Terimakasih Kakak, Terimakasih Hana

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pengantar[sunting]

Cernak ini ditulis oleh Alheit.

Cernak ini berkisah tentang siswi kelas VI SD bernama Sarah yang menyaksikan berbagai macam peristiwa yang menimpa temannya, membuatnya sadar betapa berharganya temannya itu, dan juga kakaknya yang telah merawatnya selama ini.

Lakon[sunting]

  1. Sarah: Siswi kelas VI SD
  2. Hana: Siswi kelas VI SD
  3. Akilah: Kakak Sarah, mahasiswi
  4. Ayah Hana
  5. Guru UKS

Lokasi[sunting]

Sekolah Dasar; Rumah Sarah; Jalan umum.

Cerita Pendek[sunting]

Hana[sunting]

"Hai Sarah! Istirahat yuk?" tanya Hana padaku.

"Malas, aku mau di kelas aja." Hana pun pergi meninggalkan kelas.

Hana adalah siswi yang sangat baik kepada semua orang. Dia memiliki sifat yang sangat ramah dan periang. Aku sudah mengenalnya semenjak kelas I SD.

Bel masuk pun berbunyi, teman-temanku satu persatu mulai kembali ke kelas. Tak lama kemudian guru pun tiba. Setelah sang guru selesai memaparkan materi, beliau pun mulai memberikan pertanyaan, "Siapa yang bisa menjawab ini?" Aku pun dengan cepat mengangkat tangan kananku, "Baik Sarah, tulis jawabannya di papan tulis." Setelah aku selesai menulis jawabannya, Bu guru lalu berkata, "Bagus Sarah! Jawaban kamu benar!" Selagi melangkah kembali ke tempat dudukku, sebagian teman ada yang bertepuk tangan, dan ada juga yang teriak "Bagus!" "Keren!" dan lainnya.

Aku termasuk salah satu murid yang sangat pintar di kelas. Sudah sejak kelas I sampai kelas V yang lalu aku selalu memperoleh peringkat ke dua. Tapi tidak peduli seberapa keras aku berusaha dan belajar, aku tidak pernah bisa meraih peringkat satu.

Bel terakhir pun berbunyi dan kami semua bersiap-siap untuk pulang. Jarak tempuh antara sekolah dan rumahku cukup dekat.

"Boo!" tiba-tiba saja Hana mengagetkanku dari belakang.

"Hihi, kamu itu, padahal tadi sekelas pada kagum, tapi kamu malah acuh banget," ucap Hana sambil sedikit tersenyum menyindirku.

"Aku udah biasa dengan sikap mereka."

Seperti biasa, Hana selalu mengikutiku ketika pulang, lalu kami pun akan berpisah setelah berjalan kurang lebih sekitar 80 meter. "Dah Sarah! Sampai ketemu besok!" kata Hana sambil melambaikan tangannya kemudian pulang dengan berlari. Rumah Hana cukup jauh dari sekolah, dan tidak ada satu pun dari kelasku yang tinggal dekat dengannya, membuatnya selalu pulang sendirian.

Kakak[sunting]

Sesampaiku di rumah, aku membuka sepatuku dan meletakkannya di rak. Aku pun segera beristirahat sejenak di halaman belakang. 3 jam kemudian aku mendengar suara kakakku.

"Assalamu'alaikum!" Ia pun mendekatiku dan mencubit pipiku, "Sarah, adik kakak yang manis, kan kakak sudah bilang kalau kamu harus jawab salam kakak!"

"Wa'alaikumussalam!" jawabku dengan ketus.

"Kamu sudah makan siang kan?"

"Sudah kak."

Seperti biasa sebelum berangkat kuliah, kakakku selalu menyiapkan makanan yang kemudian bisa langsung aku masak di siang hari. Setelah kurang lebih 40 menit, kakakku bersiap untuk keluar lagi.

"Sarah, kakak berangkat dulu."

"Iya kak."

"Assalamu'alaikum!" Kudengar pintu depan pun tertutup. "Saaaraaaah!" Lagi-lagi ia mencubit pipiku.

"Awww! Wa'alaikumussalam!"

"Nah, pintar, hihi." Dasar kakak, bisa-bisanya mengelabuiku seperti itu.

Selain kuliah, kakakku juga mengajar di sebuah madrasah. Biasanya dia sudah pulang sebelum waktu maghrib. Ayah dan Ibuku meninggal dalam sebuah kecelakaan saat aku masih kecil. Setelah itu, aku hanya tinggal berdua dengan kakakku.

Esok Harinya[sunting]

Hari ini ada pelajaran olahraga, rencananya kami akan bermain bola voli, tapi dikarenakan tanah yang basah dan banyak genangan lumpur disebabkan hujan deras tadi malam, akhirnya guru hanya mengizinkan kami untuk senam dan lari, sisa waktunya diisi dengan materi.

Saat berlari tiba-tiba saja kakiku terpeleset dan menabrak seseorang di sampingku dengan cukup keras. Ternyata itu adalah Hana, sialnya dia terjatuh tepat di genangan lumpur. Aku langsung bagkit dan menghampirinya, "Hana! Hana! Kamu gak apa-apa?" "Ahh, aku gak apa-apa, haha... Aw!" "Sini aku lihat," aku dan beberapa siswi lainnya pun membantunya berdiri. Saat kuperiksa lukanya, aku cukup kaget ketika melihat betisnya berdarah, di lututnya juga ada lecet. Rupanya ia terjatuh di tanah yang rusak dan tidak rata. Aku pun secepatnya berteriak memanggil guru. Kami pun segera membawanya ke ruang UKS.

Guru pun segera mengobati lukanya dan membalutnya dengan perban.

"Hana, aku bener-bener minta maaf, aku ceroboh banget, harusnya aku lebih berhati-hati lagi."

"Udahlah, ini cuman kecelakaan kok, hihi."

"Hana, bisa kamu coba gerakin kakimu?" Tanya guru padanya.

Hana pun mencoba menggerakan kakiknya, "Kayaknya kakiku udah... aw! Ahhaha, cuman luka ringan kok," ucap Hana sambil menahan rasa sakit.

"Ternyata benar, memarnya cukup parah. Ibu akan telepon orangtuamu untuk jemput kamu Hana."

"Jangan Bu! Jangan! Aku bisa pulang sendiri kok."

"Hana, Ibu tahu lukamu cukup parah, jangan memaksakan diri!" Ibu guru pun bergegas pergi untuk  menghubungi orangtua Hana.

"Hana, kamu ini kenapa?"

"Ahaha, bukan apa-apa kok. Rasanya aku udah bisa jalan," ia pun perlahan turun dari ranjang, tapi sepertinya kelihangan keseimbangan dan mulai terjatuh.

"HANA!" Refleks aku mengangkatnya, "Kamu ini kenapa keras kepala banget sih? Udah, sekarang kamu istirahat dulu aja."

"...Maaf Sarah," suaranya terdengar mengkhawatirkan.

"Kamu ini bicara apa sih? Kamu gak salah apa-apa, ini semua salahku, jadi jangan minta maaf. Pokoknya sekarang kamu baik-baik aja di sini!" Tegasku.

Ibu guru pun kembali dengan wajah sedikit cemas, "Hana, sepertinya saat ini Ayahmu sedang sangat sibuk. Jadi Ibu akan minta izin dulu untuk mengantarmu pulang."

"Bu guru, aku kan sudah bilang aku bisa pulang sendiri."

"Hana!" timpalku dengan keras, "Bu, biar aku yang mengantarnya pulang, ya Bu?" Entah kenapa seketika saja kata-kata itu keluar dari mulutku.

"Loh? memang kamu mau ngantar dengan apa? Udah, biar Ibu yang pergi."

"Aku mohon Bu, lagian ini juga salahku udah bikin dia cedera kayak gini."

"Ibu ngerti, tapi Ibu gak bisa ngebiarin kalian sendiri, kamu boleh ikut Sarah, lagian jelas lebih aman kalau Ibu yang pergi dengan mobil sekolah."

"Makasih banyak Bu!"

Kami bertiga pun mulai menaiki mobil sekolah.

Musibah yang Lain[sunting]

"Hana, kakimu jangan banyak digerakkan, nanti perbannya lepas!"

"Iya Bu."

Baru saja berjalan sebentar, tiba-tiba sebuah mobil lain melaju cukup kencang dari arah yang berlwanan, dan kami pun berbelok seketika, menabrak tong sampah dan tiang listrik.

"Hana! Sarah! Kalian gak apa-apa?" Tanya Bu guru dengan sangat cemas.

"Hana! Hana!"

"Aku gak apa-apa"

Meskipun tabrakannya cukup kuat, kami tidak terluka, untunglah kami ingat untuk memakai sabuk pengaman.

"Ya Allah, sekarang gimana?" Bu guru segera keluar dari mobil.

"Hana, kamu tunggu di sini ya?" Aku pun menyusul Bu guru.

"Gawat, sepertinya kita harus berhenti dulu. Ibu akan menelepon pihak sekolah dulu."

"Bu, rumahku cukup dekat dari sini, aku antar Hana ke rumahku dulu ya Bu?"

"Eh, tapi apa Hana gak apa-apa?"

"Tenang Bu, aku lebih kuat dari Hana, aku bisa membawanya, tapi jalan kesana cukup sempit, mobil tidak akan bisa masuk."

Bu guru pun lagi-lagi terdiam sejenak, kali ini lebih lama dari sebelumnya, "Kamu yakin, Sarah?"

"Tenang Bu! Hana kan teman baikku!"

"Baiklah," kami pun menjelaskan keadaannya pada Hana, lalu membantuya keluar mobil.

"Maaf ya, Ibu gak bisa bantu kalian."

"Jangan cemas Bu, Hana ini ringan, aku bisa mengangkatnya dengan mudah!" seketika Hana mencubit pipiku.

"Kalau begitu hati-hati ya! Oh ya, jangan lupa, kalau sudah sampai rumah cepat kabari Ibu!"

"Siap Bu!" Lantas kami pun berjalan ke rumahku.

Aku tahu Hana sangat ringan, tapi aku tidak menyangka ia seringan ini, aku bahkan bisa mengangkatnya di punggungku. "Hana, aku bener-bener minta maaf..."

"Aku hanya akan maafin kamu kalau kamu kasih aku makanan kakakmu yang enak itu! Hihi."

"Haha, iya iya." Syukurlah, dia masih bisa bergurau dalam keadaan seperti ini.

Alasan Sebenarnya[sunting]

Kami pun tiba di rumah, dan sesaat terlintas di benakku untuk meminta bantuan kakak.

"Wah, siapa sangka, ternyata rumahmu sebesar ini!" Aku pun segera menurunkannya di kursi ruang tv. "Nah, mana makanan kakakmu yang enak itu?"

"Iya iya Tuan Putri, akan segera saya hidangkan."

"Jangan lama-lama ya!"

Kemudian aku bergegas untuk memasak, lalu teringat akan Bu guru dan juga kakakku, aku pun segera mengambil ponselku dan mengirim sms pada mereka.

Tak sengaja terlihat wajahnya sangat sedih, "Ini dia hidangannya Tuan Putri"

"Wah!" Raut wajahnya berubah ceria. Kemudian kami pun makan bersama.

"Tadi kakakku sms, dia bilang dia mau antar kamu sampai rumah." Spontan saja Hana memuntahkan makanan di mulutnya, "Hana! Kenapa?"

"Ah, bukan, cuman tersedak."

Sejenak aku terdiam, dan mencoba memberanikan diri untuk bertanya, "Hana, sebenarnya kamu ada masalah apa?"

"Eh, maksudnya?"

"Kamu jangan terus pura-pura kayak gini, sejak dari ruang UKS sikap kamu itu aneh, sebenernya kamu ada masalah apa di rumah?" Hana pun terdiam merenung, "Setiap hari aku selalu memperhatikanmu pulang berlari. Hana, kamu bisa cerita ke aku, aku pasti bantu kok!"

Hana pun tersenyum sambil berkata, "Wah, kamu itu ternyata bisa peduli juga ya Sarah?"

"Hana, serius! Aku gak tahan harus lihat kamu gini terus." lagi-lagi Hana hanya bisa terdiam. Setelah beberap saat, ia mulai menutup matanya, dan kulihat bening tangisan mulai jatuh dari matanya, "Hana...?"

Hana memeluk Sarah sambil menangis

"Saraaah! Hwaaaah!" spontan saja ia langsung memelukku dengan erat, menangis sekeras-kerasnya, dan aku pun ikut menangis bersamanya meskipun aku sendiri belum tahu ada apa sebenarnya. Kami pun terus menangis untuk waktu yang cukup lama.

Setelah beberapa saat, akhirnya Hana mulai menceritakan semuanya, "Sarah, maafin aku, aku cuman takut sama papa. Kalau aku pulang terlambat sedikit saja, papa pasti memarahiku, dan terkadang menamparku. Papa juga melarangku untuk bermain di luar waktu sekolah."

Begitu, jadi itu alasannya kenapa dia selalu saja menolak ketika diajak bermain. "Kenapa kamu gak pernah cerita?"

"Karena aku tahu papa itu aslinya orang yang baik!"

"Apa?" Dalam batinku keheranan.

"Dulu papa sangat baik padaku. Tapi semenjak mama meninggal 4 tahun lalu, sikapnya perlahan berubah. Tapi aku yakin kalau papa masih sayang padaku. Mama pernah bilang sama aku, kalau aku sangat menginginkan sesuatu, aku hanya perlu berdo'a, dan Allah pasti akan kabulin."

"Tapi kan ini udah 4 tahun Hana, mau sampai kapan kamu cuman berdo'a?"

"Pokoknya aku gak peduli! Aku yakin suatu hari nanti Allah pasti bikin papa baik lagi sama aku!"

Aku terdiam cukup lama, aku tidak tahu harus bilang apa. Aku tidak seperti Hana yang rajin ibadah. Kami pun hanya bisa terdiam sambil melanjutkan makan.

Ayah Hana[sunting]

"Assalamu'aikum!" Akhirnya kakakku sudah pulang.

"Wa'alaikumussalam!" Jawab Hana.

"Sarah? Oh, Hana ya? Syukurlah, kelihatannya kamu udah baikan."

"Maaf kak Akilah, Hana ngerepotin kakak..."

"Gak apa kok, justru kakak senang adik kakak yang manis ini bisa punya temen!" Ujarnya sambil mencubit pipiku... lagi.

"Kalian ini seneng banget sih cubit pipi Sarah?"

"Hehe. Oh iya, ngomong-ngomong, makanan kakak sangat lezat!"

"Wah, benarkah? Syukurlah. Kalau Sarah sih, gak pernah muji makanan kakak, haha."

Aku milih diam aja ah, males nanggepin mereka.

"Jadi kak, saya bisa pulang sekarang?"

"Oh, buru-buru ya?"

"Ya, aku gak mau bikin papa khawatir."

"OK! Tunggu sebentar ya, kakak ganti baju dulu."

Tak lama ketika mereka hendak pergi, kami mendengar suara langkah kaki dan teriakan, "Hanaaa!" Terlihat seseorang berlari mengarah kemari. Itu adalah Ayah Hana. "Hana!" Tangganya siap melayangkan tamparan.

"Tunggu Paman," kakakku langsung menyela.

Aku pun ikut menimpali, "Paman, ini bukan salah Hana! Dia terluka gara-gara..."

Tanpa diduga, tiba-tiba Ia langsung memeluk Hana sambil bercururan air mata.

"Hana, maafin papa, papa gak pernah bermaksud nyakitin Hana, semenjak mama tiada, papa bingung bagaimana harus merawatmu. Tolong maafin papa Hana."

"...Papah," Hana pun membalas pelukannya, kulihat senyum manis di wajahnya, terpantul indah kilauan bening air matanya.

Sadar[sunting]

...

"Nak Akilah, nak Sarah, Paman sungguh berterimakasih sudah menjaga Hana."

"Alhamdulillah. Ini juga berkat Sarah, dia yang sejak awal menemani Hana."

"Paman sudah dengar ceritanya dari guru. Paman sangat senang Hana punya teman yang baik seperti nak Sarah," ucapnya sambil menepuk kepalaku, tapi aku hanya terus terdiam. "Kalau begitu, kami pulang dulu, Assalamu'alaikum." Ia pun menggendong Hana di punggungnya.

"Wa'alaikumussalam." Jawab kakakku.

...

"Sarah, kenapa dari tadi kamu diam terus? ...Kakak mau istirahat dulu. Jangan kelamaan di luar."

Aku pun perlahan berjalan ke halaman belakang. Seluruh kejadian ini... kepalaku penuh dengan berbagai hal.

Sarah memeluk kakaknya tiba-tiba

Aku tidak percaya, Hana selalu tersenyum dan periang, seolah tidak ada masalah padanya. Tapi... keadaanya sangat menyedihkan... bahkan lebih menyedihkan dariku. Benar juga, kalau kupikir lagi, selama ini aku justru hidup dengan nyaman, sekalipun aku tidak bisa mengingat wajah orangtuaku, ada kakak yang selalu bisa kuandalkan. Aku memang tak pernah meraih peringkat satu, tapi Hana... dia bahkan tak pernah masuk dalam 10 besar, dan setiap hari Ayahnya memarahinya, meski demikian Hana... Tanpa kusadari air mata sudah banyak berjatuhan. Betapa bodohnya diriku! Aku pun bergegas mencari kakak dan memeluknya.

"Sa-Sarah?!"

"Kakaaak! Hwaaahh!"

"Sarah, ka-kamu kenapa?"

"Kakak, maafin Sarah. Sarah sayang kakak. Hwaaahh."

2 Hari Kemudian[sunting]

"Kak, Sarah berangkat dulu."

"Hati-hati di jalan."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Aku pun berjalan sampai ke tempat di mana Aku dan Hana selalu berpisah saat pulang sekolah.

"Saraaah!" Teriak seseorang dari kejauhan.

"Lukamu udah sembuh total kan?" Tanyaku.

"Kamu buta ya? Tadi aku kan baru aja lari."

"Iya iya, aku cuman gak mau kalau harus mangku kamu lagi." Wajah Sarah langsung terlihat ngambek.

Sejak saat itu, kami selalu pergi sekolah bersama.

Sarah & Hana berangkat sekolah bersama-sama

Terimakasih Kakak, Terimakasih Hana.

TAMAT