Lompat ke isi

Tempat Cukur Langganan

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Oleh: Eika Vio

Ilustrasi cerpen "Tukang Cukur Langganan" karya Eika Vio

Seperti biasanya lelaki itu selalu datang di waktu penghabisan. Saat sebagian besar warga kampungnya sudah menggembok pagar dan mengunci pintu rumah mereka. Namun, pukul sembilan malam Saprudin barulah tiba di tempat itu. Ia memang sengaja datang dilarut-larutkan. Ketika pintu tempat cukur itu hendak digembok, barulah Saprudin datang dengan terkekeh-kekeh, seperti biasanya. Ia sengaja datang paling akhir karena ada sebab yang sang empunya tempat pun mengetahuinya. Maka sang empunya tempat akan membukakan kembali pintunya demi menerima pengunjung terakhir itu. Biasanya Saprudin akan membawa sebungkus sate kambing kesukaan sang empunya tempat. Tapi, kali ini ia bertangan hampa, upahnya belumlah cair.

“Sehat, Bah?”

Tanpa diberi aba-aba, Saprudin langsung duduk di kursi kayu yang sebenarnya sudah agak reot, seakan-akan lelaki itu sudah sangat terbiasa datang. Lantas ia memilih kursi bercat hitam yang sama pula yang lokasinya paling kanan dekat dengan kaca, selalu saja begitu.

“Masih kuatlah nyukur sampai jam dua belas malam mah,” jawab sang empunya tempat. Sang empunya tempat lalu menyiapkan kain penutup dan mengikatkan kain itu ke bagian belakang tubuh Saprudin dengan penjepit baju. Kemudian diperhatikannya kepala Saprudin dengan kerut kening yang dalam dan berlipat-lipat. Muka tuanya pun terlihat semakin renta dengan kerut di kening itu.

“Rambutmu masih pendek, Din! Apa yang mau dipangkas?”

“Plontos saja, Bah!”“Dasar!”

Maka, tak berlama-lama sang empunya tempat itu menyiapkan perlengkapan cukur andalannya. Terjadilah kisah panjang yang menghabiskan waktu yang tak sebentar. Prosesi cukur-mencukur rambut pun sengaja dipelan-pelankan. Lagipula Saprudin adalah sang pengunjung terakhir. Sudah jadi kebiasaan dari lima tahun yang lalu, sudah mafhum adanya. Sekilas keduanya tampak akrab bak kakek dengan cucunya. Tapi mereka bukanlah karib kerabat. Hanya pelanggan yang setia berkunjung dan tukang cukur yang sabar mendengarkan.

“Rumah tangganya hancur gara-gara janda itu!”

Seperti biasa sang empunya tempat akan diam mendengarkan tanpa mengomentari sedikitpun. Jika manusia lain jengah berbincang tanpa dikomentari, lain halnya dengan Saprudin. Ia lebih senang jika sang empunya tempat memang diam membisu saja. Laiknya dirinya yang juga diam mendengarkan kisah-kisah kawan kerjanya di pabrik roti.

Begitulah memang adanya, berbagai cerita di tempat kerja telah Saprudin dengar tanpa terputus. Mulai dari kisah perselingkuhan teman sejawat, kongkalikong dengan majikan pabrik, hingga aib-aib keluarga yang dibongkar dan dipreteli tanpa sensor. Saprudin dengar kisah itu dari wanita-wanita di tempat kerjanya. Wanita-wanita itu saling menggunjing dan berbisik-bisik. Saprudin yang paling muda dan bingung harus berkawan dengan siapa akhirnya bergabung dengan para wanita itu. Akhirnya telinga Saprudin terasa panas karena penuh tersumpal cerita-cerita hitam. Kepala dan pikirannya dipenuhi pula oleh obrolan-obrolan kecut. Ia tak ingin menyela kata demi kata. Tersebab rasa takutnya untuk berakhir jadi sasaran gibah para wanita.

Maka lima tahun Saprudin membuang kotoran cerita yang bersarang di telinganya di tempat cukur langganannya. Bukanlah tersebab ia ingin memangkas rambutnya yang sudah tipis dan cepak itu. Namun, ia hanya ingin membuang kisah-kisah yang membatu di gendang pendengarannya. Tanpa protes, ditampunglah dengan setia berbagai kisah itu oleh sang empunya tempat cukur selama lima tahun ini. Saprudin merasa lega. Selepasnya Saprudin telah siap mendengar cerita bergaya serupa di pabrik roti untuk sebulan kemudian.

Sebulan kemudian Saprudin kembali datang ke tempat cukur langganannya. Malam hari, saat sepi hinggap dan merajalela. Saprudin kembali duduk di kursi kesukaannya. Rutinitas bulanan pun akan segera dimulai. Akan tetapi sang empunya tempat merasa kembali kebingungan. Rambut Saprudin rupanya belumlah tumbuh satu mili pun. Masihlah plontos adanya. Kerut kebingungan hadir kembali di kening tua itu.

“Cukurlah Bah, apapun itu!”

Maka sesuai dengan titah sang pelanggan terakhir, diambilah gunting dari atas meja. Lalu diguntinglah daun telinga sebelah kanan Saprudin dengan cepat dan tangkas. Saprudin kemudian membulatkan kedua bola matanya tanda tak percaya. Ia terlonjak dari kursinya. Darah merah nan segar mengucur dan menetes hingga lantai. Sang empunya tempat hanya diam sambil memasang muka datar. Gunting tajam itu masihlah bersarang di jemari sang empunya tempat. Saprudin mundur selangkah demi selangkah sembari memegang daun telinganya yang entah mengapa kini kian menderas darahnya. Dada Saprudin terasa bergemuruh dan panas. Ia membuka pintu dan mengambil langkah seribu. Selama ia berlari menjauh, cairan merah segar dari daun telinganya menetes kemudian berubah menjadi aliran yang begitu deras. Saking derasnya cairan merah pekat itu mengalir ke selokan dan terserap ke tanah. Membasahi jalan berbatu. Memberikan tanda yang mengerikan di malam sepi.

Kejadian aneh dan ganjil itu masihlah terngiang di pikiran Saprudin hingga sebulan kemudian ia memutuskan untuk datang kembali ke tempat cukur langganannya. Sebelum masuk ia mengusap telinga kanannya yang putus dan hanya menyisakan liang telinga yang menganga. Anehnya Saprudin masih saja tetap setia mendatangi sang empunya tempat meskipun lelaki tua itu telah berbuat aniaya pada dirinya.

Kembali Saprudin duduk di tempat biasa. Sang empunya tempat kembali memasang kain untuk menutup bagian depan badan. Dilihatnya kembali rambut Saprudin yang masih botak adanya. Kerut di kening pun muncul kemudian.

“Apa yang harus Abah cukur?” tanya lelaki tua itu.

“Apa saja! Aku hanya ingin cerita.”

Maka, seperti rutinitas sehari-hari, sang empunya tempat mengeluarkan perlengkapan andalannya. Ia mengambil gunting rambut kesayangannya dari laci meja. Diarahkannya gunting itu ke daun telinga kiri Saprudin hingga daun telinga itu putus dan jatuh ke atas lantai. Saprudin meloncat dari kursinya. Aliran darah merah dari telinga kirinya muncrat. Begitu deras dan kencang hingga membasahi lantai dan merembes lewat celah pintu.

“Dua daun telingamu sudah Abah potong. Kamu tidak akan sudi mendengar yang buruk lagi.

”Saprudin lalu berlari keluar sambil memegang kedua telinganya yang anehnya bisa mengeluarkan darah segar yang tak habis-habis. Darah itu bahkan memasuki halaman rumah-rumah warga, membanjiri jalan-jalan kampung. Tiada seorang pun yang melihat Saprudin berlari sembari berteriak-teriak meminta tolong. Saat ia menoleh hanya sang empunya tempat yang mengacungkan guntingnya tinggi-tinggi. Lelaki tua itu diam di tempatnya tak melangkah sedikitpun jua.

Kejadian dua malam berturut-turut membuat Saprudin gelisah tiada akhir. Setiap kali ia bercermin, dielusnya dua telinganya yang masih utuh tak cacat secuil pun. Kisahnya saat terlelap begitu membekas sulit dienyahkan. Ia teringat pada sang empunya tempat yang telah dijumpainya satu minggu yang lalu. Rasa ngeri masihlah terngiang. Namun, patutlah Saprudin menjumpai lelaki tua itu. Mungkinkah ini suatu pertanda? Entahlah.

Akhirnya sepulang dari pabrik roti Saprudin mengayuh sepedanya ke tempat langganannya. Siang masihlah menyengat. Matahari masih menggantung dengan jemawa. Orang-orang yang berkendara motor dan mobil dengan segala kepentingannya melewati sepeda Saprudin dengan cepat. Dilihatnya jalanan yang bersih dari darah. Tiada selokan yang dipenuhi darah. Tiada pula pekarangan yang dibanjiri darah dari kedua telinga Saprudian seperti malam-malam mengerikan yang hadir dalam bunga tidurnya. Hingga sampailah Saprudin di tempat cukur langganannya. Dari kejauhan pintu yang digembok kuat sudah terlihat. Tiada sang empunya tempat yang biasa sibuk dengan pelanggan dari balik kaca. Hanya orang-orang yang tampak berkerumun duduk-duduk dan berjongkok di depannya.

“Tak menyangka saya,” ucap salah satu dari mereka yang jongkok.

“Ya, saya pun! Sungguh biadab lelaki itu!” sambung lelaki yang lain.

Saprudin yang merasa penasaran dengan obrolan dua orang lelaki akhirnya memarkir sepedanya agak jauh dan diam-diam mendengar percakapan keduanya.

“Lelaki itu sudah dipenjara! Biar tahu rasa!”

“Dia pembunuh!”

"Ya! Padahal Abah Kurdi tak sengaja menggunting sedikit daun telinganya.”

“Betul. Lelaki muda itu langsung menonjok Abah Kurdi hingga terkapar.”

“Kejamnya, setelah Abah Kurdi tewas di tempat, lelaki muda itu menggunting telinga kanan Abah hingga putus!”

“Sungguh jahat dia!”

Tiba-tiba saja tubuh Saprudin seakan membatu. Dan jalan dihadapannya seakan terlihat memerah. Memerah. Penuh darah. Ini pasti sebuah pertanda.

TAMAT[sunting]