Lompat ke isi

Tradisi Pulang Haji

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis

[sunting]

Kisah rumit dua saudara kandung yang memiliki kemauan dan prinsip hidup satu sama lain. Seorang kakak yang diamanahkan orang tuanya untuk terus menjaga adiknya. Di sisi lain, adiknya yang merasa dirinya sebagai orang jahat karena suatu tragedi mengerikan yang menimpa kakaknya sendiri. Sejak saat itu, dia berpegang teguh untuk tidak manja dan berkeluh kesah kepada kakaknya. Tapi malah menyebabkan keduanya asing. Pada suatu pertemuan saat adiknya baru saja pulang haji, akhirnya lara keduanya pecah dan saling mengerti satu sama lainnya.

Lakon

[sunting]
  1. Syika
  2. Syila
  3. Naya
  4. Bang Rafli

Lokasi

[sunting]
  1. Dapur mamak
  2. Jalan Bhayangkara
  3. Rumah bunde
  4. Derikanpark (Taman Sri Deli)
  5. Rumah nenek

Cerita Pendek

[sunting]

“Sreng! Sreng!” Suara nyaring yang setiap pagi selalu kudengar dari dapur rumahku seketika membangunkan diriku dari tidur nyenyak. Badanku tergerak untuk bangun dari tempat tidur, seraya mengambil ikat rambutku di sebelah bantal.

Dahiku mengkerut tanda heran dengan penampakan yang ada di depanku sekarang. Mamakku duduk di dingklek tengah mengupas bawang merah. Aku berjalan ke arahnya sembari mengikat rambutku menjadi sanggul ke atas.

“Kenapa cepat sekali sudah masak, Mak? Masih jam 4, loh.." Suara ayam jantan berkokok baru saja terdengar sekarang.

“Ooh, Mamak pengen Mengupah-upah untuk bundemu.. Tuh kan lupa,” jawab mamak seakan mampu bertelepati, mamak menyadari raut mukaku yang semakin heran karena ucapannya.

“Kan pagi ini bundemu pulang naik haji, Nay," tambahnya sambil melihat ke arahku. Ingatan sebulan lalu terbayang di kepalaku. Kesal.

“Loh, Mamak tahu dari mana? Memangnya Bunde ada menelepon?” Aku masih sabar menungggu jawaban pasti darinya.

“Belum ada, sih. Mamak cuma lihat dari berita televisi, Nay” Jawabannya membuatku geram. Aku langsung mengambil nafas panjang untuk bersedia mengawali perdebatan ini.

“Ck! Ngapain lagi si, Mak peduli sama orang seperti itu! Ditolong malah ga mau. Biarin aja, lah..” Tanpa sadar, suaraku sedikit meninggi padanya. Mamak melihatku dengan ekspresi yang sama seperti aku tadi. Geram.

“Mamak sudah bosan dengar ucapan kau itu ya, Nay Bundemu itu adik kandung Mamak. Bak air dicincang, sampai kapan pun ga akan pernah putus. Itulah artinya saudara. Nanti kau pasti akan merasakan seperti itu juga!” tegasnya dengan tatapan intens lagi-lagi membuatku langsung ciut. Buru-buru aku mengalihkan perhatian ke bawang merah di depan mataku. Tanpa berlama-lama, aku mengambil pisau untuk ikut membantu mamak. Entah kenapa, bawang merah ini membuatku teringat dengan sifat menyebalkan bundeku.


Jujur saja, aku masih setengah rela membantu mamak. Apa Mamak ga ingat saat terakhir kali dirinya ditolak mentah-mentah oleh si 'Bawang Merah' itu? pikirku.

Bayangkan, saat akan berangkat ke Asrama Haji, bundeku sama sekali tidak mau diantar oleh kami. Padahal, keluarga calon jemaah lain akan berbondong-bondong mengantarkan dan mengucapkan salam perpisahan hingga mengadakan acara walimatus safar, yaitu berkumpul untuk meminta doa kepada keluarga agar dapat menunaikan ibadah haji dengan baik dan kembali ke tanah air dengan selamat. Bahkan, tradisi Tepuk Tepung Mawar oleh masyarakat kami, Melayu sebagai prosesi perenjisan dari berbagai pihak keluarga terdekat yang dipercaya sebagai bentuk syarat pelepasan jemaah calon haji.

Berbanding terbalik dengan bundeku yang memang ternotabene sebagai ‘anti sosial’ di kampung kami.  Teringat lagi aku kepada ingatan pendek sebulan lalu yang membuatku semakin kesal sekarang.

Suasana sehabis Asar di Jalan Bhayangkara yang sudah mulai sepi dilewati pengendara dan pejalan kaki kembali diramaikan oleh suara anak-anak yang barusan pulang mengaji dari Masjid Al-Ikhlas. Sekarang, aku dan mamak berencana untuk medapatkan hati bunde agar mau diantar ke asrama oleh kami. Lebih tepatnya, ini adalah rencana mamak yang terlalu bersemangat mengajakku sebagai 'tim suksesnya'.

Sembari berjalan menuju rumah bunde yang kebetulan bersebelahan dengan rumah kami, aku dan mamak terhibur dengan sapaan anak-anak tanggung tadi seperti 'Ibuk sama Kakak darimana?', dan 'Ibuk sama Kakak mau kemana?' yang dijawab dengan penuh kasih oleh kami. Sempat aku berpikir kalau saja bundeku disapa seperti ini oleh orang-orang di sekitarnya. Boro-boro disapa, menegur orang yang lalu-lalang di depan rumahnya saja tidak mau.

"Semoga aja bundemu mau ya, Nay."

"Amin." Walaupun semua orang tahu bahwa dia tidak akan mau, namun berdoa saja peri baik hatinya muncul. Sekali lagi. Amin.

Setelah sampai dan dipersilahkan duduk, kami bersiap memulai aksi yang sudah kami rencanakan dengan matang.

"Dek, nanti kami antar kau ke asrama, yaa.. Si Naya mau nganterin kita katanya, Dek," lihat betapa manisnya rayuan mamak kepada bundeku, berbeda sekali ketika denganku.

"Iya, Nde. Gapapa, sama Nay aja, ya?" rayuku. Jujur, sekarang aku sedang bermuka dua demi si Bawang Putih yang sekarang langsung mengangguk-anggukan kepalanya di sebelahku.

“Ga mau la, gausah terlalu heboh. Aku bisa pergi sendiri, ngapain pula ramai-ramai mengantar?” Jleb. Mendengar hal itu, mamakku hanya memasang senyum simpul di wajahnya seperti biasa. Tuman.

"Ayolah, Dek. Lagipula hanya mengantar saja, kok. Tidak ada acara pamitan segala macam. Hanya kita, Naya, dan Rafli saja loh, Dek." Bang Rafli, sepupuku, anak tunggal bundeku langsung meng'iya'kan perlawanan Mamak kepada bundeku. Padahal, hasilnya akan sama saja. Nihil.

"Aduh, lebih baik kemarin aku ga bilang ke Kakak kalau minggu ini aku mau berangkat.. Terlalu heboh, padahal aku ga suka dan ga minta sama sekali!" telaknya. Ingin saja kutarik tangan Mamak pulang sekarang juga, biar tahu betapa kecewanya kami sekarang. Kulihat wajah dengan senyum teduh yang sekarang dipasang Mamak. Sok kuat.

“Ah, mungkin aku bisa membujuknya lagi besok,” kata batin Mamak yang sudah kuketahui tanpa diberitahukannya. Bahkan, sampai di hari keberangkatan, Mamak masih sempat membujuk Bunde beberapa kali.

Bunde tidak pernah berubah semenjak dulu. Kenapa bisa mamakku masih berniat seperti ini lagi? Apa ga takut ditolak mentah-mentah lagi? Kalau aku jadi Mamak, bakalan malas berusaha untuk orang menyebalkan seperti Bunde, sampai membuat upah-upah untuknya.

Setelah aku dan mamak selesai membuat hidangan upah-upah, kami segera mendatangi rumah Bunde. Kulihat Bang Rafli yang juga sudah rapi dengan setelan baju muslimnya siap menyambut kedatangan bundeku.

"Itu.. Mamak sudah pulang..” seru Bang Rafli dari teras rumahnya langsung menyalam dan memeluk bundeku. Aku dan mamak juga ikut bersalaman dan berpelukan dengan bunde yang juga menyapa. Saat akan duduk bersama, dirinya kaget saat melihat penampakan di depannya. mamakku memegang talam upah-upah sembari berjalan ke arah kami.

“Ngapain sih buat begini?! Makanya aku sengaja ga bilang kapan aku pulang, ya karena ini. Aku kan ga pernah minta bikin, ga perlu terlalu heboh kali lah..” Suara bundeku seketika meninggi. Aku dan Bang Rafli kompak menunduk sambil mendengarkan celotehannya. Jahatnya manusia satu ini.. Dari ekor mata, kulihat mamak tengah mengembalikan talam ke meja semula dan berjalan kembali ke arah kami. Tidak. Ini bukan perawakan mamak si Bawang Putih. Penuh amarah yang akan bersiap membuncah seketika.

“Ya Allah.. Asal kau tau, ya! Zaman sekarang, masih ada satu orang yang peduli sama kita aja sudah syukur. Konon, kau yang ga punya teman sama sekali di kampung ini? Kami yang keluarga kau aja, itu juga gabisa kau hargai sedikit pun?!" Mamak tersulut emosi. Suaranya bergetar diakhir, pertanda hatinya tegores. Setetes air mata meluncur dengan santainya.

Kini, mataku tertuju penuh kepada bunde yang masih tersentak kaget tidak menyangka bahwa sang kakak akan marah sedemikian rupa.

"Bahkan, sekalipun ga ada kau hubungi aku selama di sana. Mirisnya, nomorku juga ga kau angkat sama sekali. Bayangkan, satu-satunya adikku yang biasanya selalu ku urus pergi jauh," sambung mamak belum puas mengungkit kesalahan bunde. Kali ini, air mata bunde sudah mengambil ancang-ancang untuk meluncur keluar. Pemandangan tak biasa dari bunde yang biasanya selalu memasang muka ketat. Melihatnya seperti itu, ada sesuatu di dalam dadaku yang ikut perih.

"Melihat Kakak, aku teringat akan sosok mamak kita dulu," sahut bunde tiba-tiba membingungkan kami semua. Seperti yang tergambar di wajah sembab mamak sekarang seakan berkata 'Apa maksudnya?'

Pada saat itu juga, bunde tidak dapat menahan tangisnya dan langsung bersimpuh penuh air mata di hadapan kakaknya.

"Kak, hiks.. Semenjak mamak kita meninggal, aku tahu Kakak sudah capek urus semua hal, selayaknya orang tuaku. Hiks.. A-Aku ga mau lagi membebani Kakak sama masalahku yang banyak ini. Aku tahu Kakak demam selama seminggu karena Kakak memanjat pohon asam untuk ambil balonku kan? Mulai saat itu, aku berpengang teguh kalau aku pasti bisa urus semuanya sendiri. Tapi, nyatanya Kakak selalu ada dimana aku butuh bantuan. Egoisnya, aku malah terus-terusan membantah Kakak. Ma-Maafkan aku, Kak," ucap bunde dibalik isakan tangisnya sambil terbata-bata mengatur nafasnya yang tidak lagi beraturan. Bukan lagi bingung, kini mamak terpaku mendengar penjelasan panjang bunde. Sekelibat ingatan masa kecil membuat kepalanya sedikit pusing.

“Kak.. Kak Syika, hiks.. Tolongin Syila..” Aku kaget mendengar suara parau adikku yang masih sebentar saja kutinggal bermain balon. Buru-buru, aku mendatangi sumber suara yang terus-terusan mengganggu pikiranku dengan berbagai prasangka buruk yang telah menimpanya.

Di belakang loket Derikanpark yang sekarang berganti nama menjadi Taman Sri Deli terlihat sosok anak kecil bergamis pink tengah terduduk dengan kedua matanya yang masih sembab menatap pohon asam di depannya, lalu menoleh ke arahku dengan tatapan memelas. Aku terheran-heran melihatnya sedang menunjuk ke atas pohon asam membuatku penasaran dan berlari ke arahnya.

“Kak, balonku nyangkut disana,” ucapnya menjawab rasa penasaranku.. Kembali kulihat pohon asam yang tidak lagi rimbun ini dengan perasaan ngeri. Bukan karena aku takut memanjat, tapi ada mistis tentang pohon asam. Setelah mencopot sepatu, aku langsung memanjat pohon asam itu tanpa gentar. Aku meyakinkan diriku untuk segera turun membawa balon itu.

“Sebentar Kakak ambilkan, ya..” Entah setan apa yang membuatku sangat jago memanjat sekarang ini. Kuharap itu setan baik. Aku sedikit kesusahan mengatasi baju muslimku yang mungkin sudah sobek di beberapa jahitannya karena terseret kayu pohon asam itu.

Hap!

“Akhirnya dapat,” kataku pelan merasa bangga dengan diri sendiri. Tanpa kusadari, awan tebal dan menghitam membuat suasana menuju maghrib menjadi lebih horror. Aku langsung turun sembari memeluk erat balon kuning adikku.

“Ini balonmu. Jangan dilepas lagi, Syila,” kataku setelah berhasil turun yang dibalas anggukan lemah darinya. Perasaan tidak enak sekaligus kasihan melihat kakaknya sekarang sudah lusuh dan k oleh tanah podsolik akibat kelakuannya.

“Tidak apa-apa, itu kan memang tugas Kakak. Yuk, kita pulang,” balasku sembari bangkit dari duduk setelah memasang sepatuku kembali.

“Terima kasih banyak ya, Kak,” sahut Syila dan seperti biasa kubalas dengan senyuman hangat.

Syika dan Syila bergegas pulang dari Derikanpark

Syila terlihat sangat senang dengan balon oranyenya sekarang. Tapi entah kenapa, kakiku sekarang sangat berat dan keram di sebelah kanan, mungkin karena aku terlalu lama menahan kakiku bertumpu pada pohon agar tidak jatuh. Suara adzan maghrib sudah terdengar bersamaan dengan sesampainya kami di rumah beratap lontik yang hanya berjarak dua kilometer dari Derikanpark, dan langsung mencuci kaki menggunakan air mengalir dari genthong.

Aku sudah tidak tahan lagi. Kepalaku pusing sekali seakan digoyang oleh tangan usil hingga pandangan mataku kabur.

Buk!

“Nek, Nenek! Tolong! Kak Syifa pingsan, Nek!” Aku mendengar suara Syila berteriak mencak-mencak hingga aku tidak lagi sadarkan diri. Pingsan.

Nenek bilang, aku pingsan selama tiga jam. Dalam kurun waktu itu, nenek selalu di sampingku dan terus melantunkan ayat suci di sampingku. Setelah mendengar ceritanya itu, aku sudah tahu penyebab tregedi diriku pingsan untuk pertama kalinya ini. Aku ketempelan makhluk halus yang marah ketika aku memanjat pohon saat waktu maghrib.

Setelah aku sadar, nenek heboh memberi wejangan untukku agar pulang sebelum maghrib dan tidak melakukan hal berbahaya seperti itu lagi. Dengan rasa bersalah, aku meminta maaf dan berjanji kepada nenek agar tidak mengulangi hal seperti itu lagi.

“Nek, jangan bilang ke Syila, ya kalau aku seperti ini karena memanjat pohon itu,” kataku memelas kepada nenek.

“Ya. Dah, pergilah tidur,” jawab nenek membuatku tenang.

Tidak ada yang tahu bahwa Syila sudah sedari tadi berada di balik daun pintu kamarku menyimak percakapan kami. Adikku itu merasa dirinya sangat berdosa dan telah menjadi manusia jahat untuk kakaknya.

Kini, mamak mengangkat kepalanya yang sudah cukup lama menunduk dan menatap mata adiknya itu dengan tatapan hampa.

"Aku minta maaf kalau sudah buat Kakak sakit hati. Memang keterlaluan aku sudah kesal tadi. Aku hanya berpikir Kakak pasti akan memaklumi aku seperti biasanya,” sambung bunde sesenggukan menatap penuh harap kepada kakaknya. Mamak berulang kali mengusap pelupuk matanya yang sudah perih dibanjiri air mata. Mamak ikut bersimpuh dan langsung memeluk erat adiknya, menepuk-nepuk pundak yang lemah itu. Lara keduanya pecah.

"Mengupah-upah ini untukmu karena sudah kuat sampai kemari, bukan karena kau yang harus minta dulu," kata Mamak sambil menunjuk hidangan upah-upah tadi.

"Senang sekali rasanya lihat kau sudah sampai rumah dengan selamat. Mamak sudah amanahkan aku untuk jaga kau, Dek. Jadi, sudah sepatutnya aku berlebihan seperti ini. Kuharap kau doakan Mamak kita disana, kan?”

"Selalu dan dimanapun, Kak.." Bersamaan dengan itu, mamak segera memeluk kembali bundeku yang masih pas dengan baju serba putihnya.

"Aduh, memang benar lah anak kesayangan mamak adikku ini, yaa.." gurau mamak membuat bunde tertawa kecil. Aku yakin, setiap pasang mata orang yang menyaksikannya  akan berlinang air mata. Bukan hanya air mataku yang sukarela mengalir dalam suasana haru tersebut, kedua tanganku dengan lihai ikut memeluk dua sosok emosional itu.

Dari sudut mata, kulihat Bang Rafli mulai menyembunyikan wajahnya dengan sebelah tangan, tanda bahwa semua ikut merayakan hari penuh takjub ini. Hari ini juga, kulihat sisi berbeda dari keduanya.

Bayangkan, kalau hari ini Mamak tidak membuat acara upah-upah, bisa saja sifat menyebalkan bundeku tidak akan pernah hilang. Aku ikhlas membantu mamak.

TAMAT