Ternyata, Merdeka Bukan Buat Mala

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis[sunting]

Mala tidak dapat membayangkan nasibnya akan berakhir seperti ini. Tidak setelah gadis itu berjuang mati-matian untuk keluar dari belenggu patriarki di keluarganya dan terseok-seok meraih impian duduk di kursi perguruan tinggi. Mala tidak menyangka, sejauh apapun kakinya berlari, belenggu keluarganya mencegah dirinya pergi.

Cerita ini berkisah tentang Mala dan perjuangan mempertahankan haknya sebagai perempuan, yang tetap berujung nestapa.

Lakon[sunting]

  • Mala
  • Suami Mala
  • Ayah Mala
  • Ibu Mala
  • Adik dan kakak Mala

Cerita Pendek[sunting]

Mala dapat merasakan bahunya diguncang hebat di tengah tidurnya yang singkat. Menyadari bahwa bagian kepalanya begitu pusing saat dipaksa bangkit dari tempat tidur, perempuan itu refleks meraba dahinya. Apa dirinya demam? Bersamaan dengan pertanyaan yang terlintas dalam benak, Mala mulai merasakan gelombang panas sekaligus menggigil yang begitu familiar.

Iya, perempuan itu sakit. Meriang.

“Bisa denger gak sih? lelet amat jadi cewek!” Sebuah bentakan menyapa indera pendengaran yang belum berfungsi maksimal.

Oh. Kesadarannya mulai pulih. Sesosok laki-laki berbadan tambun berdiri di hadapannya, masih memakai pakaian tidur dan terlihat frustasi dari raut wajah yang ditampilkan laki-laki itu. Itu suaminya, yang mengguncang Mala dengan kekuatan yang tidak bisa Mala lawan.

Perempuan itu meringis. Sudah biasa.

“Siapin baju saya. Kamu juga belum bikin kopi sama sarapan. Gimana sih, perempuan kok malas!” Lanjut laki-laki itu. Sikap ketus dan tempramennya ditunjukkan tidak hanya kata-kata yang terdengar begitu menyakitkan, tetapi lengkap beserta toyoran cukup kencang di dahi perempuan yang secara resmi berstatus sebagai istri.

Mala hampir menangis.

Suami yang baru saja meneriakinya pasti secara sadar sudah menyentuh dahi Mala –meski berupa toyoran kasar, yang langsung terasa panas melebihi suhu tubuh rata-rata kondisi normal manusia. Mestinya laki-laki itu sadar. Mestinya laki-laki itu paham, istrinya sedang sakit. Jika memang suaminya tidak mau berepot-repot mengurus Mala yang sedang sakit, perempuan itu berhadap setidaknya dirinya dibebaskan dari kewajiban-kewajiban seperti menyiapkan pakaian, kopi, dan sarapan yang pada dasarnya bisa suaminya siapkan sendiri, paling tidak hanya untuk hari ini.

Mala lupa bahwa suaminya sama sekali bukan laki-laki dengan kepribadian seperti itu. Dia merutuki kebodohan dirinya sendiri yang berani berpikir bahwa suaminya memikili sedikit saja belas kasih. Seharusnya perempuan itu memang tidak berharap apa-apa.

Mala, sebenarnya bukan perempuan muda dengan pemikiran primitif yang menganggap kodrat perempuan memang hanya untuk tunduk di bawah kendali laki-laki demi seongok nafkah yang sebenarnya bisa didapatkan lewat tangannya sendiri. Mala tidak suka konsep tersebut. Hanya saja, di Desa Pete, desa kecil di Kabupaten Tangerang tempat Mala dan keluarganya tinggal, praktek patriarki tidak bisa lepas dari sendi terkecil kehidupan mereka. Mala bisa apa selain tunduk sebab dia tidak punya kuasa untuk membebaskan dirinya dari belenggu tradisi itu. Mala benci bangun paling pagi bersama sang ibu dari seluruh anggota keluarganya yang berjumlah tujuh –dengan tiga kakak lelaki dan adik lelaki pula– hanya demi menimba sumur di subuh buta untuk menyiapkan air mandi mereka dan berkepul-kepul di dapur memasak sarapan yang wajib tersedia saat para lelaki bangun. Mala benci menjadi yang paling bekerja keras bahkan dengan posisinya yang nyaris bungsu dan bahkan perempuan.

Oh, justru itu, karena dia perempuan, maka dia memang harus jadi pelayan.

Ibunya yang kelewat pasrah dan menerima nasib makin membuat Mala jengkel sebab dia selalu jadi sasaran kemarahan bahkan jika kesalahan terletak pada kakak lelakinya. Mestinya, kata sang ibu, perempuan itu bersyukur, tidak perlu bekerja cari uang dan hanya perlu mengurus rumah.

Hanya perlu mengurus rumah?

Tidak perlu mencari uang?

Mala, kalau mau, bahkan bisa menghasilkan uang dua kali lipat daripada yang dapat diberikan oleh si ayah.

Mala muak.

Tumbuh dengan pelayanan dari perempuan terhadap anggota keluarga lelaki di rumah mereka membuat saudara-saudaranya tidak berguna sama sekali. Saudara-saudara lelakinya, yang selalu dimanja dan dibela saat berbuat salah membuat mereka tumbuh dewasa tanpa bisa apa-apa, tetapi memiliki pride tinggi dan kesombongan di atas langit.

Alias, patriarkis abis!

Puncaknya, saat adik lelakinya yang baru kelas satu SMA menghampiri ayah dan ibu mereka di ruang tamu keluarga sambil membawa gadis perempuan seumuran, yang Mala taksir usianya sama dengan si adik. Wajah mereka terlihat memutih sebab begitu pucat. Mala memiliki firasat buruk sejak Mala mengintip mereka melintasi halaman rumah dari jendela kamarnya yang terbuka.

"Pacar saya hamil" kata si adik. Jantung Mala rasanya merosot hingga mata kaki. Rasa terkejutnya mendorong Mala menghampiri adik laki-lakinya dan melayangkan satu tamparan –yang tidak dapat dihitung keras, pada wajah remaja itu. Mala tahu bahwa anggota lelaki dalam keluarga mereka sangat memuakkan sebab begitu patriarkis, tetapi tidak menyangka bahwa adik laki-lakinya tumbuh sebrengsek ini.

Tamparan refleks dari tangan Mala ke wajah adiknya tidak lama kemudian menghadiahkan satu tamparan keras pula pada pipi Mala. Dari sang ayah yang menatapnya murka sambil meneriakkan sumpah serapah sebab berani menampar si adik yang katanya sedang tertimpa musibah.

Musibah? Lucu sekali.

Mereka kemudian dengan cepat mempersiapkan pernikahan si adik dengan kekasihnya, yang Mala kasihani sebab masih begitu kecil. Mala yang baru saja lulus SMA saat itu bahkan sama sekali tidak memiliki pikiran untuk menikah dalam waktu cepat. Semuanya berjalan cukup baik hingga tiba-tiba saja hidup benar-benar seperti komedi untuk Mala. Ibunya, yang sangat dipercaya, kemudian berkhianat dan membocorkan simpanan uang, yang gadis itu siapkan untuk kuliah sebab Mala lolos SBMPTN dan tahu bahwa keluarga mereka tidak akan mau membiayai anak perempuan mereka ke perguruan tinggi.

Mala kecewa. Jelas. Uang itu dikumpulkannya perlahan-lahan sejak dia menemukan cara menghasilkan uang disamping kewajibannya bersekolah. Pernikahan mendadak si bungsu jelas membawa keluarga mereka pada kesulitan materi sebab tidak pernah direncanakan. Mala, yang sudah berderai air mata saat diminta merelakan tabungannya harus pula dicekoki perkataan pahit yang mesti gadis itu telan seperti minum obat.

“Kamu tuh perempuan, buat apa kuliah kalau ujung-ujungnya hanya di dapur dan kasur!” Hardik ayahnya, sambil memaksa untuk menarik amplop cokelat berisi uang-uang Mala yang masih gadis itu pertahankan dalam genggamannya.

Dan begitulah kemudian uangnya digunakan untuk resepsi si bungsu dan Mala kehilangan kesempatan melakukan registrasi ke perguruan tinggi yang menerimanya tahun itu. Perempuan dalam keluarga –yang entah bisa disebut seperti itu atau tidak bagi Mala– mereka bahkan tidak memiliki hak untuk uang yang dikumpulkannya sendiri, dengan susah payah.

Mala marah pada semua orang terutama ibunya. Sehari sebelum adiknya menikah, memutuskan untuk kabur, mengendap-endap dari rumah subuh-subuh buta sebelum ibunya terbangun. Dia harus kabur. Dia harus kabur dari neraka itu. Dia harus kabur untuk tetap waras.

Mala kemudian mulai membangun hidupnya di kota asing yang belum pernah perempuan itu datangi. Susah payah gadis itu bertahan dengan uang tabungan seadanya yang disembunyikan di bagian terdalam lemari pakaiannya di rumah sehingga tidak ikut terampas oleh sang ayah. Perempuan itu bahkan tidak merasa perlu repot-repot mengabari keluarga sebab dia sudah tidak peduli meski hari itu adiknya menikah.

Mala, yang sendirian di kota antah berantah mulai melakukan pekerjaan apa saja untuk memperbaiki lembar-lembar harapannya yang sempat diremas menjadi gumpalan oleh keluarganya sendiri. Gadis itu pernah menjadi pelayan di rumah makan besar yang tidak henti-henti menerima pelanggan, pernah pula menjadi kasir di kafe kekinian yang banyak dikunjungi mahasiswa untuk mengerjakan tugas.

Melihat mahasiswa-mahasiswa itu duduk di pojokan ruang sambil membuka laptop dan mulai serius berkutat pada sesuatu di dalamnya membuat Mala tersenyum getir. Ah, harusnya sekarang ini gadis itu juga duduk di sana, menjadi mahasiswa dan mengerjakan tugas sambil memesan segelas es teh atau susu cokelat sebab Mala tidak suka kopi. Tidak apa-apa, yang penting sekarang dia bisa menabung dulu, tujuannya untuk kuliah masih jadi urutan nomor satu dari prioritas menabungnya. Gadis itu dengan ajaib bertahan di tahun-tahun pertama pelariannya.

Pada tahun ketiga, berbekal beasiswa, ditambah uang tabungannya yang tidak seberapa memungkinkan gadis yang tahun itu berusia dua puluh dua untuk mendaftar di salah satu kampus swasta yang cukup prestisius di kota itu. Mala bahagia, salah satu harapnya untuk melanjutkan pendidikan bisa diraih dengan kerja kerasnya sendiri. Pelan-pelan, gambaran tentang dunia yang lebih baik mulai gadis itu lukis dalam angan dan harapan masa depannya.

Tahun keempat, ketika Mala merasa sudah mampu untuk menghadapi keluarganya, gadis itu memutuskan untuk pulang ke rumah, disambut oleh tangisan histeris sang ibu yang jatuh terduduk sesaat setelah gadis itu menampakkan diri di depan pintu rumah mereka.

Anak gadis mereka yang menghilang selama empat tahun akhirnya kembali.

Ibunya memeluk Mala begitu erat. Air mata tidak henti-henti meluncur dari kedua kelopak ibunya yang Mala sadari terlihat lebih lelah dari kali terakhir gadis itu membersamai sang ibu. Diam-diam, Mala merasa bersalah, ibunya, bagaimanapun pasti telah kebingungan dan banyak bersedih sebab anak perempuan satu-satunya menghilang beberapa tahun dan sama sekali tidak meninggalkan petunjuk ke mana hendak dicari.

Hati gadis itu kemudian juga menghangat melihat gadis kecil yang mengintip malu-malu dari pintu kamar adik bungsunya. Ah, itu pasti keponakannya yang dulu masih di dalam kandungan saat Mala kabur dari rumah.

Tetapi, Mala menampakkan diri di rumah itu bukan untuk kembali kepada mereka. Dia merasa perlu mengabarkan sebab bagaimanapun, secara biologis, mereka masih tetap keluarganya. Setelah menginap beberapa hari dan berdamai dengan ayahnya –yang tetap tidak mau meminta maaf kecuali Mala yang meminta maaf terlebih dahulu, gadis itu mengutarakan niatnya untuk melepaskan diri dari mereka, menetap di kota lain sambil berjanji untuk tetap membantu finansial keluarga begitu si gadis lulus kuliah.

Meski sambil menangis dan berat hati, sang ibu akhirnya melepas Mala pergi.

Mala, dengan langkah yang lebih ringan sebab beban dan rasa bersalahnya sudah luruh, kembali ke kota tempat perantauannya dan bertekad untuk menyelesaikan kuliah dan mendapatkan pekerjaan tetap.

Awalnya gadis itu pikir semuanya berjalan sesuai keinginannya sebelum hari itu tiba.

Kira-kira tahun kedua setelah Mala pulang ke rumah dan kembali berhubungan dengan keluarga, dua kakak laki-laki Mala muncul di depan kos si gadis. Sore itu, Mala yang baru pulang kuliah dan hendak bersiap memulai kerja sampingannya langsung merasakan firasat buruk merayapi hati.

"Kamu disuruh pulang" kata kakak pertamanya tanpa basa-basi.

Gadis itu cepat-cepat menggeleng. Bukankah perjanjian antara mereka sudah jelas? Mala memiliki kehidupan baru di kota perantauan dan tetap membantu finansial keluarga di kampung. Dia sudah punya kehidupan sendiri di sini.

"Pulang. Anak perempuan harus pulang ke rumah." Kakak keduanya, dengan nada menyebalkan mulai menggunakan kartu anak perempuan yang kolot itu.

"Kamu dijodohkan Bapak. Harus mau, kita ke sini untuk bawa kamu pulang, bukan buat terima penolakan kamu!" Tangan Mala mulai dicengkeram.

Sakit. Cengkeraman kakaknya di tangan Mala terasa sakit sebab gadis itu mulai berontak. Namun hatinya jauh lebih sakit. Sangat sakit sampai-sampai dia mati rasa dan air mata tidak dapat keluar dari kedua kelopaknya yang jelita.

Rahang Mala mengeras. Tidak bisa begini. Dia tidak bisa pasrah. Gadis itu tidak mau pasrah ketika mengingat segala hal yang telah gadis itu lewati untuk melawan patriarkisme yang memukuli seluruh tubuhnya sampai babak belur.

Mala akhirnya menegosiasi kedua kakaknya sambil berpura-pura pasrah dan membujuk mereka memberikan Mala waktu beberapa hari untuk berkemas.

Berkemas?

Tentu saja bukan untuk kembali pulang ke rumah, tetapi untuk pindah ke tempat tinggal lain, bersembunyi, dan mulai memutus lagi kontak dengan seluruh anggota keluarga. Dia tidak bisa pasrah. Mala tidak mau pasrah.

Ternyata, Mala memang harus menghilang untuk mempertahankan diri.

Misi pelarian Mala berjalan cukup lancar sebab kedua kakak hanya tahu lokasi kosnya, tidak dengan kampus tempat Mala belajar atau tempat kerja part time yang gadis itu jalani. Harinya mulai berangsur normal selama hampir sebulan. Mala tidak lagi berhubungan dengan keluarganya hingga ketika berganti bulan baru, dua sosok lelaki lain datang di lobi fakultas Mala dan bertanya mengenai gadis itu kepada siapa saja yang mereka temui.

Mala kaget, jelas. Gadis itu sudah menduga bahwa dua lelaki yang mencarinya pasti keluarganya. Mala sangat terkejut sebab tidak menyangka bahwa persembunyiannya akan terbongkar secepat ini. Dia sempat bersembunyi di dalam kelas beberapa jam hingga petang sampai merasa bahwa kedua lelaki tersebut menyerah dan tidak lagi menunggu. Saat matahari mulai terbenam dan Mala sudah merasa aman, gadis itu perlahan-lahan keluar dari tempat persembunyian.

"Mau coba sembunyi lagi?" Suara yang sangat familiar.

Mala merasakan jantungnya merosot hingga mata kaki.

Saat gadis itu menoleh, ayahnya berdiri di belakangnya, bersama seorang laki-laki asing yang tidak dapat Mala kenali.

“Ikut Bapak pulang!” Tangan si bapak meraih pergelangan tangan Mala yang kurus.

Mala panik, dia sempat berteriak minta tolong kepada siapapun dan segera sadar bahwa tindakannya benar-benar percuma sebab tidak ada orang lagi di sekitar mereka. Bapaknya kemudian menyeret paksa si gadis, mendudukkannya ke dalam mobil asing dan segera menutup pintu cepat-cepat sebelum Mala sempat kembali kabur.

Mala menangis.

Dia merasa tidak diperlakukan seperti manusia.

Sementara sang Bapak berteriak menyuruhnya tenang, laki-laki asing yang datang bersama bapaknya melemparkan seringai miring begitu tatapan mereka bertemu.

Demi Tuhan, Mala merinding sekujur badan.

Besok-besoknya, Mala baru tahu bahwa lelaki asing yang menjemputnya bersama sang bapak tempo hari adalah si calon suami. Lelaki kaya berusia sepuluh tahun di atas Mala yang minta dijodohkan dengan gadis itu dan mengaku sudah menyukai Mala bahkan sejak si gadis masih sekolah menengah. Mala makin merinding dibuatnya. Membayangkan dirinya ditaksir saat masih di bawah umur, dengan seragam sekolah menengahnya yang masih abu-abu membuat Mala ingin muntah.

Mala sempat bertanya kepada ibunya mengapa keluarga mereka menerima perjodohan tersebut tanpa bertanya kepada dirinya sebagai orang yang paling bersangkutan. Jawaban yang gadis itu dapat makin meremas hatinya,

“Bapakmu itu sudah tua tapi hutangnya masih banyak. Kakak dan adikmu ndak bisa diandelin. Calon suamimu bersedia bantu bayar hutang-hutang bapak..” Jawab sang ibu. Matanya menatap mata Mala yang ditafsirkan gadis itu sebagai tatapan memohon. Mala tidak merasa simpatik sama sekali, kemarahan sudah terlanjur menguasai hatinya sampai-sampai tiap kata yang keluar dari bibir sang ibu membuat gadis itu mual.

“Kenapa ndak bisa sabar dikit toh, Bu? Aku ini dikit lagi lulus dan cari kerja” Suara yang keluar dari bibir Mala menyiratkan keputusasaan.

“Kamu kerja tuh ndak bisa bikin kita kaya toh? Paling gajimu cuman UMR, kapan lunasnya hutang bapakmu? Pengertian dikit yo, Nduk? Kamu ndak disuruh bayar yang aneh-aneh toh? Cukup jadi istrinya saja.. nafkahmu seumur hidup sudah terjamin, Nduk”

Cukup jadi istrinya saja..

Mala sampai berpikir dosa apa yang pernah dia perbuat di masa lalu hingga nasibnya sekarang seperti ini? Mengapa dia yang harus berkorban sementara selama ini kakak dan adiknya yang lelaki selalu dijunjung tinggi meski sang ibu mengakui bahwa mereka sama sekali tidak berguna. Kurang kah pengorbanan gadis itu setelah semua yang dia relakan untuk keluarga bahkan ketika usianya masih belasan? Mimpi-mimpinya, uang yang sudah bertahun-tahun dikumpulkan, masa mudanya, cita-citanya?

Mala menangis keras pada malam sebelum ia menikah.

Dia menangisi ketidakmerdekaannya, bahkan terhadap dirinya sendiri.

Kamu ndak disuruh bayar yang aneh-aneh toh? Cukup jadi istrinya saja..

Demi Tuhan, sampai saat ini pun, Mala masih bisa merasakan perutnya mual saat kata-kata sang ibu malam itu terlintas kembali dalam benak.

Nyatanya, menjadi istri bukan perkara cukup.

Semenjak hari-hari setelah pernikahannya dengan pria asing yang entah siapa ini, Mala tidak pernah sehari pun merasa hidup. Gadis itu menjelma benda mati sebab nyatanya Mala memang diperlakukan seperti benda mati yang hanya diminta jika diperlukan.

Di dapur,

Dan di atas kasur.

Sekali waktu, Mala merasa bahwa fungsinya di rumah sang suami hanya sebagai pembantu. Siklusnya kembali seperti saat si gadis masih tinggal di rumah bersama keluarga biologisnya –Mala enggan menyebut mereka keluarga. Bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan dan secangkir kopi ketika suaminya bangun, setiap hari. Pun, dengan seluruh uang dan kekayaan yang suaminya miliki, hal itu tidak membuat suaminya berbaik hati menghadirkan seorang saja pembantu rumah tangga di rumah besar mereka.

Sejujurnya, Mala lelah setiap hari harus membersihkan rumah sebesar ini sendirian sebab sang suami akan marah jika hal tersebut tidak dikerjakan.

Tapi dia tidak bisa protes.

Sekali waktu juga, Mala merasa seperti wanita bayaran ketika malam tiba dan suaminya butuh pelampiasan nafsu.

"Kenapa gak mau? Durhaka kamu! Saya sudah cukupi kebutuhan kamu tapi balasanmu begini waktu saya butuh?"

Kata lelaki itu, suatu malam saat Mala menolak berhubungan sebab dia terlampau letih seharian. Maka Mala hanya sanggup menuruti permintaan si suami meski bergerak selayaknya boneka hidup. Tanpa ekspresi, tanpa cinta dan gairah seperti seharusnya hubungan tersebut berlangsung.

Terkadang bahkan Mala berpikir sampai di titik jijik pada dirinya sendiri karena harus melayani keinginan dan fantasi suami yang sebenarnya tidak dia sukai.

Setelah itu, yang sanggup dia lakukan hanya menangis diam-diam. Menangisi nasibnya yang seumur hidup harus terjebak pada situasi seperti ini. Situasi yang dia benci.

Cukup jadi istrinya saja..

Lebih baik gadis itu tidak menjadi istri siapapun dan tetap bertahan menjadi budak korporat dengan gaji yang hanya UMR ketimbang harus menukarkan dirinya dengan jaminan pelunasan hutang dan nafkah seumur hidup.

Nafkah seumur hidup yang tidak pernah Mala dapatkan.

Mala bahkan sampai pada kenyataan bahwa dia tidak bisa memberhentikan tukang bakso atau soto mie kesukaannya yang lewat di depan rumah –meski sangat ingin, sebab tidak dibekali pegangan uang. Gadis itu terkejut sebab dia baru tahu, dalam urusan keuangan, suaminya ini kelewat ketat untuk ukuran orang kaya seperti yang selama ini tetangga-tetangganya lihat.

Hidupnya, pengeluaran keuangan keluarga, bahkan keputusan penting dalam rumah tangga mereka sepenuhnya diputuskan oleh suami. Tugas Mala hanya bersih-bersih rumah besar itu setiap hari dan menunggu di kasur pada malam hari. Mala tidak berlebihan ketika gadis itu merasa bahwa fungsinya dalam rumah besar mereka hanya sekadar tukang bersih-bersih dan gadis bayaran sebab dia tidak diikutsertakan dalam tiap perencanaan rumah tangga mereka.

Suaminya butuh pembantu dan pemuas nafsu, Bukan istri.

Mala tidak pernah melihat ada percikan kasih dan perasaan menghargai saat matanya menatap lekat manik mata lelaki yang dia sebut sebagai suami. Persetan dengan pengakuan lelaki itu tempo waktu saat mengaku mencintai Mala sejak gadis itu masih duduk di sekolah menengah. Yang kemudian Mala pahami, suaminya hanya jatuh cinta pada wajah dan tubuhnya. Kenyataan itu membuat si gadis mulai membenci tiap inci tubuhnya sendiri, tubuh yang ia nilai membawa petaka sebab jika tak dilahirkan jelita, maka mungkin tidak begini nasibnya.

Hari ini pun puncaknya, saat Mala terbangun dalam keadaan sakit, suaminya tidak menoleransi dan tetap menuntut kebutuhan pagi hari yang mestinya bisa dikerjakan sendiri –hanya untuk satu atau dua hari.

Ketika semua kebutuhan suaminya telah selesai dan sosok lelaki itu telah hilang dari pandangan sebab harus pergi untuk keperluan yang entah apa, Mala terduduk di lantai sambil menepuk-nepuk dadanya yang terasa begitu sesak.

Mala mulai menangis. Lagi.

Sayup-sayup dari balik pintu kayu jati rumahnya, Mala mendengar sorak sorai lagu kemerdekaan beserta tabuh genderang yang membuat suasana makin ramai. Dia menerka-nerka mengapa lagu kemerdekaan disenandungkan siang itu.

Ah, Mala baru ingat, rupanya hari ini tanggal 17 Agustus. Tanggal di mana tiap warga Indonesia seharusnya merayakan merdeka. Tapi mengapa hari ini rasanya Mala tetap terjebak dalam nestapa?

Mala tertawa getir. Yang Mala pahami selanjutnya adalah,

Ternyata, merdeka memang bukan buat dirinya.