Titik Balik Kehidupan
Menjelang tengah malam Evi merasa gelisah dan tak bisa tidur. Ia sudah berusaha memejamkan mata namun nihil. Firasat yang selama ini menjadi bayang-bayang kegelisahan dan ketakutan itu benar terjadi. “Semoga apa yang aku takutkan itu tidak benar terjadi” ucapnya dalam hati.
Sementara itu, Papa yang sudah dirawat hampir satu minggu di rumah sakit tak kunjung menunjukkan perkembangan yang baik. Papa didiagnosa mengidap penyakit diabetes melitus tipe 2. Penyakit ini merupakan penyakit bawaan dikeluarganya. Semenjak menderita penyakit ini, beliau kehilangan banyak berat badan dan gigi yang rentan copot sehingga mengharuskan menggunakan gigi palsu. Setiap harinya mengkonsumsi obat-obatan seperti obat dokter maupun herbal.
Sebelumnya Papa Evi memang sudah ada riwayat rawat inap, namun tidak pernah selama ini. Ketika dirawat pun selalu didampingi oleh Mama sehingga dirumah hanya anak-anaknya yang masih duduk dibangku sekolah dan ditemani oleh nenek. Mama selalu mendampingi Papa dirumah sakit sehingga ketika kita berkunjung Mama terlihat sangat kelelahan.
Dalam perawatan intensif kali ini, Evi hanya sekali menjenguk kerumah sakit dikarenakan kesibukan sekolah dan juga saat itu sedang dalam bulan suci ramadhan.
“Mah, besok Evi mau jenguk Papa ya kesana” ucap Evi.
“Iya boleh, kamu kesini sama siapa Nak?” balas Mama Evi.
“Diantar kaka mah, nanti sepulang sekolah langsung berangkat kesana”
“Iya, hati-hati dijalannya ya nak” timpal Mama Evi.
Sesampainya dirumah sakit, Evi bersama kakaknya berjalan melewati lorong rumah sakit. Ia mengamati sekeliling kemudian menunduk. Aroma rumah sakit tercium cukup kuat, membuat Evi cukup kaget karna jarang berkunjung ke rumah sakit. Hingga sampailah mereka ke ruangan yang dituju yaitu ruangan rawat inap melati nomor 113 yang berisi empat orang pasien.
“Assalamualaikum..”
Evi dan kakaknya pun langsung mencium tangan mama dan papanya.
“Waalaikumsalam, Nak. Sehat?” jawab Papa.
“Alhamdulillah pa” timpal Evi seraya menatap sendu kearah Papanya.
Evi dan kakaknya tidak terlalu lama dirumah sakit karna jam besuk sudah hampir habis. Ia hanya bisa menatap lesu kepada kedua orang tuanya dan kemudian berpamitan untuk pulang. Diperjalanan pulang ia hanya terdiam dan tertunduk lesu.
Dua hari kemudian, menjelang pukul 12.00 malam Evi kembali gelisah dan tidak bisa tidur. Seketika ia memiliki firasat tidak bagus dan didalam hati tiba-tiba terucap “semoga bukan hari ini, aku mohon semoga bukan”.
Evi pun tertidur, hingga tiba-tiba dua jam kemudian terdengar bunyi ambulan semakin dekat kerumah. Disana ia terbangun dan kebingungan untuk beberapa saat hingga pada akhirnya ia sadar bahwa ambulan tersebut membaawa jenazah Papa Evi. Deg! Hal yang ditakutkan menjadi kenyataan. Ia pun berdiri sempoyongan dari kamar dan melihat disekitar ruang tamu ternyata sudah dikosongkan dan disana ada satu buah kasur kapuk beserta kain jarik.
Mama pun turun dengan wajah yang sembab dan sempoyongan. Disusul oleh petugas rumah sakit yang menurunkan hospital bed jenazah Papa Evi. Kemudian jenazah dipindahkan keatas kasur yang sudah disediakan. Sesaat setelah itu pecahlah tangis Mama hingga terduduk lemas sembari ditenangkan dan dipegangi oleh tetangga kami.
Tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kini hanya bisa kami tatap sesaat hingga akhirnya disemayamkan di makam keluarga Papa.
Saat itu Evi,tiga orang kakak dan seorang adik yang masih berusia tiga tahun hanya dapat meratapi dalam kesunyian. Kehilangan sosok pemimpin keluarga menjadi titik balik kehidupan mereka yang awalnya keluarga sederhana nan bahagia menjadi keluarga berantakan nan penuh amarah.
Bersambung…
Penulis
[sunting]Rizka