Teman Tuli, Teman Dengar

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pengantar[sunting]

Tentang Penulis dan Premis Cerita

Lakon[sunting]

  • Ali
  • Reza
  • Ibu Ali
  • Ayah Ali

Cerita[sunting]

Tetangga Baru[sunting]

Tepat di sebelah rumahku adalah rumah kosong. Bukan rumah yang telah lama kosong, baru-baru ini penghuninya pindah. Belum pernah ada yang menetap lama di rumah itu, dalam setahun ini sudah 4 kali berganti penghuni. Sore sepulang bermain bola, kumelihat mobil pick-up terparkir di depan rumah kosong itu. Tampaknya ada penghuni baru yang akan menempati rumah tersebut. Seorang anak laki-laki sepantaranku terlihat sibuk membantu mengangkut barang-barang kecil. Asyik! Aku bersorak dalam hati. Aku akan mempunyai teman baru dan kami bertetangga.

Aku melewati rumah kosong yang tidak lagi kosong itu dengan lambat. Saat berpapasan dengan anak laki-laki itu aku memberanikan diri menyapa duluan.

"Hai, kamu pindah ke sini, ya?"

Dia kembali masuk ke dalam rumah sambil menenteng barang pindahan, seolah tidak ada terjadi apa-apa. Ia mengabaikanku atau memang tidak mendengarku? Aku ragu ia tidak mendengar karena suaraku tidaklah kecil, tapi memikirkan ia mengabaikanku membuatku kecewa.

Salah Paham[sunting]

Aku tidak berselera makan karena masih terbayang-bayang kejadian tadi sore. Namun, aroma lezat masakan Ibu memang menggoda lidah.

"Sayang, ayo, makan dulu. Udah mateng, nih!"

Aku menghampiri Ibu dengan langkah gontai.

"Kenapa, Al? Kok kusut gitu mukanya?" tanya Ibu penasaran.

"Hemm…," Aku mengambil nasi dan lauk. Aku enggan bicara.

"Rumah sebelah ada penghuni baru, ya, Bu?" Ayah yang sedari tadi sudah duduk di meja makan membuka topik obrolan.

"Iya, penghuni sebelah namanya Pak Alex dan Bu Lely. Anaknya seumuran Ali, 13 tahun juga. Tadi Ibu udah kenalan sama mereka."

Aku menyimak jawaban Ibu.

"Oiya, anaknya seorang difabel, ia Tuli."

Setelah mendengar informasi dari Ibu, seketika aku langsung merasa bersalah karena telah berburuk sangka pada anak laki-laki itu.

"Namanya siapa, Bu?" akhirnya aku pun ikut bertanya.

"Reza," pungkas Ibu.

Budaya Tuli[sunting]

Selepas makan malam, aku menempelkan diri di sofa berornamen lawas bersebelahan dengan Ibu.

"Bu…," Aku mencolek Ibu ingin bercerita.

"Dalem"

"Tadi sore aku udah ketemu Reza, lalu aku sapa, tapi dia gak membalas sapaanku. Aku sempat kecewa dan hampir kesal soal itu," Aku diam sesaat.

Lanjutku, "Aku baru tahu ia memang tidak bisa mendengar setelah Ibu cerita, menurut Ibu aku harus bagaimana?" Aku meminta solusi dari Ibu.

"Menurut Ibu, lupain aja kekecewaanmu itu. Sapa ia lagi dengan cara yang tepat," jawaban Ibu mencerahkanku.

"Caranya?" Aku bertanya lagi.

"Jangan langsung bicara, pastikan dulu dia ngeh kamu mau berbicara dengannya. Bisa lambaikan tangan, dadah-dadah gitu. Bisa juga sentuh bahu atau lengan mereka," lanjut Ibu, "Setelah ia tahu lagi diajak ngomong, yaudah deh, baru omongin yang kamu mau bilang."

"Cara ngomongnya?" Aku bertanya lagi karena benar-benar tidak tahu.

"Pakai bahasa isyarat," jawab Ibu singkat.


Melihat aku terdiam cukup lama Ibu bersuara lagi, "di Indonesia ada yang namanya SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) dan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia). SIBI itu diadopsi dari bahasa isyarat Amerika, ASL (American Sign Language). Nanti bisa kamu googling sendiri, alfabet ASL mirip ama SIBI. Nah, kalau BISINDO itu alamiah. Isyaratnya terbentuk alami dari budaya tuli di Indonesia."

"Kalau mau ngobrol ama Reza, aku harus pakai yang mana, Bu?" Aku masih butuh dijelaskan lagi.

"Tergantung"

"Tergantung?"

"Tergantung, Reza pakainya isyarat yang mana? SIBI atau BISINDO?, Tapi biasanya sih Teman Tuli menggunakan BISINDO."

"Teman Tuli?"

"Kata Tuli itu dipahami sebagai istilah budaya atau cara berkomunikasi yang berbeda. Jangan gunain kata tunarungu ya, konotasinya jelek. Jadi, Tuli atau Teman Tuli adalah panggilan mereka. Kalau kita yang berbudaya lisan disebutnya, teman dengar."

Mengenal Teman Tuli[sunting]

Untungnya, besok adalah hari Minggu. Aku bisa sedikit bersantai malam ini—tanpa tugas ataupun mempersiapkan keperluan sekolah. Mumpung senggang, aku meminjam laptop Ibu untuk berselancar dalam internet, mencari dan menggali informasi mengenai Teman Tuli lebih banyak.

Mataku terpaku pada konten mikroblog yang menjelaskan cara berkomunikasi dengan Tuli.

Etika Berbahasa Isyarat dengan Teman Tuli
Cara berkomunisi dengan Teman Tuli

Aku juga menemukan artikel yang mengatakan begini:

Berdasarkan sejarah, isyarat tercetus pertama kali pada abad ke-5 SM. Socrates (salah satu pemikir antroposentrisme yang hidup pada masa Yunani Klasik) pernah mengatakan: If we hadn’t voice or a tongue, and wanted to express things to one another, wouldn’t we try to make signs by moving our hands, head, and the rest of our body.

Artinya: Jika kita tidak memiliki suara atau lidah, dan ingin mengungkapkan sesuatu ke orang lain. Bukankah kita bisa mencoba membuat isyarat dengan menggerakkan tangan, kepala, dan seluruh tubuh kita.


Namun, tidak ada bukti otentik adanya bahasa isyarat pada waktu itu. Hingga abad ke-19 M, kebanyakan sejarah mengenai bahasa isyarat terbatas pada abjad manual (fingerspelling) yang diciptakan untuk mentransfer kata-kata dari bahasa lisan ke bahasa isyarat. Kini bahasa isyarat telah berkembang di seluruh dunia dan bahasa isyarat dari berbagai negara bisa dipelajari melalui daring.


Beberapa organisasi atau komunitas Tuli mempunyai laman daring yang bisa diakses. Bahkan, ada yang menyajikan karya Teman Tuli dari negaranya, seperti dari Negara Ghana (www.instagram.com/ourtalkinghands/) Selain itu ada Australian Sign Language (Ausian) dengan lamannya www.deafsociety.org.au. Indonesia sendiri juga memiliki laman komunitas Tuli yang bisa diakses yaitu, www.gerkatin.org/. Berbagai tips dan petunjuk wisata dari berbagai negara dengan bahasa isyarat juga disampaikan dalam laman www.deafworldsign.com.

Ternyata, ada banyak edukasi mengenai Tuli dan budaya Tuli bertebaran di internet. Keasyikan mengakses informasi mulai dari yang berupa teks naratif hingga audiovisual membuatku lupa waktu. Orang tuaku memang tidak membatasi penggunaan peranti elektronik seperti gawai atau laptop di hari libur sekolah. Namun, berkat didikan mereka, aku menyadari bahwa cukuplah menggunakannya sesuai kebutuhan—seperlunya. Sebab, hanyut dalam derasnya informasi justru membuatku pusing dan lelah.

Teman Dengar, Teman Tuli[sunting]

Pagi sekali aku telah terbangun, membantu ibu membersihkan halaman depan rumah kami. Aku juga meminjam gawai milik Ayah untuk memutar lagu kesukaanku. Tak kuduga, anak laki-laki bernama Reza itu terlihat keluar rumah sepagi itu juga.Kupasang senyum lebar, kulambaikan tanganku mengarah padanya.

Berhasil!

Ia membalas sapaku dengan senyum dan lambaian tangan juga. Buru-buru aku mengetik dan menunjukkan padanya.

Hai, namaku Ali.

Namaku Reza, balasnya. Kami mengetik bergantian menggunakan gawai ayahku.

Lagi ngapain? Mau main bareng aku?

Lagi santai, gak ngapa-ngapain. Boleh, hayuk!

Mau main bulu tangkis?

Mau! Tapi aku gak ada raket, tertinggal di rumah nenekku.

Yaudah, aku pinjemin punya ayahku. Tunggu sebentar, ya.

Oke.

Aku mengambil raket Ayah yang tergantung di dinding dekat pintu kamarku.

"Bu, Ali izin main dulu ama Reza, ya," pamitku pada Ibu sambil menunjuk jalan depan rumah kami, "Di depan."


Reza ternyata cukup mahir bermain bulu tangkis, aku harus mengakui kekalahan dengan skor tipis. Dengan berat hati permainan harus diakhiri karena Ibu kami telah memanggil—menyuruh mandi, sinar mentari juga mulai meninggi dan menyengat. Olahraga pagi ini terasa menyenangkan dengan teman baru.

Reza menggerakkan-gerakkan tangannya seolah mengisyaratkan sesuatu, tetapi aku tidak mengerti. Bergegas kuambil gawai Ayah yang sebelumnya kuletakkan di meja ruang tamu dan mengetik.

Tolong bantu aku belajar bahasa isyarat, ya, pintaku padanya.

Ia mengacungkan jempol dan mengangguk, senyumnya semringah.

Terima kasih. Permainan tadi seru dan senang sekali berkenalan denganmu, tikannya di layar gawai ayahku.


TAMAT.