Tiga Orang Terunik
Tiga Orang Terunik
[sunting]Wawancarai tiga orang yang kamu anggap paling unik. Lalu tulis ceritamu tentang mereka. Begitu tugas bahasa Indonesia dari Bu Hasna untuk kami kerjakan selama liburan. Mewawancarai, tidak masalah. Menulis cerita berdasarkan wawancara, aku sudah biasa sejak bergabung di Klub Wartawan Cilik. Masalahnya adalah mencari orang paling unik. Tiga pula.
Bu Hasna tidak menjelaskan secara gamblang apa yang dimaksud unik. “Pokoknya, unik menurut kalian sendiri,” katanya.
Menurut kamus bahasa Indonesia, unik itu berarti tersendiri dalam bentuk atau jenisnya. Seseorang yang lain daripada yang lain, atau tidak ada persamaannya dengan yang lain.
Liburan hanya seminggu. Dua hari pertama sudah berlalu. Aku belum juga menemukan orang-orang yang layak kujadikan bahan cerita. Teman-teman sekelas sudah ramai membicarakan temuan masing-masing. Abang pengantar susu, bibi penjual pecel, pembuat sepatu bayi, penenun selendang, pemilik rambut terpanjang, bahkan penggali makam. Tidak ada lagi orang unik di sekitar sini yang belum diwawancarai.
“Kenapa uniknya berdasarkan profesi saja? Bukannya setiap manusia itu unik? Contohnya kamu sendiri. Cuma ada satu Gaharu di dunia ini,” kata Kak Farah, waktu aku meminta pendapatnya.
"Masa aku mewawancarai diri sendiri,” sahutku.
“Bisa saja, kan? Kamu tulis cerita tentang keunikanmu.”
Aku menggeleng. “Bukan itu yang diminta Bu Hasna. Aku harus mewawancarai orang lain.”
“Kak Aru wawancarai aku saja!” Saga, adikku, menimbrung. “Aku unik, paling—”
“Rewel bawel sedunia!” Aku menyambung ucapannya. “Cengeng pula.”
Bibir Saga berkedut. Matanya mulai berkaca-kaca. Sebelum tangisnya pecah, aku sudah kabur keluar dari dapur. Masih kudengar raungan Saga, disusul omelan Kak Farah kepadaku. Aku hanya menyeringai. Sungguh, tak habis pikir, aku dan Saga sama-sama anak lelaki. Usia kami selisih dua tahun saja. Sekarang, aku 12 tahun, tetapi waktu aku seusia Saga, aku jarang menangis.
Saga suka merengek, terutama kalau merasa diperlakukan tidak adil. Ibu harus menimbang kue jatah kami sama persis atau Saga akan memprotes dan merajuk. Jumlah uang saku, tas sekolah, sepatu, sampai gaya rambut kami pun harus sama. Di sekolah, Saga sering dikira kembaranku. Aku berdecak sebal. Kalau sampai besok, aku belum menemukan orang terunik, apa boleh buat, aku akan menulis tentang Saga, apa adanya.
Syukurlah, Ibu datang membawa oleh-oleh buah sukun dari kebun Tante Katia. Aha! Kenapa aku sampai lupa kepadanya. Tante Katia seorang botanis, ahli tumbuhan. Ada taman botanik di belakang rumahnya. Aku menyebutnya kebun saja. Karena tak kulihat bedanya dengan kebun pada umumnya, kecuali semua tumbuhan Tante Katia diberi papan nama.
Dengan sepeda, segera aku memelesat ke rumah Tante Katia di pinggiran desa. Buku dan pena siap di tangan. Tanya jawab dengan Tante mengalir lancar. Di rumah, aku akan menulis cerita tentang Tante Katia dalam bentuk puisi. Kira-kira seperti ini.
Tante Katia dan Pohon Roti Mentega Susu
Tante Katia menyayangi pohon seperti Ibu menyayangi anak-anaknya
Dari bibit sampai tumbuh besar, pohon-pohon ia pelihara.
Pohon-pohonku bukan sembarang pohon, katanya. Lihatlah, kamu pasti takjub, Aru!
Aku memandangi saja beberapa tanaman baru.
Hijau subur, walau masih kecil, hanya setinggi pinggangku.
Setiap pohon berkalung papan berisi nama dan asal-usulnya.
Pohon pertama,
Pohon Sapi. Brosimum Galacto Dendron. Amerika Selatan aslinya.
“Memangnya dia menghasilkan susu?” Aku bercanda.
Serius, Tante Katia mengiakan.
“Betul. Cairan putih kental ia keluarkan.
Gizinya juga lengkap seperti susu sungguhan.”
Aku ternganga.
Pohon berikutnya,
Pohon Mentega. Bassia butyracea. India.
“Bijinya mengandung zat seperti mentega,” kata Tante Katia.
Pohon susu dan mentega!
“Kurang pohon roti, dong!” kataku, iseng saja.
Tak terduga, ternyata ada.
Pohon roti umum di Indonesia. Nama ilmiahnya, Artocarpus altilis.
Orang asing menyebutnya breadfruit.
Kita menyebutnya sukun.
“Oh, sukun. Kukira buahnya seperti lembaran roti tawar,” kataku.
Tante Katia tertawa.
Pohon-pohonnya unik,
Tetapi apa keunikan Tante Katia sendiri?
“Aku bertangan dingin.
Itu sebutan untuk orang yang mudah menumbuhkan tanaman.”
***
Satu cerita selesai. Dua lagi. Pak Yagi, orang unik berikutnya. Kenalan Tante yang datang berkunjung. Lelaki tua itu bercerita kepadaku.
Di bukit sebelah utara, ada sebuah gua. Gua itu dihuni monster. Seekor burung raksasa berkepala banteng. Hidungnya mendenguskan api. Tanduknya tajam bahkan bisa menembus baja. Dan makhluk itu bertaring seperti singa. Monster itu tidak pernah meninggalkan guanya. Namun, orang yang berani masuk ke sana tak pernah bisa keluar lagi. Mungkin dimakan si monster. Tak ada yang tahu. Karena itu, tidak ada penduduk yang pergi ke bukit, apalagi masuk gua.
“Jadi, tidak ada orang yang pernah ke sana?” tanyaku.
Pak Yagi mengangguk, tampak senang melihatku terkesima.
“Orang yang masuk gua itu tidak pernah keluar lagi?” tanyaku.
Pak Yagi memandangiku, iba. Mungkin ia menganggapku kurang cerdas.
“Pak Yagi,” kataku buru-buru. “Kalau tidak ada yang ke sana dan tidak ada yang kembali dari sana, dan monster itu selalu di sana, lalu bagaimana kita tahu rupa monster itu?”
Pak Yagi menggeleng. “Aku sudah menceritakan apa yang kutahu. Permisi, aku harus pulang.”
Sepeninggalnya, aku masih terbengong-bengong. Rasa penasaran mendorongku untuk bertanya-tanya kepada siapa pun di sekitar rumah Tante Katia. Aku perlu saksi. Namun, mereka menggeleng. Kebanyakan orang hanya mendengar cerita tentang monster itu dari orangtua atau kakek mereka. Hmm… mungkin, salah satunya pernah melihat sendiri si monster. Atau bahkan selamat dari cengkeramannya!
“Pak Yagi orang tertua di desa ini,” kata Tante Katia.
Hmm… mungkinkah Pak Yagi saksi yang selamat?
Setelah mendapatkan petunjuk arah ke rumah Pak Yagi, aku pergi menyusulnya. Lelaki itu tengah duduk menghadap kolam. Sendirian. Dia menoleh. Wajahnya langsung cerah.
“Aku tahu akhirnya kamu akan datang kepadaku, anak pintar!” Mata Pak Yagi berkilat jenaka. “Pastikan kebenaran berita dari sumbernya.”
Aku meringis. “Jadi, siapa yang pernah menyaksikan sendiri monster itu, Pak?”
“Tidak ada,” sahut Pak Yagi, terkekeh.
“Lalu, dari mana masyarakat tahu bagaimana monster itu?”
“Jawaban untukmu ada di dalam gua di bukit itu. Pergilah ke sana.”
Aku terbelalak. “Ke gua monster?”
“Ya. Aku yakin kamu berani.” Pak Yagi menepuk bahuku.
Pak Yagi pasti tidak sembarangan menantangku ke gua. “Baik. Aku akan ke sana.”
Jalan setapak menuju ke sana sudah hilang ditumbuhi semak lebat. Aku berjalan memutar, melalui lereng berbatu dan sampai di depan gua. Ragu. Jantungku membalap. Kakiku mendadak lemas. Namun, sinar matahari tepat menerangi bagian dalam. Gua yang bersih.
Aku masuk.
Gua itu hanya sebesar kamarku. Mungkin bukan gua ini yang dimaksud Pak Yagi. Gua burung-raksasa-berkepala-banteng-bertaring-singa mestinya tinggi dan luas. Berisi sarang, sisa makanan, dan bulu monster, juga tulang-belulang manusia.
Aku hendak pergi mencari gua lain. Saat itu, mataku menangkap sesuatu di sudut. Sebuah peti kayu. Tidak terkunci. Di dalamnya ada ketapel, kelereng, dan buku. Aku membuka buku itu. Kertasnya menguning. Tulisannya sedikit pudar. Seperti tulisan tangan anak-anak.
Penasaran, aku membacanya. Judulnya, Monster Gua. Aku bersandar nyaman. Asyik menikmati cerita tentang monster. Ciri-cirinya persis seperti yang kudengar dari Pak Yagi dan orang-orang. Bedanya, monster ini hanyalah karangan seorang anak yang lemah, untuk menakuti teman-teman yang suka merisaknya. Monster itu pun menghantui semua orang. Anak itu menjadi aman, bahkan punya tempat khusus untuk menyendiri dan menulis. Gua ini.
Tamat.
Penulis, Yagi.
Aku tergelak.
Pulang dengan dua cerita menarik. Yang kedua, kujuduli, Pak Yagi dan Monster Gua.
Sayangnya orang ketiga yang unik tidak muncul sampai hari liburan berakhir. Tentu saja aku tidak mau mewawancarai Saga. Biarlah dua cerita saja, itu pikirku. Aku sudah cukup bangga dengan dua kisah yang akan kupresentasikan di kelas. Namun, nahas, aku terbangun dalam keadaan demam tinggi. Saga juga. Kami terserang flu berbarengan.
“Kalian istirahat saja di rumah. Jangan menyebarkan virus di sekolah,” kata Ibu sambil menyiapkan obat. “Ini untuk Saga.”
Setengah sendok cairan merah. Saga nyaris memuntahkannya.
Kalau ada hal yang sama antara aku dan Saga, kami benci minum obat.
“Ini untuk Aru,” kata Ibu memberikan sesendok penuh cairan merah yang sama.
Aku mundur. “Saga, kamu boleh ambil separuh jatahku. Aku rela. Biar adil, kamu harusnya dapat sesendok juga kan, sama denganku?”
Saga terdiam. Sepertinya berpikir keras.
Ibu tersenyum. “Sesuai dosis masing-masing saja, usia 12, sesendok, di bawah 12, setengah. Ibu sudah siapkan puding favorit kalian untuk menetralkan rasa obat.”
Ajaib, kali ini Saga tidak meminta Ibu menimbang kue dan menyamakan berat jatah kami, padahal jelas-jelas pudingku lebih besar.
Aha, ini cerita yang unik tentang Saga. Aku akan mewawancarainya dengan ikhlas, karena aku penasaran, apa yang ada di benaknya sekarang. Akan kujuduli dengan, Saga, Bagaimanakah Adil Menurutmu?
TAMAT