Lompat ke isi

Topeng Kayu dari Ayah

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis

[sunting]

Tiara mempunyai sebuah topeng kayu pemberian ayahnya yang sudah meninggal. Tiara ingin mewujudkan impian ayahnya untuk menari topeng di atas panggung.

Tokoh

[sunting]
  1. Tiara
  2. Ibu
  3. Pak Hakay/Ayah

Lokasi

[sunting]

Kota Malang

Cerita Pendek

[sunting]

Satu per satu anak tangga kunaiki. Langkah ini canggung hingga tiba di atas panggung. Harus tenang ..., harus tenang. Tapi lihat saja di bawah sana! Semua mata memandang ke arahku. Menanti aku menari. Gara-gara tatapan merekalah kedua tangan dan kaki ini jadi gemetar. Dibalik topeng kayu yang kupakai, wajah ini kebas penuh keringat. Duh! Gugupnya aku! Bagaimana kalau nanti lupa gerakan tari yang diajarkan Ibu? Atau parahnya, bagaimana kalau sebentar lagi aku jatuh pingsan gara-gara terlalu demam panggung?


Perkenalkan, teman. Namaku Tiara. Anak kelas 6 SD yang sebentar lagi lulus. Ibu pernah cerita. Dulu aku lahir di sebuah desa terpencil yang sejuk udaranya di bagian Barat Kota Malang. Sawah dan kebun membentang luas. Pegunungan seperti menjadi pagar yang melindungi desa kami dari dunia luar.

Ayahku adalah seorang yang cukup dikenal di desa ini. Orang-orang biasa memanggilnya Pak Hakay. Beliau terkenal sebagai sosok pemahat kayu yang andal. Mampu membuat patung dari kayu, mangkok, tempat bunga, dan lain-lain.

Kala itu, Ayah sedang membuat sebuah topeng dari kayu. Dia bilang, topeng itu akan menjadi hadiah ulang tahunku yang ke delapan. Ayah juga bilang kalau beliau ingin suatu saat nanti melihatku menari dengan memakai topeng itu. Senang sekali hati ini. Tak sabar menanti hari ulang tahunku tiba.

Sejak dulu keluargaku hidup dengan sangat sempurna. Namun pada suatu hari sebuah peristiwa besar menimpa kami. Ayah meninggal dunia tepat di hari ulang tahunku yang ke delapan. Seluruh warga berbondong bondong datang ke rumah untuk melayat. Hari itu Ibu, aku, dan seluruh desa diliputi duka. Tak peduli lagi aku tentang perayaan ulang tahun, tak peduli lagi tentang ucapan selamat dari Ibu dan teman-teman. Hadiah topeng kayu dari Ayah seperti tidak lagi istimewa. Kulupakan begitu saja.

Semenjak hari itu, aku menjadi anak yatim. Tinggal hanya dengan Ibu tercinta yang bekerja sebagai penjahit baju. Semua pakaian dan barang-barang yang berhubungan dengan Ayah disimpan baik-baik di dalam lemari. Termasuk topeng dari kayu itu.


Bertahun-tahun kemudian, ketika aku sudah menginjak kelas 6 SD, tak sengaja kutemukan sebuah kotak kado warna biru yang tersimpan di salah satu laci lemari. Begitu kubuka, isinya adalah sebuah topeng dari kayu pemberian Ayah. Di sebelah topeng itu ada kertas kecil bertuliskan

Selamat ulang tahun Tiara

Dari Ayah

Aku ingat itu adalah kado ulang tahunku yang ke delapan. Aku juga ingat di hari itulah Ayah meninggal dunia. Kubelai topeng kayu itu sambil memikirkan hal-hal menarik di masa lalu saat bersama Ayah.

“Tidakkah kamu ingat, Ra, tentang impian Ayahmu saat masih hidup dulu?” Tiba-tiba suara Ibu terdengar dari arah belakang. Aku menoleh, melihat Ibu mendekat sambil tersenyum tipis.

“Impian Ayah?” Aku menggeleng, tidak ingat.

“Ayahmu ingin kamu menari dengan memakai topeng itu. Ingat?”

“Oh itu! Iya, Bu. Aku ingat!”

“Lalu? Apa sekarang kamu mau mewujudkannya?”

“Menari? Yang benar saja, Bu. Aku tidak bisa. Lagipula di sini tidak ada kursus menari. Kalaupun ada, pasti biayanya mahal.”

Ibu tergelak tipis, lalu mendekatkan kepalanya. “Kau mau tahu sebuah rahasia, Ra? Sebenarnya dulu sebelum menikah, Ibu adalah seorang penari topeng. Tapi setelah menikah, Ibu memutuskan pensiun karena harus merawatmu. Nah, kau bisa berlatih dengan Ibu. Bagaimana?”

Tawaran Ibu tidak kujawab. Sempat beberapa hari aku menjadi sedikit pendiam. Perkataan Ibu sangatlah mengusik hati. Hingga di suatu hari aku mantap memutuskan untuk mewujudkan permintaan pertama dan terakhir Ayah. Yaitu, menari dengan menggunakan topeng kayu pemberiannya.

“Besok boleh aku mulai berlatih?”

“Kau serius?” Ibu bertanya seakan tidak percaya dengan omonganku. Kujawab dengan mengangguk cepat.

Sejak kejadian itu. Sore hari selepas ashar, Ibu selalu mengajariku menari. Mula-mula terasa sulit ketika harus menirukan gerakan tari Ibu yang sangat bagus. Tapi sekian lama berlatih, gerakanku mulai lincah dan bisa menyamai gerakan Ibu. Barangkali memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ibu yang dulunya seorang penari, menurunkan bakatnya kepadaku.

Pada suatu kesempatan. Aku mendaftarkan diri ke Pak Hari, wali kelas enam, untuk ikut berpartisipasi dalam pentas seni perpisahan kelas 6 SD. Pak Hari memang menyambut baik keputusanku, tapi tidak dengan Dina dan gengnya. Mereka adalah teman sekelasku yang selalu iri, dan gemar mengejek teman-teman lain yang tidak sependapat dengan mereka.

Mengetahui aku ikut tampil di pentas dengan membawakan Tari Topeng Malangan, Dina dan gengnya malah mengejek. Suatu hari ketika aku hendak berlatih di sekolah, Dina dan gengnya mendekat sambil berkacak pinggang. Coba deh lihat wajah Dina yang manyun itu! Jelas dia mau berniat tidak baik.

“Tari topeng, Ra? Sudah pasti penampilanmu nanti kampungan,” cibir Dina. “Sekarang tuh jamannya dance K-Pop, tau!”

Anak yang lain ikutan meledek. “Iddiih! Coba lihat topengnya! Serem! Ndeso banget, iih!”

“Mukamu yang jelek itu, akan semakin jelek saat memakai topeng. Apa kau tidak malu? Hahaha!” Dina kembali melancarkan serangan. Membuatku tak berkutik.

Puas Dina mengejek sejak pagi hingga pulang sekolah. Lengkap sudah rasa maluku. Menjadi bahan olokan Dina dan gengnya sungguh menyebalkan. Sampai-sampai aku tak berani keluar kelas saat istirahat. Sepanjang hari aku hanya duduk di dalam kelas, menjauh dari geng Dina, menjauh dari olok-olokan mereka.

Barangkali memang tidak usah menari saja. Daripada terus-terusan diejek. Rasanya malu sekali. Batinku saat pulang sekolah. Begitu sampai di rumah, langsung kuletakkan kembali topeng itu di laci lemari tempat dimana aku menemukannya. Ibu seolah tahu ada yang tak beres dari gelagatku, beliau melangkah mendekat, menanyakan masalah yang menimpa anak semata wayangnya ini.

Setelah kujelaskan perlakuan teman-teman di sekolah, Ibu tersenyum tipis, menyiratkan raut kesabaran. “Beberapa bulan lalu kamu memilih satu dari dua pilihan ini. Menari atau tidak. Dan kamu membuat keputusan tepat. Nah, sekarang kamu lagi-lagi dihadapkan oleh dua pilihan. Antara terus menari dan mewujudkan impian ayahmu, atau berhenti hanya karena omongan segelintir orang.”

Aku diam saja, mencoba mencerna maksud perkataan Ibu.

“Keputusan ada di tanganmu, Ra. Ibu hanya bisa mengingatkan, bahwa mereka yang mengejek itu belum tahu saja alasanmu memutuskan untuk menari. Mereka juga pasti belum melihat seberapa lincah anak Ibu ini saat menari. Kalau mereka tahu, pasti akan ikut bertepuk tangan.”

“Ibu yakin?” Aku mengernyit.

Mantap Ibu mengangguk. Memberi keyakinan penuh agar aku kembali percaya diri.

“Kalau begitu. Aku akan menari di acara perpisahan besok.”

Ibu langsung mengelus rambut panjangku. “Itu baru anak hebat!”


Seperti  itulah kisahku hingga sekarang seluruh tubuhku tengah berdiri kaku di atas panggung pentas seni. Lihatlah! Suasana mendadak jadi hening. Sangat menegangkan. Di balik topeng, wajah ini serasa pucat, keringat mengalir sampai ke pipi. Masih kupandangi penonton dari lubang mata. Kini semua mata tertuju padaku. Dina dan gengnya berdiri di barisan penonton paling belakang. Senyumanya jelas sekali terlihat seperti mengejek. Semakin gugup saja aku. Beruntung di antara para penonton, tampak Ibu memberi kode agar Aku tetap tenang.

Sedetik lewat, suara musik gamelan terdengar lembut. Aku mulai menggerakkan tangan dan kaki secara perlahan. Awalan yang sempurna! Halus dan gemulai. Sebentar kemudian, aku mulai menguasai panggung. Kian lama kian lincah gerakan tarianku. Setiap hentakan kaki, kibasan tangan dan selendang, seolah menjadi hidup dan menyiratkan sebuah makna yang begitu dalam.

Ayah ... lihatlah! Aku menari seperti yang kau minta. Aku telah mewujudkan impian pertama dan terakhirmu, Yah. Batinku sambil terus bergerak mengikuti irama gamelan. Namun sungguh tak disangka-sangka. Sekilas tidak sengaja aku mendongak menyaksikan cerahnya langit pagi ini. Di situlah seolah tergambar jelas garis-garis wajah Ayah sedang tersenyum gembira di antara awan-awan.

Ayah benar-benar melihatku menari! Aku membatin takjub.

Rasa percaya diriku semakin tumbuh. Tak ada lagi demam panggung. Tak ada lagi perasaan gugup. Para penonton terpanah, terhipnotis dengan setiap gerak tari yang kuperagakan.

Tak terasa sekian menit berlalu dengan lancar. Suara musik mulai terdengar lirih. Tak lama kemudian berakhir sudah pertunjukan tari topeng ini. Napasku ngos-ngosan, topeng kayu ini perlahan kubuka, mengusap keringat yang mengucur di kening.

Sungguh tidak bisa kupercaya. Di bawah panggung para penonton berdiri sambil bertepuk tangan. Ibu menangis haru, bangga dengan penampilan anaknya. Sementara jauh di belakang sana, Dina dan gengnya ikut bertepuk tangan. Bahkan sambil melompat-lompat gembira. Mereka lupa kemarin lusa sudah mengejekku. Kini Dina dan gengnya seolah turut bangga punya teman sekelas yang pandai menari topeng.

Senyumku seketika lebar. Tak sadar barisan gigi depanku sampai terlihat. Saking bangganya bisa mempertunjukkan sebuah tari tradisional yang menawan ini. Sebuah warisan leluhur yang tak ternilai harganya.

Aku berjanji akan terus melestarikan budaya ini. Mempertontonkan ke semua orang di seluruh dunia. Janji itu akan terus kujaga sampai akhir waktu.