Termakan Hoaks

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Sekolah ini akan mengadakan vaksinasi. Namun, sebuah berita hoaks datang menyebar keseluruh penjuru sekolah. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Tokoh[sunting]

- Alena Cinthya

- Rena Safira

- Jesica Vanasthasya

- Cindy Renatha Regina

Hoaks di Sekolah[sunting]

Hai! Kenalkan, namaku Alena Cinthya. Aku kelas dua SMP. Kakakku bernama Rena Safira. Dia duduk di kelas sebelas SMA. Yup, jarak kami hanya beda tiga tahun. Aku sangat bersemangat ingin sekolah besok. Karena saat kelas satu SMP, pembelajaran selama satu tahun full dilaksanakan secara daring, atau online dari rumah. Sekarang, semester satu saat kelas dua ini akan diberlakukan PTM atau pembelajaran tatap muka di sekolah. Karena itu aku sangat semangat bersekolah. Aku suka membaca, aku suka menggali fakta. Bakat literasiku selalu kupakai untuk menggali sesuatu yang ingin kuketahui. Atau memecahkan sesuatu melalui menulis dan membaca. Kemampuan literasiku ini sudah kumiliki sejak aku duduk dikelas empat sekolah dasar.

....

vaksin disekolah kami

Angin pagi membelai lembut rambut hitam Alena. Matanya menyapu pandangan disekitarnya. Dilihatnya taman didepan rumah. Sejuk dan asri. Lalu dia bergegas bersiap pergi kesekolah. Karena pandemi covid 19 masih merajalela, maka ia tak lupa memakai masker sebelum pergi kesekolah.                                                                                                                                                                      

           “Mau sarapan apa Ale? Ini ada roti lapis dan nasi goreng.” Mama terlihat sibuk mengatur meja makan. “Ale mau roti lapis aja ma. Nanti minum susu juga,” katanya. Tangannya meraih sepotong roti lapis dan menuangkan susu kedalam gelas.

  “Ale nanti jangan lupa pakai masker ya. Kak Rena juga. Ingat jangan lupa bawa handsanitizer juga ya. Social distancing nya juga diperhatikan.” Papa berkata panjang lebar. Papa sebenarnya sangat khawatir membiarkanku dan kakakku untuk pergi kesekolah. Beliau masih terus waspada pada pandemi ini.

“Iya Pa. Ale pakai kok. Ada juga beberapa yang Ale bawa.” Katanya sambil bersiap melahap roti lapisnya. Kak Rena turut mengangguk. Mulutnya penuh berisi nasi goreng. Tak lama, mereka pergi kesekolah diantar oleh Papa. Kantor tempat Papa bekerja masi memberlakukan work from home atau bekerja dari rumah, karena direktur pemilik perusahaan sempat terinfeksi virus corona. Maka dari itu, agar seluruh pegawai dan staff di kantor Papa tetap aman, akhirnya work from home pun dilanjutkan sampai ada surat edaran pemerintah yang mengizinkan terlaksananya bekerja secara langsung.

           Sampai disekolah, seperti biasanya, guru piket yang menunggu didepan gerbang selalu mengukur suhu badan setiap siswa. Dan menyuruh mencuci tangan sebelum masuk ke kawasan sekolah. Dikelas sepi. Sekolahku masih memberlakukan pembelajara secara bertahap. Jadi, untuk sesi pertama pada pagi  hari ada delapan orang, dan sesi kedua saat siang hari nanti ada delapan orang lagi. Yup, total siswa dikelasku ada enam belas orang yang semuanya perempuan. Untuk yang laki-laki, kelasnya terpisah.

“Hola Ale! Apa kabar?” seseorang menepuk bahuku.

“Masya Allah! Kaget tau Jesica Vanasthasyaa. Alhamdulillah kabar aku baik. Kamu gimana?” tanyaku balik.

“Hehe, ya maaf. Aku juga baik. Btw kamu tau gak? Katanya sekolah kita bakalan ada vaksinasi.” Spontan raut wajah Jesi berubah menjadi serius.

“Hah, Serius? Kapan?” aku mulai tertarik pada topik pembicaraan.

“Belum tau sih. Kamu gak lihat berita? Negara sedang heboh tentang vaksin,” ujarnya sambil merogoh kantong tasnya.

“Enggak sih. Aku enggak lihat berita. Habisnya aku lagi ngabisin novel yang aku pinjam dari kak Rena, ceritanya seru banget sih,” aku hanya nyengir lebar.

“Yaelah Alena kudet. Nih liat di YouTube. Lagi banyak banget pemberitaan soal vaksin.” Jesi menyodorkan handphonenya.

           Alena melihat semua vidio pemberitaan tentang vaksinasi yang ada di YouTube. Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada sebuah vidio yang disarankan. Karena penasaran, dia langsung menekan vidio tersebut.

“Eh, itu vidio apa Le?” Jesi menatap layar handphonenya dengan fokus.

“Gak tau juga, makanya kita lihat dulu sama-sama,” aku sedikit mengernyitkan dahi.

Didalam vidio itu terlihat seorang pemuda yang sedang kritis dirumah sakit. Diduga pemuda tersebut koma setelah disuntik vaksin covid 19. Diakhir vidio diterangkan, pemuda itu meninggal sehari setelah divaksinasi. Aku memasang wajah ngeri. Jesi menggiggiti bibirnya.

“Ih, serem banget. Gimana nih? Nanti ada vaksin di sekolah ini,” Jesi menutup wajahnya.

Cindy, seorang teman yang duduk dibelakangku merasa tertarik dengan pembicaraan kami. “kalian lihat apa sih? Sepertinya seru sekali.” Ia menarik bangkunya agar duduk disebelahku.

“Ini Cin, kami sedang lihat vidio tentang vaksinasi. Katanya vaksin itu mengandung racun yang berbahaya. Bisa buat orang pulang kampung.” Jelas Jesi.

“Pulang kampung? Seru dong.” Wajah Cindy malah memasang raut tak berdosa.

“Iya, kampung di akhirat,” lanjutku.

“Whoa, bilang dong. Kalau gitu mah aku takut juga.” Katanya sambil bergidik ngeri. “Minta dong vidio nya. Biar aku share. Kudengar sekolah kita mau ada vaksinasi. Jangan sampai itu beneran terjadi deh,” katanya sambil mengutak-atik handphonenya. Jesi bergegas menyalin link vidio tersebut.

Tak lama, bel berdering nyaring. Seluruh murid bergegas kembali ke tempat duduk masing-masing.

“Selamat pagi anak-anak! Bagaimana kabar kalian?” sapa Bu Maya ramah.

“Alhamdulillah baik buu,” jawab para murid serempak. Bu Maya adalah guru wali kelas sekaligus guru bahasa mandarin disekolahku. Usia beliau masih muda, orangnya seru dan kocak. Pokoknya aku senang sekali bisa berada dikelas bu Maya. Pembelajaran pun dimulai dengan tenang.

Saat jam istirahat, aku mendekati bu Maya yang sedang menyusun berkas penting milik beliau. Ditemani Jesi, maksud kami mendatangi bu Maya adalah untuk menanyakan perihal vaksinasi.

“Ehm, bu, permisi. Ale mau numpang bertanya boleh?” tanyaku sopan.

“Oh, Ale? Silahkan, mau tanya apa?” bu Maya menatapku sambil tersenyum.

“Itu bu. Ale dengar, katanya sekolah kita mau mengadakan vaksinasi, itu kapan ya bu?”

Bu Maya mengernyitkan dahinya seblum menjawab pertanyaanku. “Sepertinya sekitaran tanggal dua puluh empat. Tiga hari lagi. Memangnya kenapa Le? Oh iya, ini ada formulir persetujuan vaksinasi, nanti tolong kamu bagikan ya.”

“Ehm, ouh oke bu, terimakasih.”aku mengambil beberapa kertas formulir dari tangan bu Maya, dan aku langsung membalikkan badanku. Sebenarnya yang ingin kutanyakan adalah tentang berita vaksin itu. Tapi aku mengurungkan niat karena Jesi sedari tadi sibuk menarik ujung bajuku. Dia ingin mengajakku kekantin. Aku bergegas membagikan kertas formulir tersebut.

“Apa sih Jes?”

“Hehe, aku laper nih. Mending kita ke kantin aja.” Ajaknya. Aku mengangguk.

Dikantin ramai, seperti biasa, aku dan Jesi duduk di pojok kantin. Bersebelahan dengan Pohon cemara yang masih lumayan kecil.

“Gimana nih? Aku takut banget mau vaksin. Mana formulirnya udah dibagikan lagi.” Ujar Jesi sehabis memesan makanan.

“Kamu yakin divaksin bisa bikin meninggal? Kayaknya vidio itu hoaks deh. Karna gak mungkin negara sengaja menghilangkan nyawa penduduknya. Sementara yang diharapkan itu sumber daya manusia terus bertambah. Masa kalimat itu dipathakan dengan adanya vaksin beracun?”

Jujur, aku kurang yakin dengan vidio itu. Apakah kalian setuju dengan pernyataanku tadi?

“Kamu isi formulirnya setuju atau tidak?” tanyaku lagi.

“Belum tau juga. Tapi sepertinya aku akan mengisi tidak setuju, tadi, aku ada baca artikel yang bilang vaksin itu gak bagus. Judulnya saja sudah serem tau.” Kata Jesi.

“Memangnya judulnya apa?” tanyaku heran.

“Nekat vaksin? Maka hal ini akan terjadi padamu!” serunya lantang.

“Benarkah? Jadi yang mana yang bener sih?” kataku bingung. Jesi menggeleng dan segera melahap makanan yang sudah diantar sejak tadi.

….

Pulang sekolah, “Assalamualaikum Ma,” aku melepas sepatuku dan segera meletakkannya ke rak. Kak Rena pulang jam tiga karena akan mengikuti bimbel dari sekolahnya.

“Waalaikumussalam. Ale udah pulang?” Mama sedang membaca tabloid di ruang keluarga sambil asyik memakan buah ceri.

“Ma, dari sekolah Ale bakalan ada vaksinasi. Menurut Mama, Ale ikut gak ya?” kataku sambil mengeluarkan kertas formulir vaksinasi.

“Apa? Vaksin dari sekolah?” kepala Papa tiba-tiba muncul dari balik ruang kerjanya.

Aku mengangguk, “Iya pa, vaksinnya pfizer, nanti tanggal dua puluh empat,” kataku.

Mata Papa terbelalak. “Gausah, Ale gausah vaksin. Vaksin itu gak bagus. Mengandung racun dan akan mengakibatkan efek samping yang berabahaya.” Tegas Papa.

“Tapi Pa, kalau enggak ada pencegahan dari kita sendiri, gimana Indonesia bisa kembali sehat?” bantahku.

“Kamu gak usah ikut vaksin. Palingan sebentar lagi corona ini akan hilang,” Mama turut mendukung Papa. Aku berjalan lesu ke kamar. Lantas segera membuka laptop. Aku akan mencari fakta tentang vaksin tersebut. Bakat literasiku akan kukeluarkan sekarang. Aku juga menyiapkan selembar kertas dan bolpoin. Aku akan menuangkan segala fakta yang kukumpulkan menjadi satu untuk memecahkan masalah.

Pertama, aku mencari website kominfo di google, lalu membaca setiap artikel yang tertera di  Ternyata baru beberapa jam yang lalu, pemerintah mengeluarkan vidio berisi pembantahan pernyataan tentang vaksin yang berisi racun. Isi vidio tersebut aku tulis dan link vidionya aku simpan.  Setelah merangkum segala artikel dan pernyataan tentang hoax vaksin, aku akhirnya mengetahui, segala vidio maupun artikel mengenai vaksin itu beracun, atau menyebabkan efek samping berbahaya adalah hoax. Aku tersenyum senang mengetahui hal itu. Dan langsung kusampaikan pada Jesi. Sepertinya dia juga sudah dinasehati oleh orang tuanya, mengingat ibunya adalah seorang dokter.

“Ma, Pa, lihat ini, vaksin itu enggak berbahaya. Justru jika kita vaksin itu membantu mengurangi dampak terinfeksi corona. Ale udah cek artikel dan vidio mengenai vaksin, dan ternyata berita vaksin beracun itu hoax.” Kataku sambil menunjukkan peta pikiran yang kubuat.

“Iya Ale, Papa juga barusan baca, katanya berita itu hoaks. Dan pembuat vidio hoaks itu juga sudah diamankan pihak kepolisian. Jadi silahkan kalau Ale memang mau di vaksin.” Papa tersenyum bangga melihat putrinya itu.

“Iya, Mama dapat info, besok akan ada sosialisasi orang tua mengenai vaksin di sekolah Ale,” lanjut Mama. Aku tersenyum senang.

Pada akhirnya, kita jangan sampai termakan berita hoax yang akan mempengaruhi kita. Pergunakan literasi sebaik mungkin, untuk menggali dan mengetahui benar atau tidaknya suatu informasi.