan yang masuk, selain itu Kak Dodi makannya harus cukup dan bergizi ya agar berat badannya naik dan jadi ideal, suplemennya diminum 3 kali sehari. Kalian berdua lanjut pulang ya karena sudah sore, Ibu ada jadwal juga sehabis ini.” tambah Bu Rara sambil menyerahkan secarik kertas.

“Terima kasih Bu sudah cek Dodi. Tuh, Tasya masih mau jadi dokter kan? Berarti harus mau juga dong belajar matematika?” tanya Kak Dodi.

Sambil cemberut, Tasya menjawab singkat. “Tergantung.”

“Tergantung apa?”

“Kalau sehabis ini ada es krim vanila kesukaan Tasya, mungkin Tasya mau belajar.”

Bu Rara dan Kak Dodi tertawa gemas melihat kelakuan Tasya.

-TAMAT-